NAMA MAHASISWA : RIA CHANIA DEWI NIM : AK816064 SEMESTER :4 KELAS : 4A MATA KULIAH : BAKTERIOLOGI III PROGRAM STUDI : DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK DOSEN : PUTRI KARTIKA SARI, M.Si 1. Pendahuluan S pyogenes digambarkan pertama sekali oleh Billroth tahun 1874 pada penderita luka infeksi. Tahun 1883 Fehleisen mengisolasi organisme berbentuk rantai pada kultur murni dari lesi perierysipleas. Rosebach menamakan organisme ini S pyogenes di tahun 1884. Penelitian dari Schottmueller tahun 1903 dan J.H Brown menggiring kepada pengetahuan tentang perbedaan pola hemolysis yang dijelaskan sebagai alpha, beta dan hemolysis gamma.1 Perkembangan lebih lanjut adalah klasifikasi Lancefield dari streptokokus hemolisis beta dengan serotyping berbasis reaksi presipitasi M-protein. Lancefield membangun aturan penting dari M- Protein sebagai penyebab penyakit. 2 Di tahun 1900an, Dochez, George and Dick mengidentifikasi bahwa demam scarlet (scarlet fever) disebabkan oleh infeksi streptokokus hemolitikus. Studi epidemiologi di pertengahan tahun 1900-an menolong pengembangan hubungan antara infeksi Kelompok A Streptokokus (Group A streptococci (GAS)) dengan demam rematik akut (Acute Rheumatic Fever (ARF)) dan Glomerulonephritis Akut. 1 Streptokokus adalah kelompok besar dan beraneka ragam dari kokus gram positif yang tumbuh secara berpasangan atau berantai. Sebagian merupakan flora normal, sebagian lain berkaitan dengan infeksi penting pada manusia2. Streptococcus pyogenes (streptokokus group A) adalah organisme yang diketahui dapat menimbulkan beraneka ragam penyakit pada manusia. Berdasarkan surveilans bakteri pada infeksi yang muncul, data epidemiologik menyatakan bahwa infeksi akibat S. Pneumoniae, S. pyogenes (grup A), dan S. agalactiae (grup B) terjadi pada 17-30 juta orang di USA pada tahun 2003.3 S. pyogenes tersebar secara luas pada manusia; sebagian menjadi asymptomatic carrier.4 S.pyogenes berkolonisasi di tenggorokan dan kulit manusia dan membentuk mekanisme virulensi yang kompleks untuk melawan sistem pertahanan tubuh. S.pyogenes dapat menyebabkan infeksi superfisial atau sistemik berdasarkan toksin dan respon imun yang memerantarai mekanisme timbulnya penyakit. Penyakit yang umum disebabkan oleh bakteri ini adalah faringitis bakterial dan impetigo. Selain itu S. pyogenes juga berkaitan dengan infeksi sistemik dan invasif khususnya bakterimia, sepsis, infeksi jaringan lunak dalam seperti erisipelas, selulitis, dan necrotizing fasciitis. Manifestasi yang lebih jarang yaitu miositis, osteomielitis, septic arthritis, pneumonia, meningitis, endokarditis, perikarditis, dan infeksi neonatal berat akibat transmisi intrapartum. Komplikasi nonsupuratif dapat terjadi poststreptococcal glomerulonephritis dan acute rheumatic fever, yang terjadi setelah infeksi faringitis dan infeksi kulit (hanya glomerulonefritis) akibat S.pyogenes.3 Komplikasi dari infeksi tonsilopharingitis yang bernanah karena infeksi GAS adalah: selulitis atau abses tonsilofaringeal, otitis media, sinusitis, necrotizing fasciitis, Streptococcal bacteremia, meningitis atau abses otak (komplikasi yang jarang). 1 2. Sifat Pertumbuhan Streptococcus pyogenes Umumnya streptokokus bersifat anaerob fakultatif, hanya beberapa jenis yang bersifat anaerob obligat. Pada umumnya tekanan O2 harus dikurangi, kecuali untuk enterokokus. Pada perbenihan biasa, pertumbuhannya kurang subur jika ke dalamnya tidak ditambahkan darah atau serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4 - 7,6 dan suhu optimum untuk pertumbuhan 37oC tetapi pertumbuhannya cepat berkurang pada 40Oc. Streptococcus hemolyticus meragi glukosa dengan membentuk asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhannya. Tumbuhnya akan subur bila diberi glukosa berlebih dan diberikan bahan yang dapat menetralkan asam laktat yang terbentuk. Streptococcus pyogenes mudah tumbuh dalam semua enriched media. Untuk isolasi primer harus dipakai media yang mengandung darah lengkap, serum atau transudat misalnya cairan asites atau pleura. Penambahan glukosa dalam konsentrasi 0,5% meningkatkan pertumbuhannya tetapi menyebabkan penurunan daya lisisnya terhadap sel darah merah. Dalam lempeng agar darah yang dieram pada 370C setelah 18-24 jam akan membentuk koloni kecil ke abu-abuan dan agak opalesen, bentuknya bulat,pinggir rata, pada permukaan media, koloni tampak sebagai setitik cairan. Streptokokus membentuk 2 macam koloni, mucoid dan glossy. Yang dahulu disebut matt, sebenarnya bentuk mucoid yang telah mengalami dehidrasi. Koloni berbentuk mucoid dibentuk oleh kuman yang berselubung asam hialuronat. Tes katalasa negatif untuk streptokokus, ini dapat membedakan dengan stafilokokus di mana tes katalase positif. Juga streptococcus hemolyticus grup A sensitif pada cakram basitrasin 0,2 μg, sifat ini digunakan untuk membedakan dengan grup lainnya yang resisten terhadap basitrasin. Hanya jenis dari lancefield grup B dan D yang koloninya membentuk pigmen berwarna merah bata atau kuning. Berdasarkan sifat hemolitiknya pada lempeng agar darah, kuman ini dibagi dalam :
A. Hemolisis tipe alfa
Membentuk warna kehijau-hijauan dan hemolisis sebagian disekeliling koloninya, bila disimpan dalam peti es zona yang paling luar akan berubah menjadi tidak berwarna
B. Hemolisis tipe beta
Membentuk zona bening di sekeliling koloninya, tak ada sel darah merah yang masih utuh dan zona tidak bertambah lebar setelah disimpan dalam peti es.
C. Hemolisis tipe gamma, tidak menyebabkan hemolisis.
Untuk membedakan hemolisis yang jelas sehingga mudah dibeda-bedakan maka dipergunakan darah kuda atau kelinci dan media tidak boleh mengandung glukosa. Streptokokus yang memberikan hemolisis tipe alfa juga disebut streptoccocus viridans. Yang memberikan hemolisis tipe beta disebut streptococcus hemolyticus dan tipe gamma sering disebut sebagai streptoccocus anhemolyticus. 3. Gambaran Klinis 3.1 Suppurative Streptococcal Disease Faringitis Streptokokus grup A sering berkolonisasi di tenggorokan orang yang sehat. Frekuensi pembawa diantara anak usia sekolah bervariasi berdasarkan letak geografis dan pengaruh musim. Pada beberapa studi, frekuensi pembawa berkisar 15-20%.6 Faringitis biasanya terjadi 2 sampai 4 hari setelah terpapar patogen, ditandai dengan munculnya sakit di tenggorokan secara mendadak, demam, malaise, dan sakit kepala. 5,6 Faring posterior terlihat merah dengan adanya eksudat disertai limfadenopathy kelenjar leher yang mencolok. Dari gejala ini, sulit membedakan faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus dengan yang disebabkan oleh virus. Diagnosis yang spesifik hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan bakteriologik atau serologi. 5 Selama fase akut dari infeksi tonsilofaringeal, streptokokus grup A tipe M umumnya dijumpai dalam jumlah besar pada hidung dan tenggorokan. Pada kakus yang tidak diobati, organisme menetap selama beberapa minggu, meskipun gejala penyakit mereda dalam beberapa hari. Pada masa konvalesen, jumlah mikroorganisme berkurang disertai penurunan kadar protein M. 6 Temuan laboratorium menunjukkan adanya kultur usap tenggorokan yang positif terhadap streptokokus hemolisis β, jumlah lekosit yang meningkat mencapai 12.000/mm3 dengan peningkatan jenis lekosit polimorfonuklear. Uji C-reactive protein biasanya positif.6 Scarlet fever merupakan komplikasi dari faringitis streptokokus yang terjadi saat strain bakteri yang menginfeksi dilisogeni oleh bakteriofaga yang menstimulasi produksi dari eksotoksin yang pirogen. Dalam 1 sampai 2 hari setelah simptom klinik awal, muncul ruam eritematus yang difus di bagian dada dan menyebar ke ekstremitas, kecuali area sekitar mulut yang terlihat sebagai circumoral pallor, demikian juga pada telapak tangan dan kaki. Pada lidah terdapat gambaran strawberry tongue. Ruam akan menghilang setelah 5 sampai 7 hari dan diikuti dengan proses deskuamasi. Komplikasi menjadi proses supuratif (cth., abses peritonsilar dan retrofaringeal jarang dijumpai sejak adanya terapi antibiotik. 5 Pyoderma Pyoderma (impetigo) merupakan infeksi kulit bernanah yang berbatas, biasanya timbul pada area yang terpapar (wajah, lengan, kaki). Infeksi terjadi oleh karena adanya kolonisasi S. pyogenes akibat kontak langsung dari orang yang terinfeksi. Organisme masuk ke jaringan subkutan melalui kerusakan kulit seperti garukan dan gigitan serangga. Terbentuk vesikel kemudian menjadi pustula dan kemudian pecah. Kelenjar getah bening regional dapat membesar, tetapi tanda infeksi sistemik jarang dijumpai. Penyebaran sekunder umumnya disebabkan oleh garukan.2 Pyoderma biasanya terjadi selama musim panas dengan kelembaban dan suhu yang hangat, terutama pada anak kecil dengan higinitas dan status ekonomi yang jelek. Meskipun S. pyogenes bertanggung jawab pada sebagian besar infeksi kulit streptokokal, namun Streptokokus grup C dan G juga dapat dijumpai. Stafilokokus aureus umumnya juga dapat dijumpai pada lesi tersebut. Strain streptokokus tipe M yang menyebabkan infeksi kulit berbeda dengan yang menyebabkan faringitis secara serotipe dan genotipe. 5,6 Strain kulit dan tenggorokan dapat dibedakan dengan markergenetik. 6 Erysipelas Erisipelas merupakan infeksi kulit akut, disertai rasa nyeri, inflamasi, pembesaran kelenjar getah bening disertai tanda sistemik (demam, menggigil, lekositosis). Area kulit yang terlibat ditandai dengan adanya peninggian dan berbeda dari kulit yang sehat. Erisipelas paling sering terjadi pada anak atau lansia, pada daerah wajah tetapi sekarang lebih sering terjadi di kaki dan biasanya diawali oleh infeksi saluran nafas atau kulit oleh S.pyogenes.5 Selulitis Selulitis melibatkan kulit dan jaringan subkutan, dan batas antara kulit sehat dan yang terinfeksi tidak jelas. Seperti halnya erisipelas, inflamasi lokal dan gejala sistemik harus diobservasi. Identifikasi dengan tepat dari organisme penyebab mutlak diperlukan, oleh karena banyak organisme berbeda yang dapat menyebabkan selulitis.5 Fasciitis nekrotik (Necrotizing Fasciitis) Disebut juga gangren streptokokus, merupakan infeksi yang terjadi di jaringan subkutan yang dalam, menyebar di sepanjang bidang fasia serta ditandai dengan kerusakan otot dan lemak yang luas. Organisme masuk ke jaringan melalui kerusakan pada kulit (luka atau trauma, infeksi virus vesikular, luka bakar, pembedahan). Toksisitas sistemik, kegagalan multiorgan, dan kematian merupakan komplikasi dari penyakit ini, sehingga diperlukan intervensi medis yang tepat untuk menyelamatkan pasien. Selain pemberian antibiotik, fasciitis juga harus diatasi secara agresif dengan melakukan pembedahan debridement dari jaringan yang terinfeksi.5 Streptococcal toxic shock syndrome (STSS) Pasien yang mengalami kondisi ini awalnya mengalami inflamasi jarinan lunak pada lokasi infeksi, nyeri, gejala inflamasi non-spesifik seperti demam, menggigil, malaise, mual, muntah, dan diare. Rasa nyeri semakin hebat seiring dengan progresitas penyakit menuju syok dan kegagalan organ (ginjal, paru, hati dan jantung). Meskipun semua orang dari berbagai kelompok umur rentan terhadap streptococcal toxic shock syndrome, namun pasien dengan kondisi tertentu lebih berisiko tinggi, seperti pada pasien dengan infeksi HIV, kanker, diabetes melitus, penyakit jantung dan paru, infeksi virus varicella-zooster, serta pecandu alkohol dan narkotika suntik. Strain dari S.pyogenes yang bertanggung jawab terhadap sindroma ini berbeda dari strain yang menyebabkan faringitis, dimana yang paling banyak adalah serotipe M 1atau 3 dan banyak yang memiliki kapsul asam hialuronat mukopolisakarida yang prominen (strain mukoid). Produksi dari eksotoksin yang pirogenik, khususnya SpeA dan SpeC, juga merupakan gambaran prominen dari organisme ini. 5 Bakterimia S.pyogenes merupakan salah satu jenis streptokokus hemolisis β yang paling sering diisolasi dari kultur darah. Pasien dengan infeksi yang terlokalisir seperti faringitis, pyoderma, dan erisipelas jarang mengalami bakterimia. Kultur darah dari sebagian besar pasien fasciitis nekrotik atau toxic shock syndrome positif terdapat organisme ini, dan mortalitas dari pasien yang mengalami bakterimia mencapai 40%. 5
3.2Nonsuppurative Streptococcal Disease
Demam rematik (Rheumatic fever) Demam rematik merupakan komplikasi lambat non-supurative dari infeksi S.pyogenes di saluran nafas atas.5,6 Ditandai dengan reaksi inflamasi yang melibatkan jantung, sendi, pembuluh darah, dan jaringan subkutan. Manifestasi pada jantung berupa pankarditis (endokarditis, perikarditis dan miokarditis) dan sering dihubungkan dengan nodul subkutan. Dapat terjadi kerusakan progresif dan kronis pada katub jantung. Manifestasi pada sendi berkisar dari atralgia hingga artrits “frank”, dengan keterlibatan sendi secara multipel dengan pola yang berpindah-pindah. Organisme penyebab adalah dari tipe M spesifik (tipe 1, 3, 5, 6, dan 18).5 Khususnya dari strain mukoid M18.6 Demam rematik dikaitkan dengan faringitis streptokokus, namun tidak pada infeksi streptokokus kutan. Kondisi ini banyak terjadi pada anak usia sekolah, tanpa ada predileksi jeni kelamin dan sering terjadi selam musim dingin. Meskipun penyakit ini paling banyak terjadi pada pasien dengan riwayat faringitis streptokokus yang berat, namun sebanyak sepertiga pasien mengalami infeksi yang ringan atau asimtomatik. 5 Penjelasan yang lengkap mengenai patogenesis dari demam rematik akut membutuhkan pemahaman tidak hanya dari agen penyebab namun juga dari kerentanan alamiah dari penjamu. Terbukti dari meskipun pada epidemi yang berat dari faringitis yang eksidatif, namun demam rematik terlihat hanya pada proporsi yang kecil dari orang yang terinfeksi, bergandengan dengan hubungan keluarga dari kasus demam rematik, menunjukkan adanya kemungkinan predisposisi genetik dari terjadinya serangan rematik. Sebuah laporan menyatakan adanya asosiasi yang secara statistik signifikan antara antigen HLA kelas II tertentu (HLA-DR2 pada kulit hitam dan HLA-DR4 pada kulit putih) dengan demam rematik.6 Acute glomerulonephritis Ditandai dengan adanya inflamasi akut dari glomerulus ginjal yang ditandai adanya lesi glomerulus yang proliferatif dan difus dan secara klinis disertai edema, hipertensi, hematuria dan proteinuria.5,6 Penyakit ini merupakan komplikasi nonsupuratif lambat dari infeksi di faring atau infeksi kulit oleh strain tertentu dari streptokokus grup A yang nefritogenik dalam jumlah yang terbatas. Serotipe M-12 merupakan serotipe tersering yang menyebabkan glomerulonefritis akut setelah infeksi faringitis atau tonsilitis, sedangkan serotipe M-49 merupakan jenis yang sering dari nefritis yang disebabkan oleh pyoderma (tabel 3).6 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis serta adanya bukti infeksi S.pyogenes sebelumnya.5 Mekanisme pasti dari streptokokus yang menyebabkan glomerulonefritis akut belum dapat digambarkan. Namun bukti menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal yang diperantarai mekanisme imunologis. Imunoglobulin, komponen komplemen, dan antigen yang bereaksi dengan antiserum streptokokus dapat dijumpai pada glomerulus segera setelah munculnya penyakit. Kemungkinan antibodi yang didapat dari infeksi streptokokus nefritogenik bereaksi dengan jaringan ginjal yang menyebabkan terjadinya trauma pada glomerulus. Di sisi lain, temuan mikroskop elektron menunjukkan adanya subepitelial nodul pada biopsi ginjal pasien dengan glomerulonefritis akut yang mengindikasikan terjadinya penumpukan kompleks yang mengandung antigen streptokokus dan antibodi penjamu di dalam glomerulus. Penumpukan nodul subepitelial tersebut merupakan gambaran khas dari penyakit yang disebabkan kompleks imun yang bersirkulasi. 6 4. Diagnosis Laboratorium 4.1 Spesimen Spesimen yang diambil tergantung dari infeksi streptokokus yang terjadi. Untuk kultur, digunakan spesimen yang berasal dari usap tenggorokan, pus, atau darah. Sedangkan untuk pemeriksaan antibodi, digunakan spesimen serum. 2 Meskipun sulit untuk melakukan pengambilan spesimen usap tenggorokan dari anak, namun spesimen harus diambil dari bagian orofaring posterior. Bakteri yang berada di daerah anterior mulut lebih sedikit, dan mulut (khususnya saliva) terkolonisasi oleh bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan S.pyogenes.5 4.2 Pemeriksaan Mikroskopis Sebagai diagnosis preliminer dari infeksi jaringan lunak maupun pyoderma dapat dilakukan pewarnaan Gram dari sampel yang berasal dari jaringan yang terkena. Dijumpainya kokus Gram positif berpasangan dan berantai serta adanya lekositosis merupakan hal yang penting oleh karena streptokokus bukan flora normal pada kulit. Sebaliknya, streptokokus merupakan bagian dari flora normal orofaring, sehingga keberadaannya pada spesimen pernafasan dari pasien faringitis memiliki nilai prediksi yang jelek.2,5 Sebagai contoh Streptococcus viridans dapat dijumpai pada usap tenggorok dan memiliki gambaran yang sama dengan streptokokus grup A.2 Identifikasi langsung secara mikroskopis dari Streptokokus ini sangat membantu terutama pada spesimen dari lokasi steril, seperti cairan serebrospinal. 3 Streptokokus dapat menjadi Gram negatif oleh karena organisme yang tidak dapat bertahan hidup lama serta menjadi kehilangan kemampuannya untuk menahan zat warna ungu kristal. 2 4.3 Kultur dan Identifikasi Biokimia Spesimen yang diduga mengandung streptokokus diinkubasi pada media agar darah dalam suasana inkubasi dengan 10% CO2 untuk mempercepat hemolisis. Kultur darah akan menumbuhkan streptokokus grup A dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Sedangkan beberapa streptokokus hemolisis α dan enterokokus dapat tumbuh lebih lambat. Jenis dan tingkatan dari hemolisis serta gambaran koloni dapat membantu menempatkan organisme kedalam grupnya secara defenitif.2 Bakteri streptokokus membutuhkan bahan pertumbuhan untuk organisme fastidius. Antibiotik (seperti trimethoprim-sulfamethoazole) dapat ditambahkan pada media agar darah untuk menekan pertumbuhan flora mulut. 5 S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan uji cepat yang spesifik untuk melihat keberadaan antigen spesifik grup A dan juga melalui uji PYR. Sebagai metode identifikasi presumtif untuk streptokokus grup A dapat dilakukan uji penghambatan pertumbuhan oleh basitrasin (tabel 4).2 S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan melihat suseptibilitasnya terhadap basitrasin. Melalui metode ini, cakram kertas yang mengandung 0,04 unit basitrasin diletakkan pada permukaan media agar darah yang sebelumnya telah disemai dengan organisme yang akan diidentifikasi. Setelah diinkubasi selama satu malam, adanya zona inhibisi disekitar cakram diindikasikan sebagai streptokokus grup A.2,7 Jika tidak ditemukan zona dianggap sebagai streptokokus non grup A. 7 Diferensiasi dari S. pyogenes dari S. anginosus dan streptokokus hemolisis β yang lain secara cepat adalah melalui keberadaan enzim L-pyrrolidonyl arylamidase (PYR). Enzim ini menghidrolisis L-pyrrolindonyl-β-naphtylamide, melepaskan β-naphtylamine yang akan terdeteksi dengan adanya p-dimethylaminocinnamaldehyde yang membentuk senyawa berwarna merah.5 4.4 Deteksi Antigen Streptokokus secara defenitif diidentifikasi berdasarkan karbohidrat spesifik grup melalui uji deteksi antigen langsung. 5 Berbagi macam tes imunologi yang menggunakan antibodi yang akan bereaksi dengan karbohidrat spesifik grup pada dinding sel bakteri dapat digunakan untuk mendeteksi streptokokus grup A secara langsung dari usap tenggorokan.2,3,5 Tes ini menggunakan metode kimiawi atau enzimatik untuk mengekstraksi antigen dari swab, kemudian menggunakan enzyme immunoassay (EIA) atau uji aglutinasi dari partikel lateks untuk melihat keberadaan antigen.2,5 Ekstrasi antigen dari spesimen menggunakan nitrous acid atau pronase selama 5 menit.5 Uji ini dapat diselesaikan dalam beberapa menit atau beberapa jam sejak spesimen didapat, dengan sensitifitas 60-90% dan spesifisitas 98-99% jika dibanding dengan metode kultur.2 Metode deteksi langsung S. pyogenes dari spesimen dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dapat diperoleh melalui pemeriksaan dengan probe asam nukleat.5 4.5 Deteksi Antibodi Pasien yang mengalami infeksi S. pyogenes memproduksi antibodi terhadap banyak enzim yang spesifik.2,5 Diantaranya antistreptolisin O (ASO), khususnya untik infeksi di saluran nafas, anti-DNase, dan antihialurodinase pada infeksi kulit, antistreptokinase, antibodi anti M spesifik. Meskipun antibodi terhadap protein M diproduksi dan penting untuk mempertahankan imunitas, namun antibodi ini munculnya lambat dalam perjalanan penyakit dan bersifat spesifik. Sebaliknya pengukuran antibodi terhadap Streptolysin O (uji ASO) bermanfaat untuk mengkonfirmasi kondisi demam rematik atau glomerulonefritis akut yang dihasilkan dari infeksi faring oleh streptokokus yang baru dialami. Antibodi ini muncul 3-4 minggu setelah paparan awal organisme dan kemudian menetap, namun peningkatan titer ASO ini tidak dijumpai pada pasien dengan pyoderma. Produksi antibodi yang lain terhadap enzim streptokokus, khususnya DNase B telah dilaporkan pada pasien dengan faringitis maupun pyoderma oleh streptokokus. Uji anti-DNase B sebaiknya dilakukan jika ada kecurigaan terhadap glomerulonefritis karena streptokokus.5 DAFTAR PUSTAKA
1. Sharma S, Harding G: Strepcoccus Group A Infection, 1996.
Available at http://www.emedicine.com/med/TOPIC2184.HTM. Juni 03. 2009 2. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical Microbiologi. 24 th ed. Mc Graw-Hill, 2005. p : 233-39 3. Murray PR (ed in chief). Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. ASM Press. 2007. p : 412-29 4. Willey J, Sherwood L, Woolverton C. Microbiology Prescott, Harley, and Klein’s. 7th ed. McGraw-Hill. 2008. p : 125-30 5. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 5 th ed. Elsevier Mosby. 2005. p : 237-46 6. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practise of Infectious Diseases. 6th ed. Elsevier Churchill Livingstone. 2005. p : 2364-87 7. Cappuccino JG, Sherman N. Microbiology : A Laboratory Manual. 8 th ed. Pearson International Edition. 2008. p : 452-3 8. Wilson WR, Sande MA (ed). Current Diagnosis & Treatment in Infectious Diseases. Lange Medical Book/McGraw-Hill. 2001. p : 505-8