Oleh :
KEPANITERAAN KLINIK
RSUD ARJAWINANGUN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. S
Umur : 22 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Cipanas
Tanggal MRS : 30 Juni 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam naik turun selama 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Mimisan (+), mual (+), muntah (+) 3x/hr
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki usia 22 tahun dibawa ke IGD RSUD Arjawinangun
dalam keadaan komposmentis oleh keluarganya dengan keluhan demam
naik turun sejak 2 hari SMRS (30 Juni 2019). Pasien mengalami mimisan
tadi malam dengan jumlah sedikit dan cepat berhentinya. Gusi berdarah (-),
muntah darah (-). Pasien merasakan mual dan muntah sebanyak 3x/hr,
muntah berisi ampas, tidak ada darah, dan jumlahnya tidak terlalu banyak.
Pasien juga mengeluh pusing, lemas dan badan terasa pegal sejak kemarin
serta nafsu makan yang menurun. BAB dan BAK dalam batas normal, BAB
hitam (-). Pasien mengatakan bahwa demam timbul setelah pasien
menghabiskan waktu di kebun dari siang hingga malam hari. Pasien belum
pernah mendapatkan pengobatan untuk keluhan yang dirasakan pasien.
1
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah merasa keluhan seperti ini dulu sekitar 1 tahun
yang lalu, namun tidak sampai dirawat di rumah sakit.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-Tanda Vital:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 111 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 39,5°C
SpO2 : 99%
Pemeriksaan umum
Kulit : Kuning langsat, tidak pucat
Kepala : Tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan sinus
Mata : Conjungtiva anemis +/+, ikterus -/-
Leher : Kelenjar tiroid normal, deviasi trakea (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus kordis
2
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea midclavicularis dextra
Batas jantung kiri IC V linea parasternalis sinistra
Batas pinggang jantung ICS III liner miclavicularis
sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi :Normal (+), Simetris (+), diameter transversal dan
anteroposterior 2:1, retraksi (-), hematom (-), sikatrik (-)
Palpasi : Fremitus taktil dan vocal kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Thorax depan Wheezing (-/-) dan Ronki (-/-)
Thorax Belakang Wheezing (-/-) dan Ronki (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Normal (+), tidak ada massa, sikatrik, tidak licin
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak ada massa,
tidak ada organomegali
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+)
3
MCH L 18.9 Pg 26-34 Flowcytometri
MCHC L 31.5 g/dL 32-36 Flowcytometri
RDW 14.2 % 11.5-14.5 Flowcytometri
MPV 7.7 fL 7.0-11.0 Flowcytometri
Hitung Jenis (diff)
Segmen 76.6 % 28.0-78.0 Flowcytometri
Limfosit L 23.9 % 25-40 Flowcytometri
Monosit H 12.4 % 2-8 Flowcytometri
Eosinofil 3.9 % 2-4 Flowcytometri
Basophil 1.0 % 0-1 Flowcytometri
Luc 0 % 3-6 Flowcytometri
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu H 148 Mg/Dl 75-140 GHOD- PAP
4
Pemeriksaan Darah Lengkap (02/07/19) / (08:32:49)
5
Leukosit L 2.3 10^3/uL 3.8-10.6 Flowcytometri
Trombosit L 60 10^3/uL 150-440 Flowcytometri
Hematokrit L 34.9 % 40-52 Flowcytometri
Eritrosit 5.77 10^6/uL 4.4-5.9 Flowcytometri
MCV L 60.5 fL 80-100 Flowcytometri
MCH L 17.6 Pg 26-34 Flowcytometri
MCHC L 29.1 g/dL 32-36 Flowcytometri
RDW 13.7 % 11.5-14.5 Flowcytometri
MPV L 6.7 fL 7.0-11.0 Flowcytometri
Hitung Jenis (diff)
Segmen 44.8 % 28.0-78.0 Flowcytometri
Limfosit H 42.2 % 25-40 Flowcytometri
Monosit H 12.3 % 2-8 Flowcytometri
Eosinofil 4.7 % 2-4 Flowcytometri
Basophil 0.3 % 0-1 Flowcytometri
Luc 0 % 3-6 Flowcytometri
6
Luc 0 % 3-6 Flowcytometri
7
Hematokrit L 31.9 % 40-52 Flowcytometri
Eritrosit 5.31 10^6/uL 4.4-5.9 Flowcytometri
MCV L 60.1 fL 80-100 Flowcytometri
MCH L 18.8 Pg 26-34 Flowcytometri
MCHC L 31.3 g/dL 32-36 Flowcytometri
RDW 13.8 % 11.5-14.5 Flowcytometri
MPV 7.8 fL 7.0-11.0 Flowcytometri
Hitung Jenis (diff)
Segmen 35.3 % 28.0-78.0 Flowcytometri
Limfosit H 46.9 % 25-40 Flowcytometri
Monosit H 14.3 % 2-8 Flowcytometri
Eosinofil 1.8 % 2-4 Flowcytometri
Basophil 1.8 % 0-1 Flowcytometri
Luc 0 % 3-6 Flowcytometri
IV. RESUME
a. Subjektif
8
Pemeriksaan umum
Mata : Conjungtiva anemis +/+
Cor : Bentuk dan ukuran normal (+) S1S2 tunggal, regular dan
murmur (-)
Pulmo : Simetris (+), retraksi (-), dan Thorax depan dan belakang
Wheezing (-/-) dan Ronki (-/-)
Abdomen : Tidak ada nyeri tekan, bising usus (+)
V. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Hemorrhagic Fever grade II + Anemia Mikrositik Hipokrom
VI. PENATALAKSANAAN
1. Rencana Terapi:
a. Rehidrasi 7 cc/KgBB per 4 Jam dilanjut dengan RL 20 tpm
b. Inj Omeprazol 2 x 1 amp
c. Inj Ondansentron 3 x 1 amp
d. PCT 4 x 500 mg drip
e. Ceftriaxone 1 x 1 gr
f. Sanfuliq 3 x 1 tab PO
2. Rencana Monitoring :
a. Tanda-tanda vital
b. Keluhan
Follow up (01/06/2019)
S : Demam sudah berkurang, sakit kepala berdenyut di bagian kanan (+), mual
(+) muntah (+) 5x/hr berisi ampas, lemas (+), sudah tidak mimisan, nafsu
makan menurun (+). BAB cair 2x/hr. BAK dbn
O : Keadaan umum TSS
Kesadaran CM
9
TD : 110/80
Nadi : 85
RR : 20
Suhu : 38.6°C (Demam hari ke 3)
SPO2 : 38.6%
A : Obs Febris H3
Dengue Hemorrhagic Fever
Anemia
P : Anjuran cek DL ulang. Tambahan obat OMZ 2x1, PCT drip 4 x 500, RL/
6 jam, Rehidrasi 1000 cc, Ceftriazone 1 x 1 gr, Ondansentron 3 x 1 amp
Follow up (02/06/2019)
S : Demam sudah berkurang, namun masih naik turun. Sakit kepala berdenyut
sudah berkurang. Mual (+) muntah (+) 2x/hr berisi ampas, sudah berkurang.
Nafsu makan menurun (+). BAB BAK dbn.
O : Keadaan umum TSS
Kesadaran CM
TD : 90/60
Nadi : 87
RR : 22
Suhu : 38.3°C (Demam hari-4)
SPO2 : 99%
A : DHF dd TF
Anemia
P : Cek Darah lengkap, cek IgM IgG Dengue. Tatalaksana lanjut, dengan
tambahan sanfulit 3 x 1 P
Follow up (03/07/2019)
S : Mual (+), muntah (+) 1x/hr berisi ampas. Nafsu makan menurun (+), BAB
terakhir kemarin, BAK dbn. Lemas (+)
O : Keadaan umum TSS
10
Kesadaran CM
TD : 100/70
Nadi : 74
RR : 20
Suhu : 36,8°C (Bebas Demam hari ke-1)
SPO2 : 99%
A : DHF grade II
Anemia mikrositik hipokrom
P : Cek DL/ 12 jam, pemberian cairan 7cc/KgBB selama 4 jam, terapi lanjut
Follow up (04/05/2019)
S : Mual (+) muntah (-), lemas (+), sakit kepala berdenyut (+), nafsu makan
meningkat, BAB BAK dbn. Mimisan (-), gusi berdarah (-)
O : Kesadaran CM
TD : 110/70
Nadi : 68
RR : 20
Suhu : 36,6°C (Bebas demam hari ke-2)
SPO2 : 99%
A : DHF grade II
Anemia
P : Rehidrasi 7cc/KgBB / 4 jam. Target trombosit > 50.000, terapi lain
lanjut
Follow up (05/07/2019)
S : Mual (-), muntah (-), Nafsu makan meningkat, sudah mau makan dan
minum dalam porsi sedikit, sakit kepala (-), sudah tidak ada keluhan
O : Kesadaran CM
TD : 110/70
Nadi : 72
RR : 20
11
Suhu : 36,6°C
SPO2 : 97%
A : DHF gr. II
Anemia
P : Sudah ada perbaikan, trombosit >50.000, Keluhan awal sudah teratasi.
Pasien pulang.
12
BAB II
PENDAHULUAN
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
3.1.2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat dan
karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar bias hingga 35
per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue
terjadi melalui vector nyamuk genus aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus).
Peningkatan kasus setiap tahunnya disebabkan oleh dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejan ayang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas dan tempat penampngan air lainnya). Beberapa faktor lainnya
berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu :
1. Vektor
Perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di
lingkungan, transportasi vector dari tempat satu ketempat lainnya.
2. Pejamu
Terdapatnya penderita di lingkungan atau keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan kelamin.
3. Lingkungan
Curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (IPD, 2014).
15
3. Sakit dan nyeri
4. Uji torniket positif
5. Lekopenia
6. Adanya tanda bahaya, antara lain: Nyeri perut atau kelembutannya,
Muntah berkepanjangan, Terdapat akumulasi cairan, Perdarahan
mukosa, Letargi, lemah, Pembesaran hati > 2 cm, Kenaikan hematokrit
seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat Dengue dengan
konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak
jelas)
Kriteria dengue berat :
a. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi
cairan dengan distress pernafasan.
b. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
c. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran,
gangguan jantung dan organ lain)
3.1.3. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm tediri dari asam ribonukleat arantai tunggal dengan
berat molekul 4x106. Dengue Virus (DENV) adalah virus yang ditularkan oleh
nyamuk milik keluarga Flaviviridae. Ada 4 serotipe DENV (DENV-1 hingga
DENV-4) yang menyebabkan penyakit pada manusia, penularan melalui vektor
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD merupakan konsekuensi paling
serius dari infeksi DENV.
Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa kedua faktor virus dan host
dapat berkontribusi pada patogenesis penyakit ini, termasuk antigen virus protein
Nonstruktural 1 (NS1) dan antibodinya, variasi dan virulensi virus, RNA
subgenomik, antibody-dependent enhancement (ADE), dan memori reaksi silang
dari sel T. Penelitian lebih lanjut tentang patogenesis DBD dapat memberikan target
baru untuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi dengue.
16
3.1.4. Patogenesis
17
imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon imun spesifik bekerja
(Baratawidjaja, 2009). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi
sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus.
Dimulailah mekanisme respon imun spesifik. Sel T yang diaktifasi adalah T CD4+
. T CD4+ ini akan mengaktifasi Th2 untuk membentuk antibodi lagi sehingga
meningkatkan opsonisasi dan aktivasi komplemen. T CD4+ juga mengaktifkan
Th1 yang akan mengaktifkan T CD8+ melalui presentasi oleh molekul MHC-1.
CD8+ ini bersifat sitotoksik dan menghancurkan peptida virus. Th1 akan
melepaskan IFN-γ, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-
6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsang monosit melepaskan TNF-α, IL-
1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1.
IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ. Pada jalur
komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen
sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah
histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-α, IFN-
γ, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001; Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-α, dan IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga
timbul demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF-
α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang
pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah
spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus
callosum lamina terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus
III dan merupakan sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive
neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel
memproduksi serta melepaskan PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi
perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk
akan berdifusi ke dalam hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive
neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set
pointyang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil (Kresno, 2001;
Abdoerrachman, 2002).
18
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala
lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan
sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari
kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel
adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke
hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan
(Luheshi et al., 2000).
IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten,
menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik
seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat,
muntah, dan somnolen (Soedarmo, 2002).
Pola demam pada demam berdarah adalah demam bifasik yang
menunjukkan suatu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback
fever pattern, atau saddleback fever).
19
Pola demam yang bifasik seperti ini dikarenakan adanya respon imun dari
serangan virus dengue. Seperti penjelasan diatas, pada awal infeksi, viremia
menyebabkan demam tinggi karena adanya sitokin yang dihasilkan oleh respon
imun akibat virus yang masuk. Virus dengue ini setelah beredar didalam darah akan
difagosit oleh makrofag. Virus ini menggunakan makrofag sebagai tempat
replikasinya. Selama melakukan replikasi virus terhindar dari respon imun,
sehingga respon imun dan sitokin yang dihasilkan berkurang dan demam mulai
turun. Saat proses replikasi selesai, virus dengue akan siap dikeluarkan lagi melalui
lisis sel, sehingga respon imun mulai meningkat lagi dan menghasilkan sitokin,
sehingga terjadilah demam. Demam yang meningkat lagi suhunya tidak setinggi
diawal infeksi, hal ini dikarenakan karena sudah terbentuknya antibodi tubuh
spesifik virus. Sehingga pada saat virus keluar dan menyerang lagi, tubuh sudah
dapat mengkompensasi serangan virus tersebut untuk menetralisirnya. Selain
demam ada hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan pada fase demam bifasik
ini, yaitu adanya kebocoran plasma yang menjadi masalah serius dalam penanganan
demam berdarah.
20
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1).
Supresi sumsum tulang, 2). Destruksi pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan itu akan terjadi peningkatan
proses hematopoesis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoetin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukan
terjadinya stimulasi trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap
keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen
C3g, terdapatnya antibody virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan
PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebgai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Aktivasi koagulasi pada DBD terjadi melalui
aktivasi jalur ekstrinsik (tissur factor pathway). Jalur intrinsic juga berperan
melalui aktivasi faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (Kalikrein C1-
inhibitor complex).
21
Perubahan patofisiologi mayor yang ditemukan pada kasus DBD berkisar
pada pertama, peningkatan permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan
perembesan plasma, hipovolemia dan berujung pada renjatan. Kedua, abnormalitas
sistem hemostasis akibat vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati. Hal ini
menyebabkan berbagai manifestasi perdarahan yang mengancam kehidupan
penderita.
Perembesan plasma diduga terjadi karena proses imunologi dan kerusakan
endotel. Hal ini disebabkan oleh pelepasan zat anafilatoksin, serotonin, histamin
serta aktivasi sistem kalikrein. Akibatnya terjadi ekstravasasi cairan elektrolit dan
protein --terutama albumin-- ke dalam rongga di antara jaringan ikat dan serosa.
Dan terdapat korelasi positif antara jumlah kumpulan cairan (asites dan pleura) dan
beratnya penyakit. Perembesan plasma inilah yang merupakan titik perbedaan
antara DBD dengan demam dengue.
3.1.5. Diagnosis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau
dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umunya pasien mengalami fase demam
selama 2-7 hari, yang diikuti pleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini
pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan adekuat. Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar
4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodromal yang tidak khas, seperti nyeri
kepala, nyeri tulang belakang, perasaan lelah.
22
6. Manifestasi perdarahan (Petekie atau uji bending positif)
7. Leukopenia (leuokosit < 5000)
8. Trombosit < 150.000
9. Hematokrit naik 5-10%
Serta pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada waktu dan tempat yang sama.
23
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi.
Anamnesis
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
Pemeriksaan Fisik
1. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau
perdarahan dari tempat lain
d. Hematemesis atau melena
Pemeriksaan laboraturium
1) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
2) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
a. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapatkan terapi
cairan, dibandingan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
b. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoporteinemia
c.
Penentuan derajat klinis DBD seseuai dengan diformulasikan oleh WHO
penting untuk menjadi patokan dalam menilai kondisi klinis penderita DBD.
Rumusan ini didasarkan pada keadaan klinis penderita yaitu: demam, manifestasi
perdarahan, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Derajat klinis DBD
diklasifikasikan ke dalam empat strata. Klasifikasi ini baik pada kasus dewasa
maupun anak adalah sama.
24
Gambar 3. Derajat kIinis Demam Berdarah Dengue
25
hari ke-14, pada infeksi sekunder igG mulai terdeteksi hari ke-2
11) Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari per tam serta saat plang dari
perawatan, uji ini dilakukan untuk kepentingan survailens
12) NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensistivitas antigen NS1 berkisar sekitar 63%-93% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus.
B. Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi lateral decubitus kanan
(pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asistes dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.
3.1.6. Tatalaksana
26
Gambar 4. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di
Unit Gawat Darurat
27
Gambar 4. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat
28
ml/kgBB.jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlah
cairan infus dinaikan menjadi 15 ml/kgBB/jam dab bula dalam perkembagannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani
sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok
telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan
awal.
29
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Hit, dan thrombosis serta hemostasis harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Kt, dan trombosit sebaiknya diulang setiap
4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didaptkan tanda-
tanda koagulasi intravascular diseminata (DIC). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didaptkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dl. Transfuse trombosit hanya diberikan pada pasien DBD demgam
perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai
atau DIC.
30
Gambar 7. Penatalaksanaan sindrom dengue syok pada dewasa
Pemeriksaan darah perifer lengkap (DPl), hemostasis, analisa gas darah, kadar
natrium, kalium dan klorida serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal kristaloid
diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaliuasi setelah 15-30 menit. Bila syok
telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi
> 20 mmHg, frekuensi nadi <100 x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat dan kulit tidak pucat serta diuesis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-
48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
31
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat
terjadi).
Cairan kristaloid hanya bertahan 20% yang menetap dalam pembuluh darah
selama 1 jam, maka perlu dilakukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastric, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam.
32
efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinemia,
hemokonsentrasi dan hipovolemi yang mengakibatkan berkurangnya aliran balik
vena (venous return), prelod, miokardium volume sekuncup dan curah jantung,
sehingga terjadi disfungsi atau kegagalan sirkulasi dan penurunan sirkulasi
jaringan.
33
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pasien laki- laki usia 22 tahun dibawa ke IGD RSUD Arjawinangun dengan
keluhan demam naik turun sejak 2 hari SMRS (30 Juni 2019), disertai dengan
keluhan mimisan pada malam hari, serta keluhan mual dan muntah sebanyak 3x/hr
berisi ampas. Tidak ada keluhan gusi berdarah, muntah darah maupun BAB hitam.
BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien juga mengeluh pusing, lemas dan badan
terasa pegal sejak kemarin serta nafsu makan yang menurun.
Pemeriksaan fisik menunjukan hasil conjungtiva anemis +/+, suhu tinggi
serta nadi cepat dan teraba kuat. Pemeriksaan darah lengkap menunjukan bahwa
terdapat trombositopenia pada hari ke-3 demam dengan jumlah trombosit 145.000,
semakin menurun hingga mencapai 36.000 pada hari ke-6, bebas demam selama 2
hari. Penurunan kadar Hb, MCV, MCH serta MCHC pada pasien ini menunjukan
bahwa pasien mengalami anemia mikrositik hipokrom. Pada umumnya, kadar Hb
pada pasien DBD pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun.
Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan
merupakan kelainan hematologi paling awal yang ditemukan pada DBD. Namun,
adanya anemia mikrositik hipokrom dapat mempengaruhi kadar Hb sehingga tidak
terdapat peningkatan (Rena et al, 2009). Pada pasien ini tidak ditemukan adanya
peningkatan Ht yang dihubungkan dengan kebocoran plasma yang berperan
penting dalam patogenesis terjadinya syok (Taufik et al, 2007). Menurunnya kadar
Ht pada pasien ini dapat dipengaruhi oleh adanya anemia mikrositik hipokrom serta
diperberat oleh low intake, asupan nutrisi yang kurang pada pasien (Davis, 2019).
Selain itu, untuk menentukan peningkatan hematokrit sebesar ≥20% secara tepat
masih sulit dilakukan, mengingat belum ada nilai standar hematokrit untuk
orang Indonesia baik anak-anak maupun dewasa (Wowor, 2011). Pemeriksaan
Imunologis yang dilakukan pada hari ke-4 demam menunjukan hasil IgM dengue
(+), IgG dengue (-). IgM Dengue akan terdeteksi pada hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3, menghilang setelah 60-90 hari serta IgG pada infeksi primer,
34
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder igG mulai terdeteksi hari ke-2
(Bakta, 2014). Pemeriksaan NS1 tidak dilakukan karena Antigen NS1 muncul awal
pada hari pertama setelah serangan demam dan menurun ke tingkat tidak
terdeteksi setelah 5-6 hari. Pada akhir fase akut infeksi, serologi adalah metode
pilihan untuk diagnosis (Wowor, 2011).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 2009 menjadi DBD grade
II, dengan gejala demam akut bifasik selama 5 hari disertai dengan tanda
perdarahan spontan berupa epistaksis, myalgia dan didapatkan trombositopenia.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya peningkatan kadar hematokrit yang dapat
dipengaruhi oleh adanya anemia mikrositik hipokrom ditandai dengan kadar
hemoglobin<12 g/dL, MCV<80 fl dan MCH<27 pg.
Tatalaksana difokuskan untuk pemeliharaan volume cairan sirkulasi dengan
rehidrasi kristaloid 7cc/KgBB/jam selama 4 jam dilanjutkan dengan pemberian rl
20 tpm. Pemberian cairan dipantau melalui keluhan, tanda vital pasien serta
pemeriksaan darah lengkap setiap 24 jam atau 12 jam.
35
DAFTAR PUSTAKA
Bakta I, M. 2014 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Taufik et al. 2007. ‘Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah Trombosit dan Serologi
IgG dan IgM AntiDHF dalam Memprediksi Terjadinya Syok pada Pasien
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar
Mataram’ Jurnal Penyakit Dalam, Vol. 8 No. 2 hh 105-111
Rena et al. 2009. ‘Kelainan Hematologi Pada Demam Berdarah Dengue’ Jurnal
Penyakit Dalam, Vol.10 No. 3 hh 218-225
Candra, A. 2010. ‘Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan’ Aspirator Vol. 2 No. 2 hh.110 –119
36