Anda di halaman 1dari 100

Dharma Setyawan

Haji Agus Salim


The Grand Old Man

Penulis : Dharma Setyawan


Editor : Ali Akbar Hasibuan
Sampul dan Tata Letak : Tri Purna Jaya

Cetakan Pertama, September 2014


14 x 21 cm
xiii + 86 hlm

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


All rights reserved

ISBN: 978-602-1534-39-7

Penerbit:
Indepth Publishing
Jl. Ahmad Yani Gang Pioner no 41, Bandar Lampung
indepth.publishing@gmail.com | www.indepthpublishing.net
+6281279604790

Bekerjasama dengan:

Komunitas Hijau | Adzkiya Centre | UKM Kronika


BMT Adzkiya | FOSSEI Filantropi

iv
Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag (PP Muhammadiyah)
KATA PENGANTAR

Jika nama Haji Agus Salim disebut, yang terbayang pertama


kali adalah sosok seorang tua berkumis panjang melengkung ke
bawah di kedua ujungnya, berjenggot yang sudah putih, memakai
peci khas, dan kaca mata bulat. Dibandingkan dengan para pejuang
kemerdekaan lain, seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir,
tampak sekali ketuaan Agus Salim. Faktanya, memang Agus Salim
17 tahun lebih tua dari Bung Karno. Beliau populer di kalangan
para tokoh perjuangan sebagai The Grand Old Man.
Setelah sosok tua, yang muncul kemudian dalam bayangan
kita adalah seorang diplomat ulung Indonesia yang menguasai
paling kurang sembilan bahasa asing. Beliau mampu berpidato
dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Arab sama fasihnya
dengan pidato dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menguasai
bahasa Jerman, Jepang, dan Turki. Tidak diketahui lagi dengan
pasti bahasa asing apa lagi yang dikuasai orang tua jenius ini.
Agus Salim berasal dari Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera
Barat. Koto Gadang dikenal sebagai nagari yang penduduknya
paling banyak mengenyam pendidikan Belanda, tidak hanya
di tingkat dasar tapi sampai pendidikan tinggi. Ayahnya Sutan
Muhammad Salim, adalah seorang jaksa, satu jabatan karir yang
terpandang waktu itu. Bahkan pernah menjadi hoofdjaksa pada
Landraad di Riau en Onderhorigheden atau jaksa tinggi pada
Pengadilan Negeri Riau dan daerah bahawannya.
Sejak kecil Agus Salim sudah rajin dan tekun belajar.
Kecerdikannya sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Supaya

v
dia dapat bebas membaca buku tanpa gangguan dari siapa pun,
maka Haji Agus Salim bersembunyi di loteng rumah orang tuanya
dan membuka sebagian atap rumah untuk memasukkan cahaya.
Pernah satu kali, sedang asyik membaca temannya datang mengajak
bermain, Haji Agus Salim langsung pergi dan lupa menutup atap
yang dibuka. Kebetulan hari itu turun hujan dan banjirlah rumah
orang tuanya kemasukan air hujan.
Setelah lulus Europeesche Lagere School (ELS) di Riau, Haji
Agus Salim dikirim orang tuanya ke Batavia melanjutkan sekolah ke
Hoogere Burgerschool (HBS). Di seluruh Hindia Belanda hanya ada
tiga sekolah HBS, yaitu di Bandung, Batavia, dan Surabaya. Agus
Salim lulus HBS dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda.
Harusnya dengan prestasi itu, dia dapat dikirim belajar dengan
beasiswa ke negeri Belanda, tetapi sayang beasiswa tersebut tidak
pernah didapatnya, sekalipun RA Kartini ikut mengusahakannya.
Bahkan Kartini menawarkan beasiswa yang diterimanya untuk
diberikan kepada Agus Salim.
Sekalipun berlatar belakang pendidikan Belanda, tetapi Agus
Salim sangat anti pendidikan kolonial Belanda yang dinilainya
sangat diskriminatif. Seluruh anak-anaknya, kecuali yang paling
kecil, dididik sendiri di rumah dengan baik. Yang paling kecil
dimasukkan sekolah karena Indonesia sudah merdeka. Setelah
tamat HBS ayahnya mendorong Haji Agus Salim untuk bekerja
sebagai staf Konsulat Belanda di Jeddah. Semula Haji Agus Salim
menolak bekerja pada Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi ayahnya
menyatakan bahwa dia tidak bekerja dengan Pemerintah Kolonial
Belanda tetapi dengan Kerajaan Belanda langsung.
Haji Agus Salim baru bersedia bekerja setelah berhasil
mendapatkan surat keterangan persamaan status dengan warga
negara Belanda. Selama empat tahun di Jeddah, Haji Agus Salim
dapat kesempatan emas belajar agama Islam dengan pamannya
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaw di Makkah. Ahmad

vi
Khatib adalah guru para pembaharu dari Indonesia. Pengetahuan
Islamnya yang luas ini kelak sangat bermanfaat tatkala beliau aktif
di Sarekat Islam bersama dengan HOS Tjokroaminoto. Juga tatkala
Agus Salim membimbing dan memberikan kursus agama Islam
kepada pemuda-pemuda muslim seperti Mohammad Roem yang
tergabung dalam Jong Islamiten Bond (JIB) dan tatkala ia diminta
menjadi profesor tamu di Cornell University, USA, tahun 1953.
Tidak banyak orang Indonesia yang waktu itu disebut pribumi
dapat bersekolah di dua sekolah Belanda tersebut, apalagi di HBS.
Namun, sayang pemikirannya dan ceramahnya tidak banyak
terekam oleh dokumen sejarah kecuali apa yang dia tulis dan
dituliskan para sejarahwan yang menceritakan tentang sosoknya
dan pemikirannya. Agus Salim memiliki pemikiran cerdas dan
keilmuan Islam yang luas karena mendapat pendidikan Belanda
(barat) dan selama di Mekkah dibimbing oleh Syekh Ahmad Khatib,
pamannya sendiri, saat dia bekerja sebagai Konsulat Belanda.
Selepas bertugas di Jeddah, Agus Salim kembali ke Indonesia
dan bekerja di sebuah perusahaan Belanda di Batavia. Tidak lama
kemudian dia menikah di kampung halamannya. Setelah menikah,
dia meminta tambahan cuti, tetapi ditolak oleh perusahaan,
dan itu dijadikan alasan oleh Agus Salim untuk mengundurkan
diri. Selama dua tahun setelah itu Agus Salim mendirikan dan
memimpin sekolah rakyat di Koto Gadang. Kembali ke Batavia, dia
tidak punya pekerjaan karena tidak mau kembali bekerja dengan
kolonial Belanda. Padahal jika saja ia ingin hidup senang, maka
karirnya akan bagus bila mau tetap bekerja pada Belanda.
Pada saat menganggur, teman sekolahnya dulu menawarkan
kepadanya sebuah pekerjaan yaitu menyelidiki gerakan
Tjokroaminoto yang dicurigai akan melakukan pemberontakan
terhadap Belanda. Dari situlah awal perkenalan Agus Salim
dengan Tjokroaminoto. Setelah mengikuti beberapa ceramah
Tjokroaminoto di bebeapa daerah, Haji Agus Salim langsung

vii
tertarik dan aktif berorganisasi di Sarekat Islam. Agus Salim
kemudian dikenal sebagai tokoh penting Sarekat Islam setelah
Tjokroaminoto.
Perjalanan Agus Salim selanjutnya adalah perjuangan baik
dengan Sarekat Islam, maupun kemudian dengan Partai Penyadar,
sampai berlanjut pada era kemerdekaan, mempertahankan
kemerdekaan, terutama melalui jalur diplomasi. Haji Agus Salim-
lah yang paling berjasa mengusahakan pengakuan negara-negara
Arab terhadap kemerdekaan Indonesia. Di samping seorang
pejuang, Agus Salim adalah seorang intelektual, pemikir yang jenius.
Ide-ide cemerlangnya sering muncul dalam setiap percakapan dan
perdebatan, tetapi sayang tidak banyak yang terekam dengan baik.
Murid-muridnya pada masa perjuangan banyak memberikan
kesaksian terhadap kejeniusan Agus Salim, tetapi tidak banyak
yang mencatatnya. Untunglah kuliah-kuliah Agus Salim selama
di Cornell University terekam dengan cukup lengkap dan sudah
diterbitkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini dapat membantu
kita untuk lebih memahami sosoknya, baik tentang kehidupan
pribadi, perjuangan, dan juga pemikirannya. Buku ini penting
dibaca, terutama oleh generasi muda, untuk menyerap spirit
perjuangannya. The Grand Old Man dikenal sebagai pribadi yang
tak kenal lelah, siap hidup melarat karena memegang teguh prinsip
dan idealisme. Sikap hidup semacam ini amatlah langka di tengah
semakin banyak orang yang kini terjebak pada pragmatisme dan
hedonisme. Akhirnya saya menyambut baik kehadiran buku ini
dan memberikan apreasiasi yang tinggi kepada penulisnya. Semoga
dapat menjadi amal saleh.

viii
PENGANTAR
PENULIS

Haji Agus Salim dijuluki Soekarno sebagai The Grand Old


Man. Tubuh kecilnya tidak menghalangi karya-karya besarnya
menembus pekatnya zaman. Dia adalah sosok brilian yang pernah
dimiliki bangsa ini. Sayangnya sekian lama ia telah terlupa,
karyanya hanya terpajang usang di rak-rak perpustakaan yang
semakin berdebu. Membuka kembali sejarah hidup Agus Salim
adalah membuka kembali semangat bangsa ini untuk bangkit
dan bergerak. Dia adalah ayah, ulama, politisi, orator, diplomat,
jurnalis, sastrawan, pahlawan, pendidik, aktivis internasional yang
telah lama dilupakan oleh anak-anak zaman. Agus Salim terlahir
untuk melawan, berkarya, dan merdeka.
Berbagai model kehidupan pernah dialami, mulai dari hidup
berkecukupan sampai pada kehidupan yang sangat melarat. Sebagai
anak kepala Jaksa di Riau, Agus Salim berkecukupan, namun dia
tetap mandiri. Setelah usulan beasiswa untuk melanjutkan sekolah
dokter di Belanda ditolak, Agus Salim bekerja sebagai konsulat
Belanda di Jeddah, Mekkah. Itu pun atas rayuan Ibunya. Di sana
ternyata dia meramu ilmu timur dan barat yang pernah diterimanya
dalam bingkai Pan-Islamisme. Sepulang dari Jeddah, ia bertekad
melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Terlebih setelah
bertemu dengan HOS Tjokroaminoto yang kelak membuatnya
jatuh hati pada Sarekat Islam (SI).
Rumah kontrakan yang berada jauh melewati gang sempit
di Jakarta menjadi saksi bagaimana sepeda tuanya menunggangi
tubuh kecilnya kala hujan melewati jalanan berlumpur. Pribadi

ix
yang sederhana itu jugalah yang mendidik anak-anaknya secara
mandiri tanpa manut dengan pendidikan Belanda. Anak-anak
hasil didikan homeschooling Agus Salim terbukti lebih bermutu.
Anak-anak itu lancar berbahasa asing dan memahami berbagai
bidang ilmu. Terlebih istrinya yang sangat memahami perjuangan
suaminya, juga hidup dengan kesederhanaan, hidup dengan filosofi
“pemimpin adalah menderita” (leiden is lijden).
Agus Salim menjadi pemimpin di Sarekat Islam bersama
Tjokroaminoto. Memimpin surat kabar nasional dan internasional.
Padanya nafas Islam selalu digaungkan. Mendidik anak-anak
muda Islam dalam wadah Jong Islamieten Bond (JIB) yang kelak
menjadi partai Islam besar yakni Masyumi. Pada era kemerdekaan,
Agus Salim juga menjadi diplomat ulung bersama Sjahrir. Berkat
diplomasinnya, negara-negara seperti Mesir, Irak, Palestina,
Arab Saudi, Afganistan, dan Timur Tengah lainnya mengakui
kemerdekaan Indonesia secara de jure.
Pasca kemerdekaan, Agus Salim menjadi pengajar di
Cornell University dan memberi mata kuliah Islam Indonesia.
Mengajar 31 mata kuliah selama enam bulan di Amerika Serikat
menempatkannya sebagai intelektual dunia yang mampu
berbicara dalam sembilan bahasa. Dia adalah sosok unik yang
menjadi kebanggaan bangsa ini. Menjadi peluru-peluru kebenaran
sejarah bahwa bangsa ini pernah melahirkan The Grand Old Man.
Pramoedya Ananta Toer menempatkannya sebagai spesies langka
dan generasi pertama yang mendapat pendidikan Belanda pertama
dan mampu bicara, membaca, dan menulis dengan sempurna.
Atas penerbitan karya sederhana ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada Indepth Publishing yang telah berkenan
menerbitkannya. Penghargaan dan apresiasi juga penulis
sampaikan kepada rekan-rekan BMT Adzkiya, Komunitas Hijau,
FOSSEI Filantropi, dan UKM Kronika STAIN Jurai Siwo Metro,
yang telah ikut memberikan dukungan moril terhadap penerbitan

x
buku ini. Pada Hifni Septina Carolina, istri yang telah memberikan
kasih sayang, penulis persembahkan karya sederhana ini untukmu
sebagai kado ulang tahun pernikahan kita. Akhirnya semua
kelemahan dalam naskah buku ini adalah semata-mata karena
keterbatasan penulis. Kritik, saran, dan masukan yang membangun
tentu amatlah diharapkan.

Metro, September 2014

Penulis

xi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
Prof. DR. Yunahar Ilyas, Lc. M.Ag (PP Muhammadiyah) v
PENGANTAR PENULIS ix
DAFTAR ISI xii

BAB I Selayang Pandang Haji Agus Salim 1

BAB II Kehidupan Pribadi dan Keluarga


A. Anak Ajaib Homeschooling 6
B. Karakter Pendidik Agus Salim 10
C. Memesrai Keluarga Agus Salim 15
D. Keluarga Miskin yang Ceria 17
E. Haji Agus Salim Ditunggangi Sepeda 18

BAB III Pemikiran dan Perjuangan Islam


A. Haji Agus Salim Ulama Holistik 22
B. Adat Haji Agus Salim 26
C. Haji Agus Salim dan Fabel Politik 30
D. Sosialisme Islam Haji Agus Salim 33
E. Nasionalisme Haji Agus Salim 38
F. Haji Agus Salim dan Manusia Ber-Tuhan 41

BAB IV Haji Agus Salim dan Para Negarawan


A. Haji Agus Salim dan Soekarno 44
B. Haji Agus Salim dalam Pandangan Dr. Amir 46
C. Haji Agus Salim dan M. Natsir 49
D. Haji Agus Salim di mata Pramoedya Ananta Toer 52

xii
BAB V Haji Agus Salim Pionir Pers Ideologis 57

BAB VI Perjuangan Kemerdekaan


A. Haji Agus Salim Menteri Melarat 61
B. Haji Agus Salim Diplomat Kemerdekaan 63
C. Dosen Reformis 70

LAMPIRAN
Daftar Karya dan Kronologis Singkat Perjalanan
Haji Agus Salim 74
Tulisan Haji Agus Salim 80

DAFTAR PUSTAKA 84
TENTANG PENULIS 86

xiii
xiv
BAB I
SELAYANG PANDANG
HAJI AGUS SALIM

Masa Kecil dan Pendidikan


Haji Agus Salim lahir dengan nama kecil Mashudul Haq
(berarti pembela kebenaran); di Kota Gadang, Agam, Sumatera
Barat, Hindia Belanda, pada 8 Oktober 1884. Agus Salim lahir
dari pasangan Soetan Salim, gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zainab. Agus Salim tumbuh dalam adat Minangkabau yang kental
dengan budaya Islam. Jabatan terakhir ayahnya adalah jaksa kepala
di Pengadilan Tinggi Riau. Dengan kondisi keluarganya tersebut,
Agus Salim relatif memiliki pemikiran yang terbuka dan menyadari
pentingnya sekolah bagi kemajuan zaman. Lewat pendidikan, ia
berharap kelak dapat menjadi pribadi yang bermanfaat dan berguna
untuk menolong bangsanya yang mendapat perlakuan tidak adil
dari penjajah Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya
yang notabene seorang jaksa kepala harus tunduk menjalankan
aturan hukum Pemerintah Belanda yang mengatur kehidupan
masyarakat.
Pendidikan dasar Agus Salim ditempuh di Europeesche Lagere
School (ELS). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Hoogere
Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi
lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Dalam surat-surat
RA Kartini tergambar jelas bagaimana Agus Salim setelah lulus
berkeinginan meneruskan pendidikan ke Belanda untuk menjadi
seorang dokter. Namun, beasiswa itu tidak kunjung didapatkan
karena alasan Agus Salim seorang pribumi. Hal inilah yang
membuat Agus Salim kecewa dan membenci pendidikan Belanda.

1
Delapan anaknya tidak ada yang mendapatkan pendidikan Belanda
dan mendapat pendidikan Homeschooling gaya khas Agus Salim.

Bekerja dan Belajar Agama


Setelah lulus sekolah, tidak ada pilihan lain bagi Agus Salim.
Oleh Ibunya, ia disarankan untuk menerima tawaran Belanda
menjadi konsulat Belanda di Jeddah, Mekkah. Sebelumnya Agus
Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada
sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi,
untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah,
Salim berguru pada Syekh Ahmad Khatib, yang notabene masih
merupakan pamannya. Selama lima tahun Agus Salim bekerja
sambil menimba ilmu agama Islam sembari mengasah bahasa
Arab, Turki, dan lainnya. Di kantor konsulat itu juga Agus Salim
banyak melahap buku-buku bacaan barat dan timur. Pemikirannya
juga diwarnai oleh beberapa gerakan reformis terutama gerakan
Pan-Islamisme yang digagas oleh Syekh Jamaluddin Al-Afghani,
dan kemudian juga diteruskan oleh muridnya Muhammad Abduh,
dan Rasyd Ridha.
Tidak hanya itu, filsafat-filsafat barat juga dipelajari sebagai
pengayaan ilmu sosial. Pemikiran Belanda yang didapat Agus
Salim kini berbaur dengan wawasan Islam yang penuh dengan
wahyu dan nalar profetik. Setelah lima tahun berkerja di konsulat
Belanda, ia pulang ke Indonesia dengan membawa ilmu barat dan
timur. Dia kemudian menikah dengan Zaenatun Nahar, seorang
gadis di kampungnya dan dikaruniai delapan anak.

Dunia Jurnalistik
Agus Salim terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di
Harian Neratja sebagai redaktur II sebelum akhirnya diangkat
menjadi ketua redaksi. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus

2
berlangsung hingga akhirnya menjadi pemimpin harian Hindia
Baroe di Jakarta. Namun, akhirnya Agus Salim memutuskan
keluar karena surat kabar Belanda ini memaksanya untuk
memberitakan hal-hal yang mendukung kebijakan pemerintahan
Belanda. Pada 1927, Agus Salim mendirikan Surat Kabar Fadjar
Asia bersama Tjokroaminoto. Karir jurnalistiknya terus berlanjut
sebagai redaktur Harian Moestika di Yogyakarta. Harian Moestika
adalah surat kabar harian Islam terbesar di Yogyakarta kala itu.
Agus Salim juga membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO).
Pada tahun 1952, ia menjabat ketua di Dewan Kehormatan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Agus Salim memang
memiliki andil besar dalam sejarah pembangunan pers di
Indonesia. Dia bersama tokoh-tokoh Islam di Sarekat Islam juga
berperan membangun dan mengembangkan jurnalistik Islam.
Baginya menulis adalah dunia yang tidak dapat ditinggalkan. Lewat
menulis, Agus Salim meyakini mampu membangun optimisme
bangsanya untuk maju bergerak menentang penjajahan. Agus
Salim menyadari bahwasannya gerakan pers adalah gerakan yang
dibangun dengan kecerdasan pikiran bukan hanya kekuatan
jasmani.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun
1953, ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal,
dan Tauchid Harus Dipahamkan? Tulisan tersebut kemudian ia
perbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir, dan
Tawakal. Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 di
RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.1

Politik
Soal politik Agus Salim banyak belajar pada Tjokroaminoto,
seorang reformis Islam asal Solo yang berhaluan Pan-Islamisme.
1
Diambil dari Wikipedia dan beberapa penambahan redaksi.

3
Pada tahun 1915, dia bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan
menjadi pemimpin kedua di SI setelah Tjokroaminoto. Peran Agus
Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain menjadi
anggota Volksraad (1921-1924). Agus Salim juga pernah menjadi
anggota Panitia 9 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mempersiapkan UUD
1945.
Selain berpolitik, Agus Salim juga mendidik anak-anak muda
Jong Islamieten Bond yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai
Masyumi pascakemerdekaan. Partai ini menjadi partai Islam yang
besar dan banyak melakukan gerakan-gerakan moral.

Diplomat
Setelah kemerdekaan, Agus Salim adalah tokoh yang dikenal
memiliki jangkauan internasional. Ia tercatat sebagai orang yang
sangat berjasa dalam meraih dukungan internasional terhadap
kemerdekaan Indonesia. Dia dan Sjahrir dipandang sebagai
tokoh yang berjasa dalam mendapatan dukungan negara-negara
Timur Tengah terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat. Perjuangan untuk meraih dukungan internasional
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Jauh hari sebelum
itu, sejak 1920-an, Agus Salim, Tjokroaminoto, Abdul Moeis, dan
beberapa tokoh lainnya memang telah membangun hubungan
internasional yang baik dengan negara-negara muslim.
Sebelum menjabat menteri luar negeri, Agus Salim sempat
pergi keluar negeri sebagai duta keliling Republik Indonesia.
Dengan jalan menyelundup, dia bersama rombongannya
mampu melintasi ketatnya blokade Belanda. Sebagai seorang
diplomat ulung, ia berhasil dalam perjalanan untuk kemudian
mengambil kepercayaan luar negeri terutama negara-negara
Arab. Berkat dedikasi dan perjuangannya, negara-negara Arab
bersedia mengambil resiko atas keputusannya untuk mengakui

4
kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Secara singkat karir diplomatik Haji Agus Salim adalah
sebagai berikut:
1. Menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan
Kabinet III 1947
2. Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan
negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
3. Menteri luar negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
4. Menteri luar negeri Kabinet Hatta 1948-1949

5
BAB II
KEHIDUPAN PRIBADI
DAN KELUARGA

A. Anak Ajaib Homeschooling


Waktu kami pertama kali datang di Gang Tanah Tinggi
(rumah Haji Agus Salim), kami baru melihat Syauket
(anak kelima Agus Salim) yang keluar untuk digaruk
gegernya oleh ayahnya. Kemudian datang adiknya yang
membawa Syauket masuk lagi. Waktu kami meneruskan
perkenalan di Gang Lontar Satu tahun 1927, kita sudah
maju dua tahun. Kami sudah heran, Syauket yang
umurnya baru empat tahun sudah bicara (bahasa)
Belanda yang baik. Dapat menerangkan bahwa badannya
gatal dan minta digaruk-garuk oleh ayahnya. Dalam pada
itu kami mengetahui Haji Agus Salim bercakap-cakap
bahasa Belanda dengan anak-anaknya sejak mereka
dilahirkan. (Mohamad Roem, dalam buku Bunga Rampai
dari Sejarah)

Kita mungkin akan terkejut dengan pilihan yang tidak biasa


dari orang tua yang luar biasa. Haji Agus Salim, seorang ayah
yang tanpa ragu bertekad memberi pelajaran sendiri pada delapan
anaknya dengan keyakinan Islam yang dipahami. Alasan Agus
Salim tidak memasukkan anaknya dalam pendidikan Belanda
adalah karena kekecewaannya terhadap Belanda yang dulu
pernah menolak permintaannya untuk mendapat beasiswa guna
meneruskan pendidikan pada jurusan dokter ke Belanda. Padahal
Agus Salim kala itu adalah pelajar pribumi berprestasi. Kegagalan
tersebut pada akhirnya menyebabkan dia memutuskan untuk
bekerja di Mekkah sebagai utusan Konsulat Belanda. Kepergiannya
ke Mekah juga ia manfaatkan untuk banyak belajar Islam pada

6
Syekh Imam Khatib yang notaben berasal dari Indonesia, tapi
telah lama tinggal di Mekkah.
Bersama Istrinya, Agus Salim meyakinkan dirinya bahwa
meski anaknya tidak mendapatkan pendidikan Belanda, ia
bertekad bahwa kualiatas anaknya juga tidak kalah dari mereka
yang mengenyam sekolah formal. Di tengah padatnya aktivitas di
Sarikat Islam dan juga memimpin beberapa surat kabar, ia tetap
menjadi seorang ayah yang sangat dekat dengan keluarga dan
anak-anaknya. Kedekatan Agus Salim seringkali muncul dalam
berbagai karakter berbeda. Dia dapat bersikap sebagai seorang
ayah, kawan, guru, ustad, dan pemimpin bagi anak-anaknya.
Agus Salim menerangkan, ia sendiri sudah melalui jalan
berlumpur akibat pelajaran kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya
melalui jalan serupa, karenanya ia bertekad memberi pelajaran
sendiri kepada anak-anaknya. Kala itu orang yang tidak tahu
bahasa Belanda seringkali dianggap orang rendahan. Akibatya
mereka yang tak mampu berbahasa Belanda seringkali merasa
rendah diri. Terlebih pada golongan terpelajar, bahasa yang dipakai
dalam hidup sehari-hari juga bahasa Belanda.2
Pola pendidikan Agus Salim terhadap anak-anaknya memang
tidak terikat seperti layaknya sekolah formal. Komunikasi dalam
keseharian bersama anaknya adalah komunikasi ilmu sehingga
sangat wajar jika anak-anaknya yang meski tidak mendapatkan
pendidikan formal tetap saja mendapat ilmu dari ayahnya yang
senantiasa memberikan pelajaran setiap hari layaknya di sekolah.
Tidak ada batasan istirahat, berapa jam harus belajar, dan berapa
kali harus bermain. Agus Salim berprinsip, baginya belajar bisa
kapan pun dan dimana pun karena setiap komunikasi dengan
anaknya itulah saat belajar dan mengajar.

2
Lihat, Tulisan Roem, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta,
1978, hal 112

7
Roem juga menceritakan keheranannya pada anak-anak
Agus Salim yang mengalami kemajuan luar biasa melebihi anak-
anak lain yang sekolah dan mendapatkan pendidikan Belanda.
Menurut Roem, setiap orang yang pertama kali berkenalan
dengan keluarga Agus Salim akan heran mengapa anak-anaknya
yang tidak bersekolah, pandai berbahasa Belanda dengan baik,
lancar, dan bagus. Tentu saja sebabnya adalah karena gurunya
Haji Agus Salim sendiri. Dan di dalam diri anaknya ditanamkan
keinginan untuk senatiasa menggali pengetahuan lebih lanjut.
Misalnya anak pertama Dolly, menurut kesaksiannya pada umur
6 tahun sudah membaca buku-buku Nick Carter dan Lord Lister,
dua buku detektif yang dibawakan ayahnya setiap terbit. Novel ini
pada waktu itu sangatlah populer.
Anak kedua, Totok, saat itu Haji Agus Salim masih tinggal di
Gang Toapekong, pernah saya lihat duduk di pojok, sedang kami
mendapat kursus (belajar agama Islam) dari ayahnya. Selesai
kursus saya mendekatinya dan melihat sebuah buku tebal sedang
dibacanya. Saya baca judulnya, Mahabarata, dalam bahasa Belanda.
Saya melihat gambar, Kresna sedang memberi pelajaran kepada
Arjuna. Saya bertanya, “Sedang apa Kresna dan Arjuna itu?” Totok
menjawab bahwa Kresna sedang memberi pelajaran memanah
kepada Arjuna. Waktu itu saya berumur 20 tahun, Dolly 15 tahun,
sedang Totok 13 tahun. Terbukti mereka sudah membaca apa yang
menjadi bacaan di sekolah AMS, malah melebihinya.3
Homeschooling adalah sebutan modern bagi anak-anak
sekarang yang tidak mendapat pendidikan formal. Agus Salim
sesungguhnya telah menerapkan itu jauh sebelum kemerdekaan.
Homeschooling adalah pilihan Agus Salim karena menilai
pendidikan Belanda menyajikan pendidikan yang tidak lebih baik
dari yang ia harapkan. Dia berkeyakinan membuat anak-anaknya
lebih pandai dari anak-anak yang belajar di sekolah Belanda.
3
Ibid, hal 113

8
Apalagi pendidkan homeschooling ala Haji Agus Salim tidak
terikat oleh waktu dan mengedepankan pelajaran agama untuk
membangun karakter anak-anaknya.
Roem juga menuturkan bagaimana anak ke-3 Agus Salim
yang saat itu bersuamikan Johan Sjahruzah seorang sekjen Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Banyak orang tidak percaya bahwa Nyonya
Johan tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hal itu memang
dapat dimengerti. Bagaimana tidak, Nyonya Johan adalah orang
yang sangat mengasyikkan, penuh humor, mengetahui beberapa
bahasa asing, hafal beberapa sajak dalam berbagai bahasa, bahkan
mampu menyanyikannya. Lantas wajar orang terheran-heran
bahwa Nyonya Johan sama sekali belum pernah mengenyam
bangku sekolah dalam hidupnya.4
Begitulah, anak-anak Agus Salim mendapat pendidikan dari
orang tuanya sendiri. Dari Dolly sampai Totok, Jojet, Adik, Syauket,
Islam, dan Bibsy. Bibsy pernah tinggal di Kobe untuk mengikuti
suaminya Sunharyo, konsul RI Kobe. Dalam waktu singkat
Bibsy menguasai bahasa Jepang dan dapat bicara sangat lancar
seperti layaknya orang Jepang. Ketika anak bungsu Agus Salim
mencapai umur sekolah, Belanda sudah meninggalkan Indonesia,
dalam penilaiannya sekolah-sekolah Indonesia, meskipun masih
diawasi Jepang, sudah tidak bersifat kolonial lagi. Sidik masuk
sekolah rakyat seperti anak-anak yang lainnya tidak memanggil
neef Roem kepada saya seperti saudara-saudaranya, tapi Oom
Roem, seperti cucu-cucu Haji Agus Salim. Dalam rumah mereka
berbahasa Belanda, kecuali dengan anak-anaknya yang bersekolah
di Indonesia. Tapi anak-anak ini, karena setiap hari berbahasa
Belanda pada akhirnya dapat memahami juga.5
Begitulah gaya Agus Salim memberi ilmu pada anak-anaknya.
Kepribadiannya yang visioner dia terapkan pada keluarganya.

4
Ibid, hal 114
5
Pengakuan Roem lihat, Ibid, hal 116-117

9
Keyakinan yang kuat akan hal-hal yang dipandang mustahil telah
dilakukan oleh Agus Salim dalam lingkup kecil keluarganya.
Kemandirian sikap dan tidak tunduk pada kepentingan Belanda
membuat sosoknya semakin disegani kawan maupun lawan.
Dia mengajarkan pada kita sebuah sikap layaknya seorang
Indonesia yang benar-benar tegak dan sama martabatnya di depan
bangsa asing. Karakter percaya diri dipupuk bertahun-tahun
untuk melawan segala penindasan, imperialism, dan kolonialisme.
Anak-anak yang cerdas itu pun dihasilkan dari sebuah pendidikan
Islam yang mandiri dan bebas dari intervensi pemikiran yang
merusak. Anak-anak Agus Salim memiliki karakter yang sama
seperti ayahnya yaitu karakter pendidik dan pendobrak zaman.

B. Karakter Pendidik Agus Salim


Haji Agus Salim adalah orang yang pandai mengajarkan
pelajaran-pelajaran Islam kepada siapa pun. Dengan bahasa yang
lugas dan mudah dimengerti, The Grand Old Man memiliki karakter
yang mumpuni untuk menjelaskan ilmu-ilmu agama Islam. Jika di
podium-podium organisasi, dirinya menjadi macan bagi lawan.
Di lingkungan keluarga dan para sahabatnya, dia dikenal sebagai
pribadi yang ramah dan menyenangkan.
Tak pelak, Margono Djojohadikusumo meminta Agus Salim
untuk mengajar agama Islam kepada anak-anak muda. Margono
menuturkan, Agus Salim bersedia memberikan pelajaran-pelajaran
tentang agama Islam sekali seminggu dalam lingkungan keluarga,
terutama untuk anak-anak muda yang sudah menempuh sekolah
menengah. Dan ternyata inilah cara yang paling tepat. Sebagai
seorang ahli pidato, Agus Salim pandai menarik hati bujang-bujang
dan gadis-gadis kami dengan ceramah-ceramahnya tentang agama
Islam, apalagi beliau sendiri memang seorang ahli dalam agama
Islam.6
6
Lihat, Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan Dari Tiga Zaman, Satu

10
Ceramah-ceramah itu diberikannya dalam bahasa Belanda,
salah satu bahasa yang dikuasainya selain bahasa-bahasa modern
lainnya seperti Perancis, Inggris, dan Jerman. Di kalangan
Indonesia pada masa itu beliau terkenal sebagai seorang jenius
dalam bahasa-bahasa. Sekolah yang dikunjunginya ialah Sekolah
Koningin Wilhelmina III di Jakarta dan beliau seorang murid yang
terpintar sebagaimana dituliskan oleh RA Kartini dalam sepucuk
suratnya (habis gelap terbitlah terang).7
Dalam hal menyampaikan isi ceramah agama, sangat
terlihat Agus Salim adalah sosok yang mampu menyampaikan
sesuatu dengan renyah dan padat berisi. Kedalaman ilmu yang
dimilikinya mampu ditranformasikan kepada berbagai macam
karakter manusia, mulai dari anak-anak, pemuda, para intelektual,
dan tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi sekali pun.
Sejarah juga mencatat pemaknaan bahasa pidato Agus
Salim tidak tertandingi di zamannya. Dia sangat percaya diri
untuk membangun narasi hingga acap memenangkan perdebatan
panjang. Namun soal ilmu, ulama satu ini tidak memilah-milih
kepada siapa harus diberikan. Dalam catatan-catatan Roem, kita
bisa melihat bahwa pemuda-pemuda rela untuk melewati gang-
gang sempit menuju rumah Haji Agus Salim yang kecil dan
sangat sederhana tidak lain adalah untuk mengaji dan mengkaji
pemikiran Agus Salim. Rumah kecil dengan koleksi ribuan buku
tersebut sering dikunjungi pemuda-pemuda aktivis kemerdekaan.
Pada tahun 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB) yang
diprakarsai oleh Samsuridjal dan Agus Salim sebagai pembinanya.
Di organisasi itu Agus Salim memberi gagasan-gagasannya
tentang Islam. Roem menuturkan ada dua hal yang baru dalam
JIB. Pertama, pemuda Islam tidak berorganisai dalam garis
kedaerahan. Anggota-anggota JIB menamakan dirinya nasionalis

Kisah Kekeluargaan Tertulis, 1962, PT. Indira-Djakarta, hal 72


7
Ibid, hal 72

11
Indonesia. Waktu itu masih ada yang menolak hal semacam ini.
Kedua, anggota JIB mempelajari agama Islam dan melaksanakan
ajarannya dengan kesadaran bahwa Islam milik nenek moyang dan
melalui pelajaran Islam akan mencapai cita-cita kehidupan bangsa
Indonesia yang jadi tuan di rumah sendiri. 8
Maka sejak saat itu pemuda-pemuda JIB bertekad belajar
ilmu keislaman kepada Agus Salim. Mereka secara rutin mengikuti
kursus ilmu agama meski untuk menuju rumah Agus Salim
haruslah melewati gang-gang sempit. Termasuk Roem sendiri,
sebagai anggota JIB berkeyakinan dengan pemahaman Islam yang
kuat perjuangan kemerdekaan akan diawali dengan spirit agama
Islam. Agus Salim dengan senang hati mendidik pemuda-pemuda
JIB itu yang sudah tidak lagi mengatasnamakan kedaerahan. Nama
‘Islamiten’ pada JIB telah menyatukan pemikiran pemuda-pemuda
saat itu. Bisa jadi, garis nasionalis pertama dalam intelegensia
Indonesia sebenarnya adalah Islam, karena inilah awal muncul
pemuda nasonalis yang bersatu dalam wadah Islam. Walaupun kata
nasionalis saat itu juga dipakai oleh Partai Nasionalis Indonesia
(PNI) yang didirikan Ir. Soekarno.
Pada kongres ke-6 di Jakarta, diadakan pidato tentang cinta
tanah air dan bangsa dalam Islam, tentang Islam dan kemajuan,
tentang agama dan politik (pidato ini diadakan oleh Agus Salim,
penasihat JIB). Terlihat jelas bahwa perkumpulan pemuda ini
teristimewa bekerja untuk kemajuan Islam yang dianggap sebagai
agama kebangsaan Indonesia. Usaha yang dipentingkan sekali agar
golongan kaum intelektual tetap memeluk agama Islam. Dalam
kongres diambil keputusan mewajibkan anggota-anggota itu akan
dikelompokkan menurut kemajuannya dan melakukan kewajiban
agama.9

8
Lihat, Tulisan Roem, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta,
1978, hal 121
9
Mr. A.K. Pringgodigdo, Sedjarah pergerakan Rakjat Indonesia, 1949,

12
Pidato Agus Salim di kongres JIB pertama di Yogyakarta pada
hari natal 1926 berkata sebagai berikut:
“Masa muda saya sama dengan masa muda anda.
Meskipun dilahirkan dari keluarga yang beragama
dan dibesarkan dengan mendapat didikan agama,
dalam waktu singkat saya kehilangan kepercayaan.
Kepandaian sekolah mengganti kepandaian hidup.
Penghidupan pelajar, tanpa tanggung jawab sungguh-
sungguh, memudahkan pergantian itu. Dan keadaan
itu akan berlangsung selama waktu singkat sesudah
kita meninggalkan bangku sekolah.”……………Anda
sudah mempersatukan diri untuk mempelajari agama
Islam. Menurut keyakinan saya, Islam tahan terhadap
penyelidikan yang kritis, maka mengharapkan diselidiki
yang sungguh-sungguh…” Islam memberikan pengertian
yang terang tentang penghidupan dunia, tentang
penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia
sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk
meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai.”10

Ada sebab lain yang membuat Agus Salim sangat bersyukur


dengan lahirnya Jong Islamieten Bond. Menurut dia, berdirinnya
JIB menunjukan berdirinya sebuah organisasi yang mampu
menghimpun golongan muda yang masih belajar dan mereka
yang sudah selesai belajar namun memiliki orientasi kepada
kepribadian dan jiwa sendiri yang dimiliki rakyat. Di bawah
pengaruh kekuasaan barat dan pendidikan barat, rakyat kita
terutama yang menanamkan dirinya intelektual tercekam di bawah
sugesti superioritas dunia barat. Ia mencontohkan bagaimana

Pustaka Rakjat-Djakarta, hal 166 menurut anggaran dasarnya tujuan JIB adalah
mempelajari agama Islam memperbesar rasa cinta kepada agama Islam disamping
kesabaran yang nyata terhadap pemeluk agama Islam, disamping kesabaran yang
nyata terhadap pemeluk agama lain, memajukan campur gaul antara kaum intelek
maupun dalam golongan sendiri maupun dengan rakyat jelata dengan memakai
agama Islam sebagai alat perhubungan.
10
Het Licht, maanblad van den Jong Islamieten Bond, le jaargang, hal 269 e.v
(1925/1926)

13
pengaruh barat dalam bidang busana kala itu sangat menonjol.
Ada suatu masa di mana orang-orang pribumi dilarang memakai
pakaian barat. Pada waktu itu pakaian jongos, yaitu baju pantaloon
dan ikat kepala dipakai di kalangan priyayi, dan menjadi pakaian
terhormat. Pakaian semacam itu dipandang sebagai pakaian yang
menunjukkan peradaban tinggi.
Agus Salim menegaskan pandangan bahwa masyarakat In-
donesia dewasa itu hidup di bawah propaganda barat. Perasaan
kurang hormat kepada diri sendiri memang gejala umum di ka-
langan rakyat kita sebagai akibat dari penjajahan dan tekanan yang
sudah berlangsung beberapa abad. Pendirian Jong Islamieten Bond,
menurutnya, adalah usaha untuk keluar dari jalan penghinaan itu.
Di sini dengan sadar kita menunjukkan pandangan rakyat kita send-
iri, meningkatkan harkat dan martabat rakyat kita sendiri. Dengan
demikian agama Islam tidak akan dipandang lagi sebagai pusaka
yang menghalang-halangi kemajuan, tidak lagi sebagai tempat lari,
karena kita takut ancaman hari akhirat. Tapi Islam dijunjung tinggi
sebagai panji yang kita banggakan karena ajaran-ajarannya.
Sekiranya Agus Salim tidak bertugas sebagai penerjemah di
Konsulat Belanda di Jeddah dan tidak bertemu kemudian berguru
pada pamannya, Syekh Ahmad khatib, Imam dan guru mazhab
Syafii di Masjidil Haram, barangkali dia akan menjadi sosok
lain sama sekali, seorang vrije denker, yang akan dikutuk oleh
lingkungan Kota Gadang dan umat Islam Indonesia.
Agus Salim pada akhirnya menjadi sosok yang berpengaruh
di ikatan anak-anak muda muslim terpelajar, yang dikenal dengan
Jong Islamieten Bond yang dibentuk pada 1925, saat dia berusia 41
tahun. Dari JIB inilah kelak lahir generasi intelektual muslim yang
setelah proklamasi berkumpul dalam Partai Masyumi, suatu partai
moralis modern pembela demokrasi.11

11
Lihat, Haji Agus Salim (1884-1954), Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme,
2004, Gramedia Pustaka Utama, hal 122

14
C. Memesrai keluarga Agus Salim
Jika kita mencari sosok pahlawan bangsa yang sangat
mencintai keluarganya adalah Agus Salim. Kenangan kita semua
tentang sketsa wajahnya yang menampakkan sosok yang sangat
peduli dengan keluarga. Dia memang tidak pernah memberikan
kasih sayangnya kepada keluarga dalam bentuk harta kemewahan.
Hal itu bukan karena dirinya tidak mampu, tapi sikap low profile
membuatnya tidak sanggup untuk menikmati kemewahan yang
ditawarkan oleh para penjajah. Pascakemerdekaan Agus Salim
menjadi diplomat ulung. Saat menjadi pejabat pun tidak ada yang
berubah. Sepeda tuanya tetap setia menemaninya. Haji Agus Salim
dalam hidupnya mampu untuk membentuk keluarga dengan
karakter pejuang dengan penuh romantisme yang tidak pernah
kita duga.
Saat Agus Salim berada jauh dari keluarga untuk menunaikan
tugas kenegaraan sebagai diplomat di luar negeri, ia tidak lupa
megirimkan surat sebagai bentuk kepeduliannya pada keluarga.
Saat Agus Salim berdiplomasi untuk memperjuangkan agar
kemerdekaan RI diakui oleh Mesir pada 1947, beliau sempatkan
menulis surat yang kemudian dititipkan kepada Abdurrachman
Baswedan, salah seorang anggota delegasi RI yang kebetulan pulang
lebih dulu. Kutipan surat Agus Salim kepada isterinya berbunyi:
Maace sayang! Surat pendek ini hendak saya
tumpangkan kepada Abdurrachman Baswedan, yang
besok pagi terbang pulang ke Indonesia. Sangat sibuk
kami bekerja di sini, terutama oleh banyaknya kunjung-
mengunjung dan menghadiri perjamuan. Kalau hari
sudah malam, badan lesu ataupun pikiran bimbang,
karena awak bekerja di negeri orang, kabar dari rumah
hampir tidak ada. Awak hidup senang, serba cukup, di
rumah entah bagaimana hidup anak dan isteri. Rindu hati
tak dapat dikatakan... (17 Juni 1947).

15
Sebutan Maace sayang adalah bentuk sikap romantis seorang
Haji Agus Salim. Disela-sela kesibukannya memperkuat semangat
kemerdekaan lewat jalur diplomasi. Dia tetap memperhatikan
hal-hal kecil di dalam dunia mininya yaitu keluarganya dengan
terus berusaha untuk mencurahkan kasih sayang. Meski berada
jauh dari keluarga, Agus Salim masih tetap memikirkan keadaan
anak dan istrinya. Kata sayang yang terucap lewat surat tentu saja
disertai dengan perasaan rindu yang menggebu. Hal yang hendak
dihadirkan Agus Salim adalah semangat mencintai dengan penuh
dan utuh. Kata Sayang sekali lagi menegaskan bahwa istrinya
adalah bagian dari semangatnya yang terus untuk memberikan
yang terbaik bagi bangsa Indonesia.
Lalu kepada anak bungsunya, Mansur Abdurrahman Sidik,
yang pada 1947 berusia delapan tahun, Agus Salim juga menulis
surat kerinduannya: “Ananda Mansur Sidik! Papa sayang betul dan
rindu sama Mansur Sidik, kangen mau pulang. Mansur Sidik musti
mendoa biar lekas kita bisa berkumpul pula. Peluk cium papa -- A
Salim. (17 Juni 1947).”
Agus Salim adalah contoh seorang ayah dan suami yang
luar biasa. Terbiasa hidup tanpa kemewahan, kebahagiaan, dan
kerinduan untuk berjumpa dengan keluarga adalah sebuah
kesakralan. Menghadirkan cinta di dalam keluarga tentu bukan
hal yang mudah di tengah padatnya kesibukan seorang Agus Salim
yang senantiasa harus selalu siap meninggalkan keluarganya dalam
keadaan apa pun. Sosok Agus Salim adalah seorang yang sangat
memperhatikan keluarga. Sang diplomat ini tampaknya hendak
menunjukan bukti nyata bahwasannya kepemimpinan keluarga
mempengaruhi sikapnya dalam memimpin dan mengelola bangsa.
Dia hendak meneladani apa yang dikatakan oleh Rasulullah
sebagaimana diriwiyatkan oleh HR Tirmidzi bahwa “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku
adalah yang terbaik terhadap keluargaku.”

16
D. Keluarga miskin yang ceria
Kehidupan keluarga seorang Haji Agus Salim sangat biasa
dibumbui kekurangan. Dia bukanlah tipe pribadi yang gemar
menumpuk harta. Sebagai pimpinan surat kabar, ia tahu pasti
ke mana penghasilannya, tidak hanya diberikanya pada keluarga
melainkan juga untuk perjuangan. Maka tidak sempat lagi Agus
Salim berpikir akan hidup kaya di tengah rakyatnya yang miskin
dan terjajah. Dia juga telah membuktikan pendiriannya dengan
memilih untuk menolak pekerjaan yang ditawarkan Belanda
sebagai corong intelektual Belanda. Padahal Belanda rela membayar
gaji besar asal dirinya mau memimpin surat kabar Hindia Baroe
yang menjadi alat propaganda Pemerintah Belanda.
Tak heran jika kelak ketika sudah tidak lagi aktif sebagai
pemimpin partai dan surat kabar, Agus Salim memilih berjualan
arang untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya. Hal yang
mulia dari pada menjadi kaya namun diperbudak oleh penjajah.
Hidup kaya dan miskin bagi Agus Salim sama saja dan itu pernah
dirasakannya. Sebagai anak orang berkecukupan, ayahnya pernah
bekerja sebagai jaksa di Riau. Kemudian Haji Agus Salim juga
pernah bekerja di Jeddah selama lima tahun sebagai konsulat
Belanda. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah dan juga
pemimpin beberapa surat kabar, sangat mungkin kalau hanya untuk
membuat Haji Agus Salim menjadi sosok yang berkecukupan.
Menjadi miskin adalah pilihan untuk membantu perjuangan untuk
membangun gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pernah suatu hari, uang belanja keluarga Agus Salim telah
menipis. Walau ada nasi, tetapi paace (panggilan Agus Salim) dan
maace (panggilan Zainatun Nahar, istrinya) tak punya uang untuk
membeli lauk pauk. Sambil bergurau, dibumbui humor yang
melibatkan anak-anak mereka, Paace sendiri menyisingkan lengan
baju membuat nasi goreng. Sekeluarga itu lalu makan bersama-
sama dengan ceria.

17
Zainatun Nahar, istri Agus Salim, bukanlah tipe perempuan
yang manja atau cengeng. Pernah suatu ketika mereka tinggal di
rumah yang atapnya bocor. Kalau hujan turun, air membanjiri
masuk kamar. Zainatun Nahar bukannya bersedih atau panik. Ia
menaruh ember-ember di tampat-tempat kebocoran. Anak-anak
diajak membuat perahu kertas dan asyiklah mereka main perahu
bersama. Rumah yang bocor malah dirasakan sebagai suatu suka
cita bersama.
Pada suatu masa, mereka menempati rumah buruk yang
kakusnya telah rusak. Kalau disiram, isi kakus itu meluap. Zainatun
Nahar benar-benar tidak tahan dan setiap kali ke WC malah
muntah-muntah karena jijik. Haji Agus Salim kemudian melarang
istrinya menggunakan WC yang rusak itu dan ia sendirilah yang
tiap hari membuang pispot istrinya.12
Begitulah Agus Salim seorang ulama, pemimpin, aktivis, dan
ayah yang sangat low profile. Baginya kehidupan harus dihadapi
dengan kondisi apapun. Sikapnya yang tidak pernah mengeluh
menjadikannya tetap tegar hingga usianya senja. Dia senantiasa
memenangkan setiap ujian yang dihadapi dengan sikap tenang,
tegar, dan brilian. Agus Salim menjalani kehidupan miskin dengan
keceriaan, anak-anaknya juga cukup tahu apa yang terjadi dan apa
yang sedang diperjuangkan ayahnya bagi Indonesia.

E. Haji Agus Salim ditunggangi sepeda


Pada tahun 1925, Haji Agus Salim tinggal di rumah sempit
di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Dari Asrama Stovia di Gang
Lewini ke Tanah Tinggi dapat ditempuh selama 10 menit naik
sepeda kala itu. Menuju rumah Agus Salim kala itu harus melewat
jalan yang diaspal hanya sampai Stasiun Senen, seterusnya jalan
tanah berlubang-lubang. Jalan yang mereka lewati sangat becek
dan susah dilalui sepeda ibarat naik perahu di atas air yang
12
Ibid, hal 143-144

18
berombak. Para pemuda-pemuda JIB saat itu memang sangat rajin
berkunjung ke tempat Haji Agus Salim untuk kursus ilmu-ilmu
agama Islam. Sebagai seorang ulama, sastrawan, aktivis Sarekat
Islam, singa podium dan mampu bermacam bahasa, Agus Salim
sangat dihormati sebagai sosok yang menjadi panutan anak-anak
muda saat itu.
Saat Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten Bond, Agus
Salim bertindak sebagai penasihat. Kasman Singodimedjo dan
Soeparno adalah pengurus JIB cabang Jakarta, mereka termasuk
para pemuda yang rajin bertandang ke rumah Agus Salim. Roem
menuturkan bagaimana suasana pertemuan para pemuda dengan
Agus Salim saat itu. Haji Agus Salim kami jumpai duduk di
serambi dan menyambut kami dengan ramah. Sikapnya sangat
menarik. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara yang ditujukan
kepada Kasman. “Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin
peranan sepeda dan manusia terbalik”. Saya tahu, kemarin Kasman
datang sendiri. Dan, dia melihat saya dan Soeparno tidak mengerti
apa yang dibicarakan, lantas menjelaskan, “Kemarin saya datang,
dan ditunggangi sepeda, bukan saya yang menunggangi sepeda.”
Kemarin dia di tengah jalan dikejar hujan, dan mengalami nasib
yang diceritakan Agus Salim. Tanah liat yang setengah basah
melekat pada roda sepedanya dan tak dapat berputar sama
sekali. Kasman menyambung, “Dan kemarin saya katakan, jalan
pemimpin bukan jalan mudah. Memimpin adalah menderita.”13
Dalam penjelasan Roem, apa yang dikatakan Kasman adalah
ungkapan sastra yang jika diartikan dalam bahasa Belanda yaitu
leiden (memimpin) dan lijden (menderita). Kasman mengatakan,
“Een leidersweg is een lij densweg, leiden is lijden.” Sosok menderita
di sini adalah pilihan bukan keterpaksaan melainkan sebuah
kesadaran untuk bersedia menerima risiko yang dihadapi seorang

13
Lihat, Tulisan Roem, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta,
1978, hal 103

19
pemimpin dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi pada setiap perjuangannya.
Roem tampaknya memahami betul sosok Agus Salim yang
setiap harinya mengalami kesulitan mobilisasi untuk pergi dan
pulang ke rumahnya. Terlebih sepeda, yang sudah tidak bisa diajak
kompromi untuk berjalan akibat ban yang terlilit tanah liat, itu
harus berbalik di atas untuk menunggangi tubuh kecilnya.
Haji Agus Salim pun sesungguhnya sudah terbiasa dengan
kondisi itu, karena ia menjadi sangat mengerti kesusahan Kasman
dan kawan-kawanya saat menuju rumahnya, terlebih pada saat
kondisi hujan. Agus Salim kerap memanggul sepedanya, saat hujan
datang. Sepedanya menjadi raja saat hujan dan kala terang sepeda
itu bergantian melayani tubuh kecilnya.
Agus Salim yang kala itu sangat terkenal dengan orasinya
di forum-forum, menganggap biasa saja jika harus memanggul
sepeda saat hujan. Ia memahami bahwa sepeda yang sudah macet
karena lumpur itu tidak mau lagi dikayuh menuju rumah kecilnya.
Jalanan yang becek dan melilit ban sepeda itu digantikan dengan
kaki pendeknya yang menjadi pengganti tunggangan sepeda. Bagi
Roem, Kasman, dan Soeparno yang juga mengalami kepayahan
tokoh yang dikaguminnya. Mereka ikut meresapi filosofi hidup
Agus Salim leiden is lijden.
Roem sejak awal memang sangat mengagumi sosok Agus
Salim. Pertemuan pertamanya dengan Agus Salim membawa ke-
san mendalam. Filosofi memimpin adalah menderita bukan hanya
sebatas pada cerita sepeda, tapi juga tercermin pada sikap hidup
sederhananya. Rumahnya yang kecil, keluarga yang ramah, dan ke-
berhasilan Agus Salim mendidik anak-anaknya yang meski tidak
sekolah tapi pandai berbahasa. Wajar jika para pemuda saat itu
sangat antusias untuk belajar dan berdiskusi bersama Agus Salim.
Agus Salim yang sesungguhnya terlahir di keluarga yang
cukup berada, menerima pendidikan Belanda, bahkan pernah

20
bekerja untuk menjadi mata-mata Belanda dengan gaji yang cukup
besar, pada gilirannya mengambil pilihan-pilihan sulit. Semua
kemewahan yang pernah ia miliki ditinggalkannya atas dasar
prinsip dan kecintaannya terhadap Indonesia. Agus Salim justru
bergabung dengan Sarekat Islam bersama Tjokroaminoto dan
menjadi anggota yang militan. Dia menegaskan soal pentingnya
mengembalikan harga diri bangsanya, dan itu semua menurutnya
harus dimulai dengan kemandirian.
Sosoknya menunjukan ketegasan sikap terhadap imperalisme
dan kolonialisme. Sikap keras itulah yang menyebabkan Agus
Salim senantiasa dikunjungi para pemuda yang menjadikannya
sosok guru peradaban bagi pemuda. Sikapnya yang tanpa basa
basi memang terbukti mampu menguatkan nyali para pemuda
JIB untuk menjadi petarung dengan segala keterbatasan. Mereka
sedikit demi sedikit mengokohkan diri dalam narasi intelektual
dan berjuang untuk menyetarakan diri untuk duduk sama rendah
berdiri sama tinggi di hadapan para penjajah. Melawan dan terus
melawan. Benar kata Pramoedya Ananta Toer, “Kalau mati, dengan
berani, kalau hidup, hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak
ada…, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”

21
BAB III
PEMIKIRAN
DAN PERJUANGAN ISLAM

A. Haji Agus Salim ulama Holistik


“Ulama bukanlah pemimpin jang dipilih dengan suara
terbanyak bukan jang diangkat oleh “persidangan
kongres”. Akan tetapi kedudukan mereka dalam hati
rakjat jang mereka pimpim, djauh lebih teguh dan sutji
dari pemimpin pergerakan jang berorganisasi atau
pegawai pemerintah jang manapun djuga.” (M. Natsir,
Capita Selecta, 1954, h 163).

Ulama berasal kata dari alima ya’ lamu dari kata ilmu dari
kata jamak aalimun (orang yang memiliki ilmu). Di zaman Islam
klasik, ulama bukan hanya orang yang paham terhadap masalah
agama. Ulama adalah manusia yang juga menguasai segala jenis
ilmu, mulai dari agama, filsafat, sejarah, astronomi, ekonomi,
politik, sosial, budaya bahkan pertahanan (perang). Rasul dan
para sahabat hampir semuanya adalah orang yang memiliki ilmu-
ilmu tersebut. Selanjutnya kemudian kita mengenal ilmuwan Islam
seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Abu Yusuf, Ibnu
Farabi, dan masih banyak lainnya.
Ulama adalah sumur intelektual, semakin ditimba semakin
jernih ilmu yang kita dapatkan. Kata-kata seorang ulama
menghujam ke dalam jiwa para makhluk beriman. Kejernihan
ilmunya menyegarkan pikiran dan hati semua insan. Sejuk bagai
embun pagi yang memesrai daun-daun hijau yang melambai.
Ulama adalah busur-busur panah, yang menancap tapi tidak
melukai. Dalam sekejap kata-katanya tepat sasaran dan memberi

22
kesadaran pada manusia untuk kembali pada garis edar menuju
titik kebenaran. Ulama memberi garis tegas sebagai pengingat
akan hal-hal yang telah mengotori perilaku manusia.
Mendefinisikan ulama secara ideal memang tidaklah cukup
dengan makna kata, mengeja kamus atau mengurai pendapat para
peneliti yang telah mendefinisikan ulama dengan berbagai macam
teori. Sebagaimana ulama dan ilmu merupakan satu tubuh, maka
dunia intelektual secara inheren hadir di dalamnya. Kerja-kerja
ulama adalah kerja-kerja untuk meningkatkan kapasitas ilmu
dan terus mempraktekkan ilmu. Karenanya, ulama sebagaimana
pribadi yang dianugerahi bermacam ilmu adalah orang yang diberi
pengetahuan untuk dapat menunjukkan jalan kebenaran menuju
jalan Tuhan.
Ulama pada zaman ini hanya sebatas simbol-simbol pemilik
masjid, pemilik pondok pesantren, pemilik komunitas organisasi
keagamaan. Budaya ilmu yang seharusnya dilakukan dengan kerja-
kerja intelektual, faktanya terpisah dari kehidupan para ulama
sendiri. Apalagi sangat dirasakan ada pemisahan bahwa ulama
hanya yang memiliki ilmu-ilmu akhirat sedangkan intelektual
adalah orang yang menguasai ilmu duniawi. Idealnya keduanya
harus dipahami sebagai satu batang tubuh ilmu, yang mampu
memberi manfaat bagi dunia dan akhirat.
Padahal kita tahu apa yang dihasilkan para ilmuwan barat
tentang dunia sains tidak pernah berlawanan dengan Alquran
yang selama ini ditafsirkan secara klasik. Tafsir secara sains
terbukti banyak membawa manusia semakin sadar akan kebenaran
Alquran. Artinya ulama idealnya juga hadir dan melingkupi dunia
intelektual sains, intelektual yang asalnya tidak tidak bersimbol
ulama tapi melakukan kerja-kerja ulama.
Di bidang politik kita juga tahu seperti Ibnu Taimiyah yang
pernah ikut berperang dan juga peneliti ekonomi politik dengan
konsepnya yang terkenal Al-hisbah. Ibnu Khaldun, peneliti sosial

23
ekonomi dan telah dinobatkan sebagai bapak sosiologi modern
dan masih banyak lagi. Ulama hari ini hanya kita pahami adalah
orang yang mengurusi sebuah kelompok jamaah, mereka ber-
ashobiyah (mengunggulkan kelompoknya) dan menjadi alat
untuk melegitimasi oligarki partai politik. Akibatnya kerja-kerja
meneliti tentang bagaimana fatsun (etika) politik ditegakkan pun
nihil dibahas. Di banyak daerah di Indonesia justru seringkali kita
melihat ulama menjadi alat kapitalisasi suara partai politik dalam
pesta-pesta politik lima tahunan di sebuah jamaah atau pondok
pesantren. Masih sangat jarang sekali terdengar ulama yang
berjuang, berkorban, tanpa pamrih, mau sederhana, mau menulis,
mau meneliti, mau terjun secara baik untuk menegakkan politik
sebagaimana para ulama pendahulu.
Kita juga acap melihat ulama menjadi pekerjaan untuk meraih
pendapatan dunia. Ulama menjadi alat legitimasi fatwa, tapi tidak
mampu merubah tatanan konstitusi kenegaraan karena semakin
lemahnya otoritas para ulama dalam membangun relasi dengan
umara. Ulama yang seharusnya punya otoritas yang sama dengan
umara, semakin hari, semakin terkikis otoritas pendapatnya dan
hanya didengar manakala punya santri ribuan dan pendukung
fanatik. Itu pun seringkali dimanfaatkan untuk mendulang suara.
Dewasa ini, dalam mengambil kebijakan para umara jarang sekali
mendengar pendapat para ulama. Seharusnya dakwah ulama
menjangkau semua lapisan masyarakat. Jangkauan itu mengajak
semua kaum elitis (atas) dan alitis (bawah) untuk kembali pada
sistem yang benar. Ulama semestinya tahan uji dan tahan puji.
Ulama adalah cahaya terang pada jalan yang gelap.
Pada era kemerdekaan, erosi ulama dirasakan kalah dengan
peran intelektual yang tumbuh pada pendidikan-pendidikan
modern. Beruntung ada ulama yang juga intelektual seperi HOS
Tjokroaminoto, Agus Salim, Hamka, M. Natsir, Wahid Hasyim,
dan lainnya. Mereka terjun ke gelanggang dari sebelum merdeka

24
sampai kemerdekaan. Mereka adalah ulama yang dididik oleh
semangat zaman untuk menjadi penjaga literasi ajaran Islam dalam
nafas keindonesiaan. Tanpa peran mereka dalam bidang politik,
mustahil kemerdekaan dapat dicapai. Hadirnya para politisi ulama
ini tentu membawa positif dan negatif tersendiri terkait dengan
banyaknya hal yang kemudian disetujui dan dipertentangkan.
Tokoh Ulama seperti Haji Agus Salim memang memiliki
tempat tersendiri di hati rakyat dan intelektual muslim saat itu.
Pribadi yang sederhana, memiliki wawasan Islam yang luas,
menguasai sembilan bahasa asing, dan juga pemikir modernisme
Islam. Agus Salim adalah ulama sekaligus politisi, pendidik yang
visioner, tokoh pergerakan nasional dan internasional, pejuang
pers yang gigih, sastrawan profetik, dan pahlawan yang menjadi
satu dari 68 bapak bangsa Indonesia.
Haji Agus Salim dikenal sebagai ulama yang tidak hanya
barfatwa, juga memberikan teladan perilaku dan ikut terjun
menjadi motor penggerak gerakan Sarekat Islam. Pribadi yang
sederhana bahkan sampai melarat, sering memanggul sepeda kala
hujan tiba, dan berjalan menuju rumahnya yang sangat becek
dan bergelombang tanah liat. Kesederhanaan adalah pilihannya,
menolak gaji besar memilih keluar dari pekerjaan Konsulat
Belanda.
Dalam wawasan Islam, Haji Agus Salim adalah seorang yang
mengenyam pendidikan Islam pada Syekh Ahmad Khatib selama
lima tahun. Syeikh Ahmad Khatib sendiri adalah pejuang Pan-
Islamisme yang pernah dicetuskan oleh Jamaludin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyd Ridha, dan ulama kontemporer
lainnya. Agus Salim juga adalah seorang yang belajar ilmu-ilmu
lain secara otodidak dan mampu membangun narasi-narasi
panjang dalam orasinya yang tajam. Ia juga mampu berbicara di
forum internasional dengan bahasa Perancis tanpa teks dengan
lantang. Tata bahasa Agus Salim adalah tata bahasa yang penuh

25
muatan sastra sebagaimana kerajaan Minangkabau dulu terkenal
dengan kerajaan kata-kata. Kemampuan bahasannya yang
istimewa membuatnya mampu menguasai sembilan bahasa, yaitu
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, Jepang, Indonesia
dan beberapa bahasa daerah.
Haji Agus Salim adalah ulama yang komplit tidak saja
menjadi pemimpin umat, tapi karya-karyanya adalah cermin
keluasan ilmu yang dimilikinya. Sama halnya dengan ulama yang
lain, Agus Salim adalah manusia biasa yang memiliki cahaya
terang yang dapat dibagi kepada siapa pun. Sikapnya yang tegas
dalam Islam tidak dapat dibeli oleh segelintir godaan dunia.
Dia adalah sosok ulama brilian yang pernah dimiliki Indonesia.
Generasi muda Islam sesunggguhnya dapat mengambil pelajaran
dari pemikiran-pemikirannya sebagai nafas gerakan untuk
membangun Indonesia.

B. Adat Haji Agus Salim


Haji Agus Salim sebagai seorang ulama, intelektual dalam
sidang BPUPKI mengatakan bahwa pertikaian hukum agama
dengan hukum adat bukanlah masalah baru, dan pada umumnya
sudah selesai. Lain dari pada itu, orang-orang beragama lain tidak
perlu khawatir: keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada
kekuasaan negara, tetapi pada adatnya ummat Islam yang 90%
itu.14
Begitulah jawaban Agus Salim saat menanggapi pertanyaan
Latuharhary, koleganya di BPUPKI yang beragama Kristen.
Saat itu, Latuharhary menyampaikan keberatannya atas Piagam
Jakarta, terkait termuatnya tujuh kata, yakni “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kekhawatiran Latuharhary kala itu dilatarbelakangi akan timbulnya

14
Safruddin Bahar, dkk, Penyunting, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, (Jakarta:
Sekretariat Ngara RI, 1995), hal 385

26
kekacauan terhadap adat istiadat. Jawaban Agus Salim adalah
bentuk sikap kenegarawan yang menjamin keamanan pada semua
lapis bangsa yang sedang menuju kemerdekaan Indonesia. Sebuah
ungkapan yang muncul untuk tidak mendramatisir masalah dalam
bingkai kekakuan beragama sehingga dikhawatirkan ketakutan
itu menjadi racun kebencian bagi Indonesia yang memiliki 90%
penduduk muslim saat itu.
Masalah adat memang menarik untuk dibahas. Adat adalah
gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan
di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi
kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat
setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Menurut
Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal
di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660), adat (‫ )تاداع‬berasal
dari bahasa Arab, bentuk jamak dari adah (‫)ةَداع‬, yang berarti
cara dan kebiasaan. Di Indonesia kata adat baru digunakan pada
sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada
masyarakat melayu setelah pertemuan budayanya dengan agama
Islam pada sekitar abad 15-an. Kata ini antara lain dapat dibaca
pada undang-undang negeri melayu.
Maka kata adat yang muncul dari ucapan Agus Salim
memiliki sejarah yang begitu panjang menyangkut karakter umat
Islam Indonesia sendiri sebagaimana tertuang pada sejarah-
sejarah kebudayaan Islam. Islam dalam sejarahnya memiliki
kebiasaan baik tanpa ada upaya menjajah negeri-negeri yang telah
dikuasai Islam. Andalusia (Spanyol), Baghdad (Irak), Turki, Mesir,
adalah negara-negara berperadaban tinggi saat itu pada saat Islam
memimpin. Sedangkan di Indonesia, agama Islam hadir dengan
cinta damai tanpa harus berseteru dengan kerajaan yang kala itu
telah menguasai nusantara, seperti Majapahit dan Sriwijaya.

27
Makna adat Islam yang di lontarkan Agus Salim pada
perdebatan salah satu bunyi pasal pada Piagam Jakarta adalah
penegasan sejarah bahwasannya Islam mengandung banyak
kebaikan tanpa ada upaya menindas pihak-pihak lain. Haji
Agus Salim seperti ingin menjamin kepada bentuk ketakutan
Latuharhary, bahwa mayoritas 90% umat Islam akan berjuang
bersama umat lain untuk membangun Indonesia bersama-sama.
Jadi ucapan itu adalah sikap tegas Agus Salim untuk dapat dipahami
semua pihak termasuk umat Islam sendiri bahwa adat (kebiasaan
baik) itu yang harus menjadi toleransi bersama sejak hari itu dan
untuk masa depan seterusnya.
Kita pun menyadari sampai saat ini umat Islam masih
memegang kuat adat yang baik tanpa ada keinginan umat Islam
untuk melakukan otoritarianisme lewat kekuasaan negara. Jika
kita kritik kembali pada para pemimpin bangsa ini penolakan
terhadap Piagam Jakarta adalah bentuk terlalu memberi kebaikan
pada minoritas umat sehingga berbalik memecah belah mayoritas
Islam sendiri. Mayoritas umat Islam saat itu adalah kelompok yang
paling memiliki kepentingan untuk kebaikan negara, jadi terlalu
masygul jika kemudian ada ketakutan di luar Islam dengan bunyi
sila pertama pada bagian Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang
berbunyi sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

28
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan takyat, dengan berdasarkan kepada :
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan–perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.15

Wahid Hasjim mengajukan dua usul. Pertama pada pasal 4


ayat 2 ditambah dengan kata “Yang beragama Islam. Pertama, buat
masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah
dengan masyarakat”. Dia menyampaikan alasan, “Jika Presiden
orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan be-
sar pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya pula pada pasal 29 tentang
agama, diubah sehingga berbunyi: “Agama negara ialah agama Is-
lam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama
lain untuk, dan sebagainya”. Dia beralasan; “Pada umumnya pem-
belaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena
menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideolo-
gi agama”.16 Menariknya usul Wahid Hasjim bukan saja ditolak oleh
kalangan nonmuslim, tetapi Haji Agus Salim, yang juga merupakan
juru bicara pihak Islam, tidak menyetujui usul tersebut.

15
Safruddin Bahar, dkk, Op. Cit, hal 385.
16
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta
,Yayasan Prapanca, 1959), Naskah I, hal. 261-262

29
Penolakan Agus Salim bukanlah bentuk dirinya yang tidak
menyepakati hadirnya Islam dalam bentuk konstitusi negara. Haji
Agus Salim lebih berpikir untuk membangun kebersamaan Islam
dan agama lain untuk menghentikan kecurigaan dan berdebat pada
adu bentuk ideologi. Bentuk perdebatan ideologi itu yang akan
menguras energi bangsa dan akan membuat pihak penjajah yang
masih memiliki keinginan untuk merebut kembali jajahannya,
menyerang dengan membangun isu agama.
Sebagai seorang diplomat, Agus Salim pun membuktikan
dirinya mampu membangun akses dukungan dari negara-negara
mayoritas Islam di luar negeri. Mesir, lewat Ikhwanul Muslimin,
adalah negara yang pertama kali mendukung kemerdekaan
Indonesia. Karenanya, Agus Salim dan beberapa kawan sengaja
bertandang ke Mesir untuk mengucapkan terimakasih kepada
Hasan Al-Bana dan tokoh-tokoh Mesir lainnya yang berani secara
lantang mendukung kemerdekaan Indonesia. Cara-cara ini lebih
arif dan menghindari tuduhan bahwa Islam Indonesia telah
melakukan tindakan fundamentalisme agama lewat konstitusi yang
dibangun. Pilihan yang saat itu sangat sulit karena pihak luar Islam
mengancam akan menggagalkan dukungan kemerdekaan. Atas
nama bangsa, Agus Salim menampakkan sikap kenegarawanannya
membangun aliansi antarnegara untuk mendukung kemerdekaan
Indonesia.

C. Haji Agus Salim dan Fabel Politik


Perdebatan panjang Sarekat Islam pada gilirannya membuat
organisasi ini pecah menjadi SI merah dan putih. Perpecahan ini
adalah dampak dari pertarungan prinsip ideologi Islam dan komunis
yang memang hadir dan terus bergulat di dalamnya. Bagi founding
father seperti HOS Tjokroaminoto yang memiliki kedalaman
ilmu Islam, sosialisme adalah karakter filantropi (kedemarwanan)
sebagai seorang muslim yang peduli pada bentuk kemiskinan,

30
ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penjajahan yang kejam
saat itu. Jadi ideologi Islam dan sosialis ini menurutnya tidaklah
menjadi masalah, karena keduanya akan menjadi alat perjuangan
yang sama dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Sarekat
Islam yang berawal dari kumpulan para pedagang yang membela
kaum lemah ini akhirnya bermetamorfosa menjadi gerakan Islam
besar, dan menakutkan bagi Belanda. Karakter Islam sosialis yang
dibawa oleh Tjokroaminoto memang relevan untuk digaungkan
saat itu atas kebenciannya terhadap imperialisme, kolonialisme,
dan kapitalisme yang sangat menyengsarakan rakyat.
Namun, di sebagian anak didik Tjokroaminoto kelak,
sosialisme dalam tubuh SI justru berubah menjadi komunisme
dan semakin progresif membangun aliansinya sendiri. Dengan
semangat proletarian dan sokongan dari Uni Soviet, sosialisme di
Indonesia semakin memberi warna perjuangan yang lebih radikal
dan pada gilirannya menumbuhkan kesan anti terhadap agama.
Meskipun sesungguhnya juga tidak dapat digeneralisasi bahwa
para anggota Partai Komunis Indonesia telah meninggalkan
agama. Untuk konteks Indonesia, PKI adalah partai yang besar
dan nilai religi masih banyak dianut kuat oleh para anggotanya.
Sengitnya perdebatan di tubuh SI dapat kita simak dari
dialog di panggung rapat Sarekat Islam kala itu. Muso—yang kelak
menjadi tokoh Partai Komunis Indonesia—berdiri kokoh dan
melihat para anggota rapat. Dia pun tersenyum.
“Saudara, saudara, seperti apa orang yang berjanggut itu?”
tanyanya.
Para peserta seperti kaget. Tapi, mereka menjawab juga,
“Kambing!”
“Lalu, seperti apa orang yang memasang kumis,” tanya Muso
lagi.
“Kucing!”
“Terimakasih.” Muso tergelak, lalu turun dari podium.

31
Kemudian, seorang lelaki kecil, berjanggut panjang, berkumis,
naik podium. Dia tersenyum sebentar pada peserta rapat. Mengelus
janggutnya, berdehem, dan bertanya,
“Tahukah Saudara, seperti apa orang yang tidak berkumis
dan berjanggut?”
Koor jawaban pun bergema. “Anjing!”
Lelaki berjanggut itu tersenyum. Kemudian meneruskan
pidatonya, menjelaskan agenda Sarekat Islam dalam menghadapi
politik kolonialisasi Belanda. Dengan cerdas laki-laki berjanggut
itu menghadapi perdebatan dengan kemenangan. Haji Agus Salim
adalah laki-laki berjanggut tersebut, seseorang yang kelak menjadi
salah satu juru diplomat terhadap negara-negara Timur Tengah
untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Agus Salim adalah
orang yang sangat pandai membalas perdebatan-perdebatan
panjang para tokoh yang dinilai merongrong agenda Islam.
Namun kelak kita juga akan menyadari bahwa Agus Salim
bukanlah orang yang terlalu sibuk dengan kostum dan kosmetik
Islam dalam perjuangan Islamnya. Dirinya adalah cermin pribadi
muslim yang memberi rasa tenang dan nyaman pada sesama
manusia. Sikap hidup sederhana telah inheren dalam pribadi Agus
Salim. Baginya, sangat tidak arif jika masih banyak rakyat miskin,
buta huruf, berpakaian goni, tapi pemimpinnya hidup di rumah
mewah bagai raja dikelilingi budak.
Baginya Islam juga perlu melakukan pembaharuan
perjuangan agar mampu melawan Belanda dengan kecerdasan,
bukan hanya dengan berdoa mendapat mukjizat keajaiban dari
Tuhan. Perdebatannya dengan Muso yang sudah mengarah pada
penghinaan fisik juga dihadapinya dengan lantang dan cerdas.
Bahkan balasannya atas majas-majas Muso yang menyindirnya
dengan binatang “kucing dan kambing” dibalas dengan santai
dan menohok, yang disambut oleh para anggota dengan jawaban
“anjing”.

32
Konflik di podium tersebut adalah perdebatan fabel politik
yang paling liberal karena pada gilirannya seperti disebutkan di
atas, Sarekat Islam mengalami perpecahan. Sebenarnya Haji Agus
Salim adalah orang yang memiliki empati terhadap kesusahan fisik
tapi dia sangat tajam menghujat kepicikan pikir yang terlontar
dari para pejuang saat itu yang terlalu apriori dengan Islam dan
perlawanan terhadap penjajahan. Sikap Agus Salim yang mampu
menjadi lawan tanding bagi para tokoh kiri adalah buah dari
pemikirannya yang senantiasa progresif menjawab tantangan Pan-
Islamisme.
“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam
berdebat. Ia amat ahli berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat
tajam kala mengecam,” ucap Mohamad Roem, rekan Agus Salim
semasa aktif di Jong Islamieten Bond. Roem sangat memahami
kapan dan bagaimana Agus Salim bersikap terhadap masalah-
masalah keindonesiaan yang senatiasa terus berubah. Agus Salim
bukan hanya sosok pejuang Islam, tapi dia termasuk intelektual
zaman itu yang sangat dihargai di dunia Internasional. Sepak
terjang dan totalitasnya terhadap kebenaran membuat Agus Salim
disegani, baik sebagai lawan maupun sebagai kawan.
Beberapa kali dibuang di pengasingan tidak membuat
Haji Agus Salim lantas terbebani dan mati gaya untuk terus
menyadarkan rakyat tentang arti penting kemerdekaan. Dia pun
sempat merasakan dibuang di Muntok, Bangka Belitung, bersama
Soekarno dan Hatta akibat propaganda-propaganda untuk
mempertahankan kemerdekaan di seluruh nusantara. Sungguh
perjuangan yang melelahkan dalam mempertahankan proklamasi
17 Agustus 1945.

D. Sosialisme Islam Agus Salim


Prof. Schermerhorn (1970) dalam buku hariannya menuliskan,
“Saya khusus ingat kepada Salim (H. Agus Salim), yang pada suatu

33
hari saya undang ke istana sini. Orang tua yang sangat pintar ini
seorang jenius dalam bahasa, bicara, dan menulis dengan sempurna
paling sedikit dalam sembilan bahasa. Ia hanya mempunyai satu
kelemahan yaitu: bahwa selama hidupnya melarat!”
Perjuangan Islam muncul atas keprihatinan Agus Salim
terhadap bentuk kapitalisme yang sangat eksploitatif. Islam yang
disandingkannya dengan sosialisme seakan hendak menunjukan
cara seorang muslim untuk melawan hegemoni penjajah yang
terus menyingkirkan mayoritas rakyat. Guna memperkuat alasan
apa yang dikemukakan terakhir mengenai sikap Agus Salim
terhadap Sosialisme, kita dapat melihat pendapat A. P. E. Korver.
Tokoh ini menjelaskan empat sikap yang sekaligus menjadi ciri-
ciri organisasi SI tempat Agus Salim bergiat. Pertama, penolakan
berbagai macam prasangka terhadap pribumi dan penolakan sikap
diskriminatif Belanda terhadap pribumi. Kedua, penghargaan
positif terhadap identitas pribumi. Ketiga, cita-cita penentuan nasib
sendiri. Keempat, antikapitalisme. Empat faktor inilah, terutama
faktor keempat—bersama faktor lain—yang membuat tokoh-
tokoh SI termasuk Agus Salim mau menoleh kepada sosialisme. 17
Mohammad Hatta bahkan yakin The Grand Old Man
menganut sosialisme Islam yang dipelajarinya pada tahun 1906.18
Dalam penuturan Hatta, Agus Salim banyak membaca buku
sosialisme, dan Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk,
antara lain, mengajarkan sosialisme tersebut.19 Tanpa menolak

17
Korver, A.P.E. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafiti,1985.
18
Ketika Hatta dan kawan-kawannya berkunjung ke rumah Agus Salim, Hatta
mengaku bahwa dirinya banyak membaca buku-buku sosialisme yang dibelikan
oleh pamannya. Lihat Mohammad Hatta, “Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus
Salim” dalam Solichin Salam, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, 1965, hal. 28
19
Kamaluddin Marzuki, Perilaku Tokoh Islam “Bersama” Sosialisme, Jurnal
Universitas Paramadina, Vol.1, No.1, September 2001: Lihat Mohammad Hatta,
“Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus Salim” dalam Solichim Salam, Haji Agus
Salim Pahlawan Nasional, Djambatan, Jakarta, 1965, hlm. 28 dan 31. Donald
Eugene Smith menyebut adanya penganut sosialisme yang menuduh bahwa
Nabi Muhammad sebagai tokoh sosialisme. Kata mereka, Nabi Muhammad tidak

34
bentuk kapitalisme yang juga membangun kesejahteraan,
sosialisme Islam sebenarnya bentuk perjuangan ekonomi yang
mengupayakan pemerataan distribusi ekonomi. Hatta dan Agus
Salim sebagai seorang muslim tentunya sangat memahami
bagaimana Islam memperhatikan kaum mustadafin. Sebagai
seorang pejuang muslim, Agus Salim menjadikan spirit agama
Islam untuk bangkit dan melawan berbagai penindasan dan
penjajahan terhadap bangsanya.
Pemikiran Haji Agus Salim tentang sosialisme bermula
dari pertemuannya dengan Tjokroaminoto yang memang
sejak berumur 18 tahun telah menyelesaikan membaca De
Socialisten karya Quack. Buku yang terdiri dari 6 jilid ini konon
menjadi bacaan Mohammad Hatta. Ketertarikan TJokroaminoto
terhadap sosialisme karena menurutnya sejalan dengan konsep
Nabi Muhammad yang memang berjiwa sosial. Tjokroaminoto
berkeyakinan sosialisme merupakan alat yang ampuh untuk
memerangi kolonialisme, feodalisme, dan kapitalisme yang
dikembangkan Belanda.
Tak heran menjelang kongres Al-Islam di Garut pada tahun
1922, Tjokroaminoto mulai memasarkan gagasan sosialisme
berdasarkan Islam melalui koran milik SI. Selain itu, Tjokroaminoto
juga giat memberikan kursus-kursus mengenai sosialisme dan
akhirnya menerbitkan buku berjudul Islam dan Sosialisme pada
tahun 1924.
Selanjutnya Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa proses
belajar yang lebih intensif di kalangan gerakan Islam, baru

menyebut pengikutnya sebagai “pengikut setia”, tetapi mereka disebut ashhab


(sahabat-sahabat) yang berarti kawan atau dalam istilah sosialisme (komunis)
comrades. Selanjutnya Smith mengatakan bahwa sebagian besar tulisan
mengenai sosialisme Islam didorong oleh pertimbangan-pertimbangan apologetik,
yaitu minat untuk meyakinkan pembaca bahwa ide-ide modern sebenarnya telah
disebut di dalam Alquran. Suatu sikap yang jelas berlebih-lebihan. (Lihat, Smith,
Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik, terj. Drs. Machnun Husein,
Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 290).

35
terjadi dengan bergabungnya Agus Salim dalam Sarekat Islam.
Sebelumnya, Agus Salim adalah seorang birokrat kolonial yang
hanya mendapatkan didikan Islam secara tradisional di alam
Minangkabau, dan lebih banyak dibentuk oleh pendidikan di
sekolah Belanda. Ia mulai belajar politik dari Tjokroaminoto dan
belajar Islam yang lebih modern dari K.H Ahmad Chatib, rekan
K.H Ahmad Dahlan di Mekkah. Agus Salim adalah tokoh otodidak
dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Tetapi Salim-lah yang
kemudian membangun segi keislaman dalam SI, setelah berhasil
menguasai ilmu-ilmu agama secara otodidak itu. 20
Dalam suasan kekosongan ide-ide Islam modern, maka masuk
ke Indonesia ide sosialisme lewat Snevlieet. Lewat ajaran-ajaran
sosialisme dari Snevlieet, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia mulai
menganal musuhnya, yaitu kapitalisme, yang dianggap sebagai ibu
kolonoalisme abad ke-20. Dalam kefakuman alam pikiran seperti
itu, gagasan sosialisme menemukan buminya yang subur. Ajaran-
ajaran sosialisme itu mampu memberi warna pada gerakan Islam.
Di sinilah persepsi tentang Islam mulai bergeser dari nilai budaya
yang mulai menyatu dalam kepribumian dan kebangsaan menjadi
nilai-nilai yang universal. Islam mulai diterjemahkan dalam
kerangka ideologi barat oleh Tjokroaminoto dan Agus Salim.21
Bersama Tjokroaminoto yang bergerak di SI, Agus Salim
membangun narasi besar tantang bersatunya rakyat bersama
sosialisme berdasarkan Islam. Maka gerakan ini tentu sangat
berbeda dengan Marx yang memperjuangkan sosialisme dalam
perjuangan kelas secara radikal. Sosialisme Islam lebih mengawali
bentuknya pada upaya membangun narasi besar tentang keadilan
ekonomi yang memihak pada rakyat. SI yang sebagian besar
anggotanya adalah pedagang muslim juga menanamkan komitmen

20
Tjokroaminoto, H.O.S, Islam dan Socialisme. Jakarta: 1950, Bulan Bintang.
21
M Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani; Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, pengantar Taufik Abdullah, Jakarta, LP3ES, 1999 hal 205-206

36
bersama untuk membangun etos kerja sebagai seorang muslim.
Maka sikap sosialisme Islam Agus Salim inilah yang pada
gilirannya dianggap mempengaruhi hidupnya sehingga dia tidak
sanggup untuk memperkaya diri. Dengan jabatan menteri luar
negeri, dia kesana-kemari hanya naik sepeda tua. Melarat, bukan
karena dirinya tidak mampu menjadi kaya, tapi karena pilihan
hidupnya untuk ikut merasakan kesusahan rakyat. Apalagi saat
itu Indonesia baru saja merdeka. Jadi tidak pantas jika dirinya
mengusir kapitalisme dari Indonesia, dan merubah dirinya
menjadi kapitalisme lokal yang menjajah bangsanya sendiri. Sikap
Agus Salim ini adalah bentuk sosialisme Islam yang selama ini
diyakininya bersama Mohammad Hatta dan Tjokroaminoto.
Dalam catatannya, Roem yang telah mengenal Agus Salim
sejak 1925, mengatakan bahwa salah satu tokoh idolanya adalah
Haji Agus Salim. Sosok idolanya itu kelak menjadi sangat penting
bagi masa muda Roem dalam pentas pergerakan. Sebagai kawan
perjuangan juga sebagai penuntun jalan Roem pada masa
pergerakan kemerdekaan. Sejak 1925, pengaruh Agus Salim
diterima oleh Roem lewat tulisan-tulisan di surat kabar Hindia
Baroe, Tajoek, dan Mimbar Joem’at. Kesadaran Roem pada tanah
Hindia yang merdeka terinspirasi dari pidato-pidato Salim
yang menyatakan betapa masyarakat Hindia terutama kalangan
intelektual dicekam di bawah sugesti superior barat. Karenanya,
Roem menyadari bahwa ia dan kawan-kawannya di Jong Java dan
JIB, menyadari bahwa hanya dengan berorganisasi kelak mereka
akan menjadi pimpinan bangsa.22
Agus Salim termasuk pak tua kedua setelah Tjokroaminoto
yang mengawali perlawanan dengan narasi besar melawan
kapitalisme Belanda. Bisa dibayangkan saat itu ketika banyak orang
yang haus spirit untuk optimistis, Agus Salim mampu memainkan

22
Fachri Ali, Mohamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno
Suffatni, (ed)., hal. 227

37
peran besar membangun semangat juang. Dia juga senantiasa
berdiri tegar, terus berfikir, dan memobilisasi massa lewat SI.
Secara nalar, sadar semua mustahil untuk dilakukan, tapi lewat
sosialisme Islam yang digelorakan, narasi perlawanan terhadap
kolonialisme perlahan semakin menguat.
Sosialisme Islam Agus Salim ini jugalah yang menuntunnya
meninggalkan pekerjaan sebagai inteligen Belanda dengan gaji
besar dan memilih untuk berjuang bersama SI. Sosialisme Islam
inilah yang menjadi alat ukur ideologi Agus Salim, kenapa ia lebih
memilih sederhana bahkan melarat saat dirinya menjabat menjadi
menteri luar negeri. Sosialisme Islam inilah yang menjadi jawaban
kenapa ketika SI pecah menjadi merah dan putih. Agus Salim
berkeyakinan bahwa Islam pada dasarnya dapat bekerjasama
dengan siapa pun, ideologi apa pun, sepanjang ditujukan demi
kebaikan bersama. Dia bersama Tjokroaminoto sesunggguhnya
adalah sosok figur sosialisme Islam sejati.

E. Nasionalisme Agus Salim


Nasionalisme sejatinya telah menjadi perdebatan panjang
kehidupan bernegara. Islam lebih-lebih tidak hanya memiliki sikap
nasionalisme tapi dengan ide khilafah yang secara jelas mengandung
sikap internasionalisme. Mengupas habis tentang nasionalisme,
faktanya lebih pada upaya saling curiga antarkelompok. Sejak itu,
agama, etnis, ras, suku menjadi bagian yang terusik manakala kata
nasionalisme menyemburat ke permukaan dan mengganggu nilai-
nilai yang mereka anut.
Setelah itu munculah stigma primordial bagi kelompok
yang masih mempertahankan kepentingan golongan di atas
kepentingan nasional. Primordial menjadi bentuk sikap negatif
karena menjadikan berbagai kelompok dianggap tidak nasionalis.
Soekarno sendiri mendefinisikan nasionalisme sebagai cinta
kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan

38
diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk
mengenyampingkan kepentingan golongan yang sempit.23
Konsep inilah yang mendasari Soekarno untuk setuju dengan
usul-usul perubahan sehingga menghasilkan UUD produk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang jauh berbeda
dengan produk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atas dasar pertimbangan keutuhan persatuan
bangsa. Sementara itu, kelompok Islam menganggap konsep
nasionalisme Soekarno ini berlebihan karena terkesan menyamakan
posisi nasionalisme sejajar dengan agama. Jika pandangan ini
dipakai maka terkesan menjadikan manusia sebagai budak yang
menyembah tanah airnya dan berakhir dengan merusak tatanan
tauhid.
Terkait polemik tersebut, Agus Salim menegaskan bahwa
nasionalisme harus diposisikan dalam konteks pengabdian kepada
Allah. Sejalan dengan pendapat ini, maka Islam-lah prinsip yang
harus didahulukan. Pada sebuah kesempatan sewaktu mengajar
di Cornell University, Agus Salim mampir di Washington dan
bertemu dengan warga Indonesia. Pada pertemuan tersebut ia
berpesan: “Begitu pula di tanah air kita. Janganlah pemuda-pemuda
Indonesia bimbang tentang adanya berbagai-bagai partai. Bukan
uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi
besef, kesadaran tentang unitas (kesatuan dan persatuan) dalam
berlain-lainan asas, dalam berlain-lain pendapat, satu bangsa,
satu tanah air, selamat sama selamat, celaka sama celaka. Bukan
satu saja, bukan uniform, tapi gerich of het gemeenschappelijk nut,
bertujuan pada keselamatan bersama karena keselamatan masing-
masing yang tidak membawa keselamatan bersama tidak akan
tercapai.” 24

23
Bahtiar Effendi, Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran,
dan Praktik Politik, Islam di Indonesia , Jakarta Paramadina 1998, hal. 71.
24
Ibid. hal 71

39
Sejak jauh hari Agus Salim begitu mewanti-wanti janganlah
generasi terpecah belah akibat kepentingan sempit seperti
kepentingan kelompok partai. Dia memberi kesadaran pada kita
semua bahwa persatuan lebih penting di atas segalanya. Meskipun
sejak lama Agus Salim bersama Soekarno, namun senantiasa dia
bicara tegas soal nasionalisme. Pemahamannya yang lekat dengan
Pan-Islamisme menjadikan konsep Agus Salim melampaui
nasionalisme yang sempit. Ketegasannya dalam memandang
nasionalisme tidak hanya sebatas tanah, air, dan negara melainkan
nasionalisme tertuju pada Allah SWT. Hal ini merupakan titik
kulminasi dari perdebatan panjang bangsa ini.
Bagi Agus Salim hal ini mutlak karena menurutnya
nasionalisme yang hanya sebatas tanah, air, dan negara adalah
nasionalisme sempit, dan Islam sangat kecil kalau hanya untuk
membela yang demikian. Islam bagi dirinya adalah pembebasan
dari semua bentuk penjajahan akal dan jasad yang dia yakini.
Menurutnya, hanya dengan Islam kita akan mengenal dunia
yang penuh dengan kedamaian. Pertemuannya dengan tokoh-
tokoh Islam Mesir, Palestina, Irak, dan lainnya menjadikan Agus
Salim tahu bagaimana meletakkan nasionalisme yang begitu luas
menjangkau seluruh negara. Nasionalisme menurut Agus Salim,
pada intinya adalah membela hak-hak kehidupan bumi yang adil
demi menggapai cita-cita akhirat yang kekal.
Dengan demikian, Agus Salim juga sangat memahami jika
di bumi lain ada manusia yang ditindas sebagaimana Indonesia
pernah ditindas, maka membela negara lain yang tertindas adalah
bentuk nasionalisme. Sikap Mesir, Irak, Palestina sudah membela
Indonesia kala menuju kemerdekaan dan hal tersebut sebagai
bentuk nasionalisme mereka.
Haji Agus Salim jugan senantiasa mengingatkan bahwasannya
partai tidak menjadi penting jika kemudian menjadikan rasa
nasionalisme itu terpecah. Sebagai orang yang merasakan betul

40
susahnya menyatukan bangsa, maka nasionalisme idealnya harus
tertuju pada tujuan satu yaitu keselamatan bersama dan untuk
Allah SWT. Nasionalisme bagi Agus Salim adalah nasionalisme
untuk semua, untuk keselamatan bersama.

F. Haji Agus Salim dan Manusia Ber-Tuhan


Dalam sejarah Indonesia, Agus Salim (1884-1954) akan
senantiasa dikenang sebagai pahlawan bangsa. Dia bukanlah
seorang politikus semata, lebih dari itu, sosoknya adalah seorang
pembaharu agama yang karena kepribadiannya dan kefasihan
bicaranya telah memikat para cendekiawan muda. Para mahasiswa
dan para pemuda yang telah menikmati pendidikan barat,
anggota-anggota Jong Islamiten Bond menjadi pengikutnya yang
setia. Mereka tahu yang berbicara bukan guru sekolahan kuno,
juga bukan seorang yang menerima pendidikan di pesantren atau
surau, tetapi seorang pemimpin agama yang tidak tergantung
kepada siapapun juga, yang bukan saja mengetahui sumber-
sumber agama yang ditulis dalam bahasa Arab, tetapi juga literatur
barat tentang Islam.25
Pemahaman keagamaan Agus Salim tidak menjadikannya
orang yang terlalu memaksakan kebenaran agama. Sikap Agus
Salim yang apa adanya adalah buah pikir yang mendalam sebagai
manifestasi manusia ber-Tuhan yang meyakini keyakinan
akidahnya dan menghormati pilihan orang lain atas agama yang
berbeda. Sosoknya memahami perdebatan hanya sebatas pada segi
pola pikir bukan untuk memusuhi dan menyerang hati orang lain.
Dia bisa ramah seperti saudara, juga bisa keras sebagai musuh jika
Islam yang diyakininya diinjak-injak orang lain.
Sisi Islam Agus Salim ini jugalah yang mengajari kita tentang
apa yang dimaksud dengan sikap toleransi. Kehidupan Agus

25
Pijper, G.F, 1893, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-
1950, Jakarta, UI Press, 1985, hal 149

41
Salim sebenarnya diwarnai dengan toleransi yang mencerahkan.
Bahkan saudara kandungnya yang bernama Khalid Salim yang
notabene memilih berhaluan komunis dan masuk PKI pun tetap
ia sayangi.
Salah seorang Belanda yang sudah mengenal Agus
Salim sebelum perang mencoba membuatnya terkejut dengan
mengatakan: “Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama
Katolik?” Haji Agus Salim mempunyai adik bernama Khalid
Salim yang selama 15 tahun meringkuk di Digul karena tuduhan
komunis, akhirnya menganut Katolik. Dengan tenang Agus Salim
menjawab: “Gode zij dank, Alhamdulillah. Ia sekarang lebih dekat
dengan saya.” Sontak orang Belanda itu terkejut dan bertanya:
“Mengapa anda berterimakasih kepada Tuhan?” Agus Salim
menjawab, “Ia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan. Sekarang
dia percaya pada Tuhan.” 26
Demikian Sang Diplomat menanggapi ucapan seorang
Belanda yang sengaja membuatnya tertekan karena adiknya
yang berbeda agama. Namun, jawaban nya mengembalikan
kebingungan pada seorang Belanda tersebut yang ternyata melihat
Agus Salim seorang yang benar-benar memiliki sikap toleransi
terhadap pilihan keyakinan agama adik kandungnya. Bahkan
Agus Salim mensyukuri karena dulu Khalid Salim yang notabene
orang komunis yang tidak percaya pada Tuhan akhirnya masuk
Katolik. Dia bersyukur bahwa setidaknya adiknya telah sadar akan
keberadaan Tuhan. Walaupun keyakinan Tuhan mereka tidaklah
sama.
Islam dan toleransi sejatinnya adalah bentuk otentik sejak
kedatangannya. Islam dibawa Nabi Muhammad dengan cinta
damai. Penyebaran Islam juga dilakukan dengan damai tanpa
adanya pemaksaan terhadap golongan tertentu. Ajaran Islam

26
Lihat, Tulisan Roem, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta,
1978, hal 127

42
juga meyakini bahwa perbedaan yang ada adalah kehendak Allah
SWT. Islam memiliki kitab Alquran dan Assunnah yang diajarkan
Muhammad. Haji Agus Salim meyakini agama Islam bukan hanya
sebagai ilmu, tapi juga sebagai pedoman perilaku. Karenanya
tidaklah heran jika orang-orang Belanda pun sangat segan dengan
Agus Salim yang senantiasa berbicara apa adanya mengalir bagai air
dan kadang menghentak bak halilintar. Ketegasannya membekas
dibenak siapa pun yang mendengar pidatonya yang menghujam
jiwa.

43
BAB IV
HAJI AGUS SALIM
DAN PARA NEGARAWAN

A. Haji Agus Salim dan Soekarno


“The Grand Old Man” Haji Agus Salim adalah seorang
ulama dan intelek. Saya pernah meneguk air yg diberikan
oleh beliau sambil duduk ngelesot di bawah kakinya.
Saya merasa bahagia bahwa saya ini dulu pernah dapat
minum air pemberian Tjokroaminoto dan air pemberian
Agus Salim.” (Bung Karno)

Sejarah persahabatan Bung Karno dan Haji Agus Salim


sangatlah panjang. Mereka berdua adalah anak didik HOS
Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sebagai pemimpin pertama Sarekat
Islam adalah guru sekaligus mertua (dari istrinya Oetari) yang
sangat dikagumi Bung Karno. Sementara Agus Salim adalah orang
yang kelak menggantikan Tjokroaminoto sebagai pemimpin di
Sarekat Islam. Agus Salim adalah orang tua yang mau bekerjasama
tanpa merasa senioritas di mata pejuang muda seperti Bung Karno
dan lainnya. Bahkan kita juga melihat bahwa Bung Karno dan
Agus Salim sama-sama dibuang di Muntok, Bangka Belitung.
Setelah serangan Belanda ke Yogyakarta tanggal 19 Desember
1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Moham-
mad Hatta dan sejumlah menteri kabinet RI ditangkap dan selanjut-
nya pada 22 Desember mereka dibawa ke Sumatera. Setelah rom-
bongan Hatta diturunkan di Pangkalpinang, pesawat bomber B 25
pengangkut tawanan itu meneruskan penerbangan untuk selanjutnya
mendarat di Polonia, Medan. Di sana pejabat-pejabat Belanda sudah
menunggu para tawanan penting, termasuk Soekarno di dalamnya.

44
Soekarno dan Agus Salim diasingkan oleh Belanda ke Bangka,
setelah sebelumnya diasingkan di Brastagi dan Prapat, Sumatera
Utara. Dari Prapat, Soekarno dan Agus Salim diterbangkan
dengan pesawat amfibi Catalina menuju perairan Pangkal Balam,
Bangka. Mereka dibawa ke Muntok, Bangka; terpisah dari Hatta
dan tahanan lainnya yang ditempatkan di Menumbing.
Menurut Bung Karno, Agus Salim orang tua yang begitu tegar.
Di usia senjanya, senyuman seorang revolusioner masih hinggap di
raut bibir menyela di jenggot dan kumisnya. Senyum yang sumrin-
gah tidak mencirikan pejuang yang lemah. Tanpa mengeluh, pem-
buangan justru dijadikan para tokoh ini sebagai strategi baru untuk
mengenal lebih dekat dengan masyarakat Sumatera. Maka demiki-
an ketika Bung Karno dan Agus Salim dibuang di Muntok, mereka
berdua malah merasa semakin dekat dengan masyarakat kecil.
Belanda menempatkan Bung Karno di Pesanggrahan Muntok
atau dikenal Wisma Ranggam, tak jauh dari pelabuhan Muntok.
Pelabuhan ini menjadi saksi sejarah eksploitasi Belanda terhadap
kekayaan dari perut bumi pulau itu. Di sudut belakang wisma itu,
Bung Karno menempati kamar berukuran 5,5 x 4 meter. Kamar
Bung Karno jutru lebih kecil dari kamar Menteri Luar Negeri
Indonesia Agus Salim. Dia menempati ruangan 6 x 4 meter yang
bersebelahan dengan kamar Bung Karno. Keduanya menempati
ruangan di bangunan utama.
Dua tokoh lain yang juga diasingkan di Pesanggrahan
Muntok, Ali Sastro Amidjojo dan M. Roem, menempati ruangan
di sayap depan. Ukuran kamar mereka tidak berbeda dengan
kamar Bung Karno. Kamar Bung Karno, selain dekat dengan teras
belakang, juga bersebelahan dengan ruang tamu utama. Merujuk
pada website Kabupaten Bangka Barat, di tempat itulah kelak
konsep perjanjian Roem-Royen dibahas.
Di masa perjuangan kemerdekaan, ketika para pemimpin
bangsa terlibat dalam pergolakan pemikiran, Bung Karno dan

45
Agus Salim sudah sering berpolemik panjang lebar soal poligami.
Pada beberapa tulisannya, Bung Karno tampak tidak setuju lelaki
berpoligami karena dianggapnya sebagai perendahan harkat
dan martabat kaum perempuan. Sebaliknya Agus Salim setuju
karena pengertiannya yang mendalam mengenai hal ini. Uniknya,
beberapa tahun kemudian Bung Karno ternyata mengambil banyak
istri, sementara Agus Salim tetap beristri satu.
Soekarno sangat menghormati Agus Salim sebagaimana
dirinya menghormati Tjokroaminoto. Di mata Soekarno, kedua
tokoh ini memiliki pandangan dan visi yang sama tentang sosialisme
Islam. Menariknya, meski awalnya Agus Salim ditugaskan Belanda
untuk memata-matai Tjokroaminoto di SI, pada akhirnya dia
justru menjadi sosok yang loyal terhadap SI dan ikut berjuang
bersama Tjokroaminoto. Rakyat begitu mencintai Soekarno,
Agus Salim, Hatta, Sjahrir dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan
lainnya. Agus Salim, orang tua yang dikenal cerdas dalam strategi-
strategi diplomasi kenegaraan, menjadi guru sekaligus kawan
diskusi Soekarno di pengasingan.

B. Haji Agus Salim dan Pandangan Dr. Amir


Sebagai manusia, Salim tentu mempunyai sifat baik dan
yang buruk. Sedikit manusia dan leader rakyat yang mau
memikul konsekuensi dari keyakinannya. Kesusahan,
kemelaratan, kemiskinan (kebanyakan menjadi salon
politikus atau podium nasional saja). Salim sebenar-
benarnya mengorbankan dirinya. Ia ridha nekat. Ia
menyerahkan otaknya, kolbunya, tenaganya, kepada
haluan yang dipilihnya. Ia memimpin dengan jujur. (Dr.
Amir)

Di mata Dr. Amir, seorang dokter ilmu jiwa yang terkenal di


Medan sebelum perang Dunia II, Haji Agus Salim adalah tokoh
yang menjadi bagian penebar semangat dan menginspirasi semua
anak generasi Indonesia. Amir sendiri pernah menulis tentang

46
Salim dalam mingguan Penindjauan di Jakarta. Dalam tulisannya
ia mengatakan:
“Saya tidak kenal di Indonesia ini seorang leader politik
yang sama tajamnya dengan H. Agus Salim. Nomor satu
waktu ujian penghabisan HBS, semenjak itu otaknya
selalu jempol. Tidak heran bahwa ia menjadi otak SI
sebagai partai nasional yang berorientasi internasional.
Dalam segala pergerakan Salim merebut jiwanya,
motornya yaitu sekretaris. Perbedaan Salim dan
Tjokroaminoto seperti perbedaan Lenin dan Trotsky.
Lenin filosof, Trotsky orator. Sungguh pun demikian,
Salim pandai juga berpidato. Nasib H. Haji Agus Salim
adalah ialah nasib segala orang genial. Mereka selalu
sunyi seperti kiayi di puncak gunung Salak. Segala macam
telah dirasai oleh Salim. Kemiskinan, kemelaratan,
kesenangan, noda, dan nista. Karakter seperti dia, disukai
atau dibenci, sebab sifatnya selalu positif (tentu) sampai
kadang militan penangkis.27

Di mata Amir, Agus Salim adalah seorang yang haus akan


kebenaran dan selalu mencari serta memikirkan banyak hal.
Ia telah merenangi lautan theosofi, sejarah, ekonomi, dan Islam
sampai hatinya yang lekat pada Islam modern. Begitu pun haluan
politik sudah dikajinya dan ditempuhnya semua. Ethi-schepolitik,
associatiepolitik, liberalisme, sosialisme, Pan-Islamisme. Ia
yang waktu mudanya menetapkan antitesa antara sana dan sini,
perlawanan nasional kemudian memilih jalan internasional untuk
mempraktekkan cita-cita nasionalnya itu.28
Melalui tulisannya, Amir begitu dalam melukiskan karakter
Agus Salim sebagai pemimpin dengan pengorbanan yang tinggi.
Dalam sejarah Sarekat Islam, dia tidak pantang mundur bersama
Tjokroaminoto untuk membersihkan SI dari rongrongan haluan

27
Lihat, ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit
Tinggi, Padang-Djakarta, penerbit Mutiara, 1952 hal 124
28
Ibid, hal 125

47
komunis yang dimotori Semaun dan kawan-kawannya. Semangat
hidupnya untuk Islam dan Indonesia adalah semangat yang tidak
selalu dimiliki oleh pemimpin. Lewat pemikirannya yang bengal
dan tidak mau takluk untuk diatur-atur oleh Belanda, Agus Salim
menjadi simbol konfrontasi tanpa kompromi kepada siapa pun
yang merusak Islam dan Indonesia.
Amir menambahkan, Salim termahsyur sebagai leader utama,
leader kelas satu. Di tanah air kita (di negeri luar pun begitu juga)
banyak pemimpin kecil dan menengah yang sedap dilihat beraksi
dalam berbagai lokal, provinsi, atau bersilat lidah di Dewan
volksraad. Semuanya, pemimpin yang insaf, yang giat, yang lurus,
dan yang berjasa. Akan tetapi leader utama hanya sedikit. Perlu
disebut namanya? Soetomo, Hatta, Sartono, Ki Hadjar Dewantara,
semuanya bunga pergerakan. Tetapi di antara pemimpin utama
itu, Haji Agus Salim mempunyai kedudukan sendiri, tabiat sendiri,
jasa sendiri. Saya tidak percaya bahwa seorang pemimpin dapat
dididik dalam kader kursus atau oleh sebab dibawa menghadiri
segala rapat partai dan rapat terbuka. Kalau kita pandang perangai
anak-anak kecil tengah bermain, sudah kelihatan tertib dan
tingkah laku mereka yang kelak jadi pemimpin. Pendeknya leader
utama dinamakan bij de gartie god (karena karunia Tuhan).29
Menurut pandangan Amir, Agus Salim adalah seorang yang
bercita-cita luar biasa untuk bangsa dan tanah airnya. Ia mengambil
jalan Islamisme melaksanakan rasa nasionalismenya. Islamisme
sangat inheren dalam diri Agus Salim. Benar memang dia
mendapat pendidikan Belanda, tapi daya pikirnya kuat menghujam
pada Islam. Tak ayal, Amir menyatakan bahwa Islamisme Agus
Salim sebagai jalan melaksanakan rasa nasionalisme memang
begitu adanya. Bagi Agus Salim, Islam-lah yang mampu menjadi
penggugah semangat, di samping dia juga menawarkan rasa
sosialisme akibat hegemoni kapitalisme.
29
Ibid, hal 126

48
Sebagai manusia, Agus Salim adalah sedikit manusia
dan pemimpin rakyat yang mau memikul konsekuensi dari
keyakinannya. Dia pun rela menerima kesusahan, kemelaratan,
dan kemiskinan (kebanyakan menjadi salon politikus atau
podium nasional saja). Di mata Amir, The Grand Old Man telah
sebenar-benarnya mengorbankan dirinya. Ia menyerahkan
otaknya, kolbunya, tenaganya, kepada haluan yang dipilihnya. Ia
memimpin dengan jujur. Ia bukan komedian, bukan mengisi saku
sendiri. Orang yang berintelek seperti Salim dapat menjadi apa
saja. Ambtenar tinggi (edeleer sekalipun) professor, atau saudagar
besar. Salim sebenarnya mengorbankan dirinya. Ia rida nekat. Ia
mencari jalan berkorban.30
Begitulah Agus Salim, menderita adalah pilihannya, miskin
adalah pilihannya, tapi dari kaderisasinya kelak melahirkan
pemuda-pemuda yang meneruskan perjuangan kemerdekaan.
Dari SI muncul para pemuda-pemuda yang loyalis terhadap Islam
dan Indonesia. Lewat kursus-kursus mingguan tentang Islam dan
politik yang rutin dilakukannya, berhasil meyakinkan para pemuda
bahwasannya perlawanan atas penjajahan harus terus dilakukan.

C. Haji Agus Salim dan M. Natsir


Kisah Mohamad Natsir dengan Haji Agus Salim terjadi
pada pertemuan dan diskusi mereka menyangkut cita-cita Islam.
Pertemanan mereka sebagai guru dan murid sekaligus menegaskan
bahwa Agus Salim punya cita-cita besar bagaimana menjadi Islam
Indonesia. Perlu diketahui bahwa dua pahlawan ini berasal dari
Sumatra Barat.
Natsir memang sangat tahu bagaimana Agus Salim,
pendahulunya itu mengajarinya banyak hal, terutama dalam
bidang intelektual dan pergerakan Islam pascakemerdekaan. Kelak
Natsir juga dikenal dengan kesederhanaannya. Sebagai seorang
30
Ibid, hal 127

49
perdana menteri, dirinya pernah memakai baju yang bertambal
aspal. Sebelumnya dalam perdebatan ideologi kenegaraan,
Natsir juga dikenal sangat dekat dengan Soekarno. Bahkan Hatta
menyebut Natsir sebagai anak kesayangan Soekarno karena sering
menuliskan naskah pidato untuk Sang Presiden.
Satu hal yang menarik dari Natsir adalah keteguhannya
dalam menyesuaikan diri atas apa yang dicita-citakan dalam
pemikirannya yang genuine Islam dan dirinya sebagai manusia
Indonesia. Natsir sebagaimana juga Agus Salim kelak menjadi
ulama yang dikenal dunia. Mereka juga sama-sama penulis dan
orator podium. Kematian keduanya ditangisi oleh para pejuang
Islam di Indonesia dan Timur Tengah.
Natsir sendiri pernah mengungkapkan bagaimana sosok
Agus Salim. Natsir mengatakan, “Kalau kita hendak menggunakan
kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia,
maka saya rasa paling pertama tepat adalah pada Haji Agus Salim.
Sejak kecil ia memperoleh pendidikan agama dari lingkungan
keluarganya. Akan tetapi baru sesudah tahun 1930-an, dia mulai
mendalami agama, dalam arti yang sistematis. Terutama, sesudah
PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan partai-partai politik lain
bertambah sempit ruang geraknya oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Sebagai negarawan, dia belum mendapat kesempatan.
Tapi yang terang, dia itu seorang politikus, seorang diplomat yang
ulung, seorang ilmuan, dan pejuang.” 31
Natsir cukup memahami bagaimana Agus Salim dalam
lingkaran juang pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan.
Penghargaannya terhadap Agus Salim terletak pada konsistensinya
dan sikap tidak mengenal kata mengalah. Keduanya berani berjuang
atau keluar membangun aliansi baru. Kita juga mengetahui bahwa
keduanya kemudian memilih jalan yang berbeda.

31
Ucapan Natsir, Lihat Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20, Jakarta, Gema Insani, Press, 2006, hal 45

50
Haji Agus Salim membentuk Partai Penyadar pada 1936
karena menganggap PSII sudah keluar dari jalur awal perjuangan.
Sementara Natsir lebih memilih bergabung dengan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang ditafsirkan oleh
sebagian pihak bahwa Natsir melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Indonesia. Natsir juga bergabung untuk melawan PKI
yang memengaruhi Soekarno. Kita juga tahu bagaimana mosi
integral Natsir yang mengembalikan NKRI. Wajar bila Soekarno
sangat mengakui jasa Natsir saat itu.
Kiprah Agus Salim dan Natsir sesunguhnya adalah bentuk ke-
cintaanya terhadap negara Indonesia. Dua sosok yang benar-benar
totalitas untuk membangun Indonesia dengan narasi Islam. Kalau
hari ini kepercayaan pemimpin mengalami erosi karena mereka
hidup terlalu memikirkan kepentingan pribadi. Tapi sangat jauh
dari itu Agus Salim dan Natsir sudah selesai dengan kepentingan
duniawi. Cukuplah kesederhanaan mereka menjadi bukti bahwa
mereka pemimpin dengan tuntas untuk dipercaya seluruh manu-
sia Indonesia. Dua sosok yang mengajarkan bangsa ini arti sebuah
pengorbanan, perjuangan, Islam, dan menjadi Indonesia.
Natsir juga menceritakan bagaimana Agus Salim tidak mau
mendikte pemikiran pemuda JIB. Agus Salim memang sering
memberikan peta berpikir dan melatih para pemuda JIB untuk
mandiri mencari jalan keluar dari ruang permasalahan yang
sempit. Natsir mengungkapkan,“Bila kalangan pengurus JIB sulit
memperoleh jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi, mereka berpaling ke Oude Heer (Salim maksudnya).
Di depan tokoh penasehat mereka, para cendekiawan muda
menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Setelah
mendengar dengan tenang, tiba giliran beliau untuk memberikan
keterangan tentang kaitan-kaitan permasalahan yang dihadapi oleh
pengurus JIB itu. Tentu dijelaskan dari semua sudut. Para pengurus
mendengar dengan jelas terhadap apa yang diterangkan itu”.

51
Kemudian seorang pengurus menyela, “Tetapi mana jawabnya?”
Dengan tegas Agus Salim menjawab, “Jawaban permasalahan itu
ada pada suadara-saudara, karena ini persoalan generasi saudara,
bukan persoalan saya. Lihat ini anak saya yang masih kecil. Jikalau
saya menggendongnya terus kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba
berjalan. Terjatuh ia, tetapi ia akan beroleh pengalaman dari itu.”32
Begitulah Agus Salim di mata Natsir. Meski terpaut usia yang
jauh tapi keduanya berada satu nafas gerakan. Satu sama lain saling
menghormati, tapi batin mereka mengamini bahwasanya risalah
Islam adalah sumber kekuatan. Tanpa basa basi pemikiran kedua
sosok ini tetap abadi untuk menjadi nilai-nilai perjuangan. Sikap
keduannya yang menyebabkan mereka menjadi sosok pribadi
muslim yang dihargai oleh berbagai kalangan.
Meski Agus Salim berdebat ideologi dengan Semaoen dan Tan
Malaka di SI, mereka tetap berjuang bersama tentang Indonesia
yang merdeka. Begitu juga dengan Natsir yang acapkali berdebat
dengan DN Aidit, keduannya sangat akrab di luar forum.. Natsir
sering berboncengan dengan Aidit dan ngopi barsama pascasidang
kabinet. Budaya toleran yang dicontohkan Agus Salim dan Natsir
adalah cerminan pribadi muslim yang tangguh dan juga hangat.

D. Haji Agus Salim di Mata Pramoedya Ananta Toer


Bagian tulisan ini penulis sarikan dari pandangan Pramoedya
Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia, tentang sosok
Agus Salim. Pandangan Pramoedya ini kemudian diterjemahkan
oleh John H. McGlynn.
Pada sebuah resepsi diplomatik di London, satu orang
menonjol: dia pendek untuk ukuran Eropa, dan tipis, dan ia
mengenakan topi fezlike hitam di rambutnya yang putih. Dari
mulutnya datang awan tak berujung asap aromatik yang merasuki
ruang resepsi. Orang ini adalah Agus Salim, duta besar Republik
32
Ibid, hal 46

52
Indonesia. Pria yang dikenal dengan sebutan The Grand Old
Man ini berada di antara generasi pertama dari Indonesia yang
telah menerima pendidikan barat. Pada akhir hegemoni Belanda
atas Indonesia pada tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen dari
penduduk yang bisa membaca atau menulis.
Tidak mengherankan, penampilan dan sikap Agus Salim—
belum lagi bau aneh dari rokok—dengan cepat mengubahnya
menjadi pusat perhatian. Seorang pria bertanya: “Apa itu hal yang
Anda rokok, Pak?” Haji Agus Salim dilaporkan telah mengatakan
alasan Barat mengalahkan dunia. Bahkan ia mengisap kretek,
sebuah rokok indonesia yang dibumbui dengan cengkeh, yang
selama berabad-abad adalah salah satu yang paling dicari di dunia
rempah-rempah.
Apakah kisah saya tentang bahasa Indonesia di istana Raja
James kisah terbesar dari milenium? Tentu saja tidak, meskipun
aku harus tersenyum pada ketidaksopanan yang ditunjukkan oleh
sebangsa saya. Saya termasuk di sini karena menyentuh pada apa
yang saya berpendapat adalah dua proses yang paling penting,
milenium ini: mencari rempah-rempah oleh negara-negara
Barat yang membawa negara-negara asing dan budayanya ke
dalam kontak dengan satu sama lain untuk pertama kalinya; dan
perluasan kesempatan pendidikan yang kembali dijajah bangsa di
dunia. Mereka terpaksa kehilangan haknya di bawah penjajahan
barat, hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Protes yang terakhir ini dicontohkan dalam sebuah karya sastra
Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Novel
karya Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda, ini diterbitkan pada
tahun 1859 dengan nama samaran Multatuli (Latin untuk saya san-
gat menderita). Buku ini menceritakan pengalaman Max Havelaar,
seorang pejabat kolonial Belanda yang idealis di Jawa. Dalam cerita,
Havelaar memberontak terhadap sistem tanam paksa yang dikena-
kan pada petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda.

53
Kisah perjalanan Agus Salim dan Pramoedya memang sangat
jauh. Tapi sedikit tulisan Pram di atas menggambarkan bagaimana
kiprah para pejuang negara ini. Belanda yang memberi kesempatan
belajar anak-anak pribumi untuk sekolah di pendidikan Belanda
kelak menjadi pejuang untuk membebaskan bangsanya dari sebuah
kebodohan turunan dan terlena abadi dalam penjajahan yang sakit.
Pram kemudian menyebutkan bahwa Agus Salim adalah generasi
pertama yang memperoleh pendidikan barat.
Agus Salim, menurut Pram, adalah spesies langka. Mengapa
disebut spesies langka, kata Pram, bisa jadi adalah karena
langkanya para pelajar yang juga memiliki ideologi Islam yang
kelak melawan. Kaum terpelajar yang kemudian hari bertambah
dan terus bertambah, seperti Mohammad Hatta, akhirnya
memecahkan kebuntuan pendidikan dan merasakan langsung
pendidikan sampai ke negeri Belanda. Walaupun dididik oleh
Belanda, mereka yang umumnya berasal dari Sumatra Barat, telah
memiliki basis Islam yang kuat.
Di bumi Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat kita
jumpai bagaimana masyarakat Islam mampu melawan penjajah
sebagai bentuk harga diri Islam yang tidak mau dijajah oleh Belanda.
Aceh, Sumatra Barat, Jawab Barat, dan Surabaya, adalah bagian
dari sejarah yang mencatatkan pertarungan sengit. Lewat novel
Bumi Manusia, dijelaskan oleh Pram bagaimana Aceh sangat sulit
ditaklukkan oleh Belanda. Daerah yang disebut sebagai Serambi
Mekah itu kian beringas ketika Belanda hadir dan menginjak-
injak harga diri masyarakat Aceh.
Pram dalam novel tersebut juga menceritakan perang Aceh
adalah perang Islam terhadap Belanda. Masyarakat Aceh hanya
bersenjatakan bambu runcing tapi jago memainkan sistem gerilya.
Perang Aceh adalah sejarah perang yang panjang di mana Belanda
juga kerap mengalami kekalahan.

54
Dalam novel Bumi Manusia, Pram juga menuliskan hal
lain, ada spesies langka yaitu aktor Minke yang digambarkan
sebagai pelajar cerdas pribumi yang mampu berbahasa, menulis,
dan memliki kecerdasan yang setara dengan pelajar Belanda saat
itu. Tokoh Minke yang kuat digambarkan sebagai bentuk kiasan
tokoh Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo33 yang notabene
adalah tokoh pers Indonesia. Pram secara sadar ingin membangun
persepsi besar bahwa Indonesia saat penjajahan Belanda butuh
spesies langka yang mampu membaca dan menulis. Harapannya
lewat spesies langka tersebut akan lahir spesies-spesies baru yang
mampu membangun narasi besar tentang perjuangan bukan hanya
dengan bambu runcing, bedil atau people power, melainkan juga
pejuang yang mampu membangun isu-isu temporal lewat kata dan
pena.
Tirto Adhi Soeryo termasuk pendiri pertama Sarekat Dagang
Islam (SDI) bersama Haji Samanhudi di Solo. SDI didirikan
untuk melawan para pedagang batik Cina yang memonopoli kain
sehingga pribumi kesulitan untuk mendapatkan bahan kain batik.
Tirto Adhi Soeryo inilah yang juga sebagai pendobrak zaman
atas dunia perdagangan yang tidak memberi keadilan pada para
pribumi. Sedangkan Belanda saat itu memihak kepada Cina.
Tirto Adhi Soeryo juga adalah pendiri Medan Prijaji yang
dikenal sebagai surat kabar nasional pertama yang menggunakan
bahasa melayu (bahasa Indonesia). Seluruh pekerja mulai dari
pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah
pribumi Indonesia asli. Tirto Adhi Soeryo juga orang pertama yang
menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk
pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman

33
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang
tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Ia juga dikenal sebagai
perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering
disingkat T.A.S. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan
Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908)

55
pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Akibatnya, Tirto Adhi Soeryo ditangkap dan disingkirkan dari
Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera. Setelah
selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan
meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Pram tampaknya melihat kemiripan peran antara Agus
Salim dengan sosok Tirto Adhi Soerjo yang mampu membaca dan
menulis. Mereka sama-sama prototipe pejuang Indonesia yang
mengenyam pendidikan Belanda. Kemampuan berdebat dengan
cerdas, berbahasa asing yang baik, dan menulis sesungguhnya
adalah anugerah besar pada masa itu. Lewat pikiran dan tulisan-
tulisannya, Agus Salim mampu melahirkan lebih banyak lagi
pejuang kemerdekaan.
Wajar juga jika Bung Hatta menyebut Agus Salim sebagai
sosok yang genial, kala mendapat pikiran yang penting-penting
secara tiba-tiba dan mudah saja mengeluarkannya sepintas lalu.
Sikapnya yang tangkas dan ada rem, itu memberikan garam pada
ucapannya, biasanya terdapat dalam perdebatan atau tulisan yang
menangkis serangan lawan atau dalam pertukaran pikiran yang
berisikan lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan orang
Belanda Salim op zijn best. Hal senada juga disampaikan Soekarno
yang menyebut Agus Salim dengan julukan Indonesia’s Grand Old
Man atau The Grand Old Man.

56
BAB V
Haji agus salim
pionir pers ideologis

“Selama saya menjadi pemimpin dan pengisi Hindia Baroe


(surat kabar milik Pemerintah Belanda), saya tidak berbuat seperti
pemimpin Sarekat Islam dan kalau saya menulis tajuk rencana,
saya tidak berpikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di
hadapan saya rakyat Indonesia pada umumnya. Saya memikirkan
apa yang menjadi perhatiannya. Apa yang umumnya disukai
dan tidak, apa yang dipandang tidak adil. Saya berusaha benar-
benar agar Hindia Baroe menjadi harian umum (bukan corong
Belanda atau kepentingan golongan partai). Dalam hal ini saya
mendapat kritik dari kawan-kawan sendiri. Banyak kawan-kawan
partai mengirimkan karangan yang tidak saya muat, karena
kurang bermutu, atau hanya bermutu bagi partai. Akan tetapi
mengenai peri kehidupan; dan pendapat saya tentang Pemerintah
Hindia Belanda serta kebijaksanaanya, saya tidak bersedia tawar-
menawar. Hal tersebut diketahuinya. Dan itulah juga syarat waktu
saya menerima memimpin Hindia Baroe”.34
Kata-kata Agus Salim di atas adalah bukti konsistensi bahwa
ideologi jurnalisme tidak dapat dibeli dengan apapun. Pers bagi
Agus Salim adalah yang sama pentingnya dengan perjuangan
politik, karena pers adalah bagian dari kutub kekuasaan. Agus
Salim sangat tahu apa dan bagaimana pers harus bersikap dan
harus membela kepentingan hak-hak rakyat yang tertindas. Dia

34
Ucapan Haji Agus Salim setelah berhenti memimpin Surat Kabar “Hindia
Baru” milik Belanda. Lihat, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta,
1978, hal 110

57
lebih memilih meletakkan jabatannya sebagai pemimpin surat
kabar Hindia Baroe yang didirikan tahun 1925 di Jakarta. Pilihan
itu pun pada akhirnya menjadikan pendapatannya berhenti dan
akibatnya ia harus sering berpindah kontrakan rumah. Selama
menjadi Hoofdredacteur, Agus Salim bertugas mengisi tajuk
rencana dan mengisi ruang Mimbar Jumat, serta mengatur cara
dan bentuk pemberitaan sebuah koran harian. Oleh Haji Agus
Salim, Mimbar Jumat diisi dengan khotbah jumat yang saat itu
masih sangat asing.
Menurut Roem, “Khotbah di masjid-masjid umumnya masih
dalam bahasa Arab, yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu
bahasa itu. Perkumpulan seperti Muhammadiyah dan Persatuan
Islam (Persis) masih berjuang untuk meyakinkan para ulama di
Indonesia, bahwa khotbah jumat di samping membaca ayat-ayat
Quran dan doa dalam bahasa Arab, tidak melanggar syariat Islam,
bila disertai tafsiran dan penjelasan dalam bahasa melayu atau
bahasa daerah yang dimengerti para jemaah”. 35
Haji Agus Salim dikenal sangat lantang dan ideologis. Sebelum
bersedia memimpin surat kabar, ia senantiasa mengajukan
persyaratan bahwa ia akan bekerja dengan kebebasan. Agus Salim
tidak ingin pers menjadi corong pemerintahan Belanda atau pun
kepentingan golongan partai. Dia menginginkan surat kabar
dapat menjadi alat untuk memperjuangkan hak dan keadilan
untuk rakyat. Belanda yang memiliki surat kabar tersebut awalnya
menyetujui, tapi ketika Agus Salim menggunakan surat kabar
untuk mengkritik Belanda, hal tersebut dirasa mengganggu
otoritas Belanda sebagai penguasa saat itu.
Belanda berupaya melakukan tawar-menawar atas tulisan-
tulisan tajam yang sarat kritik. Karena itulah Agus Salim memilih
untuk menghentikan kerjasama, ia lebih memilih menjawab,
“Kalau saya terus menulis, maka saya hanya ada dua kemungkinan:
35
Ibid, hal 109

58
saya tidak memperdulikan permintaan pemilik harian atau saya
menyerah, dan berkompromi dengan hati nurani saya.” Agus Salim
lebih memilih hati nurani tanpa kompromi dan memilih berhenti
menjadi pemimpin surat kabar tersebut.
Kesadaran Agus Salim tentang pers ideologis yang membela
rakyat ini memang patut diacungi jempol. Kala itu masyarakat
memang banyak yang tidak bisa membaca, tapi Agus Salim sudah
sangat memahami bahwa kerja-kerja pers amatlah fundamental
untuk menyuarakan dan menyatukan gagasan para intelektual
yang jumlahnya amat terbatas saat itu. Sejarah juga mencatat,
Agus Salim beberapa kali mendirikan dan memimpin beberapa
surat kabar pada prakemerdekaan. Pada tahun 1917—1919, dia
bekerja di Balai Pustaka dan juga memimpin surat kabar Neratja
yang juga sangat berpengaruh saat itu. Pada November 1927, Agus
Salim dan Tjokroaminoto mendirikan surat kabar Fadjar Asia,
media internasional yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam kala
itu. Roem menyatakan bahwa pemikiran kedua tokoh ini sudah
melampaui batas-batas Indonesia. Pada tahun 1931—1932, Agus
Salim kembali memimpin harian Mustika di Yogyakarta, satu-
satunya harian Islam terbesar di Indonesia saat itu.
Saat usia tuanya, Agus Salim tetap menjaga literasi menulisnya.
Pascapensiun dari aktivitas politik, dia masih bergiat aktif dalam
dunia jurnalis. ST. Alamsjah menuturkan, “Karang mengarang
dalam madjalah mulai kelihatan pula satu per satu. Sebagai
pengarang caliber besar, nama Salim belum dapat dihilangkan.
Tulisannja masih hangat dan berisi. Susunan kalimatnja masih
gemuk dan menarik hati. Karena itu Salim belum boleh pensiun
sebenarnya dari perjuangan Indonesia ini. Kalau tidak di medan
politik, dan kalau tidak di medan diplomasi, maka medan surat
kabar adalah penting pula dan banyak memberi hasil”.36

36
Lihat, ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit
Tinggi, Padang-Djakarta, penerbit Mutiara, 1952, hal 132

59
Sulit untuk dipungkiri bahwasanya Agus Salim adalah salah
satu pionir jurnalisme ideologis di Indonesia. Dari buah kerjanya
banyak generasi-generasi yang tergugah untuk memainkan literasi
ilmiah lewat surat kabar. Dia bukanlah sosok pegiat pers yang
partisan dan komersil. Media baginnya adalah alat perjuangan
yang sangat penting bagi pencerdasan bangsa. Pers adalah bagian
dari pilar demokrasi yang dipahami sebagai bagian dari chek and
ballances manakala tidak ada lagi yang bersuara atas kebenaran.
Ketika kebenaran dibangun maka perslah yang juga berperan
untuk memberikan ajaran-ajaran terbaik.
Haji Agus Salim sudah meletakkan dasar semangat perjuangan
seorang jurnalis yang benar-benar berjuang untuk membela hak-
hak rakyat. Mengambil pelajaran dari sosok jurnalis Agus Salim
sangat penting untuk masa depan bangsa ini dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang dihadapi. Kemerdekaan yang kita
raih sudah sepatutnya dapat membangkitkan semangat pers yang
benar-benar bersuara untuk kebenaran dan mendidik bangsa ini
menuju peradaban yang lebih baik. Pers harus dikelola untuk
mencapai hak kita sebagai bangsa yang mandiri. Sebagaimana
Haji Agus Salim mengatakan, “Wahai bangsaku! kumpulkanlah
segala tenagamu dan segala kekuatan hati dan kehendakmu akan
mencapai hak mengurus rumah tanggga kita sendiri.” 37

37
S.K Neratja, Kemis 24 Djanuari 1918 No 17 th 2, lihat, Djejak Langkah Hadji
A. Salim, Tirtamas-Jakarta, 1954, hal 37

60
BAB VI
PERJUANGAN kemerdekaan

A. Haji Agus Salim “Menteri Melarat”


“Leiden is lijden” (memimpin adalah menderita). Kutipan
Tulisan itu pernah menjadi judul artikel Yudi Latif di Kompas,
31 Januari 2012. Yudi Latif mengutip Kredo Haji Agus Salim
untuk mengajak para pemimpin untuk bersikap sebagai seorang
negarawan.
Pemimpin selayaknya adalah seorang penyambung lidah
rakyat, orang memikirkan apa dan bagaimana nasib rakyatnya
di esok hari, mencintai negara, dan mengabdikan diri untuk
kemanfaatan rakyat banyak. Begitu mengharukan, tapi ini nyata
ada dalam diri Agus Salim. Seorang pejuang, negarawan, orator,
penulis, diplomat, penjual minyak tanah untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya dengan cara yang halal. Agus Salim tidak
gila jabatan dan harta. Dia cukup bahagia dan mensyukuri semua
keadaan.
Menurut Mohamad Roem, kehidupan Agus Salim sangatlah
sederhana. “Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah
letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-
kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus
Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa
mengubah lingkungan, sebagaimana layaknya manusia sewaktu-
waktu memerlukan perubahan.”
Pada senin malam, 14 Oktober 1946, Prof. Schermerhorn
dalam catatan hariannya menuliskan Agus Salim sebagai sosok
orang tua yang sangat pandai, seorang jenius dalam bidang bahasa,

61
mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling
sedikit sembilan bahasa, dan mempunyai hanya satu kelemahan
yaitu selama hidupnya melarat.
Hal senada terkait sikap hidup Agus Salim juga dapat kita
tangkap dari sebuah kisah yang dikutip dari buku Seratus Tahun
Haji Agus Salim. Rumah yang bocor malah dirasakan sebagai
suatu suka cita yang dapat menciptakan keasyikan bersama. Pada
suatu masa, mereka (keluarga Haji Agus Salim) menempati rumah
buruk yang kakusnya telah rusak. Kalau disiram, isi kakus itu
malah meluap. Zainatun Nahar, istrinya, benar-benar tidak tahan
dan setiap kali ke WC malah muntah-muntah karena jijik. Sebagai
suami, Agus Salim kemudian melarang istrinya menggunakan WC
yang rusak itu, dan ia sendirilah yang tiap hari membuang pispot
istrinya.
Memang sulit menemukan kembali hal-hal yang demikian
pada pemimpin saat ini. Haji Agus Salim sebagai seorang menteri
yang disegani dan terpercaya berdiplomasi dengan pemimpin-
pemimpin luar negeri, mampu menyembunyikan keadaaan
kekurangan yang sangat langka pada kehidupannya yang bukan
lagi sederhana, tapi melarat. Dia juga tak pernah mengeluh minta
ditambah gaji atau fasilitas yang lain. Ia sangat memahami bahwa
kondisi Indonesia yang baru merdeka saat itu masih banyak
ditemukan rakyat yang tidak dapat makan dengan gizi yang cukup
dan anak-anak pun memakai pakaian yang tidak layak.
Agus Salim dan istrinya juga tidak mungkin mengatakan
kepada publik bahwa WC seorang menteri yang tinggal di rumah
kecil kontrakan telah rusak. Dia sangat paham dan menyadari
bahwa penderitaannya adalah bentuk wakaf dirinya sebagai
seorang pemimpin yang benar-benar mencintai rakyatnya.
Kemelaratan yang dialaminnya justru membuat Pak Tua itu
semakin tegar. Kemelaratan membuatnya semakin berjiwa besar.
Agus Salim adalah sebagian contoh pemimpin yang saat itu benar-

62
benar berkorban dan menderita. Kita juga masih ingat Bung Hatta
yang tidak mampu membeli sepatu keinginannya hingga akhir
hidupnya. Kita juga tahu bagaimana Mohammad Natsir seorang
perdana menteri yang pernah mengenakan baju bertambalkan
aspal.
Saat ini kita tentu merindukan sosok-sosok sederhana hadir
memimpin negeri ini. Kita merindukan sosok pemimpin dan
kepemimpinan yang mampu menjamah nurani rakyat dengan
keteladanan. Bukan sebuah kepemimpinan yang nirakhlak dan
nirsosial. Tidak perlu pemimpin hari ini harus bersusah payah
seperti Agus Salim. Pemimpin hari ini hanya dituntut untuk
amanah, sederhana, dan tidak korupsi.

B. Haji Agus Salim “Diplomat Kemerdekaan”


”Kemenangan diplomasi Indonesia dimulai di Kairo.
Karena dengan pengakuan mesir dan negara-negara Arab
lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda
untuk surut kembali atau memungkiri janji, sebagai
selalu dilakukannya di masa-masa yang lampau.”
(Dr. Moh. Hatta)

Perjuangan bangsa Indonesia saat memperjuangkan


kemerdekaan adalah saat-saat yang pahit. M. Zein Hassan38 (Ketua
Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia) dalam
bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, menyatakan
bahwa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI

38
M. Zein Hassan, Lc. Lt. adalah seorang mahasiswa doktor di Mesir yang
sebentar lagi meraih gelar Dr (S3). Namun, Zein lebih memilih untuk memper-
juangkan kemerdekaan Indonesia dengan melakukan konsolidasi layaknya para
diplomat negara. Dia akhirnya mengambil keputusan meninggalkan kuliahnya dan
juga menghentikan risalah penelitiannya dengan judul Kemerdekaan Dalam Islam.
Tulisan itu telah dikumpulkannya selama dua tahun untuk meraih gelar doktornya,
namun keinginannya terhenti setelah melihat Indonesia merdeka dan membuatnya
lebih memilih untuk membantu perjuangan kawan-kawan pelajar yang lain hingga
akhirnya menjadi ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia.

63
sesungguhnya tak lepas dari dukungan para pemimpin, ulama,
pemimpin organisasi, bahkan masyarakat Timur Tengah. Zein
Hassan menjelaskan bagaimana negara-negara tersebut sangat
membantu dalam upaya dukungan kemerdekaan Indonesia
sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
Hal tersebut dibenarkan oleh Bung Hatta yang menyebut
Mesir sebagai awal tempat dukungan di mana Hasan Al-Bana
dan kawan-kawan Ikhwanul Muslimin ikut berjuang untuk
mengampanyekan kemerdekaan Indonesia ke dunia internasional.
Setelah itu negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Palestina,
Siria, Irak, dan Saudi Arabia juga ikut memelopori pengakuan de
jure Republik Indonesia bersama Afghanistan, Iran, dan Turki.
Mesir, atas lobi-lobi yang dilakukan pelajar-pelajar Indonesia
akhirnya memberi pengakuan secara de facto atas kedaulatan RI.
Hingga pengakuan itu memunculkan keberanian negara Timur
Tengah lainnya untuk ikut mengakui kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut menjadi modal besar bagi Indonesia di mata dunia
internasional. Lewat pengakuan tersebut Indonesia dapat sejajar
bersanding dengan Belanda dalam berbagai perundingan.
Negara-negara muslim mulai menyadari bahwa dengan
saling mendukung mereka akan saling menguatkan satu sama
lain, bahwa kemerdekaan itu harus diraih dan diperjuangkan
secara bersama-sama. Hal menakjubkan lainnya adalah ketika
Syekh Muhammad Ali Taher (Pemimpin Palestina) menyerahkan
seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan
berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan
perjuangan Indonesia.” Betapa Palestina saat itu begitu mencintai
Indonesia dan sangat berharap Indonesia dapat merdeka
sepenuhnya. Karenanya kita harus kembali mengingat sejarah
masa lampau dimana Syekh Ali Taher benar-benar mencintai dan
ikut berkorban bagi Indonesia.

64
Pemimpin Palestina itu memberikan sumbangsihnya atas
perjuangan rakyat Indonesia yang berjuang melawan penjajahan.
Uang pribadi Ali Taher itu adalah bukti persaudaraan muslim satu
dengan muslim yang lain. Indonesia dengan berbagai keterbatasan
saat itu mendapatkan bantuan dari tokoh-tokoh muslim dunia.
Selain Ali Taher, ada juga Syekh M. Amin Haisaini Mufti, duta besar
Palestina yang juga aktif mendukung kemerdekaan Indonesia.
Para pelajar-pelajar Indonesia di Timur Tengah juga beraksi
untuk menarik dukungan sebanyak-banyaknya pemimpin
Timur Tengah agar dunia internasional benar-benar mengakui
kemerdekaan Indonesia. Perhimpunan-perhimpunan pelajar juga
ikut meresmikan Panitia Perkumpulan Kemerdekaan yang ikut
berperan aktif untuk berkomunikasi dan melobi para duta besar,
pemimpin negeri-negeri di Arab, ulama, dan ormas Islam untuk
memberikan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. Lebih dari
itu, para pelajar tersebut juga membantah black out melalui media-
media di Timur Tengah dan media-media internasional dengan
mengirim surat/kawat protes, seruan, dan memorandum secara
langsung kepada negara-negara yang bersangkutan maupun
lembaga internasional seperti PBB yang tidak mendukung
kemerdekaan Indonesia.
Tak bisa dipungkiri bahwa sokongan dunia Arab terhadap
kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Para pembesar Mesir
dan Arab membentuk Panitia Pembela Indonesia. Para pemimpin
negara ini melalui perwakilannya di PBB dan Liga Arab sangat
gigih mendorong diangkatnya isu kemerdekaan Indonesia
dalam berbagai sidang. Bahkan pada 6 September 1944, setahun
sebelum proklamasi terjadi, ketika berkembang isu bahwa Jepang
mengakui kemerdekaan Indonesia, Radio Berlin berbahasa Arab
menyiarkan ucapan selamat mufti besar Palestina Syekh Amin Al-
Husaini kepada Alam Islami. Berita itu disiarkan selama dua hari
berturut-turut.

65
Merebut Isu Media
Sebagai alat pembentuk pendapat umum, maka pers
Indonesia memegang peranan penting dalam masa revolusi.
Tumbuhnya surat kabar-surat kabar di Indonesia sebenarnya
tidaklah dapat dipisahkan dari perjuangan kemerdekaan nasional
Indonesia. Di masa itu pers nasional memegang peranan sebagai
kesatuan penggempur kolonialisme Belanda dan alat penghubung/
pemersatu antara golongan intelektual dan massa rakyat. Meskipun
di samping itu ada pula pers yang menjadi pembawa suara Belanda,
akan tetapi pengaruhnya tidak meluas.39
Sesudah proklamasi, pers di Indonesia mengalami perubahan
yang sangat besar. Bila semula pers Indonesia dibentuk hanya untuk
membentuk pendapat umun, tapi pada saat revolusi pers Indonesia
menjadi penggembleng semangat persatuan, perjuangan, dan
pengorbanan mempertahankan kemerdekaan tanah air.40
Penyebaran berita kemerdekaan ini terjadi di beberapa daerah
seperti Jawa Barat di Soeara Merdeka, di Solo ada surat kabar
Merah Poetih. Pada 1 Oktober 1945 terbit juga Indonesia Raya.
Beberapa radio nasional dan daerah juga ikut serta memberitakan
kabar kemerdekaan Indonesia ke seluruh pelosok negeri. Hal itu
dilakukan untuk membakar semangat perjuangan seluruh rakyat
untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Di samping media nasional, dukungan media-media
Timur Tengah, baik melalui surat kabar maupun radio lokal pun
begitu kuat dan gencar dalam menggalang opini mendukung
kemerdekaan Indonesia dan memberitakan setiap perkembangan
yang terjadi. Dukungan dunia timur memang sangat signifikan
untuk membantu negeri dengan penduduk muslim terbesar
dunia ini merdeka. Tak hanya itu, di jalan-jalan juga terjadi

39
Iwa Kusuma Sumantri, Sedjarah Revolusi, Masa Revolusi Bersendjata, Djilid
II, 1963, Grafika-Djakarta, hal 162-163
40
Ibid, hal 164

66
demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat di
Timur Tengah untuk memberikan dukungan kepada Indonesia.
Ikhwanul Muslimin (IM) bahkan berani memblokade akses barat
yang akan membantu Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya pada 10 November
1945, sontak demonstrasi antiBelanda-Inggris merebak di Timur
Tengah, khususnya di Mesir. Salat ghaib dilakukan oleh masyarakat
di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk
para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat
itu.

Haji Agus Salim Diplomat Indonesia


Haji Agus Salim tercatat sebagai orang yang sangat berjasa
dalam meraih dukungan internasional. Agus Salim dan beberapa
tokoh lainnya seperti Sjahrir dipandang sebagai pahlawan bangsa
karena dengan dukungan Timur Tengah khususnya, Indonesia
diakui berdaulat sebagai negara merdeka. Perjuangan untuk meraih
dukungan internasional bukanlah hal yang mudah dan begitu saja
dilakukan. Jauh sebelum itu, Agus Salim, Tjokroaminoto, Abdul
Moeis, dan beberapa tokoh lainnya telah melakukan gerakan
hubungan internasional sejak 1920-an. Hingga 1945, hubungan
baik dengan negara-negara muslim itu terjalin dengan baik.
Setelah perpecahan dalam tubuh SI, praktis organisasi
tersebut mengalami kemunduran. Agus Salim melancarkan suatu
gerakan Pan-Islamisme dan mendirikan Partai Sarekat Islam (PSI).
Maksudnya ialah untuk mencari hubungan dan menghimpun
segala kekuatan Islam yang ada di Indonesia. Selanjutnya dicari
pula hubungan gerakan Islam di luar negeri sehingga dengan
demikian PSI mempunyai watak internasional.41

41
Margono, Ictisar Sedjarah Pergerakan Nasional (1908-1945), Seri Text –
Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI,
1971, hal 78

67
Pada kongres Al-Islam ke-VI di Surabaya memutuskan central
comite chilafah (baca: khilafah) di ubah menjadi Muktamar Alam
Islamy Far’ul Hindian Sjariah (MAIFHS). Pada Kongres di Bogor
bulan Desember 1926, MAIFHS mengemukakan kemarahannya
terhadap campur tangan pemerintah Belanda dalam urusan-
urusan agama Islam antara lain perkawinan, urusan masjid-
masjid, dan pelajaran agama Islam. Di seluruh pelosok Jawa pada 9
Mei 1927, pernyataan penentangan terhadap pemerintah Belanda
mulai disebar.
Dalam kongres itulah juga diputuskan untuk mengirimkan
tiga utusan ke kongres Islam sedunia di Mekkah yang akan datang.
MAIFHS dalam anggaran dasarnya bertujuan menuju kemerdekaan
kebangsaan yang berdasarkan agama Islam. Pada kongres ini juga
diambil keputusan akan mencari perhubungan dengan Liga Arab
untuk menentang tindakan penjajahan.42 Maka tidak heran jika
buah dari usaha 25 tahun yang lalu itu membuahkan hubungan
yang sangat baik di antaranya Palestina, Irak, Siria, Lebanon, Arab
Saudi, dan Mesir.
Hubungan baik antara Agus Salim dan Hasan Al Banna,
pendiri Ikhwanul Muslimin, adalah fakta sejarah bahwa Mesir
sangat kuat mendukung dan mengajak negara lain untuk
mendukung negara Indonesia yang mayoritas muslim untuk
merdeka. Mesir juga memandang Indonesia sebagai negara yang
mayoritas pendudukanya muslim kelak menjadi kekuatan luar biasa
untuk memerangi segala bentuk imperalisme dan kolonialisme.
Di balik hal tersebut, kita bisa melihat berbagai usaha Agus Salim
untuk mencari dukungan adalah kecerdikannya memanfaatkan
momentum jaringan Islam untuk memperkuat kemerdekaan.
Sebelum menjabat menteri luar negeri, ia keluar negeri sebagai
duta keliling Republik Indonesia. Dengan jalan menyelundup,

42
Solichin Salam, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, Djakarta, Djajamurni,
1963, hal 91

68
ia bersama rombongannya, dapat melintasi blokade Belanda
yang dipasang sangat kuatnya. Sebagai seorang diplomat, ia telah
berhasil, dalam perjalanan itu, mengambil kepercayaan luar
negeri terutama negara-negara Arab. Hasilnya, negara-negara
Arab bersedia mengakui RI dan tidak khawatir akan konsekuaensi
dari pengakuannya itu. Maka ditandatanganilah surat perjanjian
persahabatan dengan Mesir dan lainnya. 43
Iwa Kusuma Sumantri dalam bukunya juga menuliskan
bahwa pada Maret 1947 di New Delhi diadakan inter Asian
Relation Confrence yang antara lain dikunjungi oleh Agus Salim
sebagai wakil menteri luar negeri Republik Indonesia pada waktu
itu. Paska acara tersebut, Agus Salim kemudian berkeliling ke
negeri-negeri Arab. Hasil dari kunjugan tersebut adalah bahwa
Mesir, Libanon, Siria, Yaman, dan Irak mengakui pemerintah RI
tanpa dibatasi dengan peraturan-peraturan Perjanjian Linggarjati.
Bahkan antara Pemerintah Mesir dan Republik Indonesia pada 11
Juni 1947 ditandatangani suatu perjanjian persahabatan. Hal yang
sama juga dilakukan dengan Pemerintah Siria pada 1 Juli 1947.
Demikianlah hubungan-hubungan antara Republik Indonesia
dan negara-negara Arab telah mulai bertumbuh dengan baik sekali.
Sejak itu, hubungan dagang dengan negeri-negeri lain pun mulai
berkembang. Pada 5 Maret 1947, Amerika Serikat pun melalui
kedutaanya di Den Haag mengajukan protes tentang tindakan-
tindakan Belanda yang menghalang-halangi perdagangan antara
Amerika Serikat dengan Indonesia yang hendak mengangkut
hasil-hasil perkebunan Indonesia ke Eropa.44
Pada saat agresi militer Belanda I, di luar negeri Agus Salim
tengah berjuang di lapangan diplomasi untuk mengambil pengaruh

43
ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Penerbit Mutiara,
Padang, Bukit Tinggi dan Djakarta, 1952, hal 130
44
Iwa Kusuma Sumantri, Sedjarah Revolusi, Masa Revolusi Bersendjata, Djilid
II, 1963, Grafika-Djakarta, hal 161

69
dan simpati luar negeri. Usaha ini ternyata berhasil baik. Bersama
Sjahrir yang juga menyelundup ke luar negeri, ia menghadiri sidang
Dewan Keamanan di Amerika. Sebagai utusan atau wakil Indonesia,
keduanya hadir dan memberikan pembelaannya di muka sidang
internasional itu. Ada pun wakil-wakil negara-negara bagian
(BFO) yang dikirim Belanda, antara lain Sukawati dari Indonesai
Timur untuk membela politik Belanda, tidak diterima menghadiri
sidang karena wakil resmi Indonesia hanyalah Republik Indonesia
yang diwakili oleh Sjahrir dan Agus Salim.45
Margono Djohohadikusumo menyatakan dalam kabinet
Republik Indonesia yang pertama dengan Sjahrir sebagai perdana
menteri, Agus Salim menjadi menteri luar negeri. Pada waktu itu
status Indonesia belum mencapai status de jure dan Indonesia harus
memperkenalkan identitasnya ke seluruh dunia. Untuk keperluan
ini, Sjahrir dan Agus Salim harus berangkat ke Lake Succes di New
York guna membela perkara di depan PBB, sebagai forum dunia.46
Demikianlah Agus Salim yang telah berusia lanjut itu itu
masih utuh dan kuat. Sedangkan otaknya masih muda untuk
berfikir dalam perjuangan diplomasi yang besar itu. Sewaktu
berada di luar negeri itulah, ia dipilih menjadi menteri luar negeri
dalam kabinet Amir. Kecakapannya dalam arus politk luar negeri
sudah terbukti. Karena itu, setelah kabinet Amir selesai dan
dibentuk kabinet Hatta pada 29 Januari 1948, Agus Salim kembali
dipercaya untuk menjadi menteri luar negeri.

C. Dosen Reformis
Setelah menunaikan tugas dan pensiun dari tugas negara,
Agus Salim tetap mendalami dunia literasi dan mengajar anak-
anak muda. Tokoh yang dikenal menguasai sembilan bahasa ini

45
Ibid, hal 130
46
Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan Dari Tiga Zaman, Satu Kisah
KekeluargaanTertulis, 1962, PT. Indira-Djakarta, hal 72

70
memiliki kecerdasan yang terjaga hingga di masa tua. Ia adalah
orang yang sangat cepat mendalami pemahaman ilmu dan
menjadikannya manfaat dan maslahat bagi siapa pun. Agus Salim
pernah berkiprah sebagai penerjemah, ahli sejarah, wartawan,
sastrawan, diplomat, praktisi pendidikan, filsuf, dan ulama. Di
usia tuanya, Salim memang berhenti dari aktivitas politik, tapi dia
memanfaatkan masa tuanya untuk mengajar dan menulis.
Salah satu tulisannya yang agak panjang ialah Tentang Ceritera
Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad” dan dua karangan lainnya
Godsdienst (agama) dan God Laaste boodschap, de Universele
Goddienst (pesan Allah yang terakhir, agama universal) yang
ditulisnya dalam bahasa Belanda. Tulisan ini meski singkat tetapi
mampu menjelaskan secara komperehensif berbagai peraturan
agama Islam. Haji Agus Salim mengetahui dan menguasai literatur
barat tentang Islam, ini dapat dibuktikan dari beberapa tulisan.47
Banyak cendekiawan luar negeri yang memujinya karena
kemampuannya di bidang bahasa. Pada 17 Januari 1953, Agus Salim
pergi ke Amerika guna memenuhi undangan Cornell University
untuk memberikan kuliah tentang Islam. Suatu kehormatan
tentunnya karena dialah yang pertama kali di antara sekian banyak
orang terpelajar Indonesia yang mendapat undangan tersebut.
Agus Salim diundang sebagai guru besar tamu pada semester
musim semi tahun 1953 untuk memberi kuliah tentang agama
Islam dan suatu seminar tentang Islam di Indonesia. Selama musim
semi itu (Januari--Juni), dia berhasil memberikan 31 kuliah yang
kesemuanya membicarakan masalah Islam—khususnya Sejarah
Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu oleh pemerintah, Agus Salim diangkat menjadi
ketua untuk mewakili upacara penobatan raja Inggris yakni Ratu
Elizabeth II pada bulan Juni 1953 di London. Akhirnya pada 23

47
Lihat Djejak langkah Agus Salim,Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat
Beliau Dari Dulu Sampai Sekarang, Djakarta 1954.

71
November 1953, dia kembali ke tanah air setelah 10 bulan berada
di luar negeri.48
Begitulah The Grand Old Man telah memenangkan
peradaban yang dibangunnya puluhan tahun. Atas kerja-kerjanya
yang luar biasa, wajar jika kemudian Agus Salim sangat dihargai
atas segala dedikasinya terhadap Ilmu dan keislamannya. Di usia
senjannya, ia tetap memberi tawaran strategis bagi Indonesia
dan dunia tentang apa itu Islam dan bagaimana harus berjuang.
Dia benar-benar dilahirkan untuk menjadi petarung narasi
bagi manusia Indonesia. Ia memang tidak angkat senjata untuk
membunuh musuh-musuhnya. Ia angkat senjata ilmu Islam untuk
memahamkan dan mencerdaskan lawan-lawannya. Karena apa
yang terlontar dari mulut Agus Salim adalah kebenaran untuk
mengatakan yang sebenarnya.

48
Lihat, ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit
Tinggi, Padang-Djakarta, penerbit Mutiara, 1952 hal 132

72
LAMPIRAN

73
DAFTAR KARYA DAN KRONOLOGIS SINGKAT PERJALANAN
HAJI AGUS SALIM

A. DAFTAR KARYA
Karya Tulis:
1. Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
2. Dari Hal Ilmu Quran
3. Muhammad voor en na de Hijrah
4. Gods Laatste Boodschap
5. Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Haji Agus
Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober 1954)

Karya Terjemahan
1. Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the
Shrew karya Shakespeare)
2. Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book
karya Rudyard Kipling)
3. Sejarah Dunia (karya E. Molt)

B. KRONOLOGIS SINGKAT PERJALANAN HAJI AGUS SALIM
8 Oktober 1884 Lahir di Kota Gadang, Bukit Tinggi,
bersekolah di E.L.S kemudian di H.B.S di
Jakarta.
1906-1911 Dragoman di konsulat Belanda, Jeddah.
Risalahnya yang pertama mengenai
astronomi.
1908 Pendirian Budi Utomo oleh anjuran dr.
Wahidin Sudirohusodo.
1911-1912 Haji A. Salim bekerja di kantor B.O.W
Jakarta.
1912-1915 Membuka H.I.S partikelir di Kota Gedang.
1912 Muhammadiyah didirikan oleh Hadji Ahmad
Dahlan.
1915 Haji A. Salim ikut menjadi anggota PB Cen-
tral Sarekat Islam (CSI) bersama-sama: Tjok-
roaminoto, Abdul Moeis, W. Wondoam-
iseno, Sosrokardono, Surjopranoto, Alimin
Prawirodirjo.

74
18 Maret 1916 Statuten CSI disahkan oleh blesit Pemerintah
Belanda
17-24 Juni 1916 Kongres SI Nasional I di Bandung, Semaun
mulai menantang sikap pengurus besar SI.
8 Septermber 1916 Akte di depan notaris, dimana dijelaskan
bahwa Central Sarekat Islam akan berdaya
upaya mencapai kemerdekaan politik untuk
Indonesia.
16 Desember 1916 Rancangan menteri jajahan pleyte untuk
mewujudkan Volksraad.
1917-1919 Haji A. Salim bekerja di Balai Pustaka. Juga
memimpin surat kabar Neratja yang besar
pengaruhnya.
18 Mei 1918 G.G Mr Graaf Van Limburg Stirum membuka
Volksraad pertama. Tjokroaminoto dan
Abdul Moeis anggota Volksraad.
1918 CSI menuntut parlemen yang sempurna
dengan jalan berangsur-angsur.
29 Sep-6 Okt 1918 Kongres SI Nasional III di Surabaya
16 November 1918 Novemberklaring.
25 November 1918 Mosi Tjokroaminoto supaya disusun
dengan secepat mungkin suatu parlemen
yang dibentuk dari dan oleh rakyat
dengan hak menentukan hukum sepenuh-
penuhnya dan lagi dibangunkan suatu
pemerintah yang bertanggungjawab
kepada parlemen tersebut. Mosi itu
ditandatangani oleh Tjokroaminoto, Sastro
Widjono, Dwidjosewojo, Cramer, Tjipto
Mangunkusumo, Radjiman, Teeuwen,
Abdul Moeis dan Thajeb.
3 Desember 1918 Mosi A. Djajadiningrat.
17 Desember 1918 Pelantikan Herzieningscommissie akan me-
nahan terlangsungnya mosi Tjokroaminoto
dan mosi A. Djajadiningrat.
26 Okt-2 Nov 1919 Kongres SI Nasional IV di Surabaya.
25 Desember 1919 Persatuan Gerakan Kaum Buruh. Semaun

75
ketua, Surjopranoto wakil ketua, dan Hadji
Agus Salim sekretaris
1920 Selesai Pekerjaan Herzieningscommissie Cor-
pentier Alting, 23 Mei didirikan perserikatan
kommunis di Hindia, yang belakangan men-
jadi PKI. Semaun ketua, Darsono wakil ketua.
1921-1924 Haji Haji Agus Salim anggota Volksraad
pertama sekali bahasa Indonesia digunakan
dalam dewan rakyat oleh Agus Salim.
6-10 Oktober 1921 Kongres SI Nasional di Surabaya. Debat Agus
Salim dengan Semaun mengenai sosialisme
Marx dan sosialisme Islam. Usul Salim-
Moeis mengenai disiplin partai.
1921 Kongres Al-Islam di Tjirebon dengan
maksud mengurangi perselisihan tentang
soal-soal furu dan khalifah. Mencari jalan
bagaimana mewujudkan persatuan aliran
dan kerjasama di antara kaum muslimin. Haji
Agus Salim dan Tjokroaminoto memimpin
kongres itu.
1922 Kongres Al-Islam II di Garut. Pimpinan
Haji Agus Salim dan PB Muhammadiyah.
Uraian panjang lebar Agus Salim mengenai
fungsi agama dan ilmu pengetahuan. Juga
hubungan Islam dengan sosialisme, beserta
kecamannya yang tajam dengan kapitalisme
yang mengejar meerwaarde, sedangkan
Islam menolak gejala itu oleh larangan riba.
Haji Agus Salim menyerukan pentingnya
fungsi mejelis ulama. Ditegaskannya
kepentingan persatuan Islam.
17-20 Februari 1923 CSI menjadi PSI Hindia Timur Kongres
Nasional VII di Madiun.
8-11 Agustus 1924 Kongres SI Nasional di Surabaya, Agus
Salim melancarkan program politik baru.
Ditegaskan pula politik non-cooperative
dengan Volksraad.
24-26 Desember 1924 Kongres Al-Islam luar biasa di Surabaya hadir

76
lebih kurang 100 orang Islam. Sebagian
besar dari kalangan SI dan Muhammadiyah
dan kumpulan-kumpulan Islam lainnya.
Membicarakan soal; apakah umat Islam
Indonesia akan menyelami gerakan
khilafah. Haji Agus Salim menguraikan
soal khilafah dalam Islam. Diuraikannya
bahwa nasionalisme berdasar Islam ialah
memajukan negeri dari bangsa berdasarkan
cita-cita Islam. Di Surabaya didirikan
Centraal Comite Chilafah. (CCC).
21-27 Agustus 1925 Kongres bersama antara SI dengan Kongres
Al-Islam di Yogyakarta. Tjokroaminoto
melancarkan gerakan tandzim untuk
menata-menyusun kehidupan rakyat di
lapangan ekonomi, sosial, dan kebudayaan
menurut azas-azas Islam. Haji Agus Salim
besar sumbangan citanya untuk gerakan
tandzim itu.
1926 Kongres Al-Islam VI di Surabaya Centraal
Comite Chilafah menjadi Muktamar Alam
Islamy Far’ul Hindis Sjarqiah (MAIHS).
Tjokroaminoto ketua dan Wondoamiseno
wakil ketua. Haji Agus Salim sekretaris
umum. Tjokroaminoto dan Mansur ke
Mekkah. Pendirian Nahdatul Ulama di
Surabaya.
1927 Haji Agus Salim ke Mekkah sebagai utusan.
4 Juli 1927 Perserikatan Nasional Indonesia didirikan
di Bandung sebagai hasil pemufakatan Ir
Soekarno, Mr. Iskaq, Tjokroaminoto, Tjipto
Mangunkusumo, Mr Budiarto dan Mr
Sunarjo.
17 Des 1927 PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Per-
himpunan Politik Kebangsaan Indonesia)
28 Sep-2 Oktober 1927 Haji Agus Salim mengusulkan di kongres
SI di Pekalongan supaya lekas berdirinya
majelis ulama.

77
November 1927 Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim
mendirikan Fadjar Asia.
Januari 1928 Dalam kongres SI di Yogyakarta terbentuk
majelis ulama yang telah diusulkan oleh
Agus Salim.
30 Agustus-2 Sep 1928 Kongres I PPPKI.
Januari 1929 PSI (Partai Sarekat Islam) menjadi PSII
(Partai Sarekat Islam Indonesia)
24-27 Januari 1930 Kongres PSII di Yogyakarta. Terbentuk de-
wan partai. Tjokroaminoto ketua, Haji Agus
Salim wakil ketua, Sangadji ketua lajnah
tanfidzijah, Dr. Sukiman wakil ketua LT.
1930 Haji Agus Salim ke Geneva dan negeri
Belanda.
1931 Pendidikan Nasional Indonesia, Hatta,
Sjahrir
1932 Comite Al-Islam mangadakan kongres Al-
Islam IX di Malang, berhubung dengan
seruan mufti besar S. Amin Al-Hussainy,
supaya mengadakan Muktamar Alam
Islamy di Palestina. Haji Agus Salim dan
Tjokroaminoto mengesankan cita mereka.
11-18 Desember 1933 Tjokroaminoto dan Agus Salim menyusun
manifesto PSII.
17 Desember 1934 Tjokroaminoto wafat.
1935 Kongres PSII Malang. Haji Agus Salim
menjadi ketua dewan partai PSII Partai
Indonesia Raya, Dr Sutomo.
1936 Haji Agus Salim membentuk Partai Penjadar
(dibaca: penyadar).
1937 Gerakan Rakyat Indonesia, Amir Syarifuddin
Yamin A.K Gani
1938 Kongres Bahasa di Solo
1939 Front Nasional Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) aksi Indonesia berparlemen.
1940-1942 Haji Agus Salim nonaktif dalam politik banyak

78
mengarangkan risalah agama, kebudayaan
politik, dan berbicara di depan corong radio
PPRK, Nirom, mengenai berbagai banyak
soal.
1942-1945 Sementara waktu mencari nafkah dengan
berdagang arang. Kemudian aktif dalam
putra bersama Soekarno dan Hatta.
17 Agustus 1945 Proklamasi tapi perjuangan kemerdekaan
belum berakhir.
1945-1947 Haji Agus Salim ikut serta mereorganisasi
Masyumi. Menteri muda luar negeri dalam
Kabinet Sjahrir II dan III.
1947-1951 Haji Agus Salim menjadi menteri luar negeri
dalam kabinet Syarifuddin. Menghadiri
Inter-Asian Relations Conference di New
Delhi, sebagai wakil RI kemudian terus
mengembara ke negeri-negeri Timur
Tengah. Berhasil salam usaha memperkuat
hubungan persahabatan antara RI dengan
negeri-negeri Arab, Mesir, Siria, Libanon,
mengakui de jure kemerdekaan dan
kedaulatan RI. pada aksi militer Belanda di
Indonesia bersama Sjahrir mengemukakan
soal Indonesia di Lakesucces. Sesudah 1949
terus menjadi penasehat utama di Kemlu.
Mengarang keterangan filsafat tentang
tauhid, taqdir, dan tawakkal.
1952-1953 Menjadi pengajar pergerakan dan cita Islam
Indonesia di Princeton University, Amerika.
1953 Kembali ke Indonesia

(Dikutip dari Djejak Langkah Hadji. A. Salim, Tirtamas, Jakarta, 1954,


dengan ejaan yang sedikit disempurnakan)

79
TULISAN HAJI AGUS SALIM

Rahasia Puasa
Oleh: Haji Agus Salim (disadur dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim)
Dimuat di Pedoman Masyarakat, no. 40, 25 November 1936

“Jika masuk Ramadan terbukalah segala pintu surga dan


tertutuplah pintu neraka dan terikat segala setan”.

Demikian diberitakan Rasul Muhammad SAW dalam hadits.


Terbuka segala pintu surga; tidak salah rasanya, jika kita paham dari
pada ibarat itu, bahwa di dalam bulan puasa terbuka segala jalan kepada
kewajiban dan bahagia. Tertutup segala pintu neraka; tertutup segala
jalan kejahatan, kecewa, dan celaka. Dan terikat segala setan; tertolak
segala daya atau tipuan iblis yang senantiasa berlaku pada jalan hawa
nafsu manusia.
Sebagai tiap-tiap ajaran ibadat di dalam Islam, demikian juga
ajaran ini telah dicarikan orang alasan dan bukti kenyataannya pada
tiga tingkat kehidupan. Pertama, di tingkat fisik, maka telah diselidiki
orang khasiat puasa dan pengaruhnya atas badan jasmani dan
ditetapkan orang kebajikan puasa untuk menyentosakan pencernaan
dan pembaharuan segala zat yang perlu-perlu dan pengeluaran segala
zat yang jahat, sehingga nyatalah puasa itu sangat besar gunanya untuk
menyehatkan badan dan menolak berbagai sebab penyakit. Amat besar
faedahnya bahwa dalam puasa perut kita tiap kali setelah menerima
makan dan minum, diberi masa yang lama untuk menyelesaikannya dan
beristirahat, menyiapkan segala alatnya untuk menerima makan dan
minum yang baru.
Kedua, telah diperbincangkan orang pula khasiat dan pengaruh
puasa di tingkat alam semangat, yang menguasai pekerti. Maka telah
ditetapkan orang kebaikan pengaruh puasa menyentosakan kekuatan
kehendak yang sangat terdidik pada jalan menguasai hawa nafsu.
Dan ketiga, pada alam roh; alam yang terlebih utama dan terlebih
penting untuk manusia, sebab roh itulah yang akan kekal dan menghadapi
kehidupan di alam akherat, apabila badan benda dan semangat telah
binasa.
Syahdan tiap-tiap bagian yang tiga itu kurang diperbincangkan
orang di dalam masa menghadapi puasa ini. Di dalam khotbah
dan majalah, dalam tiap bahasa yang terkenal di muka bumi boleh
dipastikan mesti kita bertemu dengan keterangan dan pemandangan

80
yang diperalaskan kepada ilmu filosofis yang memodern. Tambah lama
tambah banyak orang yang pandai, sebab sudah tambah pula contoh
yang dahulu, sudah tambah luas dan tambah jauh periksa dan selidik,
bandingan dan pikiran yang sudah dilakukan.
Pendapat lama itu adalah ajaran Imam Ghazali tentang segala
rahasia puasa, yang diterangkannya di depan bagian pertama dalam
kitab Ihya Ulum Ad-din.
Adapun segala wajib puasa dapat keterangannya di dalam tiap
kitab fakih:
1. memperhatikan permulaan bulan Ramadan,
2. niat yang jelas pada waktu malam,
3. tidak memasukkan sesuatu apa ke dalam badan dengan
sengaja padahal ingat sedang berpuasa,
4. tidak berhubungan suami istri,
5. tidak berbuat dengan sengaja yang sampai menyebabkan
istimnya,
6. tidak muntah dengan disengaja.
Demikian pula segala sunnahnya dan segala khasiatnya dan segala
faedahnya daripada puasa yang diterangkan orang dengan pasti boleh
kita tetapkan, bahwa hanyalah akan bertemu, apabila kita melakukan
puasa kita dengan sempurna mencukupi segala syaratnya dan memakai
segala aturannya.
Puasa yang sempurna adalah yang diterangkan Imam Ghazali
dalam fasal kedua daripada kitab rahasia puasa. Maka kata Imam Ghazali
puasa itu ada tiga tingkatnya: 1. puasa umum, 2. puasa khusus, 3. puasa
khusus al-khusus.
Adapun tingkat yang pertama itu yaitu puasa umum, cukup dengan
sekedar menahankan dua syahwat, yaitu perut dan seks. Dua syahwat
itu sangat pentingnya, maka sangat pula kuatnya. Dan hikmat Allah
yang menjadikan syahwat itu dan menguatkannya di dalam makhluk
memberi ajaran supaya di dalam puasa makhluk tertinggi di dalam alam
memerdekakan diri dari kekuasaan dua syahwat itu dengan pendidikan
diri akan membatasinya di dalam batas yang tidak merusak kepada
dirinya.
Tingkat kedua atau tingkat puasa khusus ialah menahankan
pendengaran dan pengelihatan, menahankan lidah, tangan dan kaki,
segenap badan, dari perbuatan yang salah.
Adapun tingkat ketiga, puasa khusus al-khusus ialah puasa hati,
yaitu puasa dari memperhatikan sesuatu yang rendah, hina, atau keji
dan dari pikir-pikir keduniaan dan mencegah hati dari segala sesuatu

81
yang lain daripada kebesaran dan kemuliaan Allah semata. Puasa ini
terlepas oleh tiap pikiran kepada sesuatu yang lain dari Allah dan hari
akhirat. Maka telah berkata “ahli hati” bahwa apabila tergerak hatinya
pada waktu siang hari memikirkan daya upaya akan mendapatkan barang
untuk berbuka puasa, niscaya telah tertulis atasnya kesalahan. Sebab
piker itu hanyalah terbit karena kurang percayanya akan kemurahan
Allah Ta’ala dan kurang yakinnya akan rejeki yang dijanjikan kepadanya.
Tingkat ini adalah tingkat para nabi dan wali, tidak menjadi
tuntutan atas tiap manusia. Maka tidaklah ada guna memanjangkan
bicara atasnya, karena inilah suatu perkara yang hanya dapat dituntut
dengan keterangan.
Tetapi tingkat yang kedua tadi itu adalah tingkat orang saleh,
yang harus diupayakan untuk tercapai oleh tiap orang. Karena panjang
penjelasan tentang puasa khusus itu, di sini saya singkatkan dengan
seringkas-ringkasnya.
Pertama, tahankan mata daripada memandang kepada yang
salah dan keji dan segala yang boleh menyesatkan hati dan daripada
memandang dengan syahwat.
Kedua, tahankan lidah daripada mengoceh dan cerewet, daripada
bohong dan cakap-cakap di balik pembelakangan (pergunjingan),
daripada umpat dan gugat, daripada sumpah palsu, daripada perkataan
kotor dan cabul, dan pada bertengkar dan berbantah.
Ketiga, tahankan telinga daripada mendengarkan segala yang
tercela dan terlarang. Karena yang suka mendengarkan itu disamakan
salahnya dengan yang berbicara.
Keempat, tahankan segenap badan dan segala anggota daripada
perbuatan yang menjadi kesalahan dan yang menjadi kecelakaan.
Terkait urusan perut, apabila sudah berbuka, daripada makan dan
minum yang ada ragu-ragu atasnya tentang halal atau tidaknya, dan
tentang baik dan jahatnya. Sia-sia berpuasa sepanjang hari menahan
perut daripada yang halal, kemudian setelah berbuka dimasukkan
barang terlarang. Orang yang berbuat demikian adalah ibaratnya orang
yang membuat gedung lalu merobohkan kota.
Kelima, jangan dibanyakkan memakan yang halal ketika sudah
berbuka. Teramat Allah benci akan perut yang terlalu penuh diisi. Sia-
sia orang yang hendak mengharapkan puasanya akan menyampaikan
dia kepada pintu surga dan akan menjauhkan dia dari pintu neraka
dan memeliharakannya daripada setan yang terikat. Justru, dia malah
menutup pintu surga, membuka pintu neraka, melepaskan setan dan
menyerahkan diri kepadanya. Jika puasa digunakan untuk melaparkan

82
perut di siang hari supaya lebih berlepas hati memenuhinya pada waktu
malam, dengan berbagai hidangan istimewa, niscaya pengaruh puasa
menjadi kebalikan daripada yang dicita-citakan.
Keenam, hendaklah hati orang yang berpuasa setelah waktu
berbuka merasakan bimbang atau ragu-ragu bercampur dengan harap
kepada ridha Allah, karena ia tak tahu apakah puasanya itu diterima
atau tidak. Kebimbangan itu sejatinya membulatkan hatinya untuk
mengerjakan ibadah-ibadah setelah waktu berbuka.
Demikianlah ringkasan Kitab Ihyaa Ulum-al-Din yang terpuji, supaya
diperhatikan orang dalam bulan puasa ini. Menilik dari aspek kebendaan,
kesehatan jasmani, maupun terkait hal semangat, pendidikan budi
pekerti, khususnya terkait ibadah semata-mata karena Allah, sungguh
tak akan tercapai tujuan puasa kita tanpa memperhatikan tuntunan
ulama seperti Imam Ghazali.

83
DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan


Praktik Polisik, Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina
Djejak Langkah Hadji A. Salim, 1954, Pilihan Karangan, Utjapan dan
Pendapat Beliau dari Dulu Sampai Sekarang, Jakarta,Tirtamas
Donald Eugene,1985, Agama dan Modernisasi Politik, terj. Drs. Machnun
Husein, Jakarta, Rajawali
Het Licht, Maanblad van den Jong Islamieten Bond, le jaargang, h 269
e.v (1925/1926)
http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo
Iwa Kusuma Sumantri, 1963, Sedjarah Revolusi , Masa Revolusi
Bersendjata, Djilid II, Grafika-Djakarta
Kamaluddin Marzuki, 2001, Perilaku Tokoh Islam “Bersama” Sosialisme,
Jurnal Universitas Paramadina, Vol.1, No.1, September
Kompas , 2004, Haji Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad dan
Pluralisme, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Korver, A.P, 1985, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta, Grafiti
M Dawam Rahardjo, 1999, Masyarakat Madani; Agama, Kelas
Menengah, dan Perubahan Sosial, pengantar Taufik Abdullah,
Jakarta, LP3ES
Margono Djojohadikusumo, 1962, Kenang-kenangan Dari Tiga Zaman,
Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, PT. Indira-Djakarta
Margono, 1971, Ictisar Sedjarah Pergerakan Nasional (1908-1945),1971,
Seri Text – Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan
Pusat Sedjarah ABRI
Mr. A.K. Pringgodigdo, 1949, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia,
Djakarta, Pustaka Rakjat
Muhammad Yamin, 1949, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, Naskah I, Jakarta,Yayasan Prapanca
Pijper, 1985, G.F, 1893, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950, Jakarta, UI Press
Pramoedya Ananta Toer, 2005, Bumi Manusia, Jakarta, Lentera
Dispantara
Roem, Editor Taufik Abdullah dkk, 1978, Manusia Dalam Kemelut
Sejarah, Jakarta, LP3ES

84
S.K Neratja, 1918, Kemis 24 Djanuari No. 17 th 2
Safruddin Bahar, dkk, 1995, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Jakarta
Sekretariat Negara RI
Solichin Salam, 1963, Hadji Haji Agus Salim Pahlawan Nasional, Djakarta,
Djajamurni
ST. Rais Alamsjah, 1952, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit
Tinggi, Padang, Djakarta, Penerbit Mutiara
Sukarno, 1966, Di Bawah Bendera Resolusi jilid II
Tjokroaminoto, H.O.S, 1950, Islam dan Socialisme, Jakarta, Bulan
Bintang

85
Tentang Penulis :

Dharma Setyawan, lahir di Lampung


29 Mei 1988. Ia menyelesaikan studi
Sarjananya di Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro.
Dharma kemudian melanjutkan studi
di Ekonomi Islam di Fakultas Agama
dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta.
Dharma juga aktif di Mejelis
Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan
Daerah Muhammadiyah (PDM) Metro
Lampung dan Pengurus Pusat KAMMI (2013-2015). Dharma juga
bergiat di Komunitas Hijau. Obsesinya untuk mengembangkan
ekonomi syariah mendorongnya untuk ikut mendirikan Baitul
Mal Wa Tanwil (BMT) Adzkiya.
Kini ia mendedikasikan ilmunya di almamaternya sebagai
dosen STAIN Jurai Siwo Metro. Saat ini bersama aktifis di Metro
mengelola “Majelis Kamisan Cangkir Hijau” yang mendiskusikan
permasalahan sosial dengan aktifis lintas agama, pemikiran dan
golongan. Disela-sela kesibukannya Dharma juga aktif menulis
di media cetak dan online seperti: Republika, Media Indonesia,
Lampung Post, Solo Post, Okezone.com, Hidayatullah.com,
dan lain-lain. Saat ini, Dharma tinggal dan menjalani hidup
bersama Hifni Septina Carolina wanita yang dinikahinya pada
2013 lalu. Dharma Setyawan dapat dihubungi lewat e-mail,
dharmasetyawan@rocketmail.com atau 081272642232. Website
www.dharmasetyawan.com.

86

Anda mungkin juga menyukai