PENDAHULUAN
Menurut WHO (2016) 21 juta orang dengan skizofrenia dengan prevalensi pasien
dengan perilaku kekerasan di dunia. Data (Riskesdas, 2013) menunjukan jumlah
penduduk Indonesia ada sekitar 236 juta yang mengalami skizofrenia sebanyak
68% (sekitar 272.816.000 orang). Prevalensi skizofrenia di Jawa Timur sebesar
1,4% dari 38.318.791 penduduk atau sekitar 536.464 orang. Di Surabaya sebesar
0,2% dari 1.602.875 penduduk atau sekitar 3.206 orang (Riskesdas, 2013).
Skizofrenia menimbulkan distorsi pikiran sehingga pikiran itu menjadi sangat
aneh, juga distorsi persepsi, emosi, dan tingkah laku yang dapat mengarah ke
risiko perilaku kekerasan yang dapat berbahaya dengan diri sendiri maupun orang
lain sekitar (Baradero, 2016).
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti di RSJ Prof.Dr.
Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara Medan diperoleh data data
pasien dari bulan januari sampai desember 2018 adalah sebanyak 4.341 orang
yang mengalami skizofrenia dan yang mengalami risiko perilaku kekerasan
sebanyak 155 orang. Peneliti mendapatkan pasien 5 orang dengan risiko perilaku
kekerasan menunjukan tanda dan gejala seperti marah, tangan mengepal, dan
mata melotot, dikarenakan pasien trauma terhadap perilaku keluarganya yang
sering memukul pasien. Peneliti juga mendapatkan 8 orang pasien yang tidak
dapat mengontrol risiko perilaku kekerasannya. Peneliti melakukan wawancara
dengan perawat dan berdiskusi mengenai tindakan Behaviour Therapy yang akan
peneliti lakukan terhadap pasien, dari hasil diskusi tersebut perawat mengatakan
bahwasanya Behaviour Therapy belum pernah dilakukan terhadap pasien dan
dalam hal ini perawat sangat antusias dengan adanya rencana tindakan tersebut,
dan jika berhasil terapi ini dapat menjadi pertimbangan dalam penambahan
intervensi asuhan keperawatan khususnya pasien dengan risiko perilaku
kekerasan. Dari hasil survey yang didapatkan oleh peneliti, pasien Risiko Perilaku
Kekerasan di RSJ Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah Prov. Sumatera Utara
Medan mempunyai sifat yang menunjukan emosi dan berperilaku dengan sikap
yang dapat diterima secara sosial.
Berdasarkan fenomena diatas peneliti berminat melakukan penelitian dengan
judul “Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada
Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr. Muhammad Ildrem Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan Tahun 2019”.
d. Tipe Hebefrenik
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang
menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat
menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang
sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat
dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar,
autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase
yang menunjukkan ketakutan.
e. Tipe Residural
Ciri utama yang paling menonjol dari tipe skizofrenia ini adalah
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
h. Tipe Lainnya
Pada tipe skizofrenia ini termasuk skizofrenia chenesthopathic
(terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat
pada bagian tubuh tertentu).
3) Faktor imuno-virologik
Teori ini mengatakan bahwa kontak dengan virus atau respon
imun terhadap virus dapat mengubah fungsi otak. Sitokin
adalah neurotransmiter diantara sel-sel imun yang menangani
peradangan akibat respon imun. Ada juga sitokin spesifik yang
berperan memberi isyarat pada otak untuk melakukan
perubahan tingkah laku dan mengeluarkan neuro-kimia yang
diperlukan dalam menghadapi stres agar keadaan homeostatis
dipertahankan. Juga ada asumsi bahwa sitokin mempunyai
peran dalam pengembangan gangguan mental termasuk
skizofrenia.
b. Faktor Psikologis dan social
Faktor psikologis meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat
kejiwaan, adanya hubungan orang tua anak yang patogenik, serta
interaksi yang patogenik dalam keluarga. Banyak penelitian yang
mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi
penderita skizofrenia. Sebagai contoh istilah schizopregenic
mother kadang-kadang untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan
menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada
masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orang tua terkadang bertindak terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orang tua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran
yang dibutuhkannya (Lasgita, 2016). Sedangkan menurut (Kaplan
& Sadock, 2013) Pada awal teori didapatkan ada kurangnya
hubungan antara orangtua dan anaknya dan disfungsi pada sistem
keluarga yang dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia.
Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam
munculnya skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian tetapi
bagian fungsi keluarga yang telah diimplikasikan dalam
peningkatan angka kekambuhan individu dengan skizofrenia
adalah sangat mengekspresikan emosi.
2. Faktor Prespitasi
a. Faktor Biologi
Faktor stressor yang menjadi prespitasi skizofrenia secara biologis
dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang
mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stressor
biologis meliputi penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor biologis lainnya merupakan predisposisi bisa
menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor; baik
internal atau lingkungan eksternal individu. Sehingga penting
untuk dikaji dari waktu dan frekuensi terjadinya perilaku
kekerasan (Stuart, 2016).
b. Faktor Psikologi
Stressor psikologis merupakan pengalaman mendapatkan abuse
dalam keluarga atau terkait dengan kegagalan dan untuk stressor
lain diantaranya adalah aturan dimasyarakat, tuntutan masyarakat
yang tidak ralistik sesuai kemampua. Faktor pencetus individu
mengalami skizofrenia secara psikologis dapat diakibatkan oleh
toleransi terhadap koping individu yang tidak efektif, inpulsif, dan
membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap
keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan pasien
berperilaku maladaptif rendah diri, perilaku kekerasan, dan
kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada pasien
halusinasi (Stuart, 2016)
c. Faktor Sosiokultural
Faktor ini sangat memicu terjadinya skizofrenia, dimana sudah
banyak penelitian yang menghubungkan terhadap kelas sosial.
Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari
kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala
yang berhubungan dengan skizofrenia dibandingkan yang berasal
dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi (Utama, 2014).
b. Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan
dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja
maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang
bermakna, namun tiba tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara
lagi setelah tertunda beberapa waktu.
c. Avolisi
Ini merupakan keadaan dimana pasien hampir tidak bergerak,
gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri,
tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani.
d. Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari
pertemanan dengan orang lain (Asosiality) pasien tidak
mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang social
tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak
memperdulikannya.
e. Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering
mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya
kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang
luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak
menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun
lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana
pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan &
Sadock, 2010).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebagai ciri-ciri fisik, yang sering mengalami
skizofrenia adalah yang berjenis kelamin laki-laki dibandingkan
dengan yang berjenis kelamin perempuan hal ini dikarenakan
perempuan lebih patuh minum obat dari pada laki-laki. Penelitian
yang dilakukan oleh Sandriani (2014) di Yogyakarta menemukan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpatuhan
minum obat dengan kejadian kekambuhan skizofrenia.
3. Status Perkawinan
Pada individu yang tidak memiliki pasangan atau mengalami
perceraian berisiko tinggi mengalami gangguan jiwa (Stuart &
Laraia, 2005). (Widya 2017) mengungkapkan bahwa gangguan
jiwa sering dialami oleh individu yang bercerai dibandingkan
dengan yang sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat
(Dantas, et.al.2011) dan (Folsom, et.al.2009) yang menunjukkan
pasien skizofrenia umumnya terjadi pada individu yang belum
menikah.
4. Pendidikan
Pendidikan adalah status resmi tingkat pendidikan terakhir yang
ditempuh oleh pasien.Pendidikan menjadi suatu tolak ukur
kemampuan pasien untuk berinteraksi secara efektif (Stuart, 2015).
5. Lama Dirawat
Lama dirawat adalah waktu atau lamanya pasien terpapar stresor,
yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa frekwensi
(Stuart, 2015). Aspek stressor yang dapat mempengaruhi respon
stres adalh intensitas, jangkauan, durasi, jumlah dan sifat stresor
lain, prekdiktabilitas. Karakteristik individual yang dapat
mempengaruhi respon stres adalah tingkat pengontrolan personal,
ketersediaan dukungan sosial, perasaan mampu/kompetensi,
penghargaan kognitif (Potter & Perry, 2010).
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Maramis (2011), pengobatan penderita skizofrenia sebagai
berikut:
1. Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah
pertama untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua untuk
mencegah kekambuhan. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan
profil efek samping dan respons pasien pada pengobatannya
sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan
haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang
paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping
ekstrapiramidal lebih baik diberikan antipsikotik atipik, demikian
pula pada pasien yang menunjukan gejala kogitif atau gejala
negatif yang menonjol. Untuk pasien yang baru pertama kali
mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan
agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman
yang buruk terhadap pengobatan akan megurangi ketaatberobatan
(compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk
menggunakan antipsikotik atipik atau tipikal, tetapi dengan dosis
yang rendah.
4. Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan
bila penderita sangat mengganggu lingkungannya.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative
3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
5. Marah
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
b. Faktor Biologis
1. Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Keinginan melakukan risiko perilaku kekerasan disebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2. Teori psikomatik (Psicomatyc theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi
terhadap stimulus eksternal maupun internal.
c. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap
individu bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari
luar maupun dalam. Faktor presipitasi terbagi 2 antara lain :
1) Faktor eksternal
Berbagai stressor yang berasal dari luar antara lain
serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-lain.
2) Faktor internal
Contoh faktor dari dalam adalah putus hubungan dengan
seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan
terhadap penyakit fisik, hilang kontrol, menurunnya
percaya diri dan lain-lain. Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan (Sutedjo, 2017).
3. Fisik
gejala yang muncul pada respon fisik adalah frekuensi pernafasan
dan nadi meningkat, produksi keringat meningkat, muka memerah
dan tegang, mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatup, postur tubuh kaku, jalan mondar-mandir.
4. Perilaku
Gejala yang sering terjadi pada pasien skizofrenia dengan perilaku
kekerasan pada respon perilaku yaitu menyerang orang lain pada
saat marah, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif, menunduk.
5. Sosial
Gejala yang muncul pada aspek sosial adalah : pasien menarik diri,
mengasingkan diri dari orang lain, melakukan penolakan terhadap
orang lain, melakukan kekerasan, sering mengejek dan menyindir
orang lain.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran
atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang
tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun
marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.
b. Menentukan tujuan
Tujuan yang ditetapkan akan digunakan sebagai tolak ukur untuk
melihat keberhasilan proses terapi. Proses terapi akan dihentikan jika
telah mencapai tujuan. Tujuan terapi harus jelas konkret, dipahami,
dan disepakati oleh klien dan konselor. Konselor dan klien
mendiskusikan perilaku yang terkait dengan tujuan keadaan yang
diperlukan untuk perubahan sifat tujuan dan rencana tindakan untuk
bekerja ke arah tujuan tersebut.
c. Mengimplementasikan teknik
Setelah merumuskan tujuan yang ingin dicapai, konselor dan
konseling menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu
konseling mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Konselor dan konseling mengimplementasikan teknik-teknik
konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseling.
d. Mengakhiri konseling
Proses konseling akan berakhir jika tujuan yang ditetapkan di awal
konseling telah tercapai. Mekipun demikian, konseling tetap
memiliki tugas yaitu terus melaksanakan perilaku baru yang
diperolehnya selama proses konseling di dalam kehidupannya
sehari-hari.
d. Latihan Asertif
Latihan asertif merupakan teknik dalam konseling behavioral
yang menitik beratkan pada kasus yang mengalami kesulitan
dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Sebagai
contoh ingin marah, tapi tetap berespon manis.
f. Home Work
Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu
menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu. Caranya dengan
memberi tugas rumah untuk satu minggu. Misalnya klien tidak
menjawab jika dimarahi ibu tiri. Klien menandai hari apa dia
menjawab dan hari apa dia tidak menjawab. Jika seminggu dia
tidak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi tugas
tambahan.
Penelitian Burgio, dkk (2010) tentang efek obat dan terapi perilaku pada klien
dengan gangguan berkemih menunjukkan bahwa skor kegawatdaruratan
menurun secara signifikan dengan dua tindakan, yaitu obat dan terapi perilaku.
Selain itu penelitian (Nakatani, dkk 2005) tentang efektifitas terapi perilaku dan
obat fluvoxamine pada klien dengan obsesif kompulsif menunjukkan bahwa
skor menurun secara signifikan dengan dua tindakan, yaitu obat dan terapi
perilaku pada klien dengan obsesif kompulsif.
Hasil dari proses perubahan ini adalah bentuk perilaku baru yang dapat dilihat
dan diukur, yang diharapkan menetap. Perubahan perilaku ini dilihat dari
perubahan tanda dan gejala serta kemampuan dalam tindakan keperawatan.
Berdasarkan hasil yang didapat, selisih rata-rata perubahan tanda gejala
terbanyak pada klien risiko perilaku kekerasan yaitu pada aspek afektif (5.50)
dan selisih rata-rata tindakan keperawatan generalis pada klien risiko perilaku
kekarasan sebesar 6.00, dan selisih rata-rata kemampuan pada terapi perilaku
sebesar 9.83. (Burgio, dkk 2010)
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan pada BAB sebelumnya
maka dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Risiko Perilaku
Behaviour Therapy Kekerasan
Skema 2.2
Kerangka Konsep Penelitian
2.6 Hipotesa
Ha : Ada Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan
Pada Pasien Skizofrenia.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental pre-post test dengan intervensi
Behaviour Therapy pada pasien risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Daerah Provsu Medan Tahun 2019.
Pretest Posttest
01 X 02
Skema 3.1
Rancangan Penelitian
Keterangan :
X : Perlakuan
Tabel 3.1
Daftar Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Sebagai Responden
Penelitian Pada Ruang Rawat Inap Di Rumah Sakit
Jiwa Prof.Dr.Muhammad Ildrem Provsu
Medan 2019
3.2.1 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan Purposive Sampling yaitu sebanyak 13 orang yang
mengalami risiko perilaku kekerasan (hasil skrining).
3.7.5 Non-Maleficience
Penelitian ini menggunakan prosedur yang tidak menimbulkan bahaya
bagi responden dan terbebas dari rasa tidak nyaman, dalam hal ini
meyakinkan responden bahwa apabila selama penelitian berlangsung,
responden merasa tidak nyaman, kurang berkonsentrasi, kelelahan, maka
responden dapat menghentikan sementara Behaviour Therapy dan dapat
dilanjutkan kembali dengan memperhatikan kesiapan dan kondisi pasien.
Namun jika responden telah bersedia melakukan intervensi, tetapi dalam
pelaksanaan penelitiannya merasa kurang nyaman, maka responden juga
berhak berhenti menjadi responden.
3.7.6 Justice
Justice merupakan prinsip etik yang memandang keadilan dengan
memberikan keadilan bagi responden. Selama penelitian, peneliti
menerapkan prinsip etik keadilan kepada semua responden dengan cara
melibatkan semua responden untuk memperagakan apa yang telah
disampaikan oleh peneliti.
3.8 Pengolahan Data dan Analisa Data
3.8.1 Pengolahan Data
Setelah semua data pada lembar kuesioner terkumpul, maka dilakukan
pengolahan data melalui beberapa tahap yaitu :
1. Editing
Proses memeriksa data yang sudah terkumpul, meliputi kelengkapan
isian, keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban, relevansi jawaban,
keseragaman satuan data yang digunakan, dan sebagainya.
2. Coding
Peneliti memberi kode dalam bentuk angka terhadap kategori-kategori
tertentu untuk memudahkan entry data dan analisa data. Pengkodean
diantaranya Jenis Kelamin pria kode (1) dan wanita kode (2), Usia
diberi kode usia <35 tahun kode (1), usia 36-45 tahun diberi kode (2),
usia >46 tahun diberi kode (3). Pendidikan terakhir responden diberi
kode untuk Tidak Sekolah (1), SD diberi kode (2), SMP diberi kode
(3), SMU diberi kode (4), dan Perguruan Tinggi diberi kode (5).
Pekerjaan Terakhir diberi kode untuk Pelajar/Mahasiswa (1), Pegawai
Negeri diberi kode (2), TNI/Polisi diberi kode (3), Wiraswasta diberi
kode (4), Tidak Bekerja diberi kode (5). Status perkawinan diberi kode
Kawin (1), Cerai diberi kode (2) dan Tidak Kawin diberi kode (3).
Untuk respon Kognitif, Afektif, Sosial, dan Perilaku diberi 4 kategori
yaitu selalu diberi kode (4), sering diberi kode (3), jarang diberi kode
(2), tidak pernah diberi kode (1). Dari 26 pernyataan kuesioner no. 1, 2,
3, 4, 5, 6 dikategorikan pada respon kognitif, no. 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13
dikategorikan pada respon afektif, no. 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20
dikategorikan untuk respon sosial, no. 21, 22, 23, 24, 25, 26
dikategorikan untuk respon perilaku.
3. Entry
Kategori-kategori yang sudah diberi kode kemudian dimasukan
kedalam komputer untuk diolah dan di analisa.
4. Tabulating
Data yang telah di entry, kemudian dilakukan tabulasi untuk
memudahkan analisa dan interpretasi.
2. Analisa Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh Behaviour
Therapy terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia
dengan menggunakan uji statistik paired t- test. Sudah dilakukan uji
normalitas dan berdistribusi normal dengan p<0,05 dengan tingkat
signifikan 95% dan hasilnya ada pengaruh Behaviour Therapy terhadap
Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik n %
Jenis Kelamin
1 Laki-laki 13 100
Usia (tahun)
1 <30 Tahun 2 15,4
2 31-50 Tahun 9 69,2
3 >51 Tahun 2 15,4
Pendidikan
1 Tidak Sekolah 3 23,1
2 SD 8 61,5
3 SLTP 2 15,4
Pekerjaan Terakhir
1 Wiraswasta 4 30,8
2 Tidak Bekerja 9 69,2
Status Kawin
1 Kawin 3 23,1
2 Cerai 2 15,4
3 Tidak Kawin 8 61,5
Gejala Risiko
Perilaku Mean n SD SE
Kekerasan
Kognitif 18,77 13 3,193 ,885
Afektif 20,54 13 1.713 ,475
Sosial 22,77 13 1,922 ,533
Perilaku 20,31 13 1,702 ,472
Komposit 82,39 13 8,53 2,365
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat selisih antara gejala risiko perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia sebelum dan setelah dilakukan Behavior
Therapy. Hal ini diperkuat oleh nilai rata-rata dari gejala risiko perilaku
kekerasan pada pasien sebelum dan setelah mendapatkan Behavior Therapy.
Untuk respon kognitif sebelum dilakukan Behavior Therapy sebesar 18,77 dan
nilai setelah dilakukan Behavior Therapy mengalami perubahan sebesar 10,69
yang menunjukkan adanya selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy
sebesar 8,077. Untuk respon afektif sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai
sebesar 20,54 dan setelah dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar
12,00 selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy sebesar 8,538 . Untuk
respon sosial sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 22,77 dan
setelah dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 11,92 dan selisih
setelah dilakukannya Behavior Therapy sebesar 10,846. Untuk respon
perilaku sebelum dilakukan terapi didapatkan nilai sebesar 20,31 dan setelah
dilakukan terapi mengalami perubahan sebesar 9,69 selisih yang didapat
setelah dilakukannya Behavior Therapy adalah 10,615. Pada nilai komposit
menunjukkan adanya perubahan gejala risiko perilaku kekerasan sebelum
dilakukan Behavior Therapy didapatkan nilai sebesar 82,39 dan setelah
dilakukan Behavior Therapy mengalami perubahan sebesar 44,3 dan
mendapat hasil selisih setelah dilakukannya Behavior Therapy 38,076.
Tabel 4.5
Perubahan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Pasien Skizofrenia Sebelum
dan Setelah Diberikan Behavior Therapy di Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan 2019 (n = 13)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Univariat
1. Gejala Risiko Perilaku Kekerasan Sebelum Dilakukan Behavior
Therapy
Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik responden menunjukkan
bahwa 100% berjenis kelamin laki-laki. Di karenakan laki-laki lebih
senang memendam masalahnya sendiri, jika ada masalah mereka
tidak menceritakan pada yang lain. Keadaan ini jika berlarut lama
maka mereka tidak dapat mengontrol dan kehilangan kendali diri dan
akan mengekspresikannya dengan kemarahan. Hal ini hampir sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fajar Rinawati 2015) tentang
penerapan terapi perilaku spesialis keperawatan jiwa pada klien
dengan risiko perilaku kekerasan diruang Kresna Wanita RSMM
Bogor yang mengatakan bahwa responden laki-laki mengekspresikan
marah dan bangga untuk mempertahankan ke egoisan dan
menunjukkan kekuatannya. jumlah responden laki-laki adalah
sebanyak 100%
Hal ini sesuai dengan pernyataan Marquis dan Huston (2010) bahwa
tujuan dari terapi ini merupakan hasil yang diinginkan untuk
mengubah perilaku secara bertahap, yaitu mengubah satu perilaku
terlebih dahulu yang kemudian akan dilanjutkan di ruang berikutnya.
Hasil dari proses perubahan yang dilakukan adalah adanya
perubahan, yaitu perubahan perilaku. ada perubahan atau selisih dari
tanda dan gejala baik pada klien risiko perilaku kekerasan. Selain itu
Behaviour Therapy bermanfaat untuk meningkatkan produksi
serotonin. Serotinin ini berkaitan dengan mood seseorang.
Berdasarkan hasil uji statistik Paired T-test data pre test dan post test
skor perubahan gejala risiko perilaku kekerasan dengan nilai pvalue
0,000 p= 0,05. Dengan nilai pvalue 0,000 p= 0,05 maka Ha diterima
yang artinya terdapat pengaruh Behaviour Therapy Terhadap
Perubahan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan antara sebelum dan
setelah Behaviour Therapy Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. M Ildrem Provsu Medan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan terhadap perubahan gejala risiko perilaku kekerasan antara
sebelum dan setelah Behaviour Therapy pada pasien skizofrenia. Hal
ini dapat dilihat dari nilai rata-rata gejala risiko perilaku kekerasan
sebelum dilakukan terapi dengan nilai respon kognitif 18,77 dan nilai
setelah terapi sebesar 10,69. Untuk nilai respon afektif sebelum terapi
sebesar 20,54 dan nilai setelah sebesar 12,00. Untuk nilai respon
sosial sebelum terapi sebesar 22,77 dan nilai setelah terapi sebesar
11,92 dan untuk nilai respon perilaku sebelum terapi sebesar 20,31
dan nilai setelah 9,69. Untuk nilai komposit sebelum terapi sebesar
82,39 dan nilai setelah sebesar 44,3.
5.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah :
5.2.1 Bagi Responden
Diharapkan kepada responden jika mengalami kekambuhan agar dapat
mengatasi secara mandiri dengan cara mengenal perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan, mencegah perilaku kekerasan secara fisik,
interaksi sosial asertif, mencegah dengan cara spiritual, dan patuh
minum obat.
Amila. & Tomey, A.M. (2018). Nursing Theories And Their Work. Missouri: Mosby
Elsevier.
Baradero, L. A., Sevier, M., & Christensen, A. (2013). The Impact Of Behavioral
Couple Therapy On Attachment In Distressed Couples. Journal Of Marital
And Family Therapy.
Bowers, L., Douzenis, A., Galeazzi, G. M., Forghieri, M., Tsopelas, C., Simpson, A.,
& Allan, T. (2005). Disruptive And Dangerous Behaviour By Patients On
Acute Psychiatric Wards In Three European Centres. Social Psychiatry And
Psychiatric Epidemiology, 40 (10).
Burgio, K. L., Kraus, S. R., Borello-France, D., Chai, T. C., Kenton, K., Goode, P. S.,
. . . Kusek, J. W. (2010). The Effects Of Drug And Behavior Therapy On
Urgency And Voiding Frequency. International Urogynecology Journal,
21(6), 711-9.
Corey, G., 2009 Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Pt Refika
Aditama
Direja, A H.S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
Folsom, E.A. (2009). Physical And Mental Health-Related Quality Of Life Among
Older People With Schizophrenia. Schizoprenia Research 108 (2009)
P.207-213. In Science Direct.
Hawari. D., (2012) Manejemen Strest, Cemas Dan Depresi Jakarta: Balai Penerbit
Fkui
Hartono, D. R., Cannity, K., Mcindoo, C. C., File, A. A., Ryba, M. M., Clark, C. G.,
& Bell, J. L. (2012). Behavior Therapy For Depressed Breast Cancer Patients:
Predictors Of Treatment Outcome. Journal Of Consulting And Clinical
Psychology, 83(1),
Hastuti, R. Y., & Setianingsih, S. (2016). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy
Pada Klien Dengan Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan Dan Halusinasi
Di Rsjd Dr. Rm Soedjarwadi Klaten. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 7-12.
Heslin, K.C & Weiss, A. J. (2015). Statistical Brief 189; Hospital Readmissions
Involving Psychiatric Disorders, 2012. Agency For Healthcare Research And
Quality.Https://Www.Hcupus.Ahrq.Gov/Reports/Statbriefs/Sb 189-Hospital-
Readmissions-Pscychiatric-Disorder-2012.Jsp.
Kaplan & Sadock. (2010). Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 1.
Tangerang : Binarupa Aksara.
Keliat, B.A. & Akemat. (2016). Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok.
Ed.2. Egc.
Kirana,N. Dkk. (2014). Efektifitas Senam Aerobic Low Impact Terhadap Aggression
Self Control Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1, No 2 (2014)..
Madzhab M.Y (2009). Buku Saku Psikoterapi Ii, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Maramis, W.F., (2011). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Air langga
University Press
Martha A. (2013). Nursing Theories And Their Work. Missouri: Mosby Elsevier.
Madayanty, P. D., Whittal, M. L., Thordarson, D. S., Taylor, S., Söchting, I., Koch,
W. J., . Anderson, K. W. (2014). Cognitive Versus Behavior Therapy In The
Group Treatment Of Obsessive-Compulsive Disorder. Pengaruh Behaviour
Therapy Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan Di Rsj Provinsi Dr. Amino Gondohutomo Jawa Tengah,
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori Dan Aplikasi). Yogyakarta:
Andi.
Nakatani, E., Dkk. (2005). A Randomized Controlled Trial Of Japanese Patients With
Obsessive-Compulsive Disorder - Effectiveness Of Behavior Therapy And
Fluvoxamine. Retrieved From
Nasir, A. & Muhith, A. (2011). Dasar Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Pangesti. Skizofrenia. Dalam: Elvira Sd, Penyunting. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; (2015).
Pardede, J. A., Sirait, D., Riandi, R., Emanuel, P., & Laia, R. (2016). Ekspresi Emosi
Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Idea Nursing
Journal, 7(3), 53-61.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamental Of Nursing: Concept, Process, And
Practice. Mosby Year Book, Inc. (2010). Fundamental Keperawatan. Buku 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Polit & Beck. (2012). Resource Manual For Nursing Research. Generating And
Assessing Evidence For Nursing Practice. Ninth Edition. Usa : Lippincont.
Resti, V., Cetina, I., & Orzan, G. (2014). Key Factors That Influence Behavior Of
Health Care Consumer, The Basis Of Health Care Strategies. Contemporary
Readings In Law And Social Justice, 4(2), 992-1001. Retrieved From
Rhoads, J. (2011). Clinical Consult For Psychiatric Mental Health Care. New York
Springer Publishing Company.
Riyanti, V., Cetina, I., & Orzan, G. (2012). Key Factors That Influence Behavior Of
Health Care Consumer, The Basis Of Health Care Strategies. Contemporary
Readings In Law.
Rinawati, Fajar. Penerapan Terapi Perilaku Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Klien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan Pendekatan Teori Johnson
Dan Teori Lewin. Jurnal Ilmu Kesehatan, 2017, 4.1: 67-72.
Sadock, B.J., Kaplan, Harold.I. & Sadock, V.A. (2013). Kaplan And Sadock’s
Sypnosis Of Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry :
Lippincott Williams & Vilkins.
Saragih, S. Dkk. (2014). Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluaga Tentang
Perawatan Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Rumah. Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1, No 1 Februari 2014.
Semple & Smyth. (2013). Oxford Handbook Of Psychiatry. 3rd Penyunt. Oxford:
Oxford University Press
Surhajo. (2003). Sources Of Stress And Burnout In Acute Psychiatric Care: Inpatient
Vs. Community Staff. Social Psychiatry And Psychiatric Epidemiology
Suryanti, K. (2014). Referral Rates To Psychotherapy For Individuals With
Developmental Disabilities And Mental Illness (Order No. 3621969).
Available From Proquest Dissertations & Theses Global. (1548006465).
Retrieved From
Sulistowati D N.D., Keliat, B.A Dan Wardani. I.Y., (2012) Pengaruh Acceotance
Comitment Therapy Terhadap Gejala Dan Gejala Dan Kemampuan Klien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 2
Nomor 1. Diakses Tanggal 8 November 2017
Sutedjo. (2017). Konsep Dan Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa : Gangguan Jiwa
Dan Psikososial. Yogyakarta. Pb
Suryanti., Cannity, K., Mcindoo, C. C., File, A. A., Ryba, M. M., Clark, C. G., &
Bell, J. L. (2018). Behavior Therapy For Depressed Breast Cancer Patients:
Predictors Of Treatment Outcome. Journal Of Consulting And Clinical
Psychology
Utama S.L. (2014). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th Ed. China: Wolters
Kluwer.
WHO., (2016). The World Health Report (2016). World Health Organization.
Widya, P. D., Whittal, M. L., Thordarson, D. S., Taylor, S., Söchting, I., Koch, W. J.,
. . . Anderson, K. W. (2001). Cognitive Versus Behavior Therapy In The
Group Treatment Of Obsessive-Compulsive Disorder. Journal Of Consulting
And Clinical Psychology,
Widyastini, B.I. Dkk (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok : Stimulasi
Persepsi Sesi I – V Terhadap Kemampuan Mengontrol Dan Mengekspresikan
Marah Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Rsjd Dr. Amino
Gondohutomo Semarang. Jurnal Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan Vol 1
No.1 2014.