Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN BENCANA II

“Mengelola Kelompok Rentan”

Dosen Pengampu :
Ns. Seven Sitorus, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB
Kapt (L) Ns. Ronny Basirun Simatupang, S.Kep., M.Si

Disusun Oleh :

Siti Afriyani 1032161005


Dewi Sunarsih 1032161009
Sanabillah Yasmin 1032161010
Renny Sauma 1032161023
Kristina BR Pasaribu 1032161032
Putri Wahyuni 1032161036
Nurkholis Wadud 1032161045

Tingkat III/Semester VI

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”Mengelola Kelompok Rentan pada
bencana”. makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata pelajaran Keperawatan
Bencana. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi teman-teman dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua. Akhirnya kami berharap semoga tuhan memberikan bantuan,
dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah. Amin

Wassalamu’alaikumWr.Wb

Jakarta, 30 Maret 2019

kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN TEORI .............................................................................................................. 3
2.1 Kelompok Rentan............................................................................................................... 3
2.2 Penanganan Kelompok Rentan .......................................................................................... 6
BAB IV PENUTUP ......................................................................................................................... 14
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna
sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. ( Departemen
Kesehtaan Republik Indonesia, 2001).
Bencana adalah masalah global dengan dampak yang sulit diprediksi.
Siapa saja dapat menjadi korban saat kejadian bencana, namun terdapat
individu atau kelompok tertentu yang memiliki resiko yang lebih besar atau
lebih rentan saat kejadian bencana atau pasca bencana yang dapat
disebabkan karena usia, jenis kelamin, kondisi fisik, dan kesehatan atau
karena kemiskinan.
Kelompok kelompok rentan saat bencana diantaranya : lanjut usia, wanita
hamil / menyusui, anak-anak dan bayi, orang-orang dengan penyakit
kronis, kecacatan, dan gangguan mental..
Pada kasus bencana alam, sebagian korban adalah kelompok rentan.
Sebagai gambaran, pada kasus bencana gempa di Lombok, sebagian besar
pengungsi adalah perempuan dengan jumlah 173.236 jiwa. Perinciannya
sebagai berikut: di Kabupaten Lombok Utara, jumlah pengungsi laki-laki
74.300 jiwa dan perempuan 62.882 jiwa; Lombok Timur: laki-laki
sebanyak 37.832 jiwa dan perempuan 40.536 jiwa; Lombok Barat: laki-
laki 59.734 jiwa dan perempuan 59.084 jiwa; serta di Mataram: laki-laki
7.634 jiwa dan perempuan 10.734 jiwa. Lebih lanjut, sedikitnya 4.000 ibu
hamil menjadi korban dan masih berada di posko pengungsian. Dari jumlah
tersebut, 136 ibu telah melahirkan (harnas.co, 24 Agustus 2018). Data

1
sementara dari BNPB per 14 Agustus 2018 menyebutkan, di Lombok Utara
terdapat 1.991 balita berusia nol hingga lima tahun dan 2.641 anak-anak
berusia 6 hingga 11 tahun (Voaindonesia.com, 14 Agustus 2018).

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah yang di maksud dengan kelompok rentan
2. Untuk mengetahui bagaimana penangan bencana pada kelompok rentan

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Kelompok Rentan


Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam
penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok
masyarakat yang rentan, antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights
Reference 3 disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah
Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant
Workers, Indigen.

Dalam peraturan pemerintah republik indonesia (PP.nomor21 tahun 2008, tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) terdapat pasal tentang perlindungan
kepada kelompok rentan, dimana pemerintah dan lembaga terkait harus
memberikan perioritas pelayanan penyelamatan, evakuasi, pegamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial

Kelompok rentan membutuhkan perlakuan dan perlindungan khusus supaya bisa


bertahan menghadapi situasi pasca-bencana. Kondisi pengungsian yang penuh
sesak tanpa tenda dan fasilitas memadai, ditambah rasa trauma dan cuaca buruk,
membuat korban terutama perempuan dan anak-anak..

1. Wanita hamil dan menyusui


Wanita hamil sanggat rentan saat bencana karena keterbatasan fisik yang
dialami sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri dalam situasi darurat.
Kondisi hamil juga menyebabkan wanita menyebabkan pada saat proses
evakuasi karena ancaman keguguran atau kelahiran prematur, pendarahan
serta pelepasan dini plasenta sehingga diperlukan pertolonggan cepa dan tepat
serta ketersediaan alat untuk persalinan darurat. Pasca bencana, pemeriksaan
rutin pada wanita harus tetap dilakukan oleh petugas kesehatan untuk

3
mengidentifikasi awal risiko yang dapat terjadi akibat dari stress fisik dan
psikologi yang dialami.

2. Anak – anak
Diperkirakan sekitar 70% dari total kematian akibat bencana dialami oleh
anak-anak baik bencana alam maupun bencana akibat manusia. Pada saat
kejadian bencana, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau keluarga
mereka.selain itu, terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (child-
trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
Anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang karena keterbatasan fisik, imunitas, kondisi psikososial dan
kurangnya kemampuan untuk mengidentifikasi dan melindungi diri dari
bahaya yang dipengaruhi oleh tahapan perkembangan serata kemampuan
komunikasi. Oleh karena itu,petugas kesehatan bencana perlu lebih tanggap
dalam mengidentifikasi masalah kesehatan fisik dan psikososial yang dialami
oleh anak, serta mampu merancang intervesi yang dapat menurunkan risiko-
risiko pada anak intra dan pasca bencana misalnya dengan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala, melakukan terapi kelompok bermanin
dan lainnya.

3. Lanjut usia
Lanjut usia merupakan salahsatu kelompok rentan baik saat kejadian bencana
maupun pasca bencana yang disebabkan karena salah satu atau kombinasi dari
faktor-faktor keterbatasan fisik, keterbatasan fungsional, karakteristik
sosiodemografi, dan psikososial, menderita penyakit kronis sehingga
membutuhkan lebih banyak bantuan. Selain itu, dalam kegawat daruratan,
lansia kadang mengabaikan peringatan bencana dan enggan meninggalkan
rumah mereka. Di Amerika Serikat, sebagian besar korban kematian akibat
badai katrina tahun 2005 dialami oleh lansia. Dikota Lausina dan New
Orleands, lebih dari 70% korban yang meninggal berusia lebih dari 60 Tahun.
Setelah kejadian bencana, lansia mudah mengalami penurunan kesehatan
akibat kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar terhadap sumber infeksi di
pengungsian, keterbatasan bantuan kebutuhan medis dan stress emosional.
Sekitar 1300 lansia harus tinggal di panti jompo karena mengalami penyakit

4
kronis setelah bencana Badai Katrina tahun 2005 (Hull, 2007). Oleh karena
itu, lansia memerlukan perhatian dan dukungan khusus dari petugas kesehatan
untuk mencegah kondisi yang lebih parah pasca bencana.

4. Penderita penyakit kronis


Kondisi kronis menjadi salah satu kelompok yang rentan saat terjadi bencana
karena keterbatasan atau kelemahan fisik yang dialami. Kondisi kronis
tersebut ada yang mudah di identifikasi misalnya penderita yang
menggunakan alat bantu nafas ( ventilator ) atau kursi roda, sehingga
memerlukan metode dan bantuan yang lebih besar serta alat evakuasi khusus
pada saat bencana terjadi. Namun ada juga penderi penyakit kronis yang tidak
tampak secara kasat mata, misalnya penderita gagal ginjal stadium awal atau
diabetes dimana untuk penderita ini akan rentan mengalami masalah jangka
panjang pasca bencana sehubungan dengan ketersediaan obat, insulin, atau
alat kesehatan misalnya, oksigen atau mesin hemodialisa.

5. Orang orang dengan keterbatasan fisik atau cacat


Bencana yang terjadi dalam skala besar menyebabkan orang-orang dengan
keterbatasan fisik kesulitan dan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan
evakuasi dalam waktu yang cukup lama. Namun mereka sering mengalami
diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level
kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana.
Orang-orang dengan gangguan penglihatan tidak akan memperoleh informasi
yang adekuat melalui layar televisi, adapun transfortasi yang dapat diakses
untuk mengevakuasi orang-orang yang menggunakan kursi roda
kemungkinan tidak tersedia saat terjadi bencana, dan pada saat proses triage,
beberapa petugas kesehatan menentukan level triage yang lebih rendah untuk
korban dengan kecacatan karena perawatannya lebih sulit.
Orang-orang dengan keterbatan fisik akan mengalami kesulitan untuk
memperoleh tempat tinggal yang aman, layanan kesehatan, sekolah yang
mempasilitasi dan pekerjaan yang layak. Petugas penanganan bencana yang
tergabung dalam multidisiplin harus memastikan pertolongan jangka panjang
untuk oarang-orang dengan keterbatan fisik adekuat dan dapat
mengembalikan tingkat kemandirian sebagaiman sebelum terjadinya bencana.

5
Selain itu, upaya mitigasi dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka
perlu diupayakan contohnya, akses rumah pengungsian yang mudah
dijangkau untuk oarang-orang dengan kursi roda, serta informasi yang dapat
diakses oleh yang mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran.

6. Penderita gangguan mental


Penderita gangguan mental sering terabaikan pada saat situasi bencana, baik
yang hidup ditengah masyarakat ataupun dirawat di intitusi pelayanan.
Kesuliatan proses evakuasi mungkin saja terjadi jika diarahkan oleh petugas
bencana yang tidak tahu atau kurang mengetahui kondisi mereka. Individu
dengan gangguan mental ringan atau sedang bisa saja datang ke fasilitas
pelayan kesehatan atau pelayanan darurat dengan keluhan somatik, sedangkan
individu dengan gangguan mental berat mungkin tidak mencari bantuan sama
sekali karena kondisi isolasi sosial, depresi, stigma dan lainnya. Tempat
pengungsian juga kemungkinan tidak menerima mereka dan kurang sesuai
dengan kebutuhan psikologis mereka. Jika tidak mau mengikuti arahan
kemungkinan mereka akan bersikap kasar. Tanpa perencanaan yang layak
yang dapat mengantisipasi dan mengakomodasi kebutuhan individu dengan
gangguan mental kelompok ini akan senantiasa menjadi korban yang
menderita dan kurang mendapat perhatian pada saat dan pasca bencana.

2.2 Penanganan Kelompok Rentan


Kesiapsiagaan bencana penting dilihat sebagai upaya pengurangan risiko
bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana guna menghindari adanya korban
jiwa, kerugian harta benda, dan perubahan tata kehidupan masyarakat di
kemudian hari (Sutton dan Tierney, 2006 dalam Febriana et. al, 2015)
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok
rentan diatas, petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010)
1. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.

6
2. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
3. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi
4. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
5. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

1) Penanganan pada anak


a. Pra impact
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok
berisiko
b. Impact
1) Mengidentifikasi masalah kesehatan fisik dan psikososial anak
2) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
3) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa
4) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam
pemberian pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak
dari orang tua, keluarga atau wali mereka
c. Post Impact
1) Merancang intervensi yang dapat menurunkan resiko pada anak
pacsa bencana
2) Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala
3) Melakukan terapi bermain

7
4) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur,
bermain dan sekolah
5) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
6) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
7) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
8) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
9) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga
yang terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
10) Pemberian ASI pada bayi/baduta sangat penting tetap diberikan pada
situasi bencana
11) Pemberian Makanan Bayi dan Anak harus dilakukan dengan benar
dan tepat waktu dalam Penanggulangan Bencana

2) Penangananan pada lansia


a. Pra Impact
1) Membuat disaster planning yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga sehingga dapat memberikan dukungan yang sesuai.
2) Libatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi
mengurangi resiko kejadian bencana
3) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
4) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan
penanganan bencana.
5) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sebelum bencana, dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan.
Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia tidak pernah
diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan
tenang.

8
6) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
b. Impact
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.
3) memprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman.
4) Melalukan penyelamatan darurat dengan melalukan triage,
berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas
sehingga mudah terkena mati rasa
c. Post Impact
1) Pemeriksaan kesehatan unuk mencegah penyakit penyerta
2) Pemberian nutrisi ade kuat sesuai kebutuhan lansia dan penyakit
yang dideritanya

3) Penanganan pada wanita hamil dan menyusui


a. Pra Impact
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok
rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana
b. Impact
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan
risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
a) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil

9
b) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban
bumil dan busui
c. Post Impact
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan
dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas-petugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.
4) Meningkatkan kebutuhan oksigen dimana untuk membantu
menyelamatkan nyawanya janin apabila ubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik
5) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang
jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah
keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat
yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah
evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.

4) Penanganan pada orang berkebutuhan khusus (kecacatan) dan penyakit


kronis
a. Pra Impact
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
4) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.

10
5) Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari
obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
6) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
b. Impact
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi
lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat
BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Pertolongan pada penyandang cacat
a) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari
tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
b) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan
untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi,
ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut
lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan
bahasa isyarat

11
d) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat
mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga
gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).
c. Post Impact
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

5) Penanganan pada gangguan mental


a. Post Impact
(1) Pendekatan “Reality Therapy”
(2) Mereka dibantu untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasarnya,
secara realistic (melihat kondisi makro dan mikro yang dihadapi para
korban selamat).
Kebutuhan-kebutuhan dasar (menurut Maslow):
 Physiologic needs.
 Security.
 Love and self esteem.
 Self actualization.
(3) Mereka tidak dianggap pasien.
(4) Kita sebagai penolong hanya sederajad, peduli dan “take care each
other”.
(5) Harus ada “Emotional Envolvement”.
(6) Memperjelas masalah sesuai prioritas dan mendiskusikan/ membantu
penyelesaian masalah tersebut.

12
(7) Memperkuat ego dari setiap pasien yang kita bantu supaya segera
mampu mandiri”
(8) Self identity.
(9) Reality judgement.
(10) Positive aggressive.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak,
fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human
Rights Reference 3 disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan
adalah Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant
Workers, Indigen.

Kelompok rentan membutuhkan perlakuan dan perlindungan khusus supaya bisa


bertahan menghadapi situasi pasca-bencana. Kondisi pengungsian yang penuh sesak
tanpa tenda dan fasilitas memadai, ditambah rasa trauma dan cuaca buruk, membuat
korban terutama perempuan dan anak-anak. Dalam mengelola kelompok rentan,
diperlukan fase penanganan atau pengelolaan yang di lakukan sebelum bencana (pre
impact), saat bencana (impact) dan setelah bencana (post impact), setiap kelompok
rentan sudah kami cantumkan dalam makalah ini tentang bagaimana pengelolaan
yang harus dilakukan dalam 3 fase tersebut agar kelompok rentan dapat terkelola
dengan baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kurniati, amelia. dkk. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy, Edisi
Indonesia I. Singapore : Elsevier

Teja, Mohammad. 2018. Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kelompok Rentan Dalam


Menghadapi Bencana Alam Di Lombok Vol. X, No. 17/I/Puslit. Jakarta Pusat

15

Anda mungkin juga menyukai