Anda di halaman 1dari 6

Nama : Riska Rohmawati Fauzah

Nim : 932102215
Kelas : D

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN


DASAR 9 TAHUN PADA PONDOK PESANTREN SALAFIYAH DI KABUPATEN
KUBU RAYA

Pendahuluan

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada umumnya tergambar ciri
khas yang dimilikinya, yaitu adanya pengasuh Pondok Pesantren (Kyai/Ajengan/Tuan
Guru/Buya) yang mengajar, adanya santri yang belajar, adanya masjid/mushalla sebagai
tempat ibadah dan kegiatan belajar mengajar, adanya asrama/pondok tempat tinggal santri.
Pondok Pesantren Salafiyah adalah tipe pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan
sistem pendidikan khas pesantren, baik kurikulumnya maupun metode pembelajarannya.
Pada umumnya bahan pelajarannya meliputi ilmu-ilmu Agama Islam dan bahasa Arab
dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab dan sangat sedikit diajarkan mata
pelajaran umum. Para santri tidak diikutsertakan dalam ujian yang diselenggarakan oleh
pemerintah secara nasional, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan sekolah, dan tidak berhak untuk
mendapatkan kesempatan bekerja yang mensyaratkan adanya ijazah. Melihat permasalahan
yang timbul maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Implementasi
Implementasi Kebijakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, guna melihat
sejauhmana program tersebut berjalan dengan prosedur dan tujuan yang diharapkan.
Teori

Dalam penelitian ini penulis cenderung mengacu pada teori implementasi dari George
C. Edward III karena lebih fokus kepada efektifitas implementasi kebijakan serta tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji implementasi program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
dengan fokus kepada variabel komunikasi dan variabel sumber daya manusia
(ustad/ustadzah) yang mengajar mata pelajaran umum. Teori Merille S. Grindle lebih menitik
beratkan pada konteks implementasi kebijakan dan strategi implementasi serta efesiensi,
khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin
terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi
yang diperlukan, sedangkan teori Van Meter dan Van Horn lebih spesifik menekankan
kepada kinerja kebijakan.
Hasil

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa keeseimpulan


sebagai berikut : a) Komunikasi yang dilakukan belum menggugah Pondok Pesantren
khususnya Pondok Pesantren yang tidak mengetahui program ini, adanya perbedaan
mendasar antara Pondok Pesantren Salafiyah dengan Pondok Pesantren khalafiyah yaitu
ustadz (guru) yang mengajar di Pondok Pesantren Salafiyah tidak menerima tunjangan
fungsional guru (TFG), tunjangan profesi guru (TPG) atau sertifikasi guru, banyaknya lapisan
birokrasi yang harus dilewati oleh Pondok Pesantren Salafiyah , maka semakin besar pula
peluang diabaikan dan terdistorsi. b) Sumber daya manusia (ustadz) yang mengajar mata
pelajaran umum pada Pondok Pesantren Salafiyah penyelenggara program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun tidak memenuhi kriteria atau kompetensi yang ditentukan oleh
petunjuk teknis (juknis), walaupun ada S1 tetapi bukan latar belakang pendidikan umum
sehingga berpengaruh terhadap lulusannya setiap pelaksanaan ujian nasional baik kualitas
dan kuantitasnya, bahkan tenaga pengajar yang mengajar sebagian besar lulusan Pondok
Pesantren . c) Santri yang belajar pada Pondok Pesantren Salafiyah berasal dari keluarga
kurang mampu karena orang tua mereka berprofesi sebagai seorang petani, nelayan, dan
swasta dengan pendapatan yang jauh dari kebutuhan keluarga.
Adapun rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi beberapa persoalan yang
dihadapi oleh Pondok Pesantren Salafiyah penyelenggara program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun, adalah sebagai berikut : a) Dalam melaksanakan program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun, hendaknya Pondok Pesantren Salafiyah lebih giat dalam
mengkomunikasikan dalam bentuk sosialisasi program wajib belajar kepada desa-desa
terpencil, yang belum terakses pendidikan agar kedepannya tidak ada lagi anak usia sekolah
yang tidak sekolah dan sekaligus membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
pendidikan terhadap diri dan anak-anak mereka, jangan sampai menyurutkan semangat dan
motivasi masyarakat serta Pondok Pesantren Salafiyah dengan bersikap pesimis terhadap
keberhasilan dalam proses belajar mengajar. b) Alangkah lebih baiknya apabila dana-dana
bantuan langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui bentuk
pendidikan, pelatihan dan pendidikan, serta workshop bahkan sampai pada pemberian
beasiswa bagi guru Pondok Pesantren Salafiyah , baik untuk meneruskan studi strata satu
(S1) maupun program strata 2 (S2) di perguruan terbaik. c) Pemerintah pusat dan daerah
hendaknya memberi dukungan baik moril maupun materil yang lebih terhadap
penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini, agar ke depannya
menjadi inti (core) dari penuntasan wajib belajar pendidikan dasar dan meningkatkan angka
partisipasi sekolah (APS) meningkat, guna mensukseskan proses program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah , hendak Pondok Pesantren
Salafiyah mengusahakan sumber dana lain dalam membiayai biaya operasional, untuk
memenuhi sarana dan prasarana yang sangat minim, tidak lagi hanya mengandalkan dana
bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan masyarakat sekitar Pondok Pesantren .

EVALUSI PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN PADA MASYRAKAT


MISKIN DI KELURAHAN WONOKUSUMO KECAMATAN SEMAMPIR KOTA
SURABAYA

Pendahuluan
Pendidikan bermutu dan berkualitas pada saat ini sangatlah dibutuhkan bagi
perkembangan setiap individu di seluruh dunia, yang mana dewasa ini kita melihat setiap
negara mulai berlomba – lomba untuk merencanakan pendidikan yang tinggi bagi setiap
warganya. Dengan pendidikan yang baik maka sebuah bangsa didalamnya secara otomatis
mulai membangun dan mendidik masyarakatnya kearah yang berkompeten dan juga melalui
pendidikan negara mencoba untuk melahirkan sumber daya manusia ( SDM ) yang bermutu
dan berkualitas, dengan kata lain dapat bersaing secara kompeten dengan warga negara lain.
Oleh sebab itu pemerintah Indonesia sejak tahun 2013 merintis program pendidikan
menengah universal atau pendidikan 12 tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2025 dan
untuk mendukung program ini, pemerintah membutuhkan anggaran Rp 25 triliun agar
program wajib belajar ini bisa dilaksanakan secara gratis ( M.Yunus, Tempo 2012 ).
Teori
Evaluasi menurut Ralph Tyler dalam Suharsimi (2003, h.3) mengatakan bahwa
evaluassi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana,
dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai dan juga menurut
Cronbach dan Stufflebeam tambahan definisi tersebut adalah proses evaluasi bukan sekedar
mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.
Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2012, h..185) evaluasi ditunjukkan
untuk melihat sebagian – sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah
kebijakan yang telah dirumuskan tidak mengenal apa – apa, dengan pendidikan maka ia akan
belajar untuk memahami dan mengerti apa yang dipelajarinya.
Menurut Theodore Brameld Istilah pendidikan mengandung fungsi yang luas dari
pemelihara dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa warga
masyarakat yang baru mengenal tanggung jawab bersama di dalam masyarakat. Jadi
pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam
sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang memungkinkan masyarakat tetap
ada dan berkembang. Di dalam masyarakat yang kompleks, fungsi pendidikan ini mengalami
spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal yang senantiasa tetap berhubungan
dengan proses pendidikan informal di luar sekolah.
Hasil
Berdasarkan hasil temuan dilapangan selama proses penelitian dan telah disajikan dan
dianalisi serta diinterpretasi pada bab sebelumnya. Pada bagian ini pengambilan kesimpulan
dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang berdasarkan pada seluruh hasil
penelitian yang dilakukan seluruhnya, baik melalui wawancara, maupun penemuan data dan
pengambilan data dan pengelohan data yang dilakukan selama proses penelitian.
Dengan kata lain adanya peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan dan
pengelolaan maka pendidikan akan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan dan
sasarannya. Yang mana hal tersebut merupakan suatu bentuk wujud tanggung jawab
pemerintah, terutama pemerintah Kota Surabaya untuk dapat mensejahterakan warganya dan
juga memberi akses pendidikan seluas – luasnya bagi warganya, tanpa ada mana yang
mampu dan yang telah dilaksanakan seperti wajib belajar 12 tahun, akan tetapi masih ada saja
warga atau masyarakat yang tidak mendapatkan akses atau pelayanan pendidikan yang
seharusnya dan juga beberapa daerah yang masih belum memberlakukan wajib belajar 12
tahun. Padahal anggaran alokasi pendidikan nasional sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 31
yang mengamanatkan bahwa pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang –
kurangnya sebesar 20 % dari APBN untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan
nasional. Melalui pendidikan pula kita dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, yang mana
taraf hidup seseorang akan berubah bilamana tingkatan jenjang pendidikan mereka semakin
tinggi, dan itu secara sendirinya akan memacu seseorang untuk merubah taraf hidup yang
rendah kea rah yang semakin baik. Melalui penelitian ini semoga saja, dapat mengatasi
masalah anak yang belum sekolah, putus sekolah, dan apa alasan mereka kenapa harus
meninggalkan sekolah atau putus sekolah. Bilamana hal tersebut trejadi maka penelitian ini
dapat menjadi arah dan focus dalam menyelesaikan masalah tersebut. Dan sekaligus dpaat
mencari apa yang dibutuhkan masyarakat mengenai pendidikaan wajar 12 tahun tersebut.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR WAJIB BELAJAR 9


TAHUN DI KABUPATEN MINAHASA UTARA

Pendahuluan
Dalam konteks sumber daya manusia, pendidikan memiliki peranan yang penting
dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan
merupakan suatu proses yang terintegrasi dalam proses peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Berkaitan pentingnya pendidikan tersebut, pemerintah memegang peranan penting
dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Selama ini pemerintah bersama
elemen masyarakat, terus berupaya mewujudkan pendidikan melalui berbagai usaha
pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas, antara lain melalui pengembangan dan
perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan
pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Sejalan dengan penyelenggaran otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014, maka pemerintah daerah berwenang mengurus segala urusan
di wilayahnya termasuk salah-satunya pengurusan dalam bidang pendidikan. Gagasan
otonomi daerah dimaksudkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini,
termasuk juga peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam urusan pendidikan,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang bertumpu
kepada kemampuan sumber daya lokal berdasarkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas,
responsibilitas, dan transparan, guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas.
Teori
Robert Eyestone, dalam Agustino (2006: 40) menyatakan bahwa kebijakan publik
adalah hubungan antar unit pemerintah dengan lingkungannya. Sementara, kebijakan publik
sebagaimana dijelaskan oleh Anderson dalam Islamy (1992:17) adalah serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Menurut Grindle (1980: 6) kajian tentang proses pelaksanaan kebijakan dapat
dipastikan mencakup penelitian dan analisis dari program-program pelaksanaan secara
konkrit yang telah direncanakan sebagai nilai-nilai untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan
secara lebih luas. Implementasi, menurut Frederich dalam Wahab (1993: 3) mengatakan
bahwa: kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan. Sedangkan Dunn (2000: 132) mengemukakan bahwa:
“implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam
kurun waktu tetentu”. Selanjutnya, Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2002:49) menyatakan
bahwa kebijakan adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai
hasil-hasil tertentu.
Berdasarkan karakteritisk kebijakan Wajib Belajar Diknas 9 tahun yang menjabarkan
kebijakan yang ditentukan oleh pusat berdasarkan UUD 1945 kemudian diturunkan pada
Undang-Undang sistem pendidikan nasioanal dan RPJMN, kemudian diteruskan kepada
Peraturan Pemerintah dan Inpres yang selanjutnya diteruskan oleh perundangan di
pemerintah daerah (propinsi/kota/kabupaten), maka kebijakan ini lebih bersifat top down atau
mekanisme paksa daripada bottom up atau mekanisme pasar. Untuk itu, penentuan model
yang cocok untuk menganalisis implementasi Wajib Belajar Diknas 9 tahun adalah model
Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gun (1978) yang disebut dengan ” “the top down
approach”.
Hasil

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, penelitian ini menghasilkan simpulan
bahwa implementasi kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Kecamatan Kalawat
Kabupaten Minahasa Utara belum terlaksana secara efektif yang disebabkan belum
konsistennya penyelenggaraan pendidikan dasar secara gratis yang dimana masih
ditemukannya pungutan-pungutan biaya dari sekolah, kemudian geografis antara sekolah dan
tempat tinggal siswa (orang tua siswa) cukup jauh dan pelaksana kebijakan belum
memberikan sikap yang positif atas implementasi kebijakan Wajar Dikdas gratis 9 tahun di
Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara, yang ditandai dengan lemahnya koordinasi
pada pelaksana kebijakan.
Walaupun implementasi kebijakan Wajar Dikdas telah dilaksanakan dengan kondisi
internal pelaksanaan yang memadai dan lingkungan eksternal yang cukup baik, namun
pelaksanaan kebijakan ini belum dapat terlaksana secara efektif yang disebabkan oleh faktor
konsistensi pelaksanaan dan sikap pelaksana kebijakan berdasarkan kesimpulan di atas.

Anda mungkin juga menyukai