Anda di halaman 1dari 21

Peritonitis

Dokter Pembimbing
Dr. Ali Reza, SpB

Disusun Oleh
Caecilia Ayu Putri wulandari (112017149)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 8 Juli– 14 September 2019

1
Pendahuluan
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun
generalisata, infeksius ataupun steril (kimia dan mekanik). Peradangan peritoneum dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. 1
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-
kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis. 2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, infeksi
tuba fallopi, rupture kista ovarium, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. 1,3
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 3

Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput
peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.1,9 Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, infeksius ataupun steril (kimia dan mekanik). Rangsangan patologis pada
peritoneum yang disebabkan mikroba mengakibatkan peritonitis infeksi. Rangsangan payologis
yang di sebabkan jejas kimia atau mekanik mengakibatkan peritonitis steril.1

2
Anatomi dan fisiologi
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-
kecilan. Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum
terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal
dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ yang berada di dalam rongga itu. Ruang
yang bisa lerdapat di antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum.
Normalnya terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan
peritoneum tetap licin. Pada orang laki-laki peritoneum berupa kantong tertutup; pada orang
perempuan saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga peritoneum. 4

Gambar 1 : anatomi peritoneum (5)

3
Gambar 2 : anatomi peritoneum (6)

Lapisan peritonium dibagi menjadi 2, yaitu:


1. Lapisan yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis
2. Lapisan yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.1

Pada beberapa tempat, peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati peritoneum dorsal
dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-
alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah dorsal peritoneum sehingga disebut
retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga
yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian:
1. Duodenum terletak retroperitoneal
2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut
mesocolon transversum;

4
5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum;
caecum terletak intraperitoneal;
6. Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium.7
Dengan demikian, Sebuah organ dikatakan intraperitoneal kalau hampir seluruh organ
tersebut diliputi oleh peritoneum visceral. Gaster, jejunum, ileum, dan lien merupakan contoh
organ-organ intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak dibelakang peritoneum dan
hanya sebagian diliputi oleh peritoneum visceral. Pankreas, ginjal, rectum, colon asendens, dan
colon desendent merupakan contoh organ retroperitoneal.5,7

Gambar 3 : Anatomi peritoneum (8)

Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan peritoneum visceral disarafi oleh
cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon
terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan
rasa nyeri dan temperature.4 Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas

5
organ intraperitoneum. Menutupi sebagian besar dari organ-organ abdomen dan pelvis,
membentuk perbatasan yang halus yang memungkinkan organ saling bergeseran tanpa ada
penggesekan.4

Klasifikasi dan Etiologi


Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena porta
pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum, misalnya
kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis1,3

Peritonitis diklasifikasikan menjadi:


A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan
empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan
peradangan.1,2,9

B. Menurut sumber kuman


1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara
hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau
nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada
rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh
bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram
positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus).1,2,9
Peritonitis primer dibedakan menjadi:

6
 Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman
tuberkulosa.
 Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya adalah:
 invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus genitourinarius
ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi
kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
 Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
 Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.1,2,9
3.Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme
yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative
bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya
cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula1,2,9

Patogenesis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat
mengakibatkan obstuksi usus. 3
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

7
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 9
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. 9
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. 9
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 3

Diagnosis

 Anamnesis
Dari anamnesis, dapat di temukan beberapa gejala sebagai berikut :
- Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita
dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen. 1,9
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak
ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi
dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.9

8
- Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40OC.9

 Pemeriksaan fisik
- Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.7,9
- Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.9
- Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper
tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara
borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara
perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.9

9
- Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat
nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung
pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok
orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan
biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas
atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya.
Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses
inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau
dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat
hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.9 Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.7,9
- Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang
berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda
9
awal dari peritonitis. Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ
berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma,
sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.9

10
 Pemeriksaan Penunjang
- laboratorium
 Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana
dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus
peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali
pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat
infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.3
 Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan
yang nyata.3
 Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi
hepar dan ginjal dapat dilakukan.3

- Pemeriksaan radiologi

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi.


1) Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Ditambah dengan foto thoraks duduk atau setengah duduk.10

Interpretasi dari gambaran radiologi yaitu berdasarkan cairan dan kadar gas pada
usus dan pola mukosanya. Tanda utamanya yaitu :

1) Retensi dari gas dan fluid level di usus kecil dan usus besar.
2) Tanda-tanda inhibisi, penurunan pergerakan usus.
3) Perubahan pola mukosa, edema usus.
4) Perkaburan dari “flank stripe,” retroperitoneal fat

11
5) Pertanda retiuklasi pada lemak subkutan
6) Terbatasnya pergerakan diafragma
7) Perubahan sekunder pada paru dan pleura.11

Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau
karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :
1) Posisi supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2) Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
3) Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan
dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma.7,8

Gambar 4 : Posisi erect. Udara bebas di sub-diafragma pada foto radiologi (12)

12
Gambar 5 : Posisi lateral decubitus. Terdapat udara bebas antara dinding abdomen dan liver
(panah putih). Dan juga cairan bebas pada peritoneum (panah hitam) (12)

Gambar 6 : Rigler’s sign, foto radiologi abdomen yang terlihat ketika terdapat
udara pada dua sisi dari usus.(13)

13
Gambar 7 : foot ball sign. Berbentuk oval, biasanya pada bayi(13)

Gambar 8 : Falciform ligament sign. Radiografi abdominal posisi supine pada pasien
menunjukkan adanya udara di ruang subphrenic bilateral dan kepadatan linear pada bagian
ventral.(13)

14
Gambar 9 : triangle sign. Udara bebas yang terperangkap di antara 3 loop usus.(13)

Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.

Penanganan Preoperatif

 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian volume
dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga
produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole
Blood).1,3,9

15
Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang. Secara
teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan
ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan
jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.1,3,9 Suplemen kalium
sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah
diprodukasi.9

 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang
tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting
dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman
aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.3,9
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung
sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah
didapatkan hasil dari uji sensitivitas.3,9
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar
kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada
tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.3,9
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.
Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.
Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram
negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.3,9
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.3,9 Antibiotik awal yang

16
digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin
untuk organisme anaerob.9
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan
terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat
berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-
hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih
yang normal.1,3,9

 Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan,
karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi,
adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-
kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai
dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.3,9

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali
fosfatase dan urinalisis.3,9

Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,
reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorisasi. Prosedur operasi yang spesifik
tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan

17
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat
irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.9

 Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur
cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah
memasuki kavum peritoneum.3,9

 Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan
lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.3,9

 Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan
cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering
dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang

18
dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat
mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase
berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan
untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.3,9

Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan
mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-
14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi
urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi
sekunder.3,9

Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal
dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten,
edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan
indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ
yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.3

Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal
pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada
usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis
lebih awal.3

19
Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah
perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-
tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi
hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena
iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi
dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan
organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Daley. J. B. 2015. Peritonitis And Abdominal Sepsis. University Of Tennessee Health


Science Center College Of Medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
2. Schrock. T. R. 2000. Peritonitis Dan Massa Abdominal Dalam Ilmu Bedah, Ed.7. Jakarta :
Egc.
3. Wilson. L. M., Lester. L .B. 1995. Usus Kecil Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Ed.4. Alih Bahasa Dr. Peter Anugrah, Jakarta : Egc.
4. Pearce, Evelyn. C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Pt.Gramedia
Pustaka Utama.
5. The peritoneum. http://teachmeanatomy.info/abdomen/areas/peritoneum/
6. Levy, Angela D. 2009. Peritoneum and mesentery, Part I anatomy. Department Of
Radiologic Pathology, Armed Forces Institute Of Pathology, Washington Dc Associate.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p4a252c5303035/peritoneum-and-mesentery-part-i-
anatomy.html
7. Mansjoer , Arif, Dkk. 2000. Bedah Digestif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit Fkui.
8. R Mike. 2012. Rad potioning test 3. https://www.studyblue.com/notes/note/n/rad-
positoning-test-3/deck/3947471
9. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C. 2000. Peritonitis Dan Abces
Intraabdomen Dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6. Jakarta : Egc.
10. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. 1999. Abdomen Akut, Dalam Radiologi Diagnostik,
P 256-257, Jakarta : Gaya Baru.
11. Dahl, Friman. J. 1960. Roentgen Examination Acute Abdominal Diseases. Usa : Charles C
Thomas.
12. Introduction to abdominal radiography pneumoperitoneum.
http://www.swansea-radiology.co.uk/tm_abdominal_radiograph_pneumoperitoneum.html
13. Jones J, Weekrakody Y. Pneumoperitoneum.
http://radiopaedia.org/articles/pneumoperitoneum

21

Anda mungkin juga menyukai