Dosen Pengampu :
Ns. Seven Sitorus, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB
Kapt (L) Ns. Ronny Basirun Simatupang, S.Kep., M.Si
Disusun Oleh :
Tingkat III/Semester VI
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”Mengelola Kelompok Rentan pada
bencana”. makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata pelajaran Keperawatan
Bencana. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi teman-teman dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua. Akhirnya kami berharap semoga tuhan memberikan bantuan,
dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah. Amin
Wassalamu’alaikumWr.Wb
kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sementara dari BNPB per 14 Agustus 2018 menyebutkan, di Lombok Utara
terdapat 1.991 balita berusia nol hingga lima tahun dan 2.641 anak-anak
berusia 6 hingga 11 tahun (Voaindonesia.com, 14 Agustus 2018).
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah yang di maksud dengan kelompok rentan
2. Untuk mengetahui bagaimana penangan bencana pada kelompok rentan
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
mengidentifikasi awal risiko yang dapat terjadi akibat dari stress fisik dan
psikologi yang dialami.
2. Anak – anak
Diperkirakan sekitar 70% dari total kematian akibat bencana dialami oleh
anak-anak baik bencana alam maupun bencana akibat manusia. Pada saat
kejadian bencana, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau keluarga
mereka.selain itu, terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (child-
trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
Anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang karena keterbatasan fisik, imunitas, kondisi psikososial dan
kurangnya kemampuan untuk mengidentifikasi dan melindungi diri dari
bahaya yang dipengaruhi oleh tahapan perkembangan serata kemampuan
komunikasi. Oleh karena itu,petugas kesehatan bencana perlu lebih tanggap
dalam mengidentifikasi masalah kesehatan fisik dan psikososial yang dialami
oleh anak, serta mampu merancang intervesi yang dapat menurunkan risiko-
risiko pada anak intra dan pasca bencana misalnya dengan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala, melakukan terapi kelompok bermanin
dan lainnya.
3. Lanjut usia
Lanjut usia merupakan salahsatu kelompok rentan baik saat kejadian bencana
maupun pasca bencana yang disebabkan karena salah satu atau kombinasi dari
faktor-faktor keterbatasan fisik, keterbatasan fungsional, karakteristik
sosiodemografi, dan psikososial, menderita penyakit kronis sehingga
membutuhkan lebih banyak bantuan. Selain itu, dalam kegawat daruratan,
lansia kadang mengabaikan peringatan bencana dan enggan meninggalkan
rumah mereka. Di Amerika Serikat, sebagian besar korban kematian akibat
badai katrina tahun 2005 dialami oleh lansia. Dikota Lausina dan New
Orleands, lebih dari 70% korban yang meninggal berusia lebih dari 60 Tahun.
Setelah kejadian bencana, lansia mudah mengalami penurunan kesehatan
akibat kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar terhadap sumber infeksi di
pengungsian, keterbatasan bantuan kebutuhan medis dan stress emosional.
Sekitar 1300 lansia harus tinggal di panti jompo karena mengalami penyakit
4
kronis setelah bencana Badai Katrina tahun 2005 (Hull, 2007). Oleh karena
itu, lansia memerlukan perhatian dan dukungan khusus dari petugas kesehatan
untuk mencegah kondisi yang lebih parah pasca bencana.
5
Selain itu, upaya mitigasi dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka
perlu diupayakan contohnya, akses rumah pengungsian yang mudah
dijangkau untuk oarang-orang dengan kursi roda, serta informasi yang dapat
diakses oleh yang mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran.
6
2. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
3. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi
4. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
5. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
7
4) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur,
bermain dan sekolah
5) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
6) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
7) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
8) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
9) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga
yang terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
10) Pemberian ASI pada bayi/baduta sangat penting tetap diberikan pada
situasi bencana
11) Pemberian Makanan Bayi dan Anak harus dilakukan dengan benar
dan tepat waktu dalam Penanggulangan Bencana
8
6) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
b. Impact
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.
3) memprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman.
4) Melalukan penyelamatan darurat dengan melalukan triage,
berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas
sehingga mudah terkena mati rasa
c. Post Impact
1) Pemeriksaan kesehatan unuk mencegah penyakit penyerta
2) Pemberian nutrisi ade kuat sesuai kebutuhan lansia dan penyakit
yang dideritanya
9
b) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban
bumil dan busui
c. Post Impact
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan
dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas-petugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.
4) Meningkatkan kebutuhan oksigen dimana untuk membantu
menyelamatkan nyawanya janin apabila ubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik
5) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang
jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah
keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat
yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah
evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
10
5) Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari
obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
6) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
b. Impact
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi
lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat
BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Pertolongan pada penyandang cacat
a) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari
tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
b) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan
untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi,
ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut
lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan
bahasa isyarat
11
d) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat
mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga
gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).
c. Post Impact
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
12
(7) Memperkuat ego dari setiap pasien yang kita bantu supaya segera
mampu mandiri”
(8) Self identity.
(9) Reality judgement.
(10) Positive aggressive.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak,
fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human
Rights Reference 3 disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan
adalah Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant
Workers, Indigen.
14
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, amelia. dkk. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy, Edisi
Indonesia I. Singapore : Elsevier
15