Anda di halaman 1dari 12

WHAT’S NEW IN THEORY OF

PATHOGENESIS OF HIDRADENITIS SUPPURATIVA

Abstrak
Hidradenitis supuratifa (HS) / akne inversa adalah penyakit kronis inflamasi pada folikel rambut didaerah
intertrigo dan anogenital dengan patogenesis multifaktorial yang belum sepenuhnya diketahui.
Berdasarkan beberapa penelitian mengenaipengamatan klinis, epidemiologi, histopatologi dan
imunohistokimia, HS diklasifikasikan sebagai penyakit yang diperantarai proses imunologi
dibandingkan dengan penyakit infeksi primer. Pada tahap awal tampak abnormalitas pada unit
pilosebaseus-apokrin yang menyebabkan oklusi folikuler, perifollicular cyst development, peningkatan
mikroba komensal dan ruptur ke dermis yang kemudian menjaditrigger respon imun. Pada inflamasi
kronis muncul nodul, sinus dan jaringan parut. Fase ini sangat sulit untuk “turn off” sehingga
menimbulkan “suppurative inflammation” pada regio tersebut. Faktor kelainan genetik, hormonal,
obesitas, merokok dan stress merupakantrigger terjadinya HS. Pemahaman mengenai patogenesis HS
masih perlu diteliti lebih lanjut.

1
WHAT’S NEW IN THEORY OF
PATHOGENESIS OF HIDRADENITIS SUPPURATIVA

Hidradenitis supuratifa (HS), atau dikenal sebagai akne inversa, adalah


gangguan inflamasi kronis dan multifaktorial dari folikel rambut di daerah
intertriginosa dan anogenital tubuh. Hidradenitis supurativa ditandai oleh nodul
subkutan, saluran sinus, dan jaringan parut hipertrofi yang berulang dan nyeri. Tingkat
keparahan penyakit dapat diklasifikasikan menurut Hurley staging system. Prevalensi
1% diantara 10.000 populasi dengan perbandingan wanita dan pria 2:1 – 5:1 dengan
onset pada usia 23 tahun. Pada wanita lesi lebih sering ditemukan di aksila dan
genitofemoral, sedangkan pada pria di perineal dan perianal. Sekuele jangka panjang,
termasuk nyeri kronis, kontraktur kulit dan cacat dapat berdampak buruk pada aktivitas
hidup sehari-hari, fungsi sosial dan kesejahteraan psikososial.1-3

Karakteristik Lesi HS
Pemeriksaan histopatologi awal menunjukkan adanya hiperkeratosis folikular
dan hiperplasia infundibulum, oklusi folikular dan perifolikulitis limfositik. Tidak
ditemukan inflamasi disekitar kelenjar apokrin sehingga apokrinitis diduga sebagai
suatu kejadian patologis sekunder. Variasi pada karakteristik kelenjar apokrin seperti
embriologi, sensitifitas reseptor, sekresi mungkin berkontribusi pada patogenesis
penyakit. Kelenjar sebaseus ditemukan lebih kecil dan sedikit pada perilesi HS
dibandingkan dengan kontrol. Sinus pada dermal merupakan gambaran khas pada HS
dan diduga berasal dari epidermis. Epitel skuamosa berlapis yang patologis ditemukan
pada sinus - sinus HS. Epitelisasi pada sinus dapat menjelaskan persistensi struktur ini
dan sulitnya terapi pada HS.3,4

Patogenesis
Penyebab pasti HS masih belum diketahui. Dalam beberapa tahun terakhir,
banyak penelitian berhipotesis bahwa penyakit ini dipicu oleh faktor genetik dan
lingkungan (Gambar 1).

2
Gambar 1. Faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam pembentukan HS2

Merokok, obesitas, oklusi folikel merupakan faktor risiko/pemicu lingkungan


yang penting dalam perkembangan HS. Penelitian mengenai faktor genetik
menunjukkan bahwa 30% - 40% pasien HS melaporkan riwayat keluarga dengan HS.
Kelainan utama dalam patofisiologi HS ialah oklusi dan inflamasi pada folikel rambut.
Kondisi tersebut bersama dengan disregulasi imun bawaan dan adaptif, diperlukan
untuk memulai terjadinya HS.2
Infeksi dan kolonisasi bakteri dianggap sebagai faktor patogen sekunder yang
dapat memperburuk HS. Terjadinya oklusi folikular menyebabkan dilatasi diikuti oleh
ruptur, menghasilkan sumbatan folikel, termasuk keratin dan bakteri, meluas ke dalam
dermis sekitarnya dan menginduksi respon kemotatik, neutrofil dan limfosit. Infiltrat
seluler inflamasi menyebabkan pembentukan abses, akibatnya unit pilosebaseus dan
struktur adneksa lain yang berdekatan hancur. Faktor-faktor lain yang mungkin
berkontribusi terhadap HS termasuk perubahan ekspresi sekresi abnormal antimikroba
peptida dari kelenjar apokrin , invasi abnormal epidermis yang menyebabkan
pembentukan saluran sinus, dan berkurangnya jumlah kelenjar sebaseus.2

Genetik

3
Hidradenitis supuratifa dapat timbul spontan atau karena faktor keturunan.
Riwayat keluarga positif HS didapatkan pada sekitar satu dari tiga pasien
sehinggadiduga terjadi pola pewarisan autosom dominan. Hidradenitis supuratifa
merupakan polygenic disease dengan defek pada sejumlah critical genes terutama pada
regio 76Mb kromosom 1p.21.1-1q25.3. Pewarisan secara autosomal dominan dengan
highly penetrant single gene mutation. Kasus -kasus yang muncul secara spontan terjadi
defek pada beberapa gen. Pada kasus HS tampak hilangnya gen encoding sub unit
proteksi  secretase emplex-presenilin (PSEN1/PSEN2), presenilin enhancer-2
(PSENEN), nicastrin (NCSTN) yang menyebabkan atropi glandula sebasea dan
membentuk formasi kista epidermal.5 Defek gama secretase berdampak pada ‘notch
signaling pathway” yang fungsinya untuk memperantarai terbentuknya folikel rambut,
aktivasi anti inflammatory regulatory, T-cell, supresi toll-like-receptor dan
menginduksi aktivasi pro inflamasi.1,6
Penelitian lainnya membuktikan hilangnya fungsi pada tiga dari empat subunit
gamma sekretase yang dijumpai pada kromosom 19p13. Protein target potensial adalah
protein membran integral tipe I, seperti Notch, E-cadherin, atau CD44. Pensinyalan
Notch terkait dengan pembentukan kista epidermis yang banyak mengandung keratin
dan sel T yang rusak sebagai respons imun khusus. Hal tersebut merupakan
penghambat umpan balik dari imunitas bawaan. Singkatnya, perubahan Notch yang
diwariskan atau didapat dapat dianggap sebagai faktor utama yang berkontribusi
terjadinya HS.6-8

Oklusi Folikular
Terdapat dua jenis utama kelenjar keringat di kulit manusia. Kelenjar ekrin yang
lebih banyak menghasilkan keringat encer yang mengandung elektrolit untuk
pengendalian suhu. Saluran ekrin melalui epidermis interfollikular akan melalui
struktur melingkar khusus yang disebut akrosiringium. Sebagai perbandingan, kelenjar
apokrin merupakanbagian dari unit pilosebaseus. Kelenjar apokrin terutama ditemukan
di kulit terminal rambut di aksila dan inguinal. Unit apokrin juga dapat ditemukan di
daerah periumbilikal, perineum, dan perianal, preputium, skrotum, mons pubis, labia
minora, areola, kanal auditorius eksternal dan pada kelopak mata. Ukuran kelenjar
apokrin lebih besar dan terletak lebih dalam di dermis. Sekresi kelenjar apokrin

4
mengalir melalui saluran lurus yang melewati infundibulum folikel rambut oleh
akrosiringium melingkar tepat di atas kelenjar sebaseus (gambar 2).3

Gambar 2. Unit pilosebaseous apokrin. Perkembangan oklusi folikuler pada lesi HS 3

Keterlibatan kelenjar apokrin merupakan suatu proses sekunder. Hal yang


pertama terjadi adalah atropi kelenjar sebaseus, inflamasi folikular limfositik dan
hiperkeratosis infundibulum. Namun apakah atropi glandula sebasea merupakan suatu
“primary event” atau merupakan suatu refleksi dari peningkatan proses HS masih
belum diketahui dengan pasti.3
Oklusi keratin pada folikel rambut terminal merupakan temuan histologis yang
selalu tampak dari lesi dini HS dan dianggap sebagai peristiwa patofisiologis yang
utama. Disamping itu respons imun yang menyimpang terhadap flora komensal
dan/atau trauma mekanikpada bagian dalam folikel rambut dalam kulit intertriginosa
diyakini berkontribusi terhadap perifollikulitis limfositik, hiperkeratosis, dan
hiperplasia epitel infundibular.Akumulasi debris keratin ini menyebabkan
penyumbatan dan melebarnya folikel rambut. Setelah pecah, folikel akan mengeluarkan
isinya (keratin, rambut, sebum, bakteri) ke jaringan dermis sekitarnya yang akan
memicu respons inflamasi yang mengenai unit pilosebaseus dan struktur adneksa,
sehingga memunculkan temuan klinis.1
Dasar untuk oklusi folikel pada HS belum sepenuhnya diketahui. Melnik dan
Plewig baru-baru ini mengusulkan konsep HS sebagai penyakit autoinflamasi yang

5
ditandai oleh disregulasi jalur gamma-sekretase/Notch. Ekspresi sinyal Notch yang
tepat sangat penting untuk mempertahankan selubung akar dalam dan luar dari folikel
rambut dan pelengkap kulit. Menurunnya jalur pensinyalan Notch menyebabkan
perubahan folikel rambut menjadi kista epidermis yang mengandung banyak keratin,
homoeostasis kelenjar apokrin, dan menyebabkan stimulasi reseptor seperti TLR yang
akan memediasi imunitas bawaan, mendukung dan mempertahankan peradangan
kronis. Untuk mendukung hipotesis ini, peningkatan kadar beberapa sitokin
proinflamasi, terutama tumor necrosis factor (TNF) -α, interleukin (IL) -1β, dan IL-17.
Perubahan sinyal TLR pada makrofag dan sel dendritik (DC), sel yang paling banyak
dalam lesi HS, menyebabkan peningkatan jumlah sitokin yang mengarah pada aktivasi
DC, yang mensekresi IL-23 yang mempromosikan polarisasi sel Th17 (sel pembantu T
yang memproduksi IL-17) dan sel tersebut akan infiltrasi ke dermis pada lesi yang
kronis. Secara khusus, salah satu peran utama dalam patogenesis HS adalah TNF-α.
Ekspresi TNF-α yang berlebih telah diamati pada lesi dan perilesi HS, sesuai dengan
korelasi positif dengan beratnya penyakit. Sehingga jelas bahwa HS adalah penyakit
folikel yang menunjukkan kegagalan pada keratin clearence dan oklusi, dimana
defectimunitas seluler bawaan berperan penting.2

Merokok
Di antara faktor-faktor yang berpengaruh lainnya, asap tembakau tampaknya
memainkan peran penting (hampir 90% pasien merokok) dalam pengembangan HS.
Asap tembakau terdiri dari ribuan bahan kimia, di antaranya nikotin, hidrokarbon
poliaromatik dan senyawa seperti dioksin. Komponen ini akan mengaktifkan
keratinosit, fibroblas, dan imunosit melalui setidaknya 2 jenis reseptor: nikotinat
asetilkolin reseptor dan reseptor aril hidrokarbon. Pada keratinosit reseptor tersebut
menyebabkan akantosis, hiperplasia epitel infundibular dan kornifikasi berlebihan.
Asap tembakau juga menginduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1a, -1b, dan
-8, yang menyebabkan kemotaksis neutrofil dan induksi sel Th17.Nikotin juga
meningkatkan produksi sitokin (TNF) oleh keratinosit, stimulasi S.aureus, induksi
hiperplasia epidermis dan down regulation AMP seperti beta-defensin. Nikotin
meningkatkan virulensi Staphylococcus aureus dengan meningkatkan adhesi seluler
dan menginduksi pembentukan biofilm yang merupakan salah satu penyebab kegagalan
turn off pada HS. Pada saat bersamaan akan menghambat sintesis peptida antimikroba,

6
seperti human-beta-defensin-2 (hbD-2) dan membuat folikel lebih rentan terhadap
invasi bakteri.3,7,9
Dalam studi kasus-kontrol di Jerman, kemungkinan memiliki HS adalah 9,4 kali
lebih besar pada perokok saat ini (89%) dibandingkan pada non-perokok atau mantan
perokok (11%). Studi lain menemukan merokok dikaitkan dengan peningkatan
keparahan HS; non-perokok memiliki skor keparahan median yang secara signifikan
lebih rendah daripada perokok, dan mantan perokok memiliki skor sedang. Tidak
diketahui apakah penghentian merokok mempengaruhi perjalanan penyakit HS.6

Hormon Androgen
HS muncul setelah pubertas. Hal tersebut menunjukkan bahwa androgen
merupakan dasar penyakit ini. Pada terapi dengan androgen didapatkan hasil yang
hampir sama dengan terapi antibotik. Hormon dapat menginduksi oklusi folikuler
melalui peningkatan proliferasi keratinosit folikuler, yang menyebabkanakantosis
intrafolikular, keratosis dan oklusi folikel.7,9
Umumnya HS terjadi pada usia menarche, post partum dan pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral. Beberapa pasien wanita melaporkan adanya flare
selama periode menstruasi sehingga hal ini menimbulkan dugaan bahwa hormon
androgen berperan penting pada patogenesis HS. Namun banyak penelitian yang tidak
menemukan kesesuaian pada kadar hormon yang bersirkulasi. Oleh karena itu diduga
efek tersebut terjadi karena adanya peningkatan sensitifitas hormonal pada kelenjar
apokrin.3

Berat badan dan Faktor Mekanik


Body mass index (BMI) dikaitkan dengan prevalensi dan keparahan HS..
Canoui-Poitrine dkk menemukan hubungan yang kuat antara BMI dan tingkat
keparahan HS; untuk setiap kenaikan unit dalam BMI, skor HS meningkat sebesar 0,84
unit. Ketika dibandingkan ke dalam kategori BMI, pasien obesitas memiliki HS lebih
berat daripada pasien overweight, dan pasien overweight memiliki HS lebih berat
daripada pasien dengan berat badan normal. Penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengansindrom metabolik memiliki prevalensi HS yang lebih tinggi, sehingga
menunjukkan bahwa kelainan metabolik dapat menjadi faktor yang berkontribusi
dalam perkembangan HS, terutama pada pasien yang lebih muda.6

7
Obesitas dapat memperburuk HS dengan meningkatan friksi mekanik kulit.
Tekanan mekanis akan meningkatkan oklusi folikel dan pecahnya folikel. Kompresi
mekanis, gesekan, atau gaya geser dirasakan oleh beberapa mekanik transduser pada
kulit manusia. Sinyal-sinyal ini secara keseluruhan menghasilkan aktivasi faktor
transkripsi yang mentranslokasi ke nukleus dan mengaktifkan gen responsor mekanik.
Aktivasi gen-gen tersebut dapat menyebabkan iritasi kulit lokal, retensi keringat,
akantosis intrafolikular dan keratinisasi. Selain itu, keadaan proinflamasidapat
bersinergi dengan sitokin proinflamasi yang ditemukan pada kulit HS lesional,
berkontribusi terhadap peradangan secara keseluruhan. Adiposit melepaskan siton pro-
inflamasi termasuk TNF dan IL-6 yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik pada
HS. 3,9
Pada faktor mekanik, kehilangan E-cadherin atau ekspresi p120ctn menginisiasi
HS atau hal tersebut merupakan hasil dari proses penyakit itu sendiri. Kehilangan
protein adherens junctions(AJ) dan ukuran desmosom yang berkurang pada kulit HS
kemungkinan berkontribusi pada ketidakmampuan kulit untuk menahan tekanan
mekanik yang memperparah penyakit. Kehilangan protein AJ atau protein AJ yang
tidak teregulasi dalam folikel rambut mencit berdampak pada pertumbuhan folikel
rambut, stabilitas folikel rambut, dan pemeliharaan folikel rambut dan situasi serupa
juga dapat terjadi pada HS yaitu ketidakstabilan folikel rambut yang ditemukanpada
lesi HS. Kehilangan AJ atau desmosom juga dapat mengganggu fungsi sawar kulit yang
menyebabkan disbiosis dalam mikrobiota kulit HS. Selain memberikan integritas
struktural pada kulit, protein cadherin dan catenin bertindak sebagai sensor molekuler
yang mengoordinasikan respons jaringan secara keseluruhan melalui regulasi berbagai
jalur pensinyalan intraseluler, termasuk inflamasi.10

Bakteri dan Antimikroba Peptida (AMP)


Peran bakteri sangat penting dalam patofisiologi HS. Hiperkeratinisasi dan
oklusi folikel mengakibatkan pecahnya unit pilosebaseus, melepaskan bakteri di dalam
dermis dan memicu respons inflamasi lokal dan menyebabkan inflamasi kronis. Selain
itu, koloni bakteri khusus yang sulit untuk diterapi membentuk biofilm bakteri yang
terikat secara ireversibel ke epitel saluran sinus dan folikel rambut dan menyebabkan
inflamasi kronis.11,12
Sebuah studi mikrobiologi terhadap 102 lesi HS dari 82 pasien menunjukkan
Staphylococcus lugdunensis merupakan spesies yang paling sering ditemukan sebagai

8
isolat yang unik atau dominan pada 58% nodul dan abses HS. Spesies lainnya yang
mendominasi termasuk mikroflora anaerob polimikroba yang terdiri dari anaerob,
spesies streptokokus kelompok milleri, spesies Corynobacterium dan Actinomycetes
(ditemukan pada 24% dari abses/nodul dan pada 87% lesi bernanah kronis).2,3 Kultur
bakteri, dan analisis metagenomik baru-baru ini, telah mengidentifikasi bahwa sebagian
besar bakteri yang ada di HS adalah mikrobiota komensal normal. Porphyromonas dan
Prevotella taxa, batang anaerob gram negatif banyak ditemukanpada lesi HS. Dominasi
Porphyromonas gingivalis mengarah pada pengurangan bakteri komensal lain atau
disbiosis.10 Antibiotik umumnya diberikan sebagai terapi untuk menurunkan bacterial
load dan sebagai agen anti inflamasi dibandingkan untuk mekanisme kerjanya sebagi
antibakteri.3

Respon Imunologi
Terjadi gangguan imunitas pada kulit dan sistem imun pada pasien HS namun
kontribusi relatif dari sistim imun alamiah dan didapat ini belum jelas sepenuhnya.
Beberapa penelitian mempelajari ekspresi sitokin inflamasi pada lesi HS dan
dibandingkan dengan kulit sehat. Sitokin – sitokin yang secara konsisten ditemukan
meningkat adalah TNF, IL-1b, IL-8, IL-10, IL-17, IL-20, IL-22 dan IL-23. Selain itu
juga ditemukan tiimbunan netrofil, monosit dan sel mast.3,13,14
Pada lesi HS ditemukan banyak gen imunoglobulin, AMP dan sel plasma. Pada
pasien HS sedang hingga berat, jalur komplemen dideregulasi baik pada kulit maupun
darah. Dalam darah, ditemukan peningkatan C5a, dengan pengurangan komponen di
bagian proksimal dari jalur komplemen (C3, C4, dan iC3b).Sementara banyak jenis sel
inflamasi telah diidentifikasi dalam lesi HS, yang paling banyak ditemukan adalah
neutrofil, agregat sel CD20 + B, dan sel plasma CD138 +. Jumlah sel plasma dan kadar
gen imunoglobulin yang sangat banyakpada HS, mungkin berperan untuk pertumbuhan
bakteri. Baru-baru ini, komplemen serum juga terbukti meningkat pada HS dan dapat
dijadikan sebagai target terapi baru.12,15

Stress

9
Stress merupakan faktor yang dikatakan dapat mengeksaserbasi HS namun
faktor ini sulit untuk dinilai. Kuesioner dermatology life quality index (DLQI)
merupakan alat yang umumnya digunakan untuk menilai dampak psikologis HS.
Beberapa penelitian menunjukkan angka DLQI yang tinggi pada penderita HS, seusai
dengan kelainan kulit kronis lainnya. Sekresi apokrin terkadang dinamakan keringat
stress atau emosional. Inervasi syaraf atau reseptor kolinergik tidak ditemukan pada
atau di sekitar kelenjar apokrin, kemungkinan dikarenakan kelenjar apokrin yang
bereaksi terhadap mediator adrenergik.3

Secara singkat Patogenesis HS dapat dipertimbangkan terjadi dalam dua fase, yaitu fase
inisiasi dan progresi. Pada fase inisiasi obstruksi folikuler dan flora normal kulit
berperan dalam pembentukan abses dan rupture yang akan menyebabkan terjadinya
fase progresi. Pada fase progresi keterlibatan mikrobiota khas HS, respon inflamasi
akan berperan dalam pembentukan fistel dan fibrosis lebih lanjut. (gambar 3).

Gambar 3. Tahapan patogenesis HS12

Simpulan

10
HS adalah penyakit kulit radang kronis yang sangat mengganggu kehidupan
sosial pasien, kegiatan kerja, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Penyakit ini
bersifat multifaktorial, dengan interaksi antara berbagai faktor genetik, imunologis,
perilaku dan endokrin yang memainkan peran kunci dalam perkembangannya. HS
dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan aktivitas sosial dan kerja karena
penyakit yang sering kambuh dengan lesi yang menyakitkan dan berbau busuk. Karena
itu, pemahaman mengenai pathogenesis HS harus menyeluruh agar dapat dilakukan
penganganan yang tepat dan cepat.

Daftar Pustaka

1. Okoye GA. Hidradenitis suppurativa. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk
AH, Margolis D, McMichael AJ, eds. Fitzpatrick’s dermatology. Edisi ke-9. Volume
1. New York:2019;1480-91
2. Napolitano M, Megna M, Timoshchuk EA, Patruno C, Balato N, Fabbrocini G, et al.
Hidradenitis suppurativa: from pathogenesis to diagnosis and treatment. Clin Cosmet
and Invest Dermatoi. 2017:10;105–15
3. Hoffman LK, Ghias MH, Lowes MA. Pathophysiology of hidradenitis suppurativa.
Semin Cutan Med Surg. 2017:36;47-54
4. Micheletti RG. Natural history, presentation, and diagnosis of hidradenitis supurativa.
Semin Cutan Med Surg. 2014; 33:3S.
5. Odom RB, James WD, Berger TG. Hidradenitis suppurativa. Dalam: Andrew’s
Diseases of The Skin. 10th ed. New York : W.B Saunders, 2012:236-8
6. Dufour DN, Emtestam L, Jemec GB. Hidradenitis suppurativa: a common and
burdensome, yet under-recognised, inflammatory skin disease. Postgrad Med J
2014;90:216–221
7. Jayarajan R, Bulinska A. Hidradenitis Suppurativa (Acne Inversa):
A Review Of Aetiopathogenesis And Management. EMJ Dermatol. 2017;5[1]:66-73.
8. Frew JW. Commentary: Hidradenitis suppurativa: a siystemic review integrating
inflammatory pathways into a cohesive pathogenic model. Front. Immunol.
2019;10:302.
9. Prens E, Deckers I. Pathophysiology of hidradenitis suppurativa: An update. J Am
Acad Dermatol. 2015:73(5);8-11
10. Nelson A, Cong Z, Getttle SL, Longenecker AL, Kidacki M, Kirby JS, et al. E-cadherin
and p120ctn protein expression are lost in hidradenitis suppurativa lesions. Exp
Dermatol. 2019; May 20.
11. Jayarajan R, Bulinska A. Hidradenitis suppurativa (acne inversa): a review of
aetiopathogenesis and management. EMJ Dermatol. 2017;5[1]:66-73
12. Hoffman LK, Tomalin LE, Schultz G, Howell MD, Anandasabapathy N, Alavi A, et
al. Integrating the skin and blood transcriptomes and serum proteome in hidradenitis
suppurativa reveals complement dysregulation and a plasma cell signature. Plos
one.2018:1-16
13. Saunte DM, Jemec GB. Hidradenitis suppurativa, advances in diagnosis and treatment.
JAMA. 2017;318(20):2019-32
14. Frew JW, Hawkes JE, Krueger JG. A systematic review and critical evaluation of
inflammatory cytokine associations in hidradenitis suppurativa. 2018; 7:1930
15. Desai N, Zee HH, Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Rook A, Ebling FJG,
Wilkinson DS, Champion RH, Burton JL, eds. Textbook of dermatolohy 9th ed. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd. 2016;92.1-10

11
12

Anda mungkin juga menyukai