Anda di halaman 1dari 73

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang memengaruhi berbagai
area fungsi individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima,
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi (Pardede, dkk
2016). Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif,
mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).

Menurut WHO (2016) 21 juta orang dengan skizofrenia dengan prevalensi pasien
dengan perilaku kekerasan di dunia. Data (Riskesdas, 2013) menunjukan jumlah
penduduk Indonesia ada sekitar 236 juta yang mengalami skizofrenia sebanyak
68% (sekitar 272.816.000 orang). Prevalensi skizofrenia di Jawa Timur sebesar
1,4% dari 38.318.791 penduduk atau sekitar 536.464 orang. Di Surabaya sebesar
0,2% dari 1.602.875 penduduk atau sekitar 3.206 orang (Riskesdas, 2013).
Skizofrenia menimbulkan distorsi pikiran sehingga pikiran itu menjadi sangat
aneh, juga distorsi persepsi, emosi, dan tingkah laku yang dapat mengarah ke
risiko perilaku kekerasan yang dapat berbahaya dengan diri sendiri maupun orang
lain sekitar (Baradero, 2016).

Risiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah diekspresikan


dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri maupun orang lain dan dapat
merusak lingkungan sekitar. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat
terjadi perubahan pada fungsi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.
Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan
meningkat, mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri
maupun orang lain (Keliat, dan Muhith, 2016).
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain ataupun berisiko
juga dengan lingkungan sekitarnya, baik secara fisik, emosional, seksual dan
verbal (Sutejo, 2018). Risiko perilaku kekerasan atau agresif merupakan perilaku
yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih terkontrol yang dapat merugikan baik pada diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan (Yosep, 2007 dalam Mandayati, 2014). Dapat
disimpulkan bahwa risiko perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Riyanti,
2017). (Menurut Hawari, 2012) menyatakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 1,6
juta orang meninggal akibat risiko perilaku kekerasan, terutama laki-laki berusia
15-44 tahun. Sedangkan korban yang hidup akibat risiko perilaku kekerasan
mengalami trauma fisik seksual, reproduksi dan gangguan kesehatan mental.

Berdasarkan data Nasional Indonesia tahun 2017 dengan risiko perilaku


kekerasan sekitar 0,8 % atau dari 10.000 orang. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa angka kejadian risiko perilaku kekerasan sangatlah tinggi. Dampak yang
dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami risiko perilaku kekerasan adalah
dapat mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Berdasarkan data yang di
dapatkan dari RSJ Prof. M. Ildrem Provsu medan tahun 2018 total pasien 4.341
orang dan yang mengalami risiko perilaku kekerasan sebanyak 3,6% (155 orang)
dari total keseluruhannya. Melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan, maka
penanganan klien dengan risiko perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat
dan tepat oleh tenaga-tenaga perawat yang profesional,

Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan penanganan risiko


perilaku kekerasan yang tepat. Pencegahan ini dilakukan untuk menghindari
kejadian yang tidak diinginkan, sehingga diperlukan rencana tindakan
keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan seperti melakukan
Behaviour Therapy yang dapat mengubah perilaku maladaptive ke adaptif.
Behaviour Therapy merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam
menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan
dorongan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui
proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu
menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang efektif dan efisien. Aktifitas
inilah yang disebut dengan belajar. (Lubis, 2011)

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti di RSJ Prof.Dr.
Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara Medan diperoleh data data
pasien dari bulan januari sampai desember 2018 adalah sebanyak 4.341 orang
yang mengalami skizofrenia dan yang mengalami risiko perilaku kekerasan
sebanyak 155 orang. Peneliti mendapatkan pasien 5 orang dengan risiko perilaku
kekerasan menunjukan tanda dan gejala seperti marah, tangan mengepal, dan
mata melotot, dikarenakan pasien trauma terhadap perilaku keluarganya yang
sering memukul pasien. Peneliti juga mendapatkan 8 orang pasien yang tidak
dapat mengontrol risiko perilaku kekerasannya. Peneliti melakukan wawancara
dengan perawat dan berdiskusi mengenai tindakan Behaviour Therapy yang akan
peneliti lakukan terhadap pasien, dari hasil diskusi tersebut perawat mengatakan
bahwasanya Behaviour Therapy belum pernah dilakukan terhadap pasien dan
dalam hal ini perawat sangat antusias dengan adanya rencana tindakan tersebut,
dan jika berhasil terapi ini dapat menjadi pertimbangan dalam penambahan
intervensi asuhan keperawatan khususnya pasien dengan risiko perilaku
kekerasan. Dari hasil survey yang didapatkan oleh peneliti, pasien Risiko Perilaku
Kekerasan di RSJ Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara
Medan mempunyai sifat yang menunjukan emosi dan berperilaku dengan sikap
yang dapat diterima secara sosial.
Berdasarkan fenomena diatas peneliti berminat melakukan penelitian dengan
judul “Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada
Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui “Apakah Ada
Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Prov Sumatera
Utara Medan Tahun 2019?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku
Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.
Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara Medan Tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui gejala risiko perilaku kekerasan sebelum Behaviour
Therapy dilakukan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara Medan
Tahun 2019.

2. Mengetahui gejala risiko perilaku kekerasan setelah pemberian


Behaviour Therapy pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara Medan
Tahun 2019.
3. Mengetahui perbedaan penurunan gejala risiko perilaku kekerasan
sebelum dan sesudah pemberian Behaviour Therapy pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Responden
Pasien mampu mengenal dan mengontrol perilaku kekerasannya sehingga
apabila penyakitnya kambuh pasien mampu mengontrol secara mandiri.

1.4.2 Bagi Rumah Sakit


Sebagai penambahan informasi bagaimana pengaruh Behaviour Therapy
terhadap Risiko Perilaku Kekerasan pada Pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa terutama di RSJ Prof.Dr.Muhammad Ildrem Daerah Provsu
Medan Tahun 2019.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Sebagai dasar penelitian dan data pendukung bagi peneliti selanjutnya
untuk dapat melanjutkan penelitian ini.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Skizofrenia


2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau proses penyakit yang
mempengaruhi kognitif, persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
skizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan cara yang berbeda.
Derajat gangguan pada fase akut atau fase psikotik dan fase kronis atau
fase jangka panjang sangat bervariasi diantara individu (Suryanti, dkk
2018).

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%


penduduk didunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala
skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.
Pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-
35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan
dengan perempuan. Sedangkan menurut (Keliat, 2015) Skizofrenia adalah
suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronis yang ditandai dengan
penuaan atau hambatan dalam berkomunikasi, gangguan realitas
(halusinasi atau waham), afek tidak wajar atau tumpul, gangguan fungsi
kognitif serta mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

2.1.2 Tipe Skizofrenia


Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric
Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric
Assosiation, 1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,
2000) Diagnostic and Statistical Manual (DSM) V menghapus diagnosis
untuk skizofrenia simpleks, namun dalam Pedoman Penggolongan
Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dan International and
Classification Diseases (ICD)-10 masih disertakan. Studi kasus ini
membahas pasien yang didiagnosis skizofrenia simpleks dengan diagnosis
pembandingnya episode depresif berat dengan gejala psikotik. Berikut ini
adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Menurut (PPDGJ, 1993)
diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu :
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau 8
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan
afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham
kejar atau waham kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan
cemburu, dan halusinasi akusik berupa ancaman, perintah, atau
menghina.
a. Skizofrenia tipe paranoid, ditandai dengan :
1) Perasaan dianiaya atau dimata-matai
2) Delusi kebesaran
3) Halusinasi kesalahan yang berlebihan
4) Kadang-kadang tingkah agresi atau bermusuhan.

b. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)


Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa
yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan serta sering
inkoheren. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada
gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
Skizofrenia tipe disorganisasi, ditandai dengan :
1) Afek yang tidak tepat atau afek datar
2) Bicara tidak jelas (inkhoheran).
c. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor
yang dapat meliputi ketidak bergerakan motorik (waxy flexibility).
Aktivitas motor yang berlebihan, negativisme yang ekstrim, sama
sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-
gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain
(echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
Skizofrenia tipe katatonik juga ditandai dengan :
1) Gangguan psikomotor yang hebat
2) Klien kaku dan tidak bergerak sama sekali (imobilitas) atau ada
gerakan motoris yang berlebihan.
3) Gerakan motoris yang berlebihan ini tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimulasi luar.
4) Ciri-ciri yang lain adalah negativisme yang berlebihan,
mutisme, ekolalia (mengulang-ulang tanpa disadari kata-kata
yang diungkapkan orang lain) dan ekopraksis (meniru gerak-
gerik orang yang dilihanya tanpa tujuan).

d. Tipe Hebefrenik
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang
menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat
menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang
sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat
dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar,
autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase
yang menunjukkan ketakutan.
e. Tipe Residural
Ciri utama yang paling menonjol dari tipe skizofrenia ini adalah
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.

f. Tipe Depresi Pasca Skizofrenia


Tipe skizofrenia adalah depresi pasca-skizofrenia yang dapat
mengalami gejala-gejala depresi dan juga gejala skizofrenia dalam
kadar yang lebih rendah.

g. Tipe skizofrenia Simpleks


Ciri utama dari tipe skizofrenia ini adalah muculnya perubahan-
perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

h. Tipe Lainnya
Pada tipe skizofrenia ini termasuk skizofrenia chenesthopathic
(terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat
pada bagian tubuh tertentu).

2.1.3 Etiologi Skizofrenia


Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia Menurut (Utama, 2014) antara lain :
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya skizofrenia meliputi
faktor biologis, psikologis, dan sosiokltural.
a. Faktor Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik
ditemukan pada penderita skizofrenia. Gangguan yang paling
banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang
stabil kadang-kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit,
atropi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik yaitu girus
parahipokampus, hipokampus dan amigdala; disorientasi spasial
sel piramid hipokampus; dan penurunan volume korteks prefrontal
dorsolateral. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa semua
perubahan ini tampaknya statis dan telah dibawa sejak lahir, dan
pada beberapa kasus perjalanannya progresif. Penemuan lainnya
yaitu adanya antibodi sitomegalovirus dalam cairan serebrospinal
(CSS), limposit atipikal tipe kiri, gangguan transmisi dan
pengurangan ukuran korpus kalosum, pengecilan vernis serebri,
penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa dilobus frontal,
kelainan EEG, EP P300 auditorik, sulit memusatkan perhatian dan
perlambatan waktu reaksi, serta berkurangnya kemampuan
menamakan benda (Utama, 2014).

Teori penyebab biologi skizofrenia berfokus pada faktor genetik,


faktor neurokimia, struktur dan fungsi otak, respon imuno-virologi
respon tubuh terhadap kontak dengan virus (Baradero, 2016).
1) Faktor Gentik
Fokus dari penelitian ini adalah anggota keluarga yang terdekat
seperti ayah, ibu, anak-anak dan saudara kandung. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah skizofrenia diperoleh
lewat keturunan/genetik. Penelitian terhadap kembar identik
menunjukan 50% risiko mereka mengalami skizofrenia,
sedangkan fraternal twins 15%. Hasil penelitian ini
menunjukan adanya indikasi skizofrenia sebagian diperoleh
melalui genetik.

2) Faktor Neuro-anatomik dan neuro-kimia


Dengan perkembangan pemeriksaan non-invasif seperti CT
Scan, magnetic resonance imaging (MRI), dan positron
emission tomography (PET), para ilmuan dapat mempelajari
struktur otak (neuro-anatomi) serta kegiatan otak (neuro-kimia)
dari individu skizofrenia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa
individu skizofrenia secara relatif mempunyai jaringan otak
yang lebih kecil, dan cairan serebrospinal yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang tidak menderita skizofrenia. Hal ini
dapat terjadi karena gangguan perkembangan jaringan otak
atau matinya jaringan otak. CT scan menunjukan pembesaran
dari ventrikel otak dan atrofi kortikal. Pemerikasaan PET
memperlihatkan berkurangnya struktur kortikal frontal otak.

3) Faktor imuno-virologik
Teori ini mengatakan bahwa kontak dengan virus atau respon
imun terhadap virus dapat mengubah fungsi otak. Sitokin
adalah neurotransmiter diantara sel-sel imun yang menangani
peradangan akibat respon imun. Ada juga sitokin spesifik yang
berperan memberi isyarat pada otak untuk melakukan
perubahan tingkah laku dan mengeluarkan neuro-kimia yang
diperlukan dalam menghadapi stres agar keadaan homeostatis
dipertahankan. Juga ada asumsi bahwa sitokin mempunyai
peran dalam pengembangan gangguan mental termasuk
skizofrenia.
b. Faktor Psikologis dan social
Faktor psikologis meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat
kejiwaan, adanya hubungan orang tua anak yang patogenik, serta
interaksi yang patogenik dalam keluarga. Banyak penelitian yang
mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi
penderita skizofrenia. Sebagai contoh istilah schizopregenic
mother kadang-kadang untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan
menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada
masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orang tua terkadang bertindak terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orang tua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran
yang dibutuhkannya (Lasgita, 2016). Sedangkan menurut (Kaplan
& Sadock, 2013) Pada awal teori didapatkan ada kurangnya
hubungan antara orangtua dan anaknya dan disfungsi pada sistem
keluarga yang dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia.
Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam
munculnya skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian tetapi
bagian fungsi keluarga yang telah diimplikasikan dalam
peningkatan angka kekambuhan individu dengan skizofrenia
adalah sangat mengekspresikan emosi.
2. Faktor Prespitasi
a. Faktor Biologi
Faktor stressor yang menjadi prespitasi skizofrenia secara biologis
dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang
mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stressor
biologis meliputi penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor biologis lainnya merupakan predisposisi bisa
menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor; baik
internal atau lingkungan eksternal individu. Sehingga penting
untuk dikaji dari waktu dan frekuensi terjadinya perilaku
kekerasan (Stuart, 2016).

b. Faktor Psikologi
Stressor psikologis merupakan pengalaman mendapatkan abuse
dalam keluarga atau terkait dengan kegagalan dan untuk stressor
lain diantaranya adalah aturan dimasyarakat, tuntutan masyarakat
yang tidak ralistik sesuai kemampua. Faktor pencetus individu
mengalami skizofrenia secara psikologis dapat diakibatkan oleh
toleransi terhadap koping individu yang tidak efektif, inpulsif, dan
membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap
keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan pasien
berperilaku maladaptif rendah diri, perilaku kekerasan, dan
kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada pasien
halusinasi (Stuart, 2016)
c. Faktor Sosiokultural
Faktor ini sangat memicu terjadinya skizofrenia, dimana sudah
banyak penelitian yang menghubungkan terhadap kelas sosial.
Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari
kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala
yang berhubungan dengan skizofrenia dibandingkan yang berasal
dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi (Utama, 2014).

2.1.4 Gejala Klinis Skizofrenia


Menurut Keliat (2015) pasien skizofrenia biasanya menunjukkan
gejala positif dan gejala negatif.
1. Gejala positif skizofrenia
Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia
adalah sebagai berikut :
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional
(tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif
bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun penderita tetap
meyakini kebenarannya.

b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada


rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-
suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada
sumber suara atau bisikan itu.

c. Perubahan arus pikir, yang dapat dilihat dari isi


pembicaraannya. Misalnya pembicaraanya kacau, sehingga
tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d. Perubahan perilaku, perilaku motorik yang berlebihan, Gelisah,
gaduh, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira dengan berlebihan.

2. Gejala Negatif Skizofrenia


Menurut Direja (2011) mengatakan gejala-gejala negatif yang
diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut :
a. Gangguan afek dan emosi
Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya
kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya :
pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa
depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya
kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
(emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-
hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama,
umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama
atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama
(ambivalensi).

b. Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan
dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja
maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang
bermakna, namun tiba tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara
lagi setelah tertunda beberapa waktu.
c. Avolisi
Ini merupakan keadaan dimana pasien hampir tidak bergerak,
gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri,
tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani.

d. Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari
pertemanan dengan orang lain (Asosiality) pasien tidak
mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang social
tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak
memperdulikannya.

e. Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering
mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya
kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang
luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak
menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun
lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana
pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan &
Sadock, 2010).

2.1.5 Karakteristik Penderita Skizofrenia


Pasien skizofrenia mempunyai karakterisitik menurut umur, jenis
kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan lama dirawat, yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Umur
Umur berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam
menghadapi berbagai stressor, kemampuan memanfaatkan sumber
dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping (Stuart &
Laraia, 2015). Penelitian yang dilakukan Siagian (1994, dalam
Heslin dan Weiss, 2015) mengatakan bahwa semakin lanjut usia
seseorang semakin meningkat pola kedewasaan psikologis dengan
menunjukkan kematangan jiwa, semakin bijaksana, mampu
berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi
terhadap orang lain.

2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebagai ciri-ciri fisik, yang sering mengalami
skizofrenia adalah yang berjenis kelamin laki-laki dibandingkan
dengan yang berjenis kelamin perempuan hal ini dikarenakan
perempuan lebih patuh minum obat dari pada laki-laki. Penelitian
yang dilakukan oleh Sandriani (2014) di Yogyakarta menemukan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpatuhan
minum obat dengan kejadian kekambuhan skizofrenia.

3. Status Perkawinan
Pada individu yang tidak memiliki pasangan atau mengalami
perceraian berisiko tinggi mengalami gangguan jiwa (Stuart &
Laraia, 2005). (Widya 2017) mengungkapkan bahwa gangguan
jiwa sering dialami oleh individu yang bercerai dibandingkan
dengan yang sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat
(Dantas, et.al.2011) dan (Folsom, et.al.2009) yang menunjukkan
pasien skizofrenia umumnya terjadi pada individu yang belum
menikah.
4. Pendidikan
Pendidikan adalah status resmi tingkat pendidikan terakhir yang
ditempuh oleh pasien.Pendidikan menjadi suatu tolak ukur
kemampuan pasien untuk berinteraksi secara efektif (Stuart, 2015).

5. Lama Dirawat
Lama dirawat adalah waktu atau lamanya pasien terpapar stresor,
yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa frekwensi
(Stuart, 2015). Aspek stressor yang dapat mempengaruhi respon
stres adalh intensitas, jangkauan, durasi, jumlah dan sifat stresor
lain, prekdiktabilitas. Karakteristik individual yang dapat
mempengaruhi respon stres adalah tingkat pengontrolan personal,
ketersediaan dukungan sosial, perasaan mampu/kompetensi,
penghargaan kognitif (Potter & Perry, 2010).

2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Maramis (2011), pengobatan penderita skizofrenia sebagai
berikut:
1. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah
pertama untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua untuk
mencegah kekambuhan. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan
profil efek samping dan respons pasien pada pengobatannya
sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan
haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang
paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping
ekstrapiramidal lebih baik diberikan antipsikotik atipik, demikian
pula pada pasien yang menunjukan gejala kogitif atau gejala
negatif yang menonjol. Untuk pasien yang baru pertama kali
mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan
agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman
yang buruk terhadap pengobatan akan megurangi ketaatberobatan
(compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk
menggunakan antipsikotik atipik atau tipikal, tetapi dengan dosis
yang rendah.

2. Terapi Elektro Konvulsi (TEK)


Seperti juga terapi konvulsi lainnya, cara kerja elektrokonvulsi
belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi
konvulsi dapat memperpendek gejala skizofrenia dan
mempermudah kontak dengan penderita.

3. Psikoterapi dan rehabilitasi


Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang
diharapkan, bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan
pada penderita dengan skizofrenia karena justru dapat menambah
isolasi dan autisme. Yang dapat membantu penderita adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok serta bimbingan yang
praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke lingkungan
masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif belakangan dicoba pada
penderita skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan.

Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul


lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.
Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi, kerana bila ia
menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
Pemikiran masalah filsafat atau kesenian bebas dalam bentuk
melukis bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan sebab
dapat menambah autisme. Bila dilakukan juga, maka harus ada
pemimpin dan ada tujuan yang lebih dahulu sudah ditentukan.

4. Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan
bila penderita sangat mengganggu lingkungannya.

2.2 Konsep Risiko Perilaku Kekerasan


2.2.1 Definisi Risiko Perilaku Kekerasan
Risiko Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Risiko Perilaku
kekerasan dapat juga diartikan sebagai perilaku destruktif yang
disebabkan perasaan jengkel yang timbul sebagai sebagai respons
terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan
sebagai ancaman (Kusnadi, 2015). Sedangkan menurut (Keliat 2016).
Risiko perilaku kekerasan Merupakan salah satu respon marah
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri
maupun orang lain dan dapat merusak lingkungan sekitar.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa risiko perilaku


kekerasan merupakan perilaku destruktif dan tidak terkontrol yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sebagai akibat
perasaan jengkel atau marah terhadap kecemasan atau kebutuhan yang
tidak terpenuhi.

2.2.2 Rentang Respon Marah


Kemarahan yang ditekan atau pura-pura marah akan mempersulit diri
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan
kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadiakan
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti
perasaannya. Oleh karenanya, perawat harus pula mengetahui tentanng
respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Muhith, 2015).

Menurut (Keliat 1996 dalam Muhith,2015) rentang respon marah


sebagai berikut :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Marah


Skema 2.1
Respon Marah
Keterangan :
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah dengan mengungkapkan
marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, tanpa
merendahkan harga diri orang lain (Yosep, 2008 dalam
Sutedjo,2017).

2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative

3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.

5. Marah
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

2.2.3 Etiologi Risiko Perilaku Kekerasan


Menurut (Stuart 2011, dalam Sutedjo, 2017) faktor-faktor yang
menyebabkan risiko perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa
antara lain :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
1) Psychoanalytical theory
Dalam hal ini risiko perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
akumulasi frustasi.Ini terjadi apabila keinginan individu
untuk mencapai sesuatu mengalami kegagalan atau
hambatan.

2) Frustation aggresion theory


Hal ini terjadi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek
yang menyebabkan frustasi.

b. Faktor Biologis
1. Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Keinginan melakukan risiko perilaku kekerasan disebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2. Teori psikomatik (Psicomatyc theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi
terhadap stimulus eksternal maupun internal.

c. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap
individu bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari
luar maupun dalam. Faktor presipitasi terbagi 2 antara lain :
1) Faktor eksternal
Berbagai stressor yang berasal dari luar antara lain
serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-lain.

2) Faktor internal
Contoh faktor dari dalam adalah putus hubungan dengan
seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan
terhadap penyakit fisik, hilang kontrol, menurunnya
percaya diri dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan (Sutedjo, 2017).

2.2.4 Tanda dan Gejala Perilaku kekerasan


Menurut Keliat 1996, dalam Muhith (2015) mengatakan bahwa tanda
dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1. Kognitif
Gejala yang sering ditunjukkan oleh pasien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan ada berbagai macam meliputi pasien
mendominasi cerewet, sering bawel saat sedang marah, sering
berdebat dengan orang lain, meremehkan orang lain, Pasien sering
mengingat kejadian yang membuatnya marah.
2. Afektif
Gejala yang sering ditunjukkan oleh pasien yaitu sering jengkel,
dendam dengan orang lain yang membuatnya marah, sering merasa
terganggu, sering marah apabila ada orang yang membuatnya
marah, sering merasa takut dan gelisah, pasien menangis apabila
kemarahannya tidak dapat dikendalikan.

3. Fisik
gejala yang muncul pada respon fisik adalah frekuensi pernafasan
dan nadi meningkat, produksi keringat meningkat, muka memerah
dan tegang, mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatup, postur tubuh kaku, jalan mondar-mandir.

4. Perilaku
Gejala yang sering terjadi pada pasien skizofrenia dengan perilaku
kekerasan pada respon perilaku yaitu menyerang orang lain pada
saat marah, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif, menunduk.

5. Sosial
Gejala yang muncul pada aspek sosial adalah : pasien menarik diri,
mengasingkan diri dari orang lain, melakukan penolakan terhadap
orang lain, melakukan kekerasan, sering mengejek dan menyindir
orang lain.

2.2.5 Mekanisme Koping


Menurut Stuart dan Sundeen 1998, dalam Muhith, (2015) mekanisme
koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Perawat perlu
mengidentifikasi mekanime koping pasien, sehingga dapat membantu
pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif
dalam mengekspresikan masalahnya.

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk


melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi :
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang
marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya
adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.

3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran
atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang
tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.

5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun
marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.

2.3 Konsep Behaviour Therapy


2.3.1 Defenisi Behaviour Therapy
Behaviour Therapy merupakan salah satu pendekatan untuk memahami
perilaku individu yang memandang individu dari sisi fenomena fisik,
dan cenderung mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain,
Behaviour Therapy cenderung tidak mengakui adanya kecerdasan,
bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Behaviorisme
menganggap peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai oleh
individu. Behaviour Therapy lebih dikenal dengan nama teori belajar,
karena seluruh perilaku adalah hasil belajar. Proses belajar artinya,
proses perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan.
Behaviour Therapy tidak mau mempersoalkan apakah manusia rasional
atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilaku dikendalikan faktor-faktor lingkungan. Behaviorisme lahir
sebagai reaksi terhadap interaksionisme dan juga psikoanalisis.
Behaviour Therapy ingin menganilisis hanya perilaku yang nampak saja,
yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan (Sumanto, 2014).

Behaviour Therapy merupakan terapi tentang tingkah laku. Sekilas


tentang Behaviour Therapy menurut Marquis, merupakan suatu teknik
yang menerapkan informasi–informasi ilmiah guna menemukan
pemecahan masalah yang dihadapi oleh manusia. Jadi tingkah laku
berfokus pada bagaimana orang –orang belajar dan kondisi – kondisi
apa saja yang menentukan tingkah laku mereka. Istilah Behaviour
Therapy atau konseling behaviour berasal dari bahasa Inggris Behavior
Counseling yang untuk pertama kalinya digunakan oleh Jhon D.
Krumboln (1964). Krumboln adalah pemotor utama dalam menerapkan
pendekatan behaviorisme terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan
aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950 (Corey, 2013)

Dapat disimpulkan bahwa Behaviour Therapy merupakan salah satu


teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang
ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi
kebutuhan – kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui proses belajar
agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu
menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang efektif dan efisien.

2.3.2 Sejarah Behaviour Therapy


Pendiri dari teori behaviorisme adalah Jhon Broads Watson, menurutnya
psikologi harus menjadi ilmu yang objektif, dalam artian psikologi harus
dipelajari sebagaimana mempelajari ilmu pasti atau ilmu lain. Oleh
karena itu, ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat diteliti
melalui metode intropeksi yang dianggap tidak obyektif dan tidak
ilmiah. Pengaruh Watson yang lain adalah psikoterapi, yaitu dengan
digunakannya teknik kondisioning untuk menyembuhkan kelainan-
kelainan tingkah laku. Rahayu, (2009)

Menurut Madzhab (2009) penganut behaviorisme berpendapat bahwa


sikap manusia adalah hasil dari salah satu faktor berikut:
a. Kegagalan mempelajari atau memperoleh lingkungan yang sesuai
b. Mempelajari pola – pola tingkah laku yang tidak sesuai atau
penyakit
c. Menghadapi suasana pertarungan – pertarungan yang menghendaki
ia untuk membedakan dan mengambil keputusan – keputusan
dimana ia merasa tidak sanggup untuk melakukannya

Menurut Corey (2013) setiap orang dipandang memiliki kecenderungan


positif dan negatif yang sama dan tingkah laku yang sama dan segenap
tingkah laku manusia yang dipelajari.

2.3.3 Aspek Penting Dalam Behaviour Therapy


Aspek penting dari Behaviour Therapy merupakan bahwa perilaku dapat
didefinisikan secara operasional, diamati, dan diukur. Para behavioris
berpandangan bahwa gangguan tingkah laku merupakan akibat dari
proses belajar yang salah. Maka, untuk memperbaikinya diperlukan
perubahan lingkungan menjadi lebih positif dengan harapan tingkah
laku yang dimunculkan bersifat positif pula. (Lubis, 2011)

Menurut Sumanto (2014) Behaviour Therapy berbeda dengan sebagian


besar pendekatan terapi lainnya, ditandai oleh:
1. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment,
3. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan
masalah,
4. Penafsiran objektif atas hasil-hasil terapi.

Pada dasarnya, Behaviour Therapy diarahkan pada tujuan-tujuan


memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan. Pernyataan yang tepat tentang tujuan-tujuan treatment
dispesifikan, sedangkan pernyataan yang bersifat umum tentang tujuan
ditolak. (Lubis, 2011). Karena tingkah laku yang dituju dispesifikan
dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci dengan metode-metode
konseling diterangkan, maka hasil-hasil terapi menjadi dapat dievaluasi

2.3.4 Ciri-ciri Behaviour Therapy


Ciri – ciri dari Behaviour Therapy sendiri merupakan berpusat pada
tingkah laku yang tampak dan spesifik, cermat dalam mengurai
treatment yang diberikan, perumusan prosedur yang objektif pada
permasalahan yang ada, penaksiran objektif atas hasil terapi. Behaviour
Therapy merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang
bersumber dari berbagai tentang teori belajar. Behaviour Therapy ini
meyertakan penerapan yang sistematis pada prinsip belajar dan
perubahan tingkah laku kearah yang adaptif. Pendekatan behaviour ini
memberikan manfaat baik pada bidang klinis maupun pendidikan.
(Corey, 2013)

Pada dasarnya Behaviour Therapy lebih kepada membuang tingkah laku


maladaptif kepada perilaku adaptif serta memperkuat perilaku dan
mempertahankan perilaku yang diinginkan. (Corey, 2013)

2.3.5 Tujuan Behaviour Therapy


Tujuan dari Behaviour Therapy merupakan untuk menciptakan suasana
baru bagi setiap proses belajarnya. Teori mendasar yang ada pada diri
manusia merupakan setiap tingkah laku manusia itu dipelajari, termasuk
tingkah laku maladaptif. Apabila tingkah laku tersebut tingkah laku
neurotik learned maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan) dan
tingkah laku yang baik dan efektif bisa diperoleh. Teori tingkah laku
sebenarnya terdiri atas penghapusan sikap yang tidak efektif kemudian
diganti dengan perilaku yang lebih efektif, dan juga memberikan
pengalaman – pengalaman pembelajaran didalamnya yang berisi respon
– respon yang layak dan belum dipelajari. (Willis, 2009)

Tujuan adanya Behaviour Therapy sendiri merupakan untuk membantu


konseling menghilangkan respon – respon atau tingkah laku lama yang
merusak dirinya dengan mempelajari yang lebih baik dan sehat. Tujuan
Behaviour Therapy untuk memperoleh perilaku baru, menghilangkan
perilaku lama yang maladaptif dan juga menjaga perilaku baru yang
diinginkannya serta memperkuatnya. (Willis, 2009).

2.3.6 Manfaat Behaviour Therapy


Menurut Nelson, (2011) Manfaat Behaviour Therapy yaitu dapat
digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku dari
yang sederhana hingga yang kompleks, baik individu atau kelompok. Di
samping itu Behaviour Therapy dapat dilaksanakan oleh guru, pelatih,
orang tua atau pasien itu sendiri.

2.3.7 Tahap-tahap Behaviour Therapy


Menurut Nelson, (2011) Tahap-tahap konseling Behaviour Therapy
terdiri atas 4 tahap, yaitu:
a. Pengukuran (assesment)
Hal-hal yang didapat dalam assesmen ini meliputi analisis tingkah
laku bermasalah yang dialami konseling saat ini, yaitu analisis
situasi yang di dalamnya terjadi masalah konseling; analisis self-
control; analisis hubungan sosial; dan analisis lingkungan fisik-
sosial budaya.

b. Menentukan tujuan
Tujuan yang ditetapkan akan digunakan sebagai tolak ukur untuk
melihat keberhasilan proses terapi. Proses terapi akan dihentikan jika
telah mencapai tujuan. Tujuan terapi harus jelas konkret, dipahami,
dan disepakati oleh klien dan konselor. Konselor dan klien
mendiskusikan perilaku yang terkait dengan tujuan keadaan yang
diperlukan untuk perubahan sifat tujuan dan rencana tindakan untuk
bekerja ke arah tujuan tersebut.

c. Mengimplementasikan teknik
Setelah merumuskan tujuan yang ingin dicapai, konselor dan
konseling menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu
konseling mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Konselor dan konseling mengimplementasikan teknik-teknik
konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseling.

d. Mengakhiri konseling
Proses konseling akan berakhir jika tujuan yang ditetapkan di awal
konseling telah tercapai. Mekipun demikian, konseling tetap
memiliki tugas yaitu terus melaksanakan perilaku baru yang
diperolehnya selama proses konseling di dalam kehidupannya
sehari-hari.

2.3.8 Teknik – Teknik Behaviour Therapy


1. Ada beberapa teknik – teknik behaviour therapy Menurut Hartono
(2012) yaitu :
a. Desensitisasi Sistematik
Teknik ini merupakan perpaduan dari beberapa teknik seperti
memikirkan sesuatu, menenangkan diri (relaksasi) dan
membayangkan sesuatu. Dalam pelaksanaannya konselor
berusaha untuk menanggulangi ketakutan atau kecemasan yang
dihadapi oleh konseling. Dengan teori pengkondisian klasik maka
respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara
bertahap.

Cara yang digunakan dalam keadaan santai yaitu dengan


memberikan stimulus yang menimbulkan kecemasan kemudian
dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai.
Memasangkan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang
semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur.

b. Terapi Implosif dan Pembanjiran


Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara
berulang-ulang. Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik
desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak
menggunakan agen pengkondisian balik maupun tingkatan
kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil
kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha
mempertahankan kecemasan klien. Menurut teknik ini, jika
seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi
penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang
menakutkan tidak muncul, maka kecemasan akan tereduksi atau
terhapus
c. Terapi Aversi
Teknik pengkondisian aversi digunakan untuk meredakan
perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menyajikan stimulus
yang tidak menyenangkan sehingga perilaku yang tidak
diinginkan tidak muncul. Stimulus yang tidak menyenangkan
diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang
tidak diinginkan. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa
hukuman dengan sengatan listrik atau pemberian ramuan yang
membuat mual. Perilaku yang dapat dimodifikasi dengan teknik
pengkondisian aversi adalah perilaku maladaptif, seperti
merokok, obsesi kompulsi, penggunaan zat adiktif, dan
penyimpangan seksual.

d. Latihan Asertif
Latihan asertif merupakan teknik dalam konseling behavioral
yang menitik beratkan pada kasus yang mengalami kesulitan
dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Sebagai
contoh ingin marah, tapi tetap berespon manis.

Latihan asertif adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam


hal-hal berikut:
1) Tidak dapat menyatakan kemarahannya atau kejengkelannya
2) Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain
mengambil keuntungan dari padanya
3) Mereka yang mengalami kesulitan dalam berkata “tidak”
4) Mereka yang sukar menyatakan cinta dan respon positif
lainnya
5) Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan
pendapat dan pikirannya.

e. Memberi Contoh (modelling)


Pemberian contoh merupakan teknik yang sering digunakan oleh
konselor. Karena semua pengalaman yang didapat dari hasil
belajar dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan
secara langsung atau tidak langsung kepada objek berikut
konsekuensinya. Dengan pemberian contoh, konseling akan
belajar dari tingkah laku orang lain yang menjadi objek. Selain
itu konseling dapat belajar dari sisi negatif dan positif dari objek
yang dilihatnya.

f. Home Work
Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu
menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu. Caranya dengan
memberi tugas rumah untuk satu minggu. Misalnya klien tidak
menjawab jika dimarahi ibu tiri. Klien menandai hari apa dia
menjawab dan hari apa dia tidak menjawab. Jika seminggu dia
tidak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi tugas
tambahan.

2. Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan diatas, (Corey, 2009)


juga menambahkan teknik yang juga diterapkan dalam Behaviour
Therapy yang termasuk dalam metode-metode pengondisian operan,
antara lain:
a. Reward system merupakan suatu terapi dimana pasien diberi
bintang jika menyelesaikan tugas atau pun berkelakuan baik.
b. Percontohan (modeling). Dalam teknik ini dapat mengamati
seseorang yang dijadikan contohnya untuk berperilaku kemudian
di perkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model.
c. Token economy, teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan
penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku
klien
d. Pembentukan respon. Dalam pembentukan respon, tingkah laku
sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur
kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut
sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respon
berwujud pengembangan suatu respon yang pada mulanya tidak
terdapat pembendaharaan tingkah laku individu.
e. Time Out Misalnya pasien melakukan tindakan kekerasan terhadap
temannya dengan sengaja maka akan dihukum diruangan yang
gelap selama 5 menit
f. Penghapusan. Cara untuk menghapus tingkah laku yang
maladaptive yaitu menarik perkuatan dari tingkah laku yang
maladaptif itu. Wolpe menekankan bahwa penghentian pemberian
perkuatan harus serentak dan penuh
Salah satu teknik yang akan dilakukan oleh penulis yaitu Token
Ekonomi dengan menggunakan Reward System dimana peneliti akan
memberi hadiah jika pasien dapat mengikuti terapi yang akan dilakukan
oleh penulis dimana pasien harus mengumpulkan bintang besar jika
menyelesaikan tugas atau pun berkelakuan baik.

2.3.9 Kelemahan Dan Kelebihan Behaviour Therapy


Menurut Hartono (2012) ada Kelemahan Dan Kelebihan Behaviour
Therapy yaitu :
1. Kelebihan Behaviour Therapy:
a. Pembuatan tujuan terapi antara konselor dan konseli diawal
dijadikan acuan keberhasilan proses terapi.
b. Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan
selalu diperbaharui
c. Waktu konseling relatif singkat
d. Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam
penetapan tujuan dan pemilihan teknik.

2. Kelemahan Behaviour Therapy:


a. Dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah perasaan
b. Mengabaikan faktor relasional penting dalam terapi
c. Tidak memberikan wawasan
d. Mengobati gejala dan bukan penyebab
e. Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor.

2.4 Pengaruh Behavior Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan


Berdasarkan Hasil penelitian Fajar Rinawati (2015) di dapatkan hasil yang
signifikan risiko perilaku kekerasan pada tingkat kemarahan (p-value < 0,05).
Behaviour Therapy yang dilakukan di ruang akut dilakukan karena sebagian
besar klien menunjukkan perilaku nyata yang maladaptif saat di ruang akut,
sehingga manajemen perilaku merupakan tujuan yang diharapkan dalam
perawatan di ruang akut. Penelitian (Bowers, dkk 2005) tentang perilaku yang
mengganggu dan berbahaya pada klien di ruang akut, dari 838 klien, sebanyak
60.5% menolak minum obat, 52.1% menunjukkan gejala agresif secara verbal,
28.2% menolak beraktivitas, 26.9% mencoba melarikan diri, 25.2% menolak
makan, dan 20.2% menunjukkan gejala agresif secara fisik. Oleh karena itu
diperlukan terapi perilaku untuk mengubah perilaku maladaptif muncul.

Penelitian Burgio, dkk (2010) tentang efek obat dan terapi perilaku pada klien
dengan gangguan berkemih menunjukkan bahwa skor kegawatdaruratan
menurun secara signifikan dengan dua tindakan, yaitu obat dan terapi perilaku.
Selain itu penelitian (Nakatani, dkk 2005) tentang efektifitas terapi perilaku dan
obat fluvoxamine pada klien dengan obsesif kompulsif menunjukkan bahwa
skor menurun secara signifikan dengan dua tindakan, yaitu obat dan terapi
perilaku pada klien dengan obsesif kompulsif.

Hasil dari proses perubahan ini adalah bentuk perilaku baru yang dapat dilihat
dan diukur, yang diharapkan menetap. Perubahan perilaku ini dilihat dari
perubahan tanda dan gejala serta kemampuan dalam tindakan keperawatan.
Berdasarkan hasil yang didapat, selisih rata-rata perubahan tanda gejala
terbanyak pada klien risiko perilaku kekerasan yaitu pada aspek afektif (5.50)
dan selisih rata-rata tindakan keperawatan generalis pada klien risiko perilaku
kekarasan sebesar 6.00, dan selisih rata-rata kemampuan pada terapi perilaku
sebesar 9.83. (Burgio, dkk 2010)
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan pada BAB sebelumnya
maka dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Risiko Perilaku
Behaviour Therapy Kekerasan

Skema 2.2
Kerangka Konsep Penelitian

2.6 Hipotesa
Ha : Ada Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan
Pada Pasien Skizofrenia.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental pre-post test dengan intervensi
Behaviour Therapy pada pasien risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Daerah Provsu Medan Tahun 2019.

Pretest Posttest
01 X 02

Skema 3.1
Rancangan Penelitian

Keterangan :

01 : Pengukuran sebelum dilakukan perlakuan

X : Perlakuan

02 : Pengukuran setelah dilakukan perlakuan

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita
perilaku kekerasan sebanyak 155 orang yang dirawat di RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem Provsu Medan. Setelah dilakukan skrining pada 6 Februari 2019
pasien yang mengalami risiko perilaku kekerasan didapatkan di ruang
singgalang 3 orang, ruang dolok martimbang 2 orang, ruang bukit barisan
3 orang, ruang kamboja 1 orang, ruang gunung sitoli 2 orang dan ruang
sipiso-piso 2 orang sehingga jumlah keseluruhan pasien yang mengalami
resiko perilaku kekerasan sebanyak 13 orang pasien.

Tabel 3.1
Daftar Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Sebagai Responden
Penelitian Pada Ruang Rawat Inap Di Rumah Sakit
Jiwa Prof.Dr.Muhammad Ildrem Provsu
Medan 2019

No Ruangan Jumlah Jumlah Klien


Klien Sebagai Responden
1 Singgalang 15 3
2 Dolok
Martimbang 13 2
3 Bukit barisan 13 3
4 Kamboja 18 1
5 Gunung Sitoli 14 2
6 Sipiso-Piso 15 2
Total 13

3.2.1 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan Purposive Sampling yaitu sebanyak 13 orang yang
mengalami risiko perilaku kekerasan (hasil skrining).

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.Muhammad Ildrem
Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.

3.3.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2019 sampai dengan Juli
2019.
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.2
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala


Ukur
1. Variabel Terapi relaksasi yang SOP
Independen : diberikan kepada pasien
Behavior dengan cara mengontrol
Therapy perilaku/tingkah laku
seseorang yang maladaptive
dengan menggunakan Reward
System.
2. Variabel Gejala risiko perilaku Kuesioner Mean Interval
Dependen : kekerasan berupa respon
Pre Test gejala kognitif, afektif, perilaku, dan
RPK sosial pada pasien skizofrenia
sebelum dilakukan tindakan
Behaviour Therapy
Post Test Perubahangejala risiko Kuesioner Mean Interval
gejala RPK perilaku kekerasan berupa
respon kognitif, afektif,
perilaku, dan sosial pada
pasien skizofrenia setelah
dilakukan tindakan Behaviour
Therapy

3.5 Aspek Pengukuran


Untuk mengukur gejala risiko perilaku kekerasan terdapat 26 pernyataan terdiri
dari respon kognitif, afektif, perilaku dan sosial. Instrumen yang akan digunakan
adalah instrumen yang telah di uji validitas dan reliabilitas oleh Sulistiowati
(2012) dengan croanbach’s alfa 0,765 yang terdiri dari 6 (Enam) pernyataan
untuk respon kognitif adalah no 1, 2, 3, 4, 5, 6; 7 (tujuh) pernyataan untuk afektif
adalah no 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13; 7 (tujuh) pernyataan untuk respon sosial adalah
no 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 dan 6 (enam) pernyataan untuk respon perilaku klien
terhadap situasi yang dihadapinya adalah no 21, 22, 23, 24, 25 dan 26. Jika pasien
menjawab “ selalu” diberinilai 4, “sering” diberi nilai 3, “jarang” diberi nilai 2,
“tidak pernah” diberinilai 1, yang menjadi pernyataan positif adalah no. 1, 3, 4, 5,
12, 13, 15, 16, 17, 18, 23, 24, 25, 26; yang menjadi pernyataan negatif adalah no.
2, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 19, 20, 21 dan 22.
3.6 Alat dan Prosedur Pengumpulan Data
3.6.1 Alat Ukur Independen
Dalam hal ini peneliti menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP)
Behaviour Therapy (terlampir). Behaviour Therapy akan dilakukan dalam
3 minggu yang terdiri dari 3 sesi disetiap pertemuan dengan pasien
membutuhkan waktu selama 25-30 menit.

3.6.2 Alat Ukur Dependen


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur kuesioner untuk
mengukur gejala risiko perilaku kekerasan yang telah di uji validitas dan
reliabilitas oleh (Sulistiowati, 2012) dengan croanbach’s alfa 0,765 dengan
26 pernyataan, sedangkan untuk mengukur respon fisiologis peneliti
menggunakan lembar observasi dengan 9 pernyataan.

3.6.3 Prosedur Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data peneliti melakukan beberapa prosedur yaitu :
1. Peneliti meminta surat izin penelitian dari institusi pendidikan Sarjana
Keperawatan Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan dengan nomor 198/01/06/B/USM/III/2019 di Universitas
Sari Mutiara Indonesia. Kemudian peneliti menemui Ketua Komite
Diklit RSJ Prof.Dr. M. Ildrem Provsu Medan.
2. Setelah mendapat izin dari Ketua Komite Diklit RSJ
Prof.Dr.Muhammad Ildrem Prov. Sumatera Utara Medan, kemudian
peneliti menjumpai kepala ruangan Rawat RSJ Prof.Dr. M. Ildrem
Provsu Medan dan serta menjelaskan tujuan dari penelitian untuk
melakukan intervensi kepada responden risiko perilaku kekerasan.
3. Setelah mendapat izin dari Ketua Komite Diklit dan kepala ruangan
RSJ Prof.Dr.Muhammad Ildrem Provsu Medan, kemudian peneliti
menemui responden mengobservasi setiap calon responden dan
menjelaskan prosedur terapi yang akan dilakukan, sekaligus untuk
mendapatkan persetujuan bersedia menjadi responden.
4. Setelah responden bersedia, maka responden diminta untuk
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
5. Kemudian, peneliti mengisi kuesioner sesuai dengan yang dialami oleh
responden. Responden diberi kesempatan untuk bertanya jika ada
kuesioner yang kurang dipahami. Setelah itu peneliti mengisi semua
kuesioner responden, peneliti menanyakan kembali kepada responden
untuk memastikan bahwa responden mengalami kejadian tersebut.
6. Setelah itu peneliti melakukan proses terapi kepada setiap kelompok
selama 25-30 menit.
7. Behaviour Therapy dilakukan sebanyak 3 sesi kepada setiap kelompok.
8. Setelah selesai melaksanakan Behaviour Therapy sebanyak 3 sesi,
peneliti membagikan kembali kuesioner kepada responden untuk diisi.
9. Setelah mendapat surat balasan telah selesai melakukan penelitian dari
Diklit RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provsu Medan, kemudian peneliti
menemui institusi pendidikan Sarjana Keperawatan Program Studi Ners
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan di Universitas Sari Mutiara
Indonesia serta memberikan surat telah selesai melakukan penelitian.
Kemudian peneliti mengelolah data yang telah dikumpulkan dari
responden melalui program komputer kemudian dianalisa.

3.7 Etika Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dan mengolah data setelah
memperoleh izin dari Ketua Program Studi dan pihak Rektorat. Pengambilan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan membagikan dan pengisian lembar
kuesioner oleh responden dengan memperhatikan etika penelitian antara lain
(Saryono, 2013) :
3.7.1 Informed Consent
Lembar informed consent ini diberikan kepada responden atau keluarga
responden yang mewakili dan tanpa paksaan, responden atau keluarga
setuju dan sekaligus menanda tangani lembar persetujuan menjadi
responden. Sebelumnya diberi penjelasan secara jujur maksud dan tujuan
penelitian kepada responden.

3.7.2 Self Determination


Prinsip self determination dijelaskan bahwa responden (pasien) diberi
kebebasan oleh penulis untuk menentukan keputusan sendiri, apakah
bersedia ikut dalam penelitian atau tidak tanpa paksaan (sukarela).
Setelah responden bersedia, maka langkah selanjutnya penulis
menjelaskan maksud dan tujuan serta manfaat penelitian, kemudian
penulis menanyakan kesediaan responden, setelah setuju, respon diminta
untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi subyek penelitian atau
informed consent yang disediakan.

3.7.3 Privacy and Anonymity


Prinsip etik privacy dan anonymity yaitu prinsip menjaga kerahasiaan
informasi responden dengan tidak mencantumkan nama, tetapi hanya
menuliskan kode inisial dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian. Informasi yang dikumpulkan dijamin oleh penulis
kerahasiaannya dengan memusnahkan data ketika datanya sudah selesai
diambil dan dianalisa.
3.7.4 Beneficience
Beneficience merupakan prinsip etik yang mementingkan keuntungan,
baik bagi peneliti maupun responden sendiri.Peneliti menjelaskan kepada
responden tentang manfaat penelitian ini untuk menambah pengetahuan
pasien sizofrenia. Manfaat penelitian bagi peneliti sendiri adalah peneliti
diharapkan mampu menerapkan Behaviour Therapy terhadap kemampuan
berinteraksi pasien skizofrenia.

3.7.5 Non-Maleficience
Penelitian ini menggunakan prosedur yang tidak menimbulkan bahaya
bagi responden dan terbebas dari rasa tidak nyaman, dalam hal ini
meyakinkan responden bahwa apabila selama penelitian berlangsung,
responden merasa tidak nyaman, kurang berkonsentrasi, kelelahan, maka
responden dapat menghentikan sementara Behaviour Therapy dan dapat
dilanjutkan kembali dengan memperhatikan kesiapan dan kondisi pasien.
Namun jika responden telah bersedia melakukan intervensi, tetapi dalam
pelaksanaan penelitiannya merasa kurang nyaman, maka responden juga
berhak berhenti menjadi responden.

3.7.6 Justice
Justice merupakan prinsip etik yang memandang keadilan dengan
memberikan keadilan bagi responden. Selama penelitian, peneliti
menerapkan prinsip etik keadilan kepada semua responden dengan cara
melibatkan semua responden untuk memperagakan apa yang telah
disampaikan oleh peneliti.
3.8 Pengolahan Data dan Analisa Data
3.8.1 Pengolahan Data
Setelah semua data pada lembar kuesioner terkumpul, maka dilakukan
pengolahan data melalui beberapa tahap yaitu :
1. Editing
Proses memeriksa data yang sudah terkumpul, meliputi kelengkapan
isian, keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban, relevansi jawaban,
keseragaman satuan data yang digunakan, dan sebagainya.

2. Coding
Peneliti memberi kode dalam bentuk angka terhadap kategori-kategori
tertentu untuk memudahkan entry data dan analisa data. Pengkodean
diantaranya Jenis Kelamin pria kode (1) dan wanita kode (2), Usia
diberi kode usia <35 tahun kode (1), usia 36-45 tahun diberi kode (2),
usia >46 tahun diberi kode (3). Pendidikan terakhir responden diberi
kode untuk Tidak Sekolah (1), SD diberi kode (2), SMP diberi kode
(3), SMU diberi kode (4), dan Perguruan Tinggi diberi kode (5).
Pekerjaan Terakhir diberi kode untuk Pelajar/Mahasiswa (1), Pegawai
Negeri diberi kode (2), TNI/Polisi diberi kode (3), Wiraswasta diberi
kode (4), Tidak Bekerja diberi kode (5). Status perkawinan diberi kode
Kawin (1), Cerai diberi kode (2) dan Tidak Kawin diberi kode (3).
Untuk respon Kognitif, Afektif, Sosial, dan Perilaku diberi 4 kategori
yaitu selalu diberi kode (4), sering diberi kode (3), jarang diberi kode
(2), tidak pernah diberi kode (1). Dari 26 pernyataan kuesioner no. 1, 2,
3, 4, 5, 6 dikategorikan pada respon kognitif, no. 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13
dikategorikan pada respon afektif, no. 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20
dikategorikan untuk respon sosial, no. 21, 22, 23, 24, 25, 26
dikategorikan untuk respon perilaku.
3. Entry
Kategori-kategori yang sudah diberi kode kemudian dimasukan
kedalam komputer untuk diolah dan di analisa.

4. Tabulating
Data yang telah di entry, kemudian dilakukan tabulasi untuk
memudahkan analisa dan interpretasi.

3.8.2 Analisa Data


1. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
distribusisubjek penelitian serta menggambarkan variabel bebas yaitu
Behaviour Therapy dan variabel terikat yaitu Risiko Perilaku
Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia.

2. Analisa Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh Behaviour
Therapy terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia
dengan menggunakan uji statistik paired t- test. Sudah dilakukan uji
normalitas dan berdistribusi normal dengan p<0,05 dengan tingkat
signifikan 95% dan hasilnya ada pengaruh Behaviour Therapy terhadap
Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Medan
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M Ildrem Provsu
Medan yang berada di jalan Let.Jend. Jamin Ginting SKM.10/ Jl.Tali Air
No. 21 Medan. Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr. M Ildrem Provsu Medan
adalah satu-satunya Rumah Sakit Jiwa Pemerintah yang ada di Provinsi
Sumatera Utara yang memiliki pelayanan klasifikasi kelas “A” dengan
sifat kekhususannya dikategorikan dengan type “B”. Dengan kemampuan
pelayanan yang dimiliki saat ini Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M Ildrem
Provsu Medan juga merupakan Rumah Sakit Rujukan bagi Rumah Sakit
lain diwilayah Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M Ildrem Provsu Medan.

Pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara Medan dibagi


menjadi dua unit pelayanan yaitu pelayanan rawat jalan dan pelayanan
rawat inap, perawat juga memberikan berbagai terapi termasuk aktivitas
kelompok kepada pasien dengan risiko perilaku kekerasan. Peran Rumah
sakit terhadap Behavior Therapy pada pasien risiko perilaku kekerasan
sangat kurang dan bahkan belum pernah dilakukan, di karenakan perawat
tidak begitu dekat dengan pasien dan jumlah pasien yang begitu banyak
di ruang rawat inap.

4.1.2 Analisa Univariat


1. Karakteristik Responden Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 13 orang responden
didapatkan bahwa karakteristik yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. M Ildrem Provsu Medan bervariasi. Distribusi karakteristik
responden ditampilkan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik
Respondendi Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu
Medan 2019 (n = 13)

Karakteristik n %
Jenis Kelamin
1 Laki-laki 13 100
Usia (tahun)
1 <30 Tahun 2 15,4
2 31-50 Tahun 9 69,2
3 >51 Tahun 2 15,4
Pendidikan
1 Tidak Sekolah 3 23,1
2 SD 8 61,5
3 SLTP 2 15,4
Pekerjaan Terakhir
1 Wiraswasta 4 30,8
2 Tidak Bekerja 9 69,2
Status Kawin
1 Kawin 3 23,1
2 Cerai 2 15,4
3 Tidak Kawin 8 61,5

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa mayoritas responden berjenis


kelamin laki-laki sebanyak 13 orang (100%), usia 31-50 tahun sebanyak 9
orang (69,2%). latar belakang pendidikan SD sebanyak 8 responden (61,5%),
Tidak Bekerja sebanyak 9 responden (69,2%), dan sebagian besar responden
tidak kawin sebanyak 8 responden (61,5%).
2. Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Sebelum Dilakukan
Behavior Therapy
Tabel 4.2
Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Sebelum
Dilakukan Behavior Therapy di Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu
Medan 2019 (n = 13)

Gejala Risiko
Perilaku Mean n SD SE
Kekerasan
Kognitif 18,77 13 3,193 ,885
Afektif 20,54 13 1.713 ,475
Sosial 22,77 13 1,922 ,533
Perilaku 20,31 13 1,702 ,472
Komposit 82,39 13 8,53 2,365

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat rata-rata gejala risiko perilaku


kekerasan pada pasien skizofrenia sebelum Behavior Therapy meliputi
respon kognitif sebesar 18,77, respon afektif sebesar 20,54, respon sosial
sebesar 22,77, respon perilaku sebesar 20,31 dan nilai komposit sebesar
82,39.

3. Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Setelah Dilakukan


Behavior Therapy
Tabel 4.3
Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia
Setelah Dilakukan Behavior Therapydi Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu
Medan 2019 (n = 13)
Gejala Risiko
Perilaku Mean n SD SE
Kekerasan
Kognitif 10,69 13 1,843 ,511
Afektif 12,00 13 1,472 ,408
Sosial 11,92 13 1,605 ,445
Perilaku 9,69 13 1,494 ,414
Komposit 44,3 13 6,414 1,778
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat rata-rata gejala risiko perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia setelah dilakukan Behavior Therapy
meliputi respon kognitif sebesar 10,69, respon afektif sebesar 12,00,
respon sosial sebesar 11,92, respon perilaku sebesar 9,69 dan nilai
komposit sebesar 44,3.

4. Selisih Sebelum Dan Setelah Dilakukan Behavior Therapy Gejala Risiko


Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia
Tabel 4.4
Selisih Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Sebelum
dan Setelah Diberikan Behavior Therapy di Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan 2019 (n = 13)

Gejala Risiko Perilaku Mean Mean Mean Selisih


Kekerasan Sebelum Setelah P
Kognitif 18,77 10,69 8,077 0,000
Afektif 20,54 12,00 8,538 0,000
Sosial 22,77 11,92 10,846 0,000
Perilaku 20,31 9,69 10,615 0,000
Komposit 82,39 44,3 38,076 0,000

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat selisih antara gejala risiko perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia sebelum dan setelah dilakukan Behavior
Therapy. Hal ini diperkuat oleh nilai rata-rata dari gejala risiko perilaku
kekerasan pada pasien sebelum dan setelah mendapatkan Behavior Therapy.
Untuk respon kognitif sebelum dilakukan Behavior Therapy sebesar 18,77 dan
nilai setelah dilakukan Behavior Therapy mengalami perubahan sebesar 10,69
yang menunjukkan adanya selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy
sebesar 8,077. Untuk respon afektif sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai
sebesar 20,54 dan setelah dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar
12,00 selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy sebesar 8,538 . Untuk
respon sosial sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 22,77 dan
setelah dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 11,92 dan selisih
setelah dilakukannya Behavior Therapy sebesar 10,846. Untuk respon
perilaku sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 20,31 dan setelah
dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 9,69 selisih yang didapat
setelah dilakukannya Behavior Therapy adalah 10,615. Pada nilai komposit
menunjukkan adanya perubahan gejala risiko perilaku kekerasan sebelum
dilakukan Behavior Therapy didapatkan nilai sebesar 82,39 dan setelah
dilakukan Behavior Therapy mengalami perubahan sebesar 44,3 dan
mendapat hasil selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy 38,076.

4.1.3 Analisa Bivariat


Pengaruh Behavior Therapy Terhadap Perubahan Gejala Risiko Perilaku
Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia

Tabel 4.5
Perubahan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Sebelum
dan Setelah Diberikan Behavior Therapy di Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan 2019 (n = 13)

Gejala Mean Mean Mean


Risiko Sebelum Setelah Selisih SD SE t P
Perilaku
Kekerasan
Kognitif 18,77 10,69 8,077 3,427 ,950 8,498 0,000
Afektif 20,54 12,00 8,538 1,713 ,475 17.967 0,000
Sosial 22,77 11,92 10,846 2,035 ,564 19.217 0,000
Perilaku 20,31 9,69 10,615 2,063 ,572 18,552 0,000
Komposit 82,39 44,3 38,076 9,238 2.561 64,234 0,000

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan perubahan signifikan antara gejala risiko


perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia sebelum dan setelah dilakukan
Behavior Therapy. Hal ini diperkuat oleh nilai rata-rata dari gejala risiko
perilaku kekerasan pada pasien sebelum dan setelah mendapatkan Behavior
Therapy. Untuk respon kognitif sebelum dilakukan Behavior Therapy sebesar
18,77 dan nilai setelah dilakukan Behavior Therapy mengalami perubahan
sebesar 10,69 yang menunjukkan adanya pengaruh Behavior Therapy. Untuk
respon afektif sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 20,54 dan
setelah dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 12,00. Untuk respon
sosial sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 22,77 dan setelah
dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 11,92. Untuk respon perilaku
sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 20,31 dan setelah dilakukan
terapi mengalami perubahan sebesar 9,69. Pada nilai komposit menunjukkan
adanya perubahan gejala risiko perilaku kekerasan sebelum dilakukan
Behavior Therapy didapatkan nilai sebesar 82,39 dan setelah dilakukan
Behavior Therapy mengalami perubahan sebesar 44,3.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Univariat
1. Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Sebelum Dilakukan Behavior
Therapy
Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik responden menunjukkan
bahwa 100% berjenis kelamin laki-laki. Di karenakan laki-laki lebih
senang memendam masalahnya sendiri, jika ada masalah mereka
tidak menceritakan pada yang lain. Keadaan ini jika berlarut lama
maka mereka tidak dapat mengontrol dan kehilangan kendali diri dan
akan mengekspresikannya dengan kemarahan. Hal ini hampir sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fajar Rinawati 2015) tentang
penerapan terapi perilaku spesialis keperawatan jiwa pada klien
dengan risiko perilaku kekerasan diruang Kresna Wanita RSMM
Bogor yang mengatakan bahwa responden laki-laki mengekspresikan
marah dan bangga untuk mempertahankan ke egoisan dan
menunjukkan kekuatannya. jumlah responden laki-laki adalah
sebanyak 100%

Hasil penelitian ini diperoleh jumlah responden terbanyak adalah


kelompok usia 31-50 tahun. Rentang usia tersebut dapat
dikategorikan pada kelompok usia dewasa. Menurut teori (Muhit,
2015) Kebanyakan pada masa usia ini laki-laki tidak dapat
mengontrol kemarahannya dikarenakan faktor tidak mau mengalah
kepada orang lain. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Retno Yuli Hastuti 2016) tentang pengaruh cognitive
behavior therapy pada klien dengan masalah keperawatan perilaku
kekerasan dan halusinasi di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Klaten yang
menyatakan bahwa responden usia 30-50 tahun kebanyakan
menunjukan kehebatan nya kepada sesama laki-laki.

Pasien di usia dewasa mudah mengalami gangguan emosi dan tidak


dapat mengontrol marah yang berhubungan dengan persoalan-
persoalan yang dialaminya seperti persoalan jabatan, perkawinan,
keuangan dan sebagainya. Ketegangan emosional sering kali
dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-
kekhawatiran melalui marah dan ketidak mampuan mengontrol
marah. Pengendalian marah seharusnya dapat dikelola dengan baik
seiring dengan bertambahnya usia karena dengan bertambahnya usia
kematangan emosional seseorang pun berubah ke arah yang lebih
baik atau sempurna. Pada masa dewasa awal seharusnya bisa
mengendalikan marah dengan lebih baik karena mereka semestinya
sudah lebih dewasa dan matang dalam bertindak.

Data karakteristik responden didapatkan sebanyak 61,5%


berpendidikan tingkat SD. Pendidikan seseorang akan berpengaruh
pada seluruh aspek kehidupan manusia baik pikiran, perasaan
maupun sikapnya. Menurut Suharjo (2003, dalam Irawati, 2011)
tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang eksponensial
dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif
dan berkesinambungan. Tingkat pendidikan rendah pada seseorang
akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan,
semakin tingkat pendidikannya tinggi akan berpengaruh terhadap
kemampuan berfikir (Stuart dan Sundeen, 2000 dalam Rahma, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, bahwa rata-rata gejala
risiko perilaku kekerasan sebelum dilakukan Behaviour Therapy
sangat tinggi dengan nilai sebesar 82,39. Dapat diartikan bahwa rata-
rata gejala risiko perilaku kekerasan sebelum dilakukan Behaviour
Therapy sangat dikhawatirkan dikarenakan nilainya hampir
mendekati nilai seratus persen. Menurut (Keliat, 2016) perilaku
kekerasan adalah salah satu respon marah diekspresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai diri sendiri maupun orang lain dan
dapat merusak lingkungan sekitar. Perilaku marah yang sering
membuat pasien tidak dapat mengendalikannya sehingga otot-otot
tubuh menjadi tegang. Dapat dilihat bahwa rata-rata pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu Medan
mempunyai tingkat kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
dalam kategori kurang sebelum dilakukan Behaviour Therapy.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian (Suryanti, 2018)


mengenai Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Penurunan
Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Klaten. Hasil penelitian diperoleh sebelum diberikan terapi
yaitu 40 responden kelompok intervensi dengan gejala perilaku
kekerasan sebelum dilakukan Behaviour Therapy dalam kategori
berat. Hasil yang didapat bahwa kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan sebagian besar dalam kategori kurang sebelum dilakukan
Behaviour Therapy, hal tersebut terjadi karena semua responden
belum dilakukan Behaviour Therapy.

Berdasarkan pemaparan uraian gejala sebelum dilakukan Behaviour


Therapy dapat disimpulkan bahwa responden masih belum mampu
mengontrol perilaku kekerasannya secara mandiri. Tingginya nilai
gejala yang muncul pada pasien skizofrenia sehingga kemampuan
pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan masih dalam kategori
kurang dan belum mampu mengontrol secara mandiri.
Ketidakmampuan pasien perilaku kekerasan dalam hal mandiri ini
dikarenakan tidak dilakukannya Behaviour Therapy karena terapi ini
memusatkan perhatian pada suatu kegiatan dengan melakukan
kegiatan ini akan mengurangi ketegangan dengan melakukan teknik
relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Mandayati, 2014).

Dari hasil penelitian didapatkan nilai respon Kognitif didapatkan


nilai sebesar 18,77 yang artinya nilai gejala risiko perilaku kekerasan
sebelum dilakukan terapi Behaviour Therapy dengan kategori tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh
reponden, sebanyak 70% responden mengatakan saya berusaha
melupakan kejadian yang membuat saya marah (No 1), tetapi usaha
yang dilakukannya hanya di saat ada masalahnya yang tidak berat,
akan tetapi ketika mendapatkan masalah besar maka akan selalu
mengingat masalah tersebut dan ingin membalas tindakan orang lain
yang membuat dia marah. Responden juga mengatakan suka
membayangkan peristiwa yang membuat dirinya marah (No 2),
sehingga sering marah tanpa sebab dan membanting barang yang ada
disekitarnya. Responden juga mengatakan berusaha melihat hal
positif yang membuat saya marah dan suka mengingat orang yang
membuatnya marah (No 4). Hal ini dikatakan 70 % responden yang
masih mampu mengingat hal positif dalam dirinya, tetapi 30%
responden cenderung emosi dan tidak mengingat hal positif yang
masih dimiliknya. Sehingga mereka lebih cenderung langsung marah
ketika ada orang membuatnya tersinggung. Dari hasil jawaban
tersebut, dapat diartikan bahwa pasien masih belum mampu untuk
mengatasi masalah yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan teori Potter
& Perry (2010) mengatakan bahwa ada hubungan lama dirawat (2-3
tahun) dengan daya ingat pasien skizofrenia, hal ini terjadi karena
faktor lamanya pasien terpapar stresor.

Pada respon Afektif didapatkan nilai sebelum Behaviour Therapy


dengan nilai sebesar 20,54 dikategorikan tinggi. Dari hasil kuesioner
yang telah diisi oleh responden, 70 % responden mengatakan bahwa
merasa sakit hati melihat orang yang membuatnya marah (No 7),
merasa senang bila orang yang membuatnya marah kalah (No 8),
saya marah apabila ada orang yang menyepelekan saya (No 10), bila
marah saya akan berteriak atau memaki dan apabila kemarahan saya
sudah tidak terkendali maka saya akan menangis (No 11 dan 12).
Menurut PPDGJ (1993) bahwa salah satu tipe skizofrenia adalah tipe
paranoid yang merupakan waham atau halusinasi auditorik dalam
konteks afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya yang
terjadi ialah waham dipengaruhi, cemburu, berupa ancaman, perintah
dan menghina.

Pada respon Sosial juga didapatkan nilai dalam kategori tinggi


dengan nilai sebesar 22,77. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman
buruk pasien di masa lalu yang membuatnya selalu mengingat
kejadian-kejadian yang dialaminya. Berdasarkan hasil kuesioner yang
telah diisi oleh responden didapatkan sebanyak 70% responden
mengatakan bahwa “bila marah, saya sering tidak peduli dengan
lingkungan sekitar (No 14), saya tidak mau bekerja dengan orang
yang membuat saya marah (No 20), jarang berkumpul dengan teman
bila saya sedang marah (No 15), saya harus dihargai oleh orang lain
(No 16), saya tidak mau bicara tentang orang yang saya benci dan
saya tidak mendengarkan saran dari orang yang saya benci (No 17
dan 19). Dari hasil jawaban seluruh responden ini menggambarkan
bahwa pasien bila sedang marah mereka tidak peduli dengan
lingkungan sekitarnya dan pasien harus dihargai oleh orang lain.
Menurut Videbeck (2011) mengatakan bahwa faktor sosiokultural
sangat memicu terjadinya skizofrenia, hal ini dikarenakan bahwa
individu kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-
gejala skizofrenia dibandingkan dengan yang berasal dari kelompok
sosial yang lebih tinggi.

Pada respon Perilaku didapatkan nilai sebesar 20,31, yang dimana


nilai gejala yang muncul pada pasien skizofrenia ini masih dalam
kategori tinggi. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh responden,
70 % responden mengatakan “aktivitas saya terganggu bila sedang
marah (No 21), saya akan langsung membalas orang yang membuat
saya marah (No 22). Hal ini mengindikasikan bahwa pasien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan akan mencederai atau melukai
orang yang disekitarnya apabila sedang marah. Hal ini didukung oleh
(Fontaine, 2009) yang mengatakan bahwa perilaku agresif atau
perilaku kekerasan bisa terjadi karena adanya perasaan marah atau
kemarahan, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan
(Townsend, 2009) sehingga dengan adanya faktor pencetus atau
faktor presipitasi yang telah dijelaskan diatas, mampu menyebabkan
perilaku kekerasan.

Berdasarkan asumsi peneliti, bahwa gejala risiko perilaku kekerasan


sebelum dilakukan terapi Behaviour Therapy yaitu wajah merah,
tangan mengepal, rahang mengatup dan berjalan mondar-mandir
masih dimiliki pasien sebelum dilakukan terapi sehingga responden
tidak mampu mengontrol perilaku kekerasannya secara mandiri, hal
ini dikarenakan semua responden belum pernah mendapatkan
Behaviour Therapy.

2. Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Setelah Dilakukan Behaviour


Therapy
Hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata gejala risiko perilaku
kekerasan setelah dilakukan Behaviour Therapy meliputi respon
Kognitif sebesar 10,69, respon Afektif sebesar 12,00, respon Sosial
sebesar 11,92, respon Perilaku sebesar 9,69 dan nilai komposit
sebesar 44,3. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia
mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa ada


perubahan gejala risiko perilaku kekerasan setelah dilakukan
Behaviour Therapy yang dapat dilihat dari setiap nilai respon dari
responden. Hal tersebut didapat dari hasil kuesioner Kognitif yang
dibagikan peneliti kepada responden setelah dilakukan Behaviour
Therapy. Sebagian besar responden mengatakan bila marah jarang
aktivitasnya terganggu, tidak langsung membalas orang yang
membuatnya marah, berusaha melihat hal positif pada dirinya saat
marah dan berusaha rileks bila sedang marah. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa respoden mampu mengontrol
perilaku kekerasannya secara mandiri setelah dilakukan Behaviour
Therapy.

Pada respon Afektif juga didapatkan nilai setelah dilakukannya


Behaviour Therapy. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden, Sebagian besar responden mengatakan bahwa tidak
merasa sakit hati melihat orang yang membuatnya marah lagi, merasa
sedih bila orang yang membuatnya marah kalah, dapat mengontrol
marah apabila ada orang yang menyepelekan saya, bila marah saya
tidak akan berteriak lagi ataupun memaki dan apabila kemarahan
saya sudah tidak terkendali maka saya akan berbagi kepada orang
lain

Pada respon Sosial juga didapatkan nilai setelah dilakukannya


Behaviour Therapy. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden, Sebagian besar responden mengatakan bahwa “bila
marah, saya dapat memperhatikan lingkungan sekitar, saya bekerja
dengan orang diseitar saya dan tidak pendendam), berkumpul dengan
teman, saya akan menghargai orang lain, saya akan berbicara pada
orang yang membenci saya dan saya mendengarkan saran dari orang
lain. Dari hasil jawaban seluruh responden ini menggambarkan
responden mulai mengontrol emosinya

Pada respon Perilaku didapatkan nilai setelah dilakukannya


Behaviour Therapy. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden, Sebagian besar responden mengatakan bahwa aktivitas
saya tidak terganggu lagi bila sedang marah, saya akan langsung
berdamai dengan orang yang membuat saya marah. Hal ini sudah
membuktikan bahwa responden ini mampu mengontrol dan
mengubah tingkah laku dari maladaptive ke adaptive

Hal ini sesuai dengan pernyataan Marquis dan Huston (2010) bahwa
tujuan dari terapi ini merupakan hasil yang diinginkan untuk
mengubah perilaku secara bertahap, yaitu mengubah satu perilaku
terlebih dahulu yang kemudian akan dilanjutkan di ruang berikutnya.
Hasil dari proses perubahan yang dilakukan adalah adanya
perubahan, yaitu perubahan perilaku. ada perubahan atau selisih dari
tanda dan gejala baik pada klien risiko perilaku kekerasan. Selain itu
Behaviour Therapy bermanfaat untuk meningkatkan produksi
serotonin. Serotinin ini berkaitan dengan mood seseorang.

Pengendalian marah yang cukup baik berarti pasien dapat


mengendalikan atau mengurangi marah dengan melakukan
Behaviour Therapy yang memiliki manfaat untuk meningkatkan
kemampuan pasien dalam mengontrol risiko perilaku kekerasan.
Dengan memperhatikan manfaat tersebut didukung dengan
lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, dan keadaan responden
yang kooperatif dapat memaksimalkan manfaat dari intervensi
tersebut. Sehingga Behaviour Therapy dapat dijadikan pilihan dalam
memberikan terapi modalitas yang digunakan oleh pasien risiko
perilaku kekerasan sebagai salah satu intervensi untuk mengontrol
marah.

Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan


oleh (Resti, 2014) menyebutkan bahwa Behaviour Therapy juga
dapat memberikan efek psikologis. Penelitian ini juga didukung oleh
penelitian (Pangestika, 2015) dengan judul Pengaruh Behaviour
Therapy Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Pada Pasien
Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD DR. Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah bahwa ada perubahan kemampuan pasien
dalam mengontrol marah setelah dilakukannya Behaviour Therapy.
Setelah melaksanakan Behaviour Therapy klien menjadi lebih tenang
dalam berfikir dan klien dapat mengelola stres dan pernafasannya
(Resti, 2014)

Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kemampuan pasien


dalam mengontrol perilaku kekerasannya setelah dilakukan
Behaviour Therapy adalah perhatian dan ketertarikan pasien dalam
mengikuti terapi. Mengarahkan perhatian untuk membedakan
perasaan yang dialami oleh pasien risiko perilaku kekerasan setelah
melakukan aktivitas terapi yang diberikan dan dibandingkan ketika
tubuh dalam keadaan tegang atau tidak melakukan aktivitas terapi
(Amila, 2018). Memusatkan perhatian saat melakukan Behaviour
Therapy adalah hal yang utama dalam mengikuti terapi ini. Hasil
yang didapat bahwa responden mampu mengikuti terapi ini dan
melakukannya secara mandiri, sesuai dengan yang didapatkan bahwa
ada perubahan gejala risiko perilaku kekerasan setelah dilakukan
Behaviour Therapy.

Dari uraian diatas, peneliti berasumsi bahwa dalam mengikuti


Behaviour Therapy yang paling utama ialah pemusatan perhatian dan
kemauan untuk mengikuti terapi ini. Hasil yang didapatkan sangat
efektif bahwa setelah dilakukan Behaviour Therapy pasien menjadi
rileks dan mampu mengotrol marah secara mandiri.

3. Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Perubahan Risiko


Perilaku Kekerasan
Dari hasil penelitian yang didapat, diketahui perbedaan gejala
sebelum dilakukan dan setelah dilakukan pada pasien risiko perilaku
kekerasan. Dapat dilihat dari nilai selisih antara nilai komposit
sebelum sebesar 82,39 dan nilai setelah 44,3. Hal ini menunjukkan
bahwa ada perubahan dari sebelum dan setelah dilakukan Behaviour
Therapy
Risiko perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan
gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusnadi, 2015). Pengendalian
marah adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu
amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara
sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan
diri sendiri dan orang lain. Apabila pasien memberikan makna positif
saat marah maka pasien dapat melakukan kegiatan secara positif dan
tercapai perasaan lega. Selain itu kemarahan yang diekspresikan
secara konstruktif dapat menyelesaikan masalah. Pengendalian marah
juga sangat efektif dengan latihan otot progresif.

Menurut teori Alligood, (2013) bahwa Behaviour Therapy adalah


aktivitas dengan mengubah perilaku tubuh dengan tujuan
memberikan perubahan perilaku secara maladaptif. Hasil penelitian
ini didukung oleh teori (Tobing, 2012) yang menyatakan bahwa
Behaviour Therapy bermanfaat untuk mengubah tingkah laku yang
dari adaptif ke maladaptif. Dengan melakukan terapi ini maka akan
mengurangi kecemasan dan ketegangan yang dialami oleh pasien
risiko perilaku kekerasan.

Berdasarkan hasil uji statistik Paired T-test data pre test dan post test
skor perubahan gejala risiko perilaku kekerasan dengan nilai pvalue
0,000 p= 0,05. Dengan nilai pvalue 0,000 p= 0,05 maka Ha diterima
yang artinya terdapat pengaruh Behaviour Therapy Terhadap
Perubahan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan antara sebelum dan
setelah Behaviour Therapy Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu Medan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan terhadap perubahan gejala risiko perilaku kekerasan antara
sebelum dan setelah Behaviour Therapy pada pasien skizofrenia. Hal
ini dapat dilihat dari nilai rata-rata gejala risiko perilaku kekerasan
sebelum dilakukan terapi dengan nilai respon kognitif 18,77 dan nilai
setelah terapi sebesar 10,69. Untuk nilai respon afektif sebelum terapi
sebesar 20,54 dan nilai setelah sebesar 12,00. Untuk nilai respon
sosial sebelum terapi sebesar 22,77 dan nilai setelah terapi sebesar
11,92 dan untuk nilai respon perilaku sebelum terapi sebesar 20,31
dan nilai setelah 9,69. Untuk nilai komposit sebelum terapi sebesar
82,39 dan nilai setelah sebesar 44,3.

Hasil penelitian ini didukung oleh Mandayati (2014) dengan judul


Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Tingkat Kecemasan Pada
Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJ Provinsi Dr. Amino
Gondohutomo Jawa Tengah didapat hasil bahwa ada pengaruh terapi
relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan pada pasien
dengan nilai pvalue (0.000). Penelitian ini juga diperkuat oleh
penelitian Suryanti (2018) yang meneliti tentang Pengaruh Cognitive
Behaviour Therapy terhadap Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia di RSJ Daerah Klaten.

Menurut asumsi peneliti, Behaviour Therapy ini sangat


mempengaruhi emosional pasien dengan aspek kognitif, afektif,
sosial dan perilaku. Dengan melakukan aktivitas Behaviour Therapy
ini, maka dapat mengubah tingkah laku pasien yang lebih baik,
sehingga pasien dengan risiko perilaku kekerasan mampu
mengontrolnya saat marah.
4.3 Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
1. Keterbatasan pada lokasi
Selama proses penelitian, peneliti mengalami keterbatasan terkait lokasi
untuk melakukan Behaviour Therapy yang kurang kondusif karena
suasana ruangan terbuka, kurang nyaman dan banyak orang yang lewat
sehingga mengganggu konsentrasi pasien saat mengikuti terapi.
2. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melihat kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya dengan melakukan Behaviour Therapy,
sementara masih banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkat
kemampuan dalam mengontrol risiko perilaku kekerasan.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap karakteristik demografi yang dilakukan
oleh peneliti Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu Medan terhadap 13
orang responden yang mengikuti Behaviour Therapy, diperoleh data yakni rata-
rata umur responden berusia 36-50 tahun, berpendidikan sampai pada jenjang
SD, pekerjaan tidak bekerja, status tidak menikah, jenis kelamin lebih banyak
laki-laki.
1. Gejala risiko perilaku kekerasan pasien skizofrenia dirata-ratakan sebelum
dilakukan Behaviour Therapy meliputi respon kognitif sebesar 18,77, respon
afektif sebesar 20,54, respon sosial sebesar 22,77, respon perilaku sebesar
20,31 dan nilai komposit sebesar 82,39.
2. Gejala risiko perilaku kekerasan pasien skizofrenia dirata-ratakan setelah
dilakukan Behaviour Therapy meliputi respon kognitif sebesar 10,69, respon
afektif sebesar 12,00, respon sosial sebesar 11,92, respon perilaku sebesar
9,69 dan nilai komposit sebesar 44,3.
3. Perbedaan gejala risiko perilaku kekerasan pasien skizofrenia dirata-ratakan
sebelum dan sesudah dilakukan Behaviour Therapy meliputi respon kognitif
sebelum diberikan Behaviour Therapy dengan nilai sebesar 18,77 dan
setelah dilakukan Behaviour Therapy mengalami perubahan sebesar 10,69
yang menunjukkan adanya pengaruh Behaviour Therapy. Untuk respon
afektif sebelum diberikan Behaviour Therapy dengan nilai sebesar 20,54 dan
setelah diberikan Behaviour Therapy dengan nilai sebesar 12,00. Pada
respon sosial sebelum diberikan Behaviour Therapy dengan nilai sebesar
22,77 dan setelah dilakukan Behaviour Therapy dengan nilai sebesar 11,92.
Pada respon perilaku juga ada perbedaan sebelum diberikan Behaviour
Therapy dengan nilai sebesar 20,31 dan setelah dilakukan Behaviour
Therapy dengan nilai sebesar 9,69. Pada nilai komposit menunjukkan adanya
perubahan gejala risiko perilaku kekerasan sebelum diberikan Behaviour
Therapy sebesar 82,39 dan setelah dilakukan Behaviour Therapy sebesar
44,3.
4. Hasil Uji Paired T-test menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan pada risiko perilaku kekerasan pasien skizofrenia sebelum dan
sesudah dilakukan Behaviour Therapy dengan nilai p= 0,000 (p<0,05).

5.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah :
5.2.1 Bagi Responden
Diharapkan kepada responden jika mengalami kekambuhan agar dapat
mengatasi secara mandiri dengan cara mengenal perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan, mencegah perilaku kekerasan secara fisik,
interaksi sosial asertif, mencegah dengan cara spiritual, dan patuh
minum obat.

5.2.2 Rumah Sakit


1. Bagi Pimpinan Rumah Sakit Jiwa Diharapkan agar membuat atau
menambahkan ruangan khusus untuk tempat dilakukannya terapi ini
agar dapat terlaksana dengan baik.
2. Bagi Perawat Rumah Sakit Jiwa diharapkan agar membuat standar
prosedur dalam melakukan Behaviour Therapy.

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti faktor
lain yang mempengaruhi tingkat kemampuan pasien dalam mengontrol
perilaku kekerasan misalnya terapi tarik nafas dalam dan terapi lainnya,
selain itu peneliti juga harus memperhatikan lingkungan dalam
melaksanakan terapi
DAFTAR PUSTAKA

Amila. & Tomey, A.M. (2018). Nursing Theories And Their Work. Missouri: Mosby
Elsevier.

Baradero, L. A., Sevier, M., & Christensen, A. (2013). The Impact Of Behavioral
Couple Therapy On Attachment In Distressed Couples. Journal Of Marital
And Family Therapy.

Bowers, L., Douzenis, A., Galeazzi, G. M., Forghieri, M., Tsopelas, C., Simpson, A.,
& Allan, T. (2005). Disruptive And Dangerous Behaviour By Patients On
Acute Psychiatric Wards In Three European Centres. Social Psychiatry And
Psychiatric Epidemiology, 40 (10).

Burgio, K. L., Kraus, S. R., Borello-France, D., Chai, T. C., Kenton, K., Goode, P. S.,
. . . Kusek, J. W. (2010). The Effects Of Drug And Behavior Therapy On
Urgency And Voiding Frequency. International Urogynecology Journal,
21(6), 711-9.

Corey, G., 2009 Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Pt Refika
Aditama

Dantas, E. (2011). Insight Controlled For Cognition In Deficit And Nondeficit


Schizophrenia. Schizoprenia Research128 (2011) P.124-126. In Science
Direct.

Depkes, R.I., (2015) Hasil Riskesdas 2015 Departemen Kesehatan Republik


Indonesia Http://Www.Depkes .Go.Id/Resource/Download/General

Direja, A H.S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika

Folsom, E.A. (2009). Physical And Mental Health-Related Quality Of Life Among
Older People With Schizophrenia. Schizoprenia Research 108 (2009)
P.207-213. In Science Direct.

Hawari. D., (2012) Manejemen Strest, Cemas Dan Depresi Jakarta: Balai Penerbit
Fkui

Hartono, D. R., Cannity, K., Mcindoo, C. C., File, A. A., Ryba, M. M., Clark, C. G.,
& Bell, J. L. (2012). Behavior Therapy For Depressed Breast Cancer Patients:
Predictors Of Treatment Outcome. Journal Of Consulting And Clinical
Psychology, 83(1),
Hastuti, R. Y., & Setianingsih, S. (2016). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy
Pada Klien Dengan Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan Dan Halusinasi
Di Rsjd Dr. Rm Soedjarwadi Klaten. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 7-12.

Heslin, K.C & Weiss, A. J. (2015). Statistical Brief 189; Hospital Readmissions
Involving Psychiatric Disorders, 2012. Agency For Healthcare Research And
Quality.Https://Www.Hcupus.Ahrq.Gov/Reports/Statbriefs/Sb 189-Hospital-
Readmissions-Pscychiatric-Disorder-2012.Jsp.

Hidayati, E. (2012). Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan


Mengatasi Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa
Dr. Aminogondoutomo Kota Semarang. Jurnal Seminar Hasil-Hasil
Penelitian – Lppm Unimus 2012 Isbn : 978-602- 18809-0-6.

Isaac . (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatri.(3thed ). Jakarta : Egc.

Jones, R N, (2011) Kepatuhan Minum Obat. Jakarta: Egc.

Kaplan & Sadock. (2010). Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 1.
Tangerang : Binarupa Aksara.

Keliat, B.A. & Akemat. (2016). Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok.
Ed.2. Egc.

Kirana,N. Dkk. (2014). Efektifitas Senam Aerobic Low Impact Terhadap Aggression
Self Control Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1, No 2 (2014)..

Madzhab M.Y (2009). Buku Saku Psikoterapi Ii, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Marquis Dan Huston, (2010). Nursing Diagnoses : Definition And Classification


2009 – 2011, By Nanda International, Alihbahasa : Sumarwati Made,
Widiartidwi, Tiarestu, Jakarta : Egc.

Maramis, W.F., (2011). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Air langga
University Press

Martha A. (2013). Nursing Theories And Their Work. Missouri: Mosby Elsevier.

Madayanty, P. D., Whittal, M. L., Thordarson, D. S., Taylor, S., Söchting, I., Koch,
W. J., . Anderson, K. W. (2014). Cognitive Versus Behavior Therapy In The
Group Treatment Of Obsessive-Compulsive Disorder. Pengaruh Behaviour
Therapy Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan Di Rsj Provinsi Dr. Amino Gondohutomo Jawa Tengah,
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori Dan Aplikasi). Yogyakarta:
Andi.

Nakatani, E., Dkk. (2005). A Randomized Controlled Trial Of Japanese Patients With
Obsessive-Compulsive Disorder - Effectiveness Of Behavior Therapy And
Fluvoxamine. Retrieved From

Nasir, A. & Muhith, A. (2011). Dasar Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

Notoatmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Novitayani, S. (2016). Karakteristik Pasien Skizofrenia Dengan Riwayat


Rehospitalisasi. Idea Nursing Journal Vol. Vii No. 2 (2016).

Pardede, J.A. Dkk. (2015). Kepatuhan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat


Setelah Diberikan Acceptance And Commitment Theraphy Dan Pendidikan
Kesehatan Kepatuhan Minum Obat. Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol 18
No.3, November 2015.

Pangesti. Skizofrenia. Dalam: Elvira Sd, Penyunting. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; (2015).

Pardede, J. A., Sirait, D., Riandi, R., Emanuel, P., & Laia, R. (2016). Ekspresi Emosi
Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Idea Nursing
Journal, 7(3), 53-61.

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamental Of Nursing: Concept, Process, And
Practice. Mosby Year Book, Inc. (2010). Fundamental Keperawatan. Buku 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Polit & Beck. (2012). Resource Manual For Nursing Research. Generating And
Assessing Evidence For Nursing Practice. Ninth Edition. Usa : Lippincont.

Ppdgj. (1993). Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia


Iii.

Pradana, E.Y.S (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Kemampuan


Mengontrol Marah Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Jurnal Mahasiswa 2013.

Resti, V., Cetina, I., & Orzan, G. (2014). Key Factors That Influence Behavior Of
Health Care Consumer, The Basis Of Health Care Strategies. Contemporary
Readings In Law And Social Justice, 4(2), 992-1001. Retrieved From
Rhoads, J. (2011). Clinical Consult For Psychiatric Mental Health Care. New York
Springer Publishing Company.

Riyanti, V., Cetina, I., & Orzan, G. (2012). Key Factors That Influence Behavior Of
Health Care Consumer, The Basis Of Health Care Strategies. Contemporary
Readings In Law.

Rinawati, Fajar. Penerapan Terapi Perilaku Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Klien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan Pendekatan Teori Johnson
Dan Teori Lewin. Jurnal Ilmu Kesehatan, 2017, 4.1: 67-72.

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto.

Sadock, B.J., Kaplan, Harold.I. & Sadock, V.A. (2013). Kaplan And Sadock’s
Sypnosis Of Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry :
Lippincott Williams & Vilkins.

Sandriani, B., S. (2014). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Tingkat


Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Di Poloklinik Rumah Sakit Jiwa
Grhasia Diy. Program Studi Ilmu Keperawatan; Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ‘Aisyiah Skripsi

Saragih, S. Dkk. (2014). Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluaga Tentang
Perawatan Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Rumah. Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1, No 1 Februari 2014.

Semple & Smyth. (2013). Oxford Handbook Of Psychiatry. 3rd Penyunt. Oxford:
Oxford University Press

Sholikhah, S. (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi


Terhadap Tingkat Kemandirian Pada Pasien Perilaku Kekerasan Di Rumah
Sakit Jiwa Menur Surabaya. Jurnal Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol
05, No. 01, April 2013.

Sofyan S W, (2009) Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jurnal Mahasiswa


Bidang Ilmu Keperawatan Jiwa.

Stuart, G. W.(2016). Prinsip Dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore:


Elseiver

Surhajo. (2003). Sources Of Stress And Burnout In Acute Psychiatric Care: Inpatient
Vs. Community Staff. Social Psychiatry And Psychiatric Epidemiology
Suryanti, K. (2014). Referral Rates To Psychotherapy For Individuals With
Developmental Disabilities And Mental Illness (Order No. 3621969).
Available From Proquest Dissertations & Theses Global. (1548006465).
Retrieved From

Sumanto, S.A& Hendarsih, S. (2014). Terapi Modalitas. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran Egc.

Sulistowati D N.D., Keliat, B.A Dan Wardani. I.Y., (2012) Pengaruh Acceotance
Comitment Therapy Terhadap Gejala Dan Gejala Dan Kemampuan Klien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 2
Nomor 1. Diakses Tanggal 8 November 2017

Sutedjo. (2017). Konsep Dan Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa : Gangguan Jiwa
Dan Psikososial. Yogyakarta. Pb

Suryanti., Cannity, K., Mcindoo, C. C., File, A. A., Ryba, M. M., Clark, C. G., &
Bell, J. L. (2018). Behavior Therapy For Depressed Breast Cancer Patients:
Predictors Of Treatment Outcome. Journal Of Consulting And Clinical
Psychology

Townsend, M. C. (2009). Psychiatric Mental Healt Nursing : Concepts Of Care In


Evidence-Basedpractice (6th Ed.), Philadelphia : F.A. Davis.

Tobing, I. (2012) Pengaruh Cognitive Behvior Therapy Terhadap Post-Traumatic


Stress Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa Di Kelurahan Air Tawar Barat
Kecamatan Padang Utara Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Jakarta. Fik Ui.
Tidak Dipublikasikan.

Utama S.L. (2014). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th Ed. China: Wolters
Kluwer.

WHO., (2016). The World Health Report (2016). World Health Organization.

Wibowo, F. (2014). Pengaruh Tak Timulasi Persepsi : Stimulasi Persepsi I-Iii


Terhadap Kemampuan Mengenal Dan Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada
Pasien Perilaku Kekerasan Di Dsj Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1 No.1 2011.

Widya, P. D., Whittal, M. L., Thordarson, D. S., Taylor, S., Söchting, I., Koch, W. J.,
. . . Anderson, K. W. (2001). Cognitive Versus Behavior Therapy In The
Group Treatment Of Obsessive-Compulsive Disorder. Journal Of Consulting
And Clinical Psychology,
Widyastini, B.I. Dkk (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok : Stimulasi
Persepsi Sesi I – V Terhadap Kemampuan Mengontrol Dan Mengekspresikan
Marah Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Rsjd Dr. Amino
Gondohutomo Semarang. Jurnal Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1
No.1 2014.

Yosep, I. (2008). Faktor Penyebab Dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa.


Dibuka Pada Website Http://Resources.Unpad.Ac.Id/24 April 2012.

Yusuf, A h. (2015) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan :


Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sop Relaksasi Nafas Dalam
    Sop Relaksasi Nafas Dalam
    Dokumen2 halaman
    Sop Relaksasi Nafas Dalam
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • SAP Hipertensi
    SAP Hipertensi
    Dokumen7 halaman
    SAP Hipertensi
    Eka Nifa Situmeang
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Revisi
    Revisi
    Dokumen16 halaman
    Revisi
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Judul
    Judul
    Dokumen13 halaman
    Judul
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi
    Hipertensi
    Dokumen37 halaman
    Hipertensi
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Sop Relaksasi Nafas Dalam
    Sop Relaksasi Nafas Dalam
    Dokumen2 halaman
    Sop Relaksasi Nafas Dalam
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi
    Hipertensi
    Dokumen37 halaman
    Hipertensi
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Jawaban Nomor 6
    Jawaban Nomor 6
    Dokumen2 halaman
    Jawaban Nomor 6
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • USMI-NERS
    USMI-NERS
    Dokumen2 halaman
    USMI-NERS
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Perawatan Kuku Yang Baik
    Perawatan Kuku Yang Baik
    Dokumen1 halaman
    Perawatan Kuku Yang Baik
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Jawaban 1
    Jawaban 1
    Dokumen1 halaman
    Jawaban 1
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • SK Pemb 4.2
    SK Pemb 4.2
    Dokumen590 halaman
    SK Pemb 4.2
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • SK Pembimbing 4.3 Psik
    SK Pembimbing 4.3 Psik
    Dokumen43 halaman
    SK Pembimbing 4.3 Psik
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • SK Pemb 4.2
    SK Pemb 4.2
    Dokumen590 halaman
    SK Pemb 4.2
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • BAB I Etika
    BAB I Etika
    Dokumen9 halaman
    BAB I Etika
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Hipersensitifitas
    Hipersensitifitas
    Dokumen25 halaman
    Hipersensitifitas
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • BAB I Etika
    BAB I Etika
    Dokumen9 halaman
    BAB I Etika
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Terjemahan
    Terjemahan
    Dokumen5 halaman
    Terjemahan
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • SKRIPSI
    SKRIPSI
    Dokumen83 halaman
    SKRIPSI
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Agnes Marbun Situmeang
    Agnes Marbun Situmeang
    Dokumen3 halaman
    Agnes Marbun Situmeang
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Analisa Proses Interaksi HDR
    Analisa Proses Interaksi HDR
    Dokumen32 halaman
    Analisa Proses Interaksi HDR
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Asus DPD
    Asus DPD
    Dokumen1 halaman
    Asus DPD
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Asus DPD
    Asus DPD
    Dokumen6 halaman
    Asus DPD
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • BAB I Etika
    BAB I Etika
    Dokumen9 halaman
    BAB I Etika
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • BAB I Etika
    BAB I Etika
    Dokumen9 halaman
    BAB I Etika
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Agnes Marbun Situmeang
    Agnes Marbun Situmeang
    Dokumen3 halaman
    Agnes Marbun Situmeang
    novekristentinus
    Belum ada peringkat
  • Asus DPD
    Asus DPD
    Dokumen1 halaman
    Asus DPD
    novekristentinus
    Belum ada peringkat