PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk lanjut usia merupakan isu penting diseluruh dunia sejak awal tahun 2000.
Lanjut usia, menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia,
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Di Indonesia, jumlah
penduduk lansia menurut Sensus Penduduk diketahui berjumlah 18.04 juta jiwa (BPS,
2012). Angka tersebut pun akan semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan peningkatan usia harapan hidup lansia yang semakin meningkat di
Indonesia. Peningkatan usia harapan hidup lansia di masyarakat perkotaan
memerlukan perhatian lebih karena populasi lansia merupakan populasi yang rentan
mengalami peningkatan gangguan kesehatan dengan banyaknya faktor risiko yang
ada di masyarakat perkotaan. Lansia memiliki tingkat probabilitas yang tinggi
terhadap gangguan kesehatan yang dapat dibuktikan dengan persentase lansia yang
mengalami penyakit kronis dan ketidakmampuan lainnya sebesar 94% (Allender &
Spradley, 2005; Stanhope & Lancaster, 2004). Hal tersebut didukung oleh data yang
dimiliki BPS pada tahun 2005, diketahui bahwa 195 ribu dari 404 ribu lansia di DKI
Jakarta memiliki status kesehatan yang bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa
lansia perkotaan banyak yang memiliki masalah kesehatan.
Definisi stroke menurut (WHO, 2014) adalah terputusnya aliran darah ke otak,
umumnya akibat pecahnya pembuluh darah ke otak sehingga pasokan nutrisi dan
oksigen ke otak berkurang. Stroke menyebabkan gangguan fisik atau disabilitas.
Mukherjee melaporkan bahwa dalam 20 tahun terakhir terlihat peningkatan beban
stroke terjadi secara global. Menurut laporan Riskesdas 2007 stroke merupakan
penyebab kematian tertinggi di Indonesia dibanding penyakit yang lain yaitu sebesar
15.4%. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan wawancara sebesar 8.3‰ pada
tahun 2007 dan meningkat menjadi 12.1 ‰ pada tahun 2013.
Orang yang terserang stroke terkadang bingung dengan apa yang tengah dialaminya,
sehingga harus ada orang yang membantu. Pertolongan yang datang dengan cepat
akan mengurangi dampak yang terjadi akibat stroke. The golden period adalah istilah
medis yang sering digunakan untuk menyebutkan waktu terbaik untuk pemberian
1
pertolongan pada pasien stroke. Dalam waktu 3 jam pasca terserang stroke,
penanganan medis harus segera didapat, dengan demikian kecacatan dapat dicegah,
apabila penanganan diterima melebihi waktu tersebut, maka akan terjadi kecacatan
permanen atau bahkan meninggal.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan membuat Asuhan Keperawatan lansia dengan
Stroke dan mengetahui konsep dasar medis stroke.
2. Tujuan Khusus
a. Kelompok mampu melakukan pengkajian pada klien lansia dengan stroke
b. Kelompok mampu menegakkan diagnosa keperawatan yang muncul pada
klien lansia dengan stroke
c. Kelompok mengetahui intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa yang
telah dibuat
d. Kelompok mampu melakukan implementasi sesuai dengan intervensi yang
telah dibuat
e. Kelompok mampu melakukan evaluasi klien lansia dengan stroke
2
C. Ruang Lingkup
Dalam menyusun makalah ini, kelompok hanya membahas dan memfokuskan Asuhan
Keperawatan Pada Klien Tn. G dengan Stroke Di Ruang Flamboyan, PSTW Budi
D. Metode Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, kelompok menggunakan metode deskrptif yaitu
berhubungan dengan konsep dasar dan asuhan keperawatan pada klien dengan
stroke.
2. Studi kasus yaitu berdasarkan pengkajian kasus yang dilakukan dilapangan pada
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan pada laporan hasil studi kasus ini adalah:
terjadinya stroke, Tujuan Penulisan, Ruang Lingkup Penulisan, Metode Penulisan dan
Sistematika Penulisan.
Bab II : Terdiri dari, menjelasakan konsep teori tentang stroke dan Asuhan
Keperawatan.
Bab III : Terdiri dari, menguraikan laporan kasus mulai dari pengkajian,
3
Bab IV : Terdiri dari, menguraikan tentang pembahasan dari hasil laporan
kasus post stroke pada klien Tn.G mulai dari tahap pengkajian sampai evaluasi
keperawatan.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian Sistem Kardiovaskuler
Sistem sirkulasi adalah sistem transportasi tubuh yang memiliki tekanan dan
resistensi yang tinggi yang berfungsi untuk mempertahankan kuantitas dan
kualitas dari cairan yang ada di seluruh tubuh. Sistem ini dimulai dari jantung
yang kemudian darah dipompa ke berbagai organ seperti ginjal, otot, otak, dsb.
Sistem ini mengangkut bahan-bahan yang sangat mutlak dibutuhkan oleh sel-sel
tubuh.(Sherwood, 2001)
5
Perubahan sistem kardiovaskuler:
a. Jantung (cor)
Elastisitas dinding aorta menurun dengan bertambahnya usia. Disertai dengan
bertambahnya kaliber aorta. Perubahan ini terjadi akibat adanya perubahan
pada dinding media aorta dan bukan merupakan akibat dari perubahan intima
karena ateros¬kle¬rosis. Perubahan aorta ini menjadi sebab apa yang disebut
isolated aortic incompetence dan terdengarnya bising pada apex cordis.
Penambahan usia tidak menyebabkan jantung mengecil (atrofi) seperti organ
tubuh lain, tetapi malahan terjadi hipertropi. Pada umur 30-90 tahun massa
jantung bertambah (± 1gram/tahun pada laki-laki dan ± 1,5 gram/tahun pada
wanita).
Pada daun dan cincin katup aorta perubahan utama terdiri dari berkurangnya
jumlah inti sel dari jaringan fibrosa stroma katup, penumpukan lipid,
degenerasi kolagen dan kalsifikasi jaringan fibrosa katup tersebut. Daun katup
menjadi kaku, perubahan ini menyebabkan terdengarnya bising sistolik ejeksi
pada usia lanjut. Ukuran katup jantung tampak bertambah. Pada orang muda
katup antrioventrikular lebih luas dari katup semilunar. Dengan bertambahnya
usia terdapat penambahan circumferensi katup, katup aorta paling cepat
sehingga pada usia lanjut menyamai katup mitral, juga menyebabkan
penebalan katup mitral dan aorta. Peru¬bahan ini disebabkan degenerasi
jaringan kalogen, pengecilan ukuran, penimbunan lemak dan kalsifikasi.
Kalsifikasi sering ter¬jadi pada anulus katup mitral yang sering ditemukan
pada wanita. Perubahan pada katup aorta terjadi pada daun atau cincin katup.
Katup menjadi kaku dan terdengar bising sistolik ejeksi.
b. Pembuluh darah otak
Otak mendapat suplai darah utama dari Arteria Karotis Interna dan
a.vertebralis. Pembentukan plak ateroma sering di¬jumpai didaerah bifurkatio
kususnya pada pangkal arteri karotis interna, Sirkulus willisii dapat pula
terganggu dengan adanya plak ateroma juga arteri-arteri kecil mengalami
perubahan ateromatus termasuk fibrosis tunika media hialinisasi dan
kalsifikasi. Walaupun berat otak hanya 2% dari berat badan tetapi
mengkonsumsi 20% dari total kebutuhan oksigen. Aliran darah serebral pada
orang dewasa kurang lebih 50cc/100gm/menit pada usia lanjut menurun
menjadi 30cc/100gm/menit.
6
Perubahan degeneratif yang dapat mempengaruhi fungsi sistem
vertebrobasiler adalah degenerasi discus veterbralis (kadar air sangat menurun,
fibrokartilago meningkat dan perubahan pada mukopoliskharid). Akibatnya
diskus ini menonjol ke perifer mendorong periost yang meliputinya dan
lig.intervertebrale menjauh dari corpus vertebrae. Bagian periost yang
terdorong ini akan mengalami klasifikasi dan membentuk osteofit. Keadaan
seperti ini dikenal dengan nama spondilosis servikalis.
Discus intervertebralis total merupakan 25% dari seluruh collumna vertebralis
sehingga degenerasi diskus dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan
pada usia lanjut.
Dengan adanya kelainan anatomis pembuluh darah arteri pada usia lanjut seperti telah
diuraikan diatas, dapat dimengerti bahwa sirkulasi otak pada orang tua sangat rentan
terhadap peru¬bahan-perubahan, baik perubahan posisi tubuh maupun fungsi jantung
dan bahkan fungsi otak.
c. Pembuluh daraf perifer
Arterosclerosis yang berat akan menyebabkan penyumbatan arteria perifer yang
menyebabkan pasokan darah ke otot-otot tungkai bawah menurun hal ini
menyebabkan iskimia jaringan otot yang menyebabkan keluhan kladikasio.
7
Terjadi penebalan dari dinding jantung, terutama pada ventrikel kiri.
Ini menyebabkan jumlah darah yang dapat ditampung menjadi lebih
sedikit walaupun terdapat pembesaran jantung secara keseluruhan.
Pengisian darah ke jantung juga melambat.
Terjadi iskemia subendokardial dan fibrosis jaringan interstisial. Hal
ini disebabkan karena menurunnya perfusi jaringan akibat tekanan
diastolik menurun.
b. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah
Hilangnya elastisitas dari aorta dan arteri-arteri besar lainnya. Ini
menyebabkan meningkatnya resistensi ketika ventrikel kiri memompa
sehingga tekanan sistolik dan afterload meningkat. Keadaan ini akan
berakhir dengan yang disebut “Isolated aortic incompetence”. Selain
itu akan terjadi juga penurunan dalam tekanan diastolik.
Menurunnya respons jantung terhadap stimulasi reseptor ß-adrenergik.
Selain itu reaksi terhadap perubahan-perubahan baroreseptor dan
kemoreseptor juga menurun. Perubahan respons terhadap baroreseptor
dapat menjelaskan terjadinya Hipotensi Ortostatik pada lansia.
Dinding kapiler menebal sehingga pertukaran nutrisi dan pembuangan
melambat.
c. Perubahan yang terjadi pada darah
Terdapat penurunan dari Total Body Water sehingga volume darah pun
menurun.
Jumlah Sel Darah Merah (Hemoglobin dan Hematokrit) menurun. Juga
terjadi penurunan jumlah Leukosit yang sangat penting untuk menjaga
imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan resistensi tubuh terhadap infeksi
menurun.
a. Hipertensi
b. Penyakit jantung koroner
c. Gagal jantung
d. Stroke
3. Askep terkait sistem kardiovaskuler
8
a. Pengkajian
Pada lansia pengkajian keperawatan kardiovaskuler lebih banyak berfokus
pada pengidentifikasian faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan pengetahuan
lansia terkait faktor-faktor risiko yang ada pada dirinya. Pengkajian fisik
terkait aspek fungsi kardiovaskuler pada lansia tidak jauh berbeda dengan
pengkajian fungsi kardiovaskuler pada orang dewasa pada umumnya.
Pengkajian fisik fungsi kardiovaskuler dapat dilakukan dengan pengukuran
tekanan darah, inspeksi prekordium, inspeksi dan palpasi bagian iktus kordis,
palpasi jantung, perkusi jantung, dan auskultasi bunyi jantung (Lestari, 2016).
Departemen of Health and Human Service National Heart, Lung, and Blood
Institute United State pada tahun 2001 mengembangkan format penilaian yang
bertujuan untuk menilai risiko perkembangan penyakit jantung dan atau
serangan jantung pada lansia (Miller, 2012). Penilaian pada format tersebut
melihat faktor risiko mayor, skor risiko yang didapat dari data usia, total
kolesterol, kebiasaan merokok, tekanan darah sistolik. Hasil penilaian dari
format tersebut berbentuk kategori. Terdapat empat kategori yang terdiri dari
kategori risiko rendah-sedang jika lansia memiliki kurang dari sama dengan
satu faktor risiko mayor. Kategori sedang apabila lansia memiliki dua atau
lebih faktor risiko mayor dan risiko kurang dari 10%. Kategori ketiga adalah
menuju risiko tinggi apabila lansia memiliki dua atau lebih faktor risiko mayor
dan skor risiko 10-20%. Kategori keempat adalah risiko tinggi apabila lansia
memiliki penyakit jantung atau diabetes dan skor risiko lebih dari 20%.
b. Diagnosa Keperawatan
Perawat dapat menganalisis hasil pengkajian untuk menegakkan diagnosa
keperawatan yang sesuai dengan kondisi lansia. Apabila hasil pengkajian
menemukan data-data yang mengarah ke masalah kardiovaskuler perawat
dapat menegakkan diagnosis yang terkait masalah kardiovaskuler. Pada lansia
terdapat beberapa dignosa keperawatan terkait masalah kardiovaskuler yaitu
intoleransi aktivitas, penurunan curah jantung, ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan, dan risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler.
9
B. Konsep Penyakit Stroke
1. Pengertian
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak yang berlangsung 24
jam atau lebih atau menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara
tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Stroke atau
Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner and suddarth,
2002).
Menurut Lumbantobing (1994) kelainan yang terjadi akibat gangguan peredaran
darah. Stroke dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Infark Iskemik (Stroke non Hemoragi). Hal ini terjadi karena adanya
penyumbatan pembuluh darah otak. Infark iskemik terbagi menjadi dua yaitu :
stroke trombotik, yang disebabkan oleh trombus dan stroke embolik, yang
disebabkan oleh embolus.
b. Perdarahan (Stroke Hemoragi), terjadi pecahnya pembuluh darah otak.
2. Etiologi
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
a. Trombosis serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan
kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang
tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam
setelah trombosis. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan thrombosis
otak :
Aterosklerosis
Ateritis (radang pada arteri)
b. Emboli serebral
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di
10
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa
keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :
Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Disease
(RHD)
Myokard infark
Fibrilasi, keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
Gumpalan-gumpalan pada endocardium.
c. Hemoragi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak.
3. Komplikasi
Menurut Junaidi (2011), komplikasi yang sering terjadi pada pasien stroke adalah:
a. Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuh dapat
mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan saat berbaring,
seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka dekubitus jika dibiarkan
akan menyebabkan infeksi.
b. Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki yang
lumpuh dan penumpukan cairan.
c. Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan menimbulkan
kekauan pada otot atau sendi. Penekanan saraf peroneus dapat menyebabkan
drop foot. Selain itu dapat terjadi kompresi saraf ulnar dan kompresi saraf
femmoral.
11
d. Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya densitas
mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh imobilisasi dan
kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
e. Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau karena
umur sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan 31%
menderita depresi pada 3 bulan paska stroke s dan keadaan ini lebih sering
pada hemiparesis kiri.
f. Inkontinensia dan konstipasi pada umumnya penyebab adalah imobilitas,
kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian obat.
g. Spastisitas dan kontraktur pada umumnya sesuai pola hemiplegi dan nyeri
bahu pada bagian di sisi yang lemah. Kontraktur dan nyeri bahu (shoulder
hand syndrome) terjadi pada 27% pasien stroke.
4. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya rasa,
paralisis, hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur.
b. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, MCI, katup jantung, disritmia, CHF,
polisitemia dan hipertensi arterial.
c. Integritas ego
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkontinensia urin, anuria,
distensi kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
e. Nutrisi
Mual, muntah, daya sensori hilang di lidah, pipi, tenggorokan, dysfagia.
f. Neurosensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial.
Kelemahan dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur,
dyspalopia, lapang pandang menyempit.
Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas
dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
12
g. Nyaman/Nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka.
h. Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas. Aspirasi irreguler,
suara nafas, wheezing, ronchi.
i. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury.
Perubahan persepsi dan orientasi, tidak mampu menelan sampai
ketidakmampuan mengatur kebutuhan nutrisi. Tidak mampu mengambil
keputusan.
j. Interaksi sosial
Gangguan dalam bicara
5. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena
kelemahan, hilangnya refleks batuk)
b. Penurunan perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi
pembuluh darah serebral
c. Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan,
hemiparese
d. Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral
bicara
e. (Risiko) gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak
adekuat
f. Perubahan persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi,
perubahan psikologi
g. Kurang kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular,
kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan
persepsi
h. Risiko cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran
i. Kurang pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d.
kurang informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber
13
6. Intervensi Keperawatan
14
· Pemerian terapi sesuai saran
· CT scan kepala untuk diagnosa
dan monitoring
15
d. Tonus otot baik berkala
e. Lab: albumin, Hb, BUN 6. Beri latihan menelan
dalam batas normal 7. Beri makan via NGT
8. Kolaborasi : Pemeriksaan
lab(Hb, Albumin, BUN),
pemasangan NGT, konsul ahli
gizi
16
mungkin
7. Kolaborasi: pasang DC jika
perlu, konsultasi dengan ahli
okupasi atau fisioterapi
8 Risiko cedera b.d. Klien terhindar dari cedera 1. Pantau tingkat kesadaran dan
gerakan yang tidak selama perawatan kegelisahan klien
terkontrol selama Kriteria hasil : 2. Beri pengaman pada daerah
penurunan kesadaran a. Klien tidak terjatuh yang sehat, beri bantalan lunak
b. Tidak ada trauma dan 3. Hindari restrain kecuali
komplikasi lain terpaksa
4. Pertahankan bedrest selama
fase akut
5. Beri pengaman di samping
tempat tidur
6. Libatkan keluarga dalam
perawatan
7. Kolaborasi: pemberian obat
sesuai indikasi (diazepam,
dilantin dll)
17