Anda di halaman 1dari 15

GAMBARAN DENSITAS LARVA AEDES BERDASARKAN TINDAKAN

PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DI DAERAH ENDEMIS


DBD KECAMATAN RAPPOCINI KOTA MAKASSAR Commented [U1]: Judul maksimal 15 kata

Description of Aedes Aegypti Larva Density Based on Mosquito Hospital Eradication


Action (PSN) in the DBD Endemic District Rappocini sub-District Makassar

Novita Toding, Hasanuddin Ishak, Muh. Fajaruddin Natsir


Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
(novitahwangminhyun25@gmail.com, hasanuddin.ishak@gmail.com,
ahmadfajarislam@gmail.com, 081282754878)

ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat ditularkan dari orang
sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk penular (vektor), yaitu nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Transmisi DBD dapat dicegah dengan memutuskan rantai penularan dengan cara
pengendalian vektor melalui kegiatan tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Penelitian ini
bertujuan mengetahui gambaran densitas larva Aedes berdasarkan tindakan PSN di daerah DBD
Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Jenis penelitian ini adalah survei observasional dengan
pendekatan deskriptif menggunakan kuesioner dan melalui pengamatan langsung dengan
menggunakan lembar observasi. Populasinya adalah seluruh rumah yang berada di RW 05, Rw 06 dan
RW 08 Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD. Penentuan sampel dilakukan dengan
metode systematic random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 126 rumah sedangkan titik
koordinat dituangkan dalam peta dengan menggunakan Arcgis 10.3. Hasil penelitian ini menunjukkan
densitas larva Aedes aegypti pada daerah endemis DBD masih rendah yang diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ) yaitu 37,3%, House Index (HI) 62,7% dan Container Index (CI) 32,4%. Adapun
tindakan PSN yang dilakukan di daerah endemis DBD mayoritas baik yaitu 65,9%. Peran serta
jumantik dalam pengendalian penyakit DBD di daerah endemis dan non endemis DBD belum
terlaksana secara maksimal.
Kata Kunci : Densitas, larva, tindakan

ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease that can be transmitted from a sick
person to a healthy person through a mosquito bite (vector), namely Aedes aegypti or Aedes
albopictus. Aedes aegypti mosquito is the main vector that causes this disease to carry the
dengue virus after sucking the blood of people who have been infected with the virus. Disease
caused by the dengue virus is an infectious disease which causes disruption in capillary blood
vessels and in the blood clotting system. DHF transmission can be prevented by breaking the
chain of transmission by means of vector control through the activities of Mosquito Hospital
Eradication (PSN). The aim of this study was to determine the density of Aedes aegypti larvae
based on PSN actions in endemic areas in the city of Makassar. This type of research is an
observational survey with a descriptive approach using questionnaires and through direct
observation using observation sheets. The population is all houses in RW 05, RW 06 and RW
08 Gunung Sari Village as DHF endemic areas. Determination of the sample was carried out
by systematic random sampling method in order to obtain a sample of 126 houses while the
coordinate points were poured in the map using Arcgis 10.3. The results of this study indicate
that the density of Aedes aegypti larvae in DHF endemic areas is still low as measured by the
larva-free number (ABJ) which is 37.3%, House Index (HI) 62,7% dan Container Index (CI)
32,4%. The PSN actions carried out in the majority DHF endemic areas are 65.9% which is
still categorized as good.The role of jumantik in controlling DHF in endemic areas of DHF
has not been implemented optimally. Commented [U2]: Tambahkan kata kunci

1
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat ditularkan dari
orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk penular (vektor), yaitu nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama yang
menyebabkan penyakit ini membawa virus dengue setelah menghisap darah orang yang telah
terinfeksi virus tersebut.1 Epidemi demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1779
hingga tahun 1780 di Asia, Afrika, dan Amerika utara.2 Kemudian, sekitar tahun 1975-1995, DBD
terdeteksi keberadaannya di 102 negara dari lima wilayah WHO, yakni 20 negara di Afrika,
42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 Negara di Mediterania Timur, dan 29
negara di Pasifik Barat.3 Data menunjukkan sebanyak 1,6 milyar (52%) penduduk di Asia
Tenggara terinfeksi oleh virus dengue, sementara itu World Health Organization (WHO)
mencatat Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki kasus DBD paling
tinggi.4
Penyakit DBD di Indonesia telah menyebar luas ke seluruh kawasan dengan jumlah
kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke wilayah pedalaman. Pada tahun 2017
terhitung sejak bulan Januari hingga Mei tercatat sebanyak 17.877 kasus dan diantaranya
terjadi 115 kematian.5 Menurut laporan Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL), jumlah kasus DBD yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2013 dengan
jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 5.030 kasus.5 Kota Makassar sebagai salah satu kota di
Provinsi Sulawesi Selatan yang endemis DBD yang mengalami fluktuasi mengenai jumlah
penderita DBD. Angka tertinggi DBD dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi pada tahun
2013 yang menunjukkan angka 265 penderita per 100.000 penduduk. Pada tahun 2017 terjadi
sebanyak 127 kasus terhitung sejak bulan Januari hingga Oktober tahun dan menyebabkan 1
pasien meninggal.6
Kasus DBD di Kecamatan Rappocini merupakan satu dari empat belas Kecamatan di
Kota Makassar dengan jumlah kasus DBD yang tinggi namun mengalami fluktuasi/naik turun
dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pada tahun 2014 sebanyak 44 kasus, tahun 2015 sebanyak 19
kasus, dan tahun 2016 sebanyak 35 kasus. Menurut data terbaru dari Dinas Kesehatan Kota
Makassar pada tahun 2017, kasus DBD di Kecamatan Rappocini pada tahun 2015 terjadi
sebanyak 17 kasus, pada tahun 2016 terjadi peningkatan kasus yang signifikan yaitu menjadi
36 kasus dan pada tahun 2017 terjadi penurunan kasus yang tercatat, yaitu sebanyak 2 kasus
terhitung dari bulan Januari hingga Oktober.7 Penentuan daerah non endemis berdasarkan
stratifikasi Desa/Kelurahan DBD, Desa/Kelurahan yang mengalami kasus ataupun kematian
karena demam berdarah dengue secara berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu adalah

2
tergolong daerah endemis.8
Memutuskan rantai penularan DBD dengan cara mengendalikan vektor melalui
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan salah satu upaya pencegahan
penyakit DBD.9 Faktor perilaku merupakan faktor yang penting dalam persoalan kesehatan maupun
dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. Faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu sikap,
usia, nilai, dan faktor kepercayaan. Faktor yang memengaruhi tindakan yaitu pengetahuan, emosi,
persepsi, dan lainnya.10
Pemberantasan Sarang Nyamuk merupakan salah satu cara pencegahan penyakit DBD,
yang dimana Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan salah satu faktor keberhasilan program
tersebut dan bentuk pelaksanaannya dengan kegiatan 3M Plus. Program tersebut meliputi
kegiatan menguras tempat penbampungan air, menutup rapat tempat penampungan air,
mengubur dan menyingkirkan barang bekas dan pengelolaan lingkungan berlanjut. Ukuran
yang dipakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti adalah selain ABJ adalah dengan
mengukur House Indeks (HI), Container Index (CI),dan Breteau Index (BI).11 Dalam upaya
pemberantasan sarang nyamuk, pemerintah memerlukan bantuan partisipasi seluruh lapisan
masyarakat. Partisipasi masyarakat yang lebih tinggi melalui kegiatan pemeriksaan jentik
secara berkala dan berkesinambungan dan adanya peran kader Juru Pemantau Jentik
(Jumantik) diharapkan dapat menjadi faktor penggerakan PSN-DBD.12 Distribusi demam
dengue dalam hal waktu dan ruang adalah penting untuk mengembangkan database spasial,
menerapkan statistik spasial dan untuk menghubungkan informasi ini dengan lingkungan,
faktor iklim, entomologis dan sosial ekonomi untuk daerah tertentu. Geographic Information
System (GIS) dan citra satelit resolusi tinggi yang berguna untuk mengumpulkan data untuk
studi faktor yang mempengaruhi demam dengue dan distribusi vektor di daerah di mana
jutaan orang beresiko tertular demam dengue.13 Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
mengetahui gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan tindakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di wilayah endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Commented [U3]: Paragraph terlalu panjang

BAHAN DAN METODE


Jenis penelitian yang digunakan adalah survei observasional dengan pendekatan deskriptif
dengan wawancara menggunakan kuesioner, panduan wawancara, dan melalui pengamatan langsung
dengan menggunakan lembar observasi. Penelitian dilakukan pada 26 Mei-26 Juni 2018 di kelurahan
Gunung Sari di Kecamatan Rappocini. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah di RW 05,
RW 06 dan RW 08 yang dikategorikan sebagai daerah endemis DBD. Penentuan sampel dilakukan
dengan metode purposive random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 126 rumah
sedangkan titik koordinat ditentukan dengan menggunakan Geographic Position System (GPS). Data

3
yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan
diinterpretasikan serta dilakukan pemetaan dengan menggunakan software Arcgis Dekstop 3.1.
HASIL
Kelurahan Gunung Sari merupakan daerah endemis DBD yang setelah terjadi pemekaran
terdiri atas 9 RW dan 53 RT. Jumlah sampel pada Kelurahan Gunung Sari terdiri dari 126 rumah
dengan 660 kontainer. Commented [U4]: Tambahkan 2-3 kalimat

Hasil penelitian mengenai tindakan tentang PSN DBD di Kelurahan Gunung Sari sebagai
daerah endemis menunjukkan tindakan baik 65,9 % (Tabel 1). Hasil observasi pada 660 kontainer
pada daerah endemis, TPA yang paling banyak digunakan oleh responden adalah ember (24,2%)
sedangkan non TPA yang paling banyak adalah pot/vas bunga (22,6%) dan TPA alami yang paling
banyak digunakan adalah kubangan air (2,9%) (Tabel 4). Keberadaan larva Aedes aegypti pada daerah
endemis DBD diperoleh di 79 rumah (62,7%) yang positif jentik (Tabel 2). Keberadaan larva di daerah
endemis DBD tersebut pada TPA terbanyak adalah ember (31%) (Tabel 4).
Keberadaan larva Aedes aegypti dikaitkan dengan tindakan PSN responden yang dirankingkan
menjadi empat. Sebagian besar responden berada di ranking 3 (40,5%) yaitu keberadaan larva aedes
aegypti positif namun responden memiliki tindakan PSN 3M-Plus baik (Tabel 3). Densitas larva
diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), House Index (HI), dan Container index (CI). ABJ pada
Kelurahan Gunung Sari (37,3%) yang termasuk dalam kategori rendah (<95%) di semua RT di ketiga
RW tersebut. Densitas larva Aedes aegypti yang diukur dengan House Index (HI) adalah 62,7% yang
masuk pada kategori HI tinggi (> 37%), tetapi terdapat satu RT yang memiliki HI rendah (<37%) dari
ketiga RT di RW 06. Distribusi Container index CI pada kelurahan Gunung Sari adalah 32,4 % yang
berada pada kategori CI tinggi (> 20%), tetapi terdapat satu RT yang memiliki HI rendah (<20%) dari
ketiga RT di RW 06 (Tabel 5, 6, 7 dan 8).
Hasil wawancara langsung dengan kader jumantik di Kelurahan Gunung Sari berinisial Ibu
Rhh dan Ibu Rfn, yang mengaku sudah empat tahun menjadi kader jumantik namun pada 1 tahun
terakhir ini belum melakukan pemeriksaan jentik baik perminggu maupun pertiga bulan karena tidak
adanya koordinasi dan perintah langsung dari pihak kelurahan maupun puskesmas. Kedua jumantik
tersebut mengaku pernah melakukan pelatihan yang diberikan oleh puskesmas maupun Dinas
Kesehatan dalam hal teori, praktik, dan cara mengisi kartu jentik. Selama menjadi jumantik, biasanya
ditemukan sebanyak 2-3 rumah ditemukan positif jentik dari 100 rumah yang diperiksa dalam satu
RW. Pemeriksaan dilakukan setiap tiga bulan sekali dan diberikan arahan mengenai 3M (Menguras,
Menutup, Mengubur) dan memberikan bubuk abate. Hambatan yang dihadapi kedua jumantik tersebut
masih adanya warga yang menolak untuk diperiksa keadaan kontainer rumahnya dan menolahk
menggunakan abate.

4
PEMBAHASAN
Hasil pengakuan mengenai tindakan responden di Kelurahan Gunung Sari berada pada
kategori baik, dengan tindakan yang paling sering dilakukan adalah menguras tempat penampungan
air. Tindakan PSN yang kurang atau jarang dilakukan responden di Kelurahan Gunung Sari maupun
adalah memelihara ikan pemakan jentik dan melakukan larvasidasi dengan membubuhkan abate. Hal
ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Rahadian bahwa dimana 6 responden (23,1%) di
wilayah endemis memiliki tindakan pencegahan DBD yang baik. Perbedaan yang terjadi
dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah pengalaman pribadi responden yang
anggota keluarganya pernah mengalami DBD.14
Keberadaan larva Aedes aegypti yang diamati pada setiap kontainer menggunakan metode
visual di Kelurahan Gunung Sari ditemukan banyak pada ember. Menurut Wisfer kebiasaan
masyarakat untuk selalu mengisi air pada ember dan bak mandi sehingga memungkinkan untuk air
tinggal dalam waktu yang lama dan kebiasaan masyarakat untuk membersihkan bak mandi ketika
sudah terlihat kotor dan hanya membuang airnya saja tanpa menyikat permukaan bak sehingga
memungkinkan bagi telur nyamuk untuk tetap tinggal. 15 Larva Aedes aegypti juga ditemukan pada non
TPA berupa vas/pot tanaman yaitu sebesar 149 buah (22,6%). Keberadaan larva Aedes
aegypti pada vas/pot tanaman pada Kelurahan Gunung Sari ditemukan 16 rumah positif larva
Aedes aegypti. Masyarakat banyak menggunakan vas/pot tanaman yang ditaruh pada halaman
rumah/pekarangan, tetapi cenderung mengabaikan air yang tergenang pada vas/pot tanaman
tersebut karena hanya fokus pada pertumbuhan dan penampilan dari tanaman tanpa menyadari
bahwa tempatnya bias menjadi habitat bagi nyamuk pra dewasa.
Keberadaan larva Aedes aegypti dikaitkan dengan tindakan PSN DBD yang dirangkingkan
menjadi empat dimana rumah dan responden di daerah endemis Kelurahan Gunung Sari yang menjadi
sampel penelitian, kebanyakan berada pada rangking 3 yang berarti ditemukan larva di rumah
responden dengan tindakan baik mengenai PSN DBD sedangkan densitas larva Aedes aegypti
dikaitkan dengan tindakan PSN DBD yang dirangkingkan menjadi dua belas yang kebanyakan berada
pada kategori 3C yang berarti ditemukan larva di rumah responden dengan tindakan baik mengenai
PSN DBD dengan nilai densitas larva Aedes aegypti ABJ rendah, HI tinggi dan CI tinggi yang
menyebar di tiap RT dan RW yang menjadi tempat penelitian. Pada gambar 1, 2, 3 dan 4 dipaparkan
pemetaan distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti yang dikaitkan dengan tindakan PSN DBD dan
densitas larva Aedes aegypti yang dikaitkan dengan tindakan PSN DBD.
Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi keberadaan larva, misalnya
kondisi rumah dan karakteristik lingkungan tempat perkembangbiakan nyamuk. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lebang menunjukkan peta keberadaan larva pada setiap titik berbeda pula titik yang
ada jentik ini dikarenakan lingkungan fisik yang kurang baik sehingga tempat perindukkan dan sarana
persembunyian nyamuk tetap ada meskipun telah melaksanakan abatisasi dan 3M.16

5
Densitas atau kepadatan larva Aedes aegypti dapat diketahui dengan melakukan survei pada
rumah yang dipilih secara acak melalui survei jentik Densitas larva yang diukur pada penelitian ini
adalah Angka Bebas Jentik (ABJ), House Inex (HI), dan Container Index (CI). Kelurahan Gunung Sari
memiliki nilai ABJ sebesar 37,3% yang menurut Nadifah dkk angka ABJ ini jauh dibawah Indikator
Indonesia Sehat 2010. Tolak ukur keberhasilan dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk demam
berdarah dengue adalah indikator angka bebas jentik (ABJ) minimal 95%. Jika ABJ < 95% Hal ini
menunjukan bahwa daerah tersebut berpotensi dalam penularan penyakit demam berdarah dengue.
Dengan demikian Kelurahan Gunung Sari berpotensi dalam penularan penyakit demam berdarah
dengue.17
Adapun nilai house index (HI) yang didapatkan adalah Kelurahan Gunung Sari sebesar
62,7%., yang berdasarkan density figure (DF) kelurahan Gunung Sari berada pada DF skala 8.
HI merupakan perbandingan antara rumah yang positif jentik dengan seluruh rumah yang
dilakukan pemeriksaan jentik. HI ini dapat menggambarkan keberadaan jentik Aedes aegypti.
DF diatas 5 memiliki risiko penularan tinggi.18 Menurut Sunaryo & Pramestuti bila suatu daerah
mempunyai HI lebih dari 37%, daerah tersebut mempunyai risiko tinggi untuk penularan
dengue. Bila HI kurang dari 37%, masih bisa dilakukan pencegahan untuk terjadinya infeksi
virus dengue.19
Selain ABJ dan HI, juga diperoleh nilai container index (HI) pada Kelurahan Gunung Sari
sebesar 32,4%. Hal ini menunjukkan bahwa Kelurahan Gunung Sari dengan CI ≤ 20% berada pada
DF skala 8 yang memiliki risiko transmisi DBD yang tinggi. Penelitian Wati menyatakan bahwa
CI menggambarkan informasi tentang banyaknya jumlah penampungan air yang positif
ditemukan larva. CI sebenarnya tidak begitu bermanfaat dilihat dari sudut pandang
epidemiologi, karena hanya mengungkapkan persentase TPA yang positif larva (perindukan
Aedes aegypti) namun dari hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa banyak terdapat
kontainer sebagai tempat perkembangbiakan larva Aedes aegypti sebagai vektor DBD yang
berakibat pada semakin berisiko tinggi terhadap kejadian dan penularan DBD.20
Tingkat kepadatan (densitas) larva pada penelitian ini tidak berkorelasi dengan
stratifikasi endemisitas DBD suatu wilayah dimana ditunjukkan pada Kelurahan Gunung Sari
yang terdapat kasus DBD tinggi dan tergolong daerah endemis dalam tiga tahun terakhir.Jika
pengetahuan tindakan tidak berkorelasi dengan stratifikasi endemisitas DBD suatu wilayah
maka ada faktor lain yang mempengerahui keberadaan larva Aedes aegypti yang menjadi
vektor penularan DBD yang masih ditemui di wilayah tersebut. Peneliti beramsusi bahwa
faktor tersebut bisa jadi karena lingkungan pemukiman yang padat. Menurut Kumayah, rumah
penduduk yang kecil dan rapat sehingga terkesan padat menyebabkan pencahayaan di dalam
rumah kurang sehingga udara di dalam rumah cenderung lembab dan gelap. Kondisi ini
6
mendukung nyamuk larva Aedes aegypti untuk hidup dan berkembang biak dengan baik.21
Memberdayakan jumantik merupakan salah satu cara menekan angka kejadian DBD.
Berdasarkan hasil wawancara dengan jumantik di Kelurahan Gunung Sari, kedua kader tersebut hanya
menjalankan PJB setiap tiga bulan seklai namun agendanya tidak rutin dan tanpa di damping pihak
dari Puskesmas.Hal ini berarti kedua kader jumantik tersebut belum melaksanakan pemeriksaan secara
maksimal dan partisipasi pihak puskesmas juga tidak maksimal. Banyak faktor yang mempengaruhi
kinerja jumantik di Kelurahan Gunung Sari yang didapatkan selama wawancara seperti faktor lama
kerja, kemampuan, motivasi, lingkungan kerja, dan kompensasi. Hasil pemeriksaan dan
pengumpulan lembar pemantauan jentik yang diperoleh dari Puskesmas di wilayah Kelurahan
Gunung Sari didapatkan pelaksanaan pemantauan jentik hanya dilakukan setahun sekali. Dari
hasil perhitungan lembar pemantauan jentik pada tahun 2017 yang dibandingkan dengan hasil
penelitian yang telah peneliti lakukan, terjadi selisih nilai ABJ, HI dan CI yang cukup
signifikan yang kemudian diduga terjadi bias.

KESIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini menyimpulkan bahwa tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di daerah
endemis Kecamatan Rappocini Kota Makassar mayoritas berada pada kategori baik sebesar % dan non
endemis DBD mayoritas berada pada kategori buruk sebesar 65,9%. Angka Bebas Jentik (ABJ) berada
pada kategori rendah di daerah endemis sebesar 37,3%. Nilai House Index (HI) berada pada kategori
tinggi sebesar 62,7% dan nilai Container Index (CI) berada kategori tinggi sebesar 32,4%. Peran serta
dari kader Jumantik dalam pengendalian penyakit DBD di daerah endemis Kelurahan Gunung Sari
Kecamatan Rappocini Kota Makassar belum terlaksana secara maksimal karena tidak menjalankan
secara rutin pemeriksaan jentik setiap tiga bulan sekalo. Adapun saran yang dapat diberikan kepada
Dinas Kesehatan Kota Makassar dan Puskesmas yaitu Gerakan 1 rumah 1 jumantik agar diterapkan di
Kota Makassar dalam menekan angka kesakitan dan kematian penyakit DBD, Koordinasi terhadap
kader jumantik, kelurahan, dan ketua RW lebih diintensifkan agar kader jumantik Lebih aktif dalam
melakukan pemantauan jentik berkala dan masyarakat dapat melakukan kegiatan kemasyarakatan
sebagai upaya pemberantasan sarang nyamuk.

7
DAFTAR PUSTAKA
1. Candra, A. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi , Patogenesis , dan Faktor Risiko
Penularan Dengue Hemorrhagic Fever : Epidemiology, Pathogenesis, and Its
Transmission Risk Factors. Aspirator. 2010; 2(2), 110–119.
2. WHO. Dengue anda Severe Dengue. [Online article]; 2016.
3. Widiyanto, Sentot. Mengenal 10 Penyakit Mematikan.Yogyakarta: PT Pustaka Insan
Madani; 2009
4. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun
2012. Makassar; 2013.
5. Kementerian Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue (DBD); 2017.
6. Ainul, A. 1.363 Orang di Sulsel terserang DBD sepanjang 2017; 2017
7. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2016; 2017
8. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Saku
Penngendalian Deman Berdarah Dengue untuk Pengelola Program DBD Puskesmas.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013; 1–20
9. Sukana, B. Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia. Media Litbangkes. 1993; III(1),
hal.9–16.
10. Dinata, A., & Dhewantara, P. W. Karakteristik lingkungan fisik , biologi , dan sosial di
daerah endemis DBD Kota Banjar tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2012; 11(4),
hal.315–326.
11. Kementerian Kesehatan RI. Situasi DBD di Indonesia. Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. 2016; hal.1–12.
12. Tanjung, M. O. Perilaku Kader Jumantik Dalam Melaksanakan Psn Dbd 3M Plus Di
Kelurahan Jomblang Kecamatan Candisari. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012; 1(1),
hal.1061–1067.
13. Pongsilurang, C. M., Sapulete, M. R., & Kaunang, W. P. J. Pemetaan kasus demam
berdarah dengue di Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan Tropik. 2015; III,
hal.66–72.
14. Rahadian DA. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Ibu dan Tindakan Pencegahan Demam
Berdarah Dengue di Wilayah Endemis dan Non Endemis [Skripsi]. Semarang:Universitas
Diponegoro; 2012.
15. Wisfer, Ibrahim E, Selomo M. Hubungan Jumlah Penghuni, Tempat Penampungan Air
Keluarga dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Wilayah Endemis DBD Kota
Makassar. Repository Unhas. 2014.
16. Lebang H. Pemetaan Distribusi Densitas Larva Aedes Aegypti pada Kasus dan Kontrol
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Tamalanrea Jaya Kota Makassar
[Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2012.
17. Nadifah F, Muhajir NF, Arisandi D, Lobo MDO. Identifikasi Larva Nyamuk pada
Tempat Penampungan Air di Padukuhan Dero Condong Catur Kabupaten Sleman. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Andalas. 2016;10(2):172-8.
18. Purnama, S.J. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Pemberantasan Sarang
Nyamuk Aedes aegypti pada Kepala Keluarga Desa Balesono kecamatan Ngunut
Kabupaten Tulungagung. [Skripsi]; Universitas Sebelas maret Surakarta; 2010.

8
19. Sunaryo, Pramestuti N. Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014;8(8): 423-429.
20. Wati, N. A. P. Survei Entomologi dan Penentuan Maya Index di Daerah Endemis DBD di
Dusun Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul,
DIY. Jurnal Medika Respati. 2015; 10.
21. Umayah U. Perbedaan Keberadaan larva Aedes aegypti di Container dalam Rumah di
Kelurahan Rawasari dan Cempaka Putih Barat Jakarta [Skripsi]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2014.

9
Lampiran
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) di Daerah Endemis DBD Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini
Kota Makassar
RW 05 RW 06 RW 08 Jumlah
Tindakan
n % n % n % N %
Baik 25 71,4 20 50 38 74,5 83 65,9
Cukup 10 28,6 20 50 13 25,5 43 34,1
Total 35 100,0 40 100,0 51 100,0 126 100,0
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 2. Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes aegypti di


Daerah Endemis DBD Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota
Makassar

Keberadaan RW 05 RW 06 RW 08 Jumlah
Jentik n % n % n % N %
Ada 21 60 23 57,5 35 68,6 79 62,7
Tidak 14 40 17 42,5 16 31,4 47 37,3
Total 35 100,0 40 100,0 51 100,0 126 100,0
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 3. Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Tindakan Pemberantasan Sarang


Nyamuk (PSN) di Daerah Endemis DBD Kelurahan Gunung Sari Kecamatan
Rappocini Kota Makassar

RW 05 RW 06 RW 08 Jumlah
Ranking
n % n % n % N %
1 10 28,6 8 20 14 27,5 32 25,4
2 4 11,4 9 22,5 2 3,9 15 11,9
3 15 42,9 12 30 24 47,1 51 40,5
4 6 17,1 11 27 11 21,6 28 22,2
Jumlah 35 100,0 40 100,0 51 100,0 126 100,0
Sumber : Data Primer, 2018.

Ranking 1 : Tidak ada larva, tindakan baik,

Ranking 2 : Tidak ada larva, tindakan cukup,

Ranking 3 : ada larva, tindakan baik,

Ranking 4 : Ada larva, tindakan cukup

10
Tabel 5. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) dan HI per RW di daerah endemis DBD
Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar
Jumlah Rumah ABJ Keterangan HI Keterangan
RW
Rumah Positif Negatif (%) ABJ (%) HI
05 35 21 14 40 Rendah 60 Tinggi
06 40 23 17 42,5 Rendah 57,5 Tinggi
08 51 35 16 31,4 Rendah 68,6 Tinggi
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 6. Distribusi Angka Bebas Jentik CI per RW di daerah endemis DBD Kelurahan
Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

Jumlah Kontainer
CI Keterangan
RW Kontainer dengan
(%) CI
yang Diperiksa Jentik
05 178 57 32,02 Tinggi
06 222 72 32,4 Tinggi
08 260 85 32,7 Tinggi
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 7. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) dan HI per RT di daerah endemis DBD
Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar
RT Jumlah Rumah ABJ Keterangan HI Keterangan
RW
Rumah Positif Negatif (%) ABJ (%) HI
05 02 8 6 2 25 Rendah 75 Tinggi
03 11 6 5 45,45 Rendah 54,55 Tinggi
04 16 9 7 43,75 Rendah 56,25 Tinggi
06 01 22 12 10 45,45 Rendah 54,54 Tinggi
02 9 2 7 77,8 Rendah 22,2 Rendah
03 9 9 0 0 Rendah 100 Tinggi
08 01 13 9 4 30,8 Rendah 69,2 Tinggi
02 16 13 3 18,75 Rendah 81,25 Tinggi
03 22 13 9 40,9 Rendah 59,1 Tinggi
Sumber : Data Primer, 2018.

11
Tabel 8. Distribusi Angka Bebas Jentik CI per RT di daerah endemis DBD Kelurahan
Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

RT Jumlah Kontainer Kontainer CI


RW Keterangan CI
yang Diperiksa dengan Jentik (%)
05 02 44 21 47,7 Tinggi
03 52 12 23,1 Tinggi
04 82 24 29,3 Tinggi
06 01 121 44 36,4 Tinggi
02 48 5 10,4 Rendah
03 53 23 43,4 Tinggi
08 01 89 32 35,9 Tinggi
02 85 44 51,8 Tinggi
03 86 9 10,5 Rendah
Sumber : Data Primer, 2018.

12
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kontainer di Daerah Endemis DBD Kecamatan Rappocini
Kota Makassar

RW 05 RW 06 RW 08 Jumlah
Jenis Kontainer
+ - n % + - n % + - n % + - n %
TPA
Bak Mandi 15 25 40 22,5 13 20 33 14,9 22 20 42 16,2 50 65 115 17.4
Drum 6 11 17 9,5 7 13 20 9 13 18 31 11,9 26 42 68 10.3
Tempayan 2 1 3 1,7 1 0 1 0,5 2 5 7 2,7 5 6 11 1.7
Ember 23 22 45 25,3 19 33 52 23,4 31 32 63 24,2 73 87 160 24.2
Galon 6 28 34 19,1 9 13 22 9,9 6 22 28 10,8 21 63 84 12.7
Non TPA
Pot/Vas Bunga 2 26 28 15,7 10 65 75 33,8 7 39 46 17,7 19 130 149 22.6
Tempat 0 2 2 1,1 0 0 0 0 2 4 6 2,3
Makan/minum hewan 2 6 8 1.2
Tempat penampungan 1 2 3 1,7 4 2 6 2,7 8 5 13 5
air hujan 13 9 22 3.3
TPA Alami
Kubangan air 1 1 2 1,1 3 3 6 2,7 8 3 11 4,2 12 7 19 2.9
Lubang pohon 0 1 1 0,6 2 0 2 0,9 1 3 4 1,5 3 4 7 1.1
Lainnya 1 2 3 1,7 4 1 5 2,3 7 2 9 3,5 12 5 17 2.6
Total 57 121 178 100 72 150 222 100 85 175 260 100 236 424 660 100
Keterangan : (+) = ada/positif larva Aedes aegypti,
(-) = tidak ada/negatif larva aedes aegypti

13
Gambar 1.
Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan
Tindakan PSN di RW 05 dan RW 06 Kelurahan Gunung Sari
Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2018

Gambar 2.
Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan
Tindakan PSN di RW 08 Kelurahan Gunung Sari
Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2018

14
Gambar 3.
Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Tindakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) di RT 05 dan RT 06 Kelurahan Gunung Sari
Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2018

Gambar 4.
Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Tindakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) di RT 08 Kelurahan Gunung Sari
Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2018

15

Anda mungkin juga menyukai