Anda di halaman 1dari 7

DEFINISI

Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut. Kata
delirium berasal dari bahasa Latin “de lira” yang berarti “keluar dari parit” atau keluar
dari jalurnya. Dalam karyanya (2), Engel dan Romano menyebut delirium sebagai
“suatu sindrom insufisiensi serebral”. Keduanya menganggap delirium bsebagai
sindrom terkait dengan insufisiensi organ lain : Ginjal, jantung, hepar dan paru-paru.
Sebagai perbandingan, Lipowsky dalam “Delirium : Acute Brain Failure In Man”,
mengemukakan bahwa berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan dapat
diasosiasikan dengan gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa dan
gangguan kognitif tipe lainnya. Beragam pasien mempunyai pengalaman disorientasi
yang berbeda seperti salah identifikasi, ilusi, halusinasi, dan waham. Dengan onset
yang mendadak dan durasi yang pendek, delirium terjadi dari jam sampai hari dan
berfluktiatif. Kebiasaan pasien menunjukkan variasi dengan adanya agitasi yang
menonjol pada beberapa individu, dan hipoaktif pada pasien lainnya, dan pada
individu yang sama pun akan menunjukkan variasi berbeda dari waktu ke waktu.
Delirium harus dibedakan dari demensia, kondisi kronis kemerosotan fungsi kognitif
yang merupakan faktor risiko terjadinya delirium.

Diagnostic Statisitical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) mendefinisikan


delirium sebagai gangguan kesadaran dan perubahan kognitif yang terjai secara
cepat dalam waktu yang singkat (APA, 1994). Gejala awal delirium biasanya muncul
tiba-tiba dan durasinya singkat (misal 1 minggu, jarang lebih dari 1 bulan).
Gangguan ini hilang sama sekali jika pasien pulih dari determinan penyebab. Bila
kondisi yang menyebabkan delirium menetap, delirium berubah perlahan menjadi
sindrom demensia atau berkembang menjadi koma. Kemudian individu penderita
mengalami pemulihan, menjadi vegetative kronis, atau meninggal.

Klasifikasi Delirium berdasarkan DSM-IV :

1. Delirum akibat masalah medis umum

Masalah medis tertentu, seperti infeksi sistemik, gangguan metabolic,


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penyakit hati atau ginjal, ensefalopati, dan
trauma kepala dapat menyebabkan gejala delirium.

2. Delirium akibat zat

Gejala delirium dapat disebabkan pajanan terhadap toksin atau ingesti obat,
seperti anti konvulsan, neuroleptik, ansiolitik, anti depresan, obat kardiovaskular,
anti neoplastik, dan hormone.

3. Delirium akibat intoksikasi zat

Gejala delirium dapat terjadi sebagai respons terhadap konsumsi


kanabis,kokain, halusinogen, alcohol, ansiolitik atau narkotik dalam dosis tinggi.

4. Delirium akibat putus zat


Pengurangan atau penghentian penggunaan zat jangka panjang dan dosis tiggi
zat tertentu, seperti alcohol, sedative, hipnotik, atau ansiolitik, dapat menyebabkan
delirium akibat putus zat.

5. Delirium akibat etiologi multiple

Gejala delirium dapat berhubungan dengan lebih dari satu masalah medis
umum atau pengaruh kombinasi masalah medis umum dan penggunaan zat.

Selain klasifikasi di atas, delirium juga dapat dibagi menjadi sub tipe hiperaktif
dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat terjadi
bersamaan pada satu individu.

a. Delirium hiperaktif

Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi
agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan
dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut
selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium
karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya
menunjukkan perilaku tersebut. Delirium hiperaktif juga didapatkan pada pasien
dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,amfetamin,lysergic acid
diethylamideatau LSD.

b. Delirium hipoaktif

Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi.
Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan
dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah
dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang
yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan
transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan enchepalopati.

Etiologi

Factor predisposisi : Demensia, Obat-obatan multiple,Umur lanjut, Kecelakaan otak


seperti stroke, penyakit Parkinson, Gangguan penglihatan dan pendengaran,
Ketidakmampuan fungsional,Ketergantungan alcohol

Factor presipitasi : Infeksi,Metabolik, Kelainan SSP

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya bisa berasal dari


penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi putus
obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf
pusat, misalnya gagal ginjal dan hati.
Delirium adalah gangguan mental serius yang menyebabkan penderita
mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan
sekitar. Gangguan mental tersebut disebabkan perubahan yang cepat dalam fungsi
otak yang terjadi bersamaan dengan penyakit mental atau fisik. Akibatnya, penderita
delirium mengalami kesulitan dalam berpikir, mengingat, berkonsentrasi, atau tidur.
Kondisi delirium dapat menakutkan bagi penderita dan orang-orang di sekelilingnya.
Delirium biasanya bersifat sementaradengan mengendalikan penyebab serta
pemicunya.

Gejala dan Jenis Delirium

Penderita akan menunjukkan gejala perubahan kondisi mental saat mengalami


delirium dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Beberapa gejala tersebut antara
lain:

1) Berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitarnya. Kondisi ini ditandai


dengan sulit fokus pada topik atau mengganti topik pembicaraan, mudah
teralihkan oleh hal-hal yang tidak penting, dan suka melamun sehingga tidak
bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
2) Kemampuan berpikir yang buruk (gangguan kognitif). Kondisi ini ditandai
dengan buruknya daya ingat, terutama untuk jangka pendek, disorientasi,
kesulitan berbicara atau mengingat kata-kata, bicara bertele-tele, serta
kesulitan dalam memahami pembicaraan, membaca dan menulis.
3) Gangguan emosional. Penderita delirium akan tampak gelisah, takut atau
paranoid, depresi, mudah tersinggung, apatis, perubahan mood mendadak,
dan perubahan kepribadian.
4) Perubahan perilaku. Orang lain akan melihat penderita delirium mengalami
halusinasi, gelisah dan berperilaku agresif, mengeluarkan suara mengerang
atau memanggil, menjadi pendiam dan menutup diri, pergerakan melambat,
serta terganggunya kebiasaan tidur.

Terkadang, gejala delirium dapat memburuk saat malam hari ketika suasana
sekeliling gelap sehingga kondisinya terlihat asing.

Berdasarkan gejala yang ditunjukkan penderita, delirium bisa dibagi menjadi


beberapa jenis, yaitu:

a) Delirium hiperaktif. Penderita akan terlihat gelisah, seringkali berubah mood


atau berhalusinasi. Gejala ini paling mudah dikenali.
b) Delirium hipoaktif. Penderita akan tampak tidak aktif atau mengurangi
aktivitas gerak, lesu, mengantuk atau tampak linglung.
c) Delirium campuran. Penderita akan sering menunjukkan perubahan gejala dari
delirium hiperaktif ke delirium hipoaktif atau sebaliknya.
Penyebab Dan Faktor Risiko Delirium

Banyak kondisi yang dapat menyebabkan otak tidak mendapat pasokan oksigen atau
mengalami gangguan, sehingga terjadi delirium. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan delirium antara lain:

a) Konsumsi obat-obatan tertentu atau keracunan obat. Jenis obat yang


mengakibatkan penumpukan zat dalam otak adalah obat pereda nyeri, obat
tidur, antialergi (antihistamin), obat asma, kortikosteroid, obat untuk kejang,
obat penyakit Parkinson, serta obat untuk gangguan mood.
b) Kecanduan alkohol dan gejala putus alkohol.
c) Keracunan, misalnya sianida atau karbon monoksida.
d) Operasi atau prosedur medis lainnya yang melibatkan pembiusan.
e) Penyakit kronis atau berat, seperti gagal ginjal.
f) Malnutrisi atau dehidrasi.
g) Gangguan tidur atau gangguan emosi.
h) Gangguan elektrolit.
i) Demam akibat infeksi akut, khususnya pada anak.

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena delirium adalah:

a) Memiliki kelainan pada otak.


b) Berusia lanjut atau di atas usia 65 tahun.
c) Pernah mengalami delirium sebelumnya.
d) Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran.
e) Menderita kombinasi beberapa penyakit.

Diagnosis Delirium

Guna menegakkan diagnosis delirium, dokter perlu menanyakan riwayat penyakit


pasien Selain itu, informasi dari keluarga atau orang terdekat pasien juga dibutuhkan
agar diagnosis menjadi akurat.

Terdapat beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan dokter untuk mendiagnosis


delirium, yaitu:

1) Pemeriksaan fisik dan neurologis. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik


untuk memeriksa gangguan atau penyakit yang bisa menyebabkan delirium,
dan untuk menentukan tingkat kesadaran pasien. Pada pemeriksaan
neurologis, dokter akan memeriksa kondisi penglihatan, keseimbangan,
koordinasi, dan refleks.
2) Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Dokter akan menilai kondisi mental, perhatian,
dan daya berpikir penderita melalui sesi wawancara, pengujian, dan
penyaringan.
3) Pemeriksaan penunjang. Dokter mungkin akan menyarankan beberapa
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya gangguan dalam tubuh. Di
antaranya adalah pemeriksaan darah atau urin untuk uji fungsi hati, menilai
kadar hormon tiroid, paparan zat NAPZA atau alkohol. Selain itu, tes
pencitraan juga dapat dilakukan, berupa pencitraan kepala dengan CT scan
atau MRI, elektroensefalogramdan foto Rontgen dada. Jika dibutuhkan,
analisis cairan serebrospinal akan dilakukan guna memastikan diagnosis
delirium.
4) Uji genetic : Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik
kedua yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji
ini terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar
(retardasi mental).

Beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk mengidentifikasi penyakit ini


meliputi:

1) Metode Penilaian Kebingungan (CAM)


2) Wawancara Gejala Delirium (DSI)
3) Metode Penilaian Kebingungan untuk Intensive Care Unit (CAM-ICU)
4) Perawatan Intensif Delirium Checklist Screening (ICDSC)

Keparahan gejala delirium dapat dinilai dengan Skala Deteksi Delirium (DDS) dan
Skala Penilaian Delirium Memorial (MDAS). Diagnosis merupakan langkah dokter
untuk mengidentifikasi penyakit atau kondisi yang menjelaskan gejala dan tanda-
tanda yang dialami oleh pasien.

Penatalaksanaan

Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium.


Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik,
dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan
pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk
psikosis adalah haloperidol ( Haldol ), suatu obat antipsikotik golongan butirofenon,
dosis awal antara 2 - 10 mg IM, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi,
segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk
tablet dapat dimulai, dosis oral kira – kira 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis
parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5 - 50 mg untuk sebagian besar
pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia
sebagai suatu formula intravena alternatif, monitoring EKG sangat penting pada
pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu
paruh pendek, contohnya, hidroksizine (Vistaril) dosis 25 - 100 mg

Selain itu penatalaksanaan lain dari pasien dengan delirium yaitu:

a) Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu
agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b) Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila
perlu diberi stimulansia.
c) Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati
dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang
tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak
menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.
d) Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya
untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya)
ataupun untuk orang lain.
e) Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya
menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat
melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan
terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.
f) Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan
neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

Penatalaksanaan Klinis

Pertama, kondisi medis diperbaiki seoptimal mungkin. Sampai kondisi baik,


pemantauan harus tetap dilakukan untuk mempertahankan kesehatan dan
keselamatan pasien, termasuk observasi rutin, perawatan konsisten, menenangkan
dengan penjelasan sederhana secara berulang. Mengurangi ketegangan jiwa
diperlukan oleh pasien dengan agitasi tinggi meskipun pengalaman menunjukkan
bahwa pada beberapa pasien cenderung mengalami peningkatan agitasi.
Rangsangan eksternal diperkecil. Karena 16 bayangan atau kegelapan mungkin
menakuti mereka. Pasien delirium sangat sensitif terhadap efek samping obat, jadi
pengobatan yang tidak perlu harus dihentikan termasuk golongan hipnotik-sedatif
(contoh benzodiazepin). Pasien dengan agitasi tinggi ditenangkan dengan dosis
rendah obat antipsikotik potensi tinggi (contoh : haloperidol, thiothixene). Obat
dengan efek antikolinergik seperti klorpomazine, tioridazin di hindari karena dapat
memperburuk atau memperpanjang delirium. Kenyataannya, tingkat antikolinergik
plasma yang memicu delirium ditemukan pada pasien-pasien bedah. Bila sedasi
diperlukan gunakan dosis rendah benzodiazepin dengan kerja singkat seperti
oxazepam, lorazepam.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul pada pasien gangguan kognitif delirium adalah
sebagai berikut:

a) Hilangnya kemampuan untuk berfungsi atau merawat diri


b) Kehilangan kemampuan untuk berinteraksi
c) Perburukan menjadi stupor atau koma
d) Efek samping dari obat yang digunakan untuk mengobati gangguan
e) Cedera aksidental akibat kesadaran pasien yang berkabut atau hendaya
koordinasi atau karena penggunaan alat pengekang yang tidak perlu
DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. Dr. Satyanegara, SpBS dkk, 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. PT
Gramedia Pustaka Utama. Edisi IV : Jakarta

Yustinus Semiun, OFM, 2006. Kesehatan Mental 3. Penerbit Kasinus : Yogyakarta

Kurt J. Isselbacher, 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Vol I. Edisi


13. EGC: Jakarta

Videbeck. Sheila L. 2001. Buku Ajar : Keperawatan Jiwa. EGC : Jakarta.

Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
KlinisJilid I Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara

Guze, Barry dkk. 1997. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.

Keliat, Budi Anna, DKK.2011. Kesehatan Keperawatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn E,DKK.2006. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri Ed. 3.


Jakarta:EGC.

Videbeck,Sheila L.2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Davis, DHJ. et al. (2013). The Epidemiology of Delirium: Challenges and


Opportunities for Population Studies. The American Journal of Geriatric Psychiatry,
21(12), pp. 1173-1189

Fong, TG. et al. (2009). Delirium in Elderly Adults: Diagnosis, Prevention and
Treatment. Nature Reviews Neurology, 5(4), pp. 210-220

Royal College of Psychiatrists (2015). Delirium.

Huang, J. Merck Manual (2018). Delirium.

NIH (2016). MedlinePlus. Delirium.

Mayo Clinic (2018). Diseases and Conditions. Delirium.

Badii, C. Healthline (2018). What Causes Delirium?

Anda mungkin juga menyukai