Anda di halaman 1dari 4

Sapi Belgian Blue (BB) merupakan salah satu bangsa sapi Bos

taurus yang telah dikembangkan di Belgia sejak tahun 1850 (Purchas dkk,
1992). Sapi BB memiliki sifat otot ganda atau double muscling atau dalam
bahasa medis disebut muscular hypertrophy yang disebabkan karena terjadi
delesi 11 nukleotida di bagian ekson 3 pada gen myostatin (McPherron dan
Lee, 1997). Hasil persilangan antara sapi BB dengan Friesian Holstein (FH)
memiliki rata-rata berat potong sebesar 533 kg dengan persentase karkas
sebesar 56,70% (Purchas dkk, 1992). Sapi persilangan BB pertama kali
dikembangkan di Indonesia pada tahun 2013 oleh PT. KAR melalui teknik
inseminasi buatan (IB) menggunakan induk sapi Sumba Ongole (SO).
Pengembangan sapi BB dilakukan juga oleh Balai Embrio Ternak (BET)
Cipelang, provinsi Jawa Barat. Dilansir dari majalah Infovet edisi Maret
2017 disebutkan bahwa pada tanggal 30 Januari 2017 telah lahir sapi BB
jantan hasil embrio transfer embrio pertama di Indonesia yang diberi nama
“Gatotkaca” dengan berat lahir 62,5 kg (Putra,2017).

Menurut Stewart et al (2011) dalam tulisan Kadokawa et al (2012),


pada sebuah studi baru-baru ini selain dengan IB (Inseminasi Buatan),
Embrio Transfer IVP segar menggunakan semen yang diurutkan
berdasarkan jenis kelamin untuk menyusui sapi perah selama musim panas
meningkatkan persentase sapi yang menghasilkan kehamilan dan yang
melahirkan sapi hidup dibandingkan dengan sapi yang dibiakkan oleh AI
dengan semen konvensional.
Dalam produksi ternak, kinerja reproduksi yang baik sangat
penting untuk manajemen dan produksi yang efisien secara keseluruhan,
meskipun target reproduksi spesifik mungkin tergantung pada kondisi lokal
dan sistem serta target pertanian individu. Oleh karena itu, akan sangat
membantu untuk memberi tinjauan singkat tentang berbagai sistem produksi
ternak, agar mencapai persyaratan dan pentingnya efisiensi reproduksi
dalam keberhasilannya (Ball dan Pieters, 2004).
Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Persediaan
dan permintaan daging di Indonesia terjadi kesenjangan. Kebutuhan atau
permintaan akan daging jauh lebih besar daripada ketersediaan daging
dalam negeri. (Riyanto et al., 2015).

Produksi daging sapi di Indonesia pada tahun 2017 diproyeksikan


sebesar 531,21 ton sedangkan permintaan daging sapi pada tahun yang sama
diproyeksikan sebesar 636,39 ton (Kementan RI, 2016). Berdasarkan data
tersebut terlihat bahwa masih terdapat kekurangan produksi sapi sebesar
105,18 ton. Kekurangan produksi daging sapi di Indonesia antara lain
disebabkan oleh rendahnya produktivitas ternak. Lebih dari 90% pasokan
daging sapi di Indonesia berasal dari peternakan rakyat yang sistem
pemeliharaannya masih ekstensif tradisional (Widiati, 2014) sehingga
pertumbuhan produksi daging sapi belum dapat memenuhi permintaan
nasional (Putra,2017).

Menurut Putra (2017), produksi daging sapi di Indonesia dapat


ditingkatkan dengan cara memproduksi bibit sapi potong unggul melalui
teknik persilangan ternak. Persilangan pada sapi di Indonesia umumnya
dilakukan melalui IB dengan mengunakan straw dari bangsa sapi Bos taurus
(sapi eksotik). Hasil persilangan antara sapi eksotik dan sapi lokal di
Indonesia menunjukkan performa yang baik dan bernilai ekonomi tinggi,
sehingga disukai oleh peternak. Sapi BB memiliki potensi yang besar untuk
menghasilkan bibit sapi potong unggul di Indonesia. Sapi BB banyak
disilangkan dengan sapi FH di beberapa negara untuk menghasilkan tipe
sapi potong yang baik (Purchas dkk, 1992). Persilangan pada sapi BB di
Indonesia sebaiknya dilakukan di perusahaan peternakan yang telah
memiliki standar good breeding practice yang baik agar dapat diperoleh
bibit sapi potong yang baik.

Menurut Ball dan Pieters (2004), di beberapa negara, terutama


pada daerah tropis, sebagian besar produksi ternak dapat digambarkan
sebagai multi-guna, dengan menggunakan sapi untuk menghasilkan susu,
daging, pakaian, pupuk, bahan bakar, tenaga listrik bahkan untuk bentuk
mata uang . Namun, sebagian besar, produksi ternak dapat dibagi menjadi
dua sektor, yaitu produksi susu dan produksi daging sapi. Di banyak daratan
Eropa (tidak termasuk Perancis) dan negara-negara berkembang, sapi yang
sama digunakan sebagai sumber daging dan susu karena mempunyai 'tujuan
ganda'.
Untuk memenuhi kebutuhan daging, perlu dilakukan usaha
peningkatan kemampuan reproduksi ternak sapi. Penampilan reproduksi
yang diamati antara lain melalui sistem perkawinan, umur pertama
dikawinkan, umur penyapihan pedet, service per conception (S/C), umur
pertama beranak, dan calving interval (CI) (Desinawati dan Isnaini, 2010),
post partum estrus (PPE), post partum matting (PPM), dan days open (DO)
(Leksanawati, 2010) serta lama kebuntingan (Bestari et al., 1999).
Penampilan reproduksi dapat digunakan untuk menghitung waktu siklus
perkembangbiakan ternak yang ada dapat digunakan untuk memperkirakan
populasi ternak di masa yang akan datang. Kabupaten Karanganyar
(Riyanto et al., 2015).

Salah satu kegiatan atau strategi yang dapat dilakukan untuk


mengatasi kebutuhan konsumsi daging selain melalui impor adalah dengan
melakukan kegiatan pengembangbiakan sendiri dengan cara inseminasi
buatan (IB) menggunakan semen beku sapi eksotis, sehingga diharapkan
dari kegiatan IB tersebut akan mendapatkan sapi bakalan yang baik dan
berkelanjutan. Wahyudi et al. (2014) mengatakan bahwa IB sebagai salah
satu teknologi yang diperkenalkan kepada peternak, merupakan suatu
program yang ditujukan untuk memperbaiki mutu genetik ternak, sehingga
diharapkan mampu meningkatkan produksi ternak lokal terutama dalam
penyediaan daging sapi (Aji et al., 2017).

Untuk proses reproduksi ternak, meskipun pengenalan breed yang


beradaptasi secara tropik tidak selalu layak untuk melakukan reproduksi,
ada kemungkinan bahwa pemilihan thermotolerance dalam suatu breed
dimungkinkan. Perkiraan heritabilitas suhu dubur berkisar antara 0,25
hingga 0,66 (Finch, 1986 dalam tulisan Kadokawa et al., 2012).
Salah satu ciri dari makhluk hidup adalah berkembang biak atau
melakukan reproduksi. Reproduksi melibatkan suatu sistem di dalam tubuh,
yaitu sistem reproduksi, termasuk organ-organ reproduksi. Organ organ
reproduksi seperti ovarium, tuba fallopii, uterus pada betina dan testis
sebagai organ utama reproduksi . meskipun organ-organ reprodiksi bukan
merupakan organ vital (sebagai contoh, jika organ reproduksi seperti testis
atau ovarium diambil, hewan tersebut masih dapat bertahan hidup), namun
sekali lagi bahwa keberadaan organ reproduksi penting untuk
mempertahankan eksistensi dari hewan tersebut (Nugroho, 2015).

Anda mungkin juga menyukai