Anda di halaman 1dari 43

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH
STROKE (ICD-10 :I.63.9)

1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau


seluruh fungsi neurologis (defisit neurologik fokal atau
global) yang terjadi secara mendadak, berlangsung
selama atau lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, yang semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak karena berkurangnya
suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh
darah secara spontan (stroke perdarahan).
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat
aktifitas/istirahat, kesadaran baik/terganggu, nyeri
kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak, kelemahan
sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak,
afasia/tidak, riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung
(faktor risiko stroke lainnya), lamanya (onset),
serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale),
vital sign (TD, Nadi, RR, Temperatur) dan
pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit
neurologis pada salah satu atau lebih dari pemeriksaan
berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis, fungsi
motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang
meningeal, gerakan abnormal, gait dan keseimbangan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang ( CT Scan Kepala )

102
5. Diagnosis 1. Stroke Iskemik
2. Stroke perdarahan
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh :
kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural,
tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : darah perifer lengkap, faal
hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, INR, D-
dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB),
fungsi hati ( SGOT, SGPT), Profil lipid
(Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida),
elektrolit, analisa gas darah (AHA/AS, Class I,
Level of evidence B)
 EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
 Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B)
 CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden
standar (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence A)
 MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence A)
 MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
 CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence A)
 Pungsi lumbal

103
 Echocardiography ( TTE dan atau TEE)
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B)
 Carotid Doppler (USG Carotis)
 Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II,
Level of evidence A)

8. Terapi Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:


a..Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b.stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis
dengan cairan kristaloid intravena
c.Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan
menggunakan obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker secara intravena (Nicardipin atau
Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15
menit sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai
berikut:
-Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15%
(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama
setelah awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg atau
TD Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level
of evidence B)
-Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila
TDS>200mmHg atau MAP>150 mmHg, TD
diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B)
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila
TDS<100 mmHG atau TDD <70mmHg dengan
pemberian obat vasopressor intravena (Norefinefrin
dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e.Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial
(TIK) dengan cara :
-Elevasi kepala 30 derajat

104
-Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
-Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
-Hindari hipertermia
-Jaga normovolemia
-Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol
intravena dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB selama >20
menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C)
f.Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat
intravena 5-20 mg dan diikuti Fenitoin loading dose
15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan 50 mg/menit
jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C)
g.Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika
Asetaminofen 650 mg jika suhu>38,5 derajat Celcius
dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C)
h.Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl)
pada stroke akut dengan titrasi insulin (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C). Hipoglikemia berat
(<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena
atau infus glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai
adalah normoglikemia.
i.Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat
pompa proton (Omeprazole) secara intravena dengan
dosis 80 mg bolus jika terjadi stress ulcer (Class I,
Level of evidence A)
j.Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
h.Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis
2x1000 mg intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan
oral 2x1000 mg selama 3 minggu (ICTUS)

105
A.Stroke iskemik / infark :
- Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48
jam pada stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak
mendapatkan antikoagulan harus diberikan antiplatelet
Aspirin (80-325 mg) atau Clopidogrel 75 mg, atau
terapi kombinasi Aspirin dosis rendah 25 mg dengan
extended release dipyridamole 200 mg (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence A)
- Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan
dengan aspirin saja (AHA/ASA, Class II b, Level of
evidence B)
- Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak
direkomendasikan pada pasien pasien stroke iskemik
akut, kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik
(misalnya angina tidak stabil, atau non Q wqve atau
recent stenting), pengobatan diberikan sampai 9 bulan
sesudah kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
- Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel
yang diberikan pada populasi resiko tinggi akan
meningkatkan resiko perdarahan bila dibandingkan
dengan pemakaian Clopidogrel saja, sehingga
pemakaian rutin seperti ini tidak direkomendasikan
untuk stroke iskemik atau TIA (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A)
- Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin,
Clopidogrel 75 mg atau extended release dipyridamole
2x200 mg dapat digunakan (AHA/ASA, Class Iia,
Level of evidence B)
- Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial
stenosis simptomatik dianjurkan memakai Cilostazol

106
100 mg 2 kali sehari (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
- Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi) :
pemberian iv rTPA dosis 0,9 mg/kgBB (maksimum 90
mg), 10% dari dosis total diberikan sebagai bolus
inisial, dan sisanya sebagai infus selama 60 menit.
Direkomendasikan secepat mungkin dalam rentang
waktu 3 jam. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
A)
- Antikoagulan ( heparin, LMWH, heparinoid)
atau antagonis vitamin K (warfarin) direkomendasikan
untuk stroke iskemik atau TIA yang disertai denngan
fibrilasi atrial intermitten atau permanen yang
paroksismal. (target INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0)
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pemberian statin dengan efek penurunan lipid
direkomendasikan pada stroke iskemik dan TIA yang
disertai aterosklerosis tanpa PJK dengan LDL
100mg/dl (AHA/ASA, Class I, Level evidence B)
B. Perdarahan subarachnoid :
- Untuk mencegah vasospasme dengan
pemberian Nimodipine dimulai dengan dosis 1-2
mg/jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap
6 jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam
Traneksamat loading dose 1 g intravena kemudian
dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72 jam untuk
mencegah perdarahan ulang (rebleeding)
C. Perdarahan Intraserebral :
Konservatif :
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan
faal hemostasis)

107
Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif
/memungkinkan :
- Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau
diameter > 3cm pada fossa posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda
peninggian TIK akut dan ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel
atau serebellum
- GCS >7

- Rehabilitasi untuk stroke :


a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini
setelah kondisi medis stabil (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence C)
b.Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan
untuk melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan
selama tahun pertama setelah stroke (AHA/ASA, Class
II, Level of evidence A)
c.Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan
intensitas rehabilitasi (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence B)
9. Edukasi Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan
ulang stroke) dengan memberikan konseling kepada
penderita dan keluarganya, diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan
rendah lemak jenuh dan kolesterol, tinggi serat, tinggi
protein, mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif
bertujuan respon relaksasi yang menurunkan denyut
jantung dan tekanan darah

108
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah
diketahui dengan obat-obat yang telah diberikan
selama dirawat dan rutin kontrol berobat pasca dirawat
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok,
tidak mengkonsumsi alkohol, penurunan berat badan
pada obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan
10. Prognosis -Ad vitam
Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
-Ad Functionam
Penilaian dengan parameter :
- Activity Daily Living (Barthel Index)
- NIH Stroke Scale (NIHSS)
11. Tingkat Evidens

12. Tingkat Rekomendasi

13. Penelaah Kritis 1.Dr.Widjayanti Sp.S


14. Indikator Medis - Semua faktor-faktor resiko pada penderita stroke
telah diidentifikasi dan diatasi dengan pendekatan
multidisiplin
- Perbaikan klinis penderita stroke pasca perawatan
dengan parameter : ADL (Activity Daily
Living/Barthel Index) dan NIHSS ( NIH Stroke Scale)
- Pencegahan dan pengurangan komplikasi neurologis
maupun non neurologis akibat stroke baik pada fase
akut maupun kronis
- Konseling terhadap pasien stroke dan keluarga ttg
perawatan di rumah (home care) dan kontrol rutin
pasca perawatan utk pencegahan sekunder stroke
15 Kepustakaan -Standar Pelayanan Medis Neurologi 2006
-Standar Pelayanan Operasional 2006
-AHA/ASA Guideline Stroke 2011

109
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH
MENINGITIS TUBERKULOSA (ICD A 17.0)

1. Pengertian (Definisi) Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai


selaput otak yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa
2. Anamnesa Didahului oleh gejala prodormal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah
laku dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB
atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.
3. Pemeriksaan Fisik Berdasarkan stadium didapatkan
 Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala
ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen
 Stadium II (Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan “drowsy” perubahan mental, tanda
iritasi meningen, kelumpuhan saraf III,IV, VI
 Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau
koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese
4. Kriteria Diagnosis Gambaran klinis memeperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak
spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial,
hemiparese. Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang
memperlihatkan tuberkel pada khoroid dan edema papil
menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial
5. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis

110
dan pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Banding  Meningoensefalitis karena virus
 Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
 Meningitis oleh karena infeksi jamur / parasit (Cryptococcus
neofarmans atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis
 Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan LCS, dilakukan jika tidak ada tanda-tanda
Penunjang peningkatan tekanan intrakranial (terdapat peningkatan tekanan
pada lumbal pungsi 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa.
Warna jernih atau xanthokrom terdapat pada peningkatan
protein dan 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan
serebrospinal
 pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
 Pemeriksaan Sputum BTA (+)
 Pemeriksaan Radiologik
- Foto polos paru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial
 Pemeriksaan penunjang lain :
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay, atau
teknik ELISA).
- PCR
8. Terapi TATALAKSANA
 Umum
 Terapi kausal : Kombinasi Obat Anti Tuberkulosa (OAT)
o INH
o Pyrazinamida
o Rifampisin
o Etambutol
 Kortikosteroid
9. Edukasi Penyelesain terapi (makan obat anti tuberkulosis) sampai selesai

111
batas waktu pengobatan, fisioterapi
10. Prognosis  Meningitis tuberkulosis sembuh lambat dan umumnya
meninggalkan sekuele neurologis
 Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau
meninggal
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis Kolegium Neurologi Indonesia Sub divisi Neuro Infeksi

14. Indikator Medis Terdapat peningkatan kesadaran dan tidak adanya kejang
15 Kepustakaan Infeksi pada Sistem Saraf POKDI Neuroinfeksi 2011

112
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH

MENINGITIS BAKTERIAL(ICD G 00 )

1. Pengertian (Definisi) Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau
meningitis purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor
serebrospinalis dengan proses peradangan yang melibatkan
piamater, arakhnoid, ruang subarakhnoid dan dapat meluas ke
permukaan otak dan medula spinalis
2. Anamnesa Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut
antara 1-7 hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit
kepala, fotofobia, myalgia, mual, muntah, kejang, perubahan status
mental sampai penurunan kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik - Tanda-tanda rangsang meningeal
- Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
- Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis
- Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis
media, mastoiditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis
(N. meningitidis).
4. Kriteria Diagnosis - Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS
abnormal: predominasi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4
plus didapatkannya bakteri penyebab di dalam LCS secara
makroskopis dan atau hasil kultur positif
- Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS
abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4
plus kultur LCS negatif plus satu dari hal berikut:
o Kultur darah positif
o Tes antigen atau PRC dari LCS menunjukkan hasil positif
- Dengan atau tanpa riwayat infeksi saluran nafas atas yang baru,
riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia, sinusitis, otitis

113
media, gangguan imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.
5. Diagnosis - Gejala dan tanda klinis
- Pemeriksaan LCS:
o Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluh ribu
o Pada hitung jenis didapatkan predominansi neutrofil sebagai
tanda infeksi akut. Pada meningitis bakterial yang sudah
diobati namun tidak sempurna (partially treated) dapat
dijumpai predominansi monosit.
o Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% dari
kadar gula sewaktu lumbal pungsi dikerjakan
o Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan
kuman penyebab
- Pemeriksaan tes aglutinasi latex (jika tersedia)
- Pemeriksaan PCR (jika tersedia)
- Kultur darah positif pada 30-80% kasus
- CT-Scan/MRI kepala pada keadaan-keadaan tertentu.
6. Diagnosis Banding Meningitis virus, Perdarahan Subarakhnoid, Meningitis Khemikal,
Meningtis TB, Meningitis Leptospira, Meningoensefalitis fungal.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Penunjang - Lumbal pungsi
- Pemeriksaan likuor
- Pemeriksaan kultur likuor dan darah
- Pemeriksaan darah rutin,
- Pemeriksaan kimia darah (gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati)
dan elektrolit darah
- Analisis gas darah
Radiologis
- Foto polos paru
- CT Scan Kepala
- MRI kepala pada kondisi tertentu
Pemeriksaan penunjang lain: pemeriksaan antigen bakteri spesifik
seperti C-Reactive Protein atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
(jika tersedia)

114
8. Terapi - Perawatan umum
- Kausal: Lama pemberian 10-14 hari
Usia Bakteri Penyebab Antibiotika
≤50 S. Pneumoniae Cefotaxime 2g/6 jam max. 12
tahun N. Meningitidis g/hari atau ceftriaxone 2g/12 jam
L. + Ampicillin 2g/4 jam/IV (200
Monocytogenes mg/kgBB/IV/hari).
Chloramphenicol 1g/6 jam +
Trimetoprim/sulfametoxazole
20mg/kg BB/hari.
Bila prevalensi S. Pneumoniae
resisten Cephalosporin ≥2%
diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone +
Vancomycin 1g/12 jam/ IV
(max. 3 g/ hari)
≥50 S. Pneumoniae Cefotaxime 2g/6 jam max. 12
tahun H. Influenzae g/hari atau ceftriaxone 2g/12 jam
Species Listeria + Ampicillin 2g/4 jam/IV (200
Pseudomonas mg/kgBB/IV/hari)
aeroginosa
N. Meningitidis Bila prevalensi S. Pneumoniae
resisten Cephalosporin ≥2%
diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone +
Vancomycin 1g/12 jam/ IV
(max. 3 g/ hari)

Ceftazidime 2g/8 jam/ IV


Terapi antibiotik disesuaikan dengan bakteri penyebab. Bila
bakteri penyebab tidak dapat diketahui, maka terapi antibiotik
empiris sesuai dengan kelompok umur, harus segera dimulai
- Terapi tambahan: dianjurkan hanya pada penderita risiko

115
tinggi, penderita dengan status mental sangat terganggu,
edema otak atau TIK meninggi yaitu dengan deksametason
0,15 mg/kgBB/6 jam/IV selama 4 hari dan diberikan 20
menit sebelum pemberian antibiotik
- Penanganan peningkatan TIK
o Meninggikan letak kepala 30° dari tempat tidur
o Cairan hiperosmoler: manitol atau gliserol
o Hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 dalam
darah antara 27-30 mmHg
- Mencari kemungkinan sumber infeksi (berasal dari THT,
paru, gigi, dan lainnya)
9. Edukasi - Menjaga kebersihan
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin
- Imunisasi untuk pencegahan
10. Prognosis Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat,
meninggal
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis Kolegium Neurologi Indonesia
14. Indikator Medis Meningitisbakteribiasanyamenunjukkanperbaikan dalam48-72
jamsetelah pengobatan awaltetapikemungkinan besar
mengalamikomplikasi yang disebabkan olehpenyakit.
15. Kepustakaan - Kelompok Studi Neuro Infeksi PERDOSSI. Infeksi Pada
Sistem Saraf. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
UNAIR. 2011.
- Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of
Neurology, Eight Edition. United States of America: McGraw-
Hill.2005.
- National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NIH)

116
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH

STATUS EPILEPTIKUS( ICD G41.0 )

1. Pengertian (Definisi) (Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status


Epilepticus)
Adalahbangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit,
atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran.
Penangananbangkitanharusdimulaidalam 5-10
menitsetelahawitansuatukejang.
2. Anamnesa Alloanamnesadarisaksimatamengenaihal-hal yang
terjadiselamabangkitan:
- Onset bangkitan.
- Polabangkitan
(Apakahbangkitandimulaidenganadanyadeviasimata,
gerakankepala, gerakantubuh, vokalisasi,
atauautomatisasi?Apakahbangkitanterjadipadasalahsatuek
stremitastubuhatauseluruhtubuh?Bagaimanakesadaraanpa
siensebelumbangkitan, saatbangkitan,
dansesudahbangkitan?).
- Durasibangkitanberlangsunglebihdari 30 menit.
- Frekuensibangkitan.
- Lamanya interval antarbangkitan.
- Tidakterdapatpemulihankesadaranantarbangkitan.
- Faktorpencetus (ApakahterdapatKelelahan, kurangtidur,
hormonal, stress psikologis, ataualkohol?)
- Terapiepilepsisebelumnyadanbagaimanaresponnya.
- Riwayatpenyakitsekarangdandahulu.

117
- Riwayatbangkitanataupenyakitepilepsidalamkeluarga.

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaanfisikumum:
Terdapatpenurunankesadaran.
Secara visual didapatkanterjadinyabangkitan.
Mencaritanda-tandagangguan yang berkaitandenganepilepsi:
- Trauma kepala
- Tandainfeksi
- Kelainankongenital
- Kelainankulit (neurofakomatosis)
- Tandakeganasan
Pemeriksaanneurologis:
Mencaritanda-tandadefisitneurologisfokalataudifus yang
dapatberhubungandenganepilepsi.

4. Kriteria Diagnosis Adanyabangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit,


atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran.
Terdapattanda-tandagelombangepileptiformpada video EEG
(jikafasilitastersedia)

5. Diagnosis Klinissesuaidengankriteria diagnosis status epileptikus.


Dikatakanpasti (established) jikapemberian benzodiazepine
awaltidakefektifdalammenghentikanbangkitan.

6. Diagnosis Banding Syncope with secondary jerking movement, gangguan cardiac


danrespirasi yang munculbersamaandengansecondary anoxic
seizure, Non-Epileptic Attack Disorder (NEAD), microsleeps,
panic attacks, ensefalopatiakut, intermittent phychosis, hysterical
fugue, narkolepsi.

7.PemeriksaanPenunjang EEG monitoring


Pemeriksaanlaboratorium:

118
Pemeriksaandarahlengkap, kadarglukosadarahsewaktu,
fungsiginjal, fungsihati, kadarelektrolitdarah, analisa gas darah,
faal hemostasis, kadarobatepilepsi, toksikologi
(terutamajikapenyebab status epileptikustidakjelas).
Pencitraanotak:
CT-Scan kepala, MRI kepala, Positron Emission Tomography
(PET), Single Photon Emission Computed Tomography
(SPECT), Magnetic ResonanseSpectrography (MRS).
Rontgen thorax
Pungsilumbal
EKG

8. Terapi Stadium Penatalaksanaan


Stadium I (0-10 Memperbaikifungsikardio-respiratorik.
menit) Memperbaikijalannafas,
pemberianoksigen, resusitasijikaperlu.
Stadium II ( 0- -Pemeriksaanfisikumum (tekanandarah,
60 menit) nadi, suhu, respiratory
rate)danpemeriksaanneurologis.
-
Memasanginfuspadapembuluhdarahbes
ardenganNaCl 0,9%.
-Mengambil 5-10
ccdarahuntukpemeriksaanlaboratorium.
-Pemberian OAE emergensi: diazepam
10-20 mg iv (kecepatanpemberian 5
mg/menitataurektaldapatdiulang 15
menitkemudian.
-Memasukkan 50 cc glukosa 40%
padakeadaanhipoglikemia.
-Pemberian thiamin 250 mg iv
padapenyandangalkoholisme.
-Menanganiasidosisdenganbikarbonat.

119
Stadium III -Menentukanetiologi.
(0-60/90 menit) -Bilakejangberlangsungterus 30
menitsetelahpemberian diazepam
pertama, beri phenytoin iv 15-18
mg/kgBBdengankecepatan
≤50mg/menit (monitor tekanandarahdan
EKG padasaatpemberian).
-Bilakejangmasihberlangsung,
dapatdiberikan phenytoin tambahan 5-
10 mg/kgBB.
-Bilakejangmasihberlanjut, berikan
phenobarbital 20
mg/kgBBdengankecepatan 50-75
mg/menit (monitor
respirasipadasaatpemberian).
-
Memulaiterapidenganvasopresorbiladip
erlukan.
-Mengoreksikomplikasi.
Stadium IV (30- -Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-
90 menit) 60 menit, transfer pasienke ICU,
beripropofol (2mg/kgBB bolus iv,
diulangbilaperlu) atauthiopentone (100-
250 mg bolus iv pemberiandalam 20
menit, dilanjutkandengan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit, dilanjutkansampai 12-
24 jam
setelahbangkitanklinisataubangkitan
EEG terakhir, lalutapering off.
-Memonitorbangkitandan EEG,
tekananintrakranial, memulaipemberian
OAE dosisrumatan.
Tindakan:

120
1. Operasi
Indikasioperasi:
- Fokalepilepsi yang intraktabelterhadapobat-obatan.
- Sindromaepilepsifokaldansimptomatik.

Kontraindikasiabsolut:
- Penyakitneurologik yang progresif
(baikmetabolikmaupundegeneratif).
- Sindromaepilepsi yang benigna,
dimanadiharapkanterjadiremisidikemudianhari.

Jenis-jenisoperasi:
- Operasireseksi: pada mesial temporal lobe,
neokortikal.
- Diskoneksi: korpuskalosotomi, multiple
supialtransection.
- Hemispherektomi.
StimulasiNervusVagus
9. Edukasi Memberikanpenjelasanmengenaipenyakit yang
dideritadanpenyebabterjadinyabangkitankepadakeluarga,
mmberikanpenjelasanmengenaifaktor-faktor yang
memicuterjadinyabangkitansupayadapatdihindariseoptimalmung
kin, menjelaskanmengenaipengaruhbangkitandanefek OAE
padapenderita.

10. Prognosis Mortalitas:


Selamaperawatan di RS: 9-21%
Standardized 10-year mortality ratio: 2.8 padapopulasiumum
Morbiditas:
Sequelegangguankognitifdanneurologisberat: 11-16%
90 harisetelah status epileptikus: 39%
mengalamigangguankesadarandan 43% mengalamiperbaikan.

121
11. Tingkat Emergent treatment
Evidens/Rekomendasi Lorazepam Class I, level A
Midazolam Class I, level A
Diazepam Class IIa, level A
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level A
Phenobarbital Class IIb, level A

Urgent treatment
Phenytoin/fosphenytoin Class IIa, level B
Midazolam (continuous infusion) Class IIb, level B
Phenobarbital Class IIb, level C

Refractory treatment
Midazolam Class IIa, level B
Propofol Class IIb, level B
Pentobarbital/thiopental Class IIb, level B
Valproate sodium Class IIa, level B
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level C
Lacosamide Class IIb, level C
Topiramate Class IIb, level C
Phenobarbital Class IIb, level C

12. PenelaahKritis 1.Neuro Critical Care (NCS)


2.Perdossi subdivisiepilepsi

13. IndikatorMedis Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-60 menit


(setelahpemberian OAE Phenytoin) atauterdapattanda-
tandaancamangagalnafas, transfer pasienke ICU.
Adanyakeadaanbebaskejanghingga 12-24 jam
setelahbangkitanklinisatauelektografisterakhir,
kemudiandosisobatditurunkanperlahan.

14. Kepustakaan -PedomanTatalaksanaEpilepsiEdisiKelimaTahun 2014


-StandarPelayananMedik (SPM) NeurologiPerdossi

122
-Neuro Critical Care

123
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH

TETANUS(ICD-10 : A35 )

1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan


karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
2. Anamnesa  Sulit membuka mulut.
 Perut terasa keras dan kaku
 Kejang tonik berulang dengan rangsangan berupa suara,
cahaya, dll.
3. Pemeriksaan Fisik  Trismus
 Perut papan
 Opistotonus
4. Kriteria Diagnosis  Hipertoni dan spasme otot
o Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak
spastik.
o Lain-lain: Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis,
nyeri pada otot-otot di sekitar luka.
 Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu/terganggu
 Umumnya ada luka/riwayat luka
 Retensi urine dan hiperpireksia
 Tetanus lokal
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesa yaitu didapatkan riwayat
kejang rangsang tonik berulang dan juga dari pemeriksaan fisik
didapatkan hipertoni dan spasme otot, fokal infeksi ( baik karnna
trauma atau karna infeksi dari retrofaringeal, gigi dan telinga)
6. Diagnosis Banding  Kejang karena hipokalsemia

124
 Reaksi distonia
 Rabies
 Meningitis
 Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
 Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
 Epilepsi/kejang tonik klonik umum
7.Pemeriksaan  Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan
Penunjang C. Tetani.
 Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
 EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
 Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
 Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
8. Terapi TATALAKSANA
 IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
 Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal
40.000/hari. TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis
500-3.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu
atau riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia ≥ 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap sebagai
pengganti Tt. Jika kontraindikasi terhadap
pertusis, berikan DT, dosis 0,5 ml i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika
imunisasi lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada
extremitas kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas

125
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a. Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b. Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
 Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
 Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan
H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
 Diazepam
Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau dengan
dosis
a. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
b. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila perlu, tidak
melebihi dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam
bentuk drip
c. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml larutan
dextrose 5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15
mg/jam dalam 24 jam
 MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1
gr/jam(untuk usia ≥ 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500
ml/6 jam.
o Kontrol disfungsi otonom
 Propanolol 5- 10 mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg tiga
kali sehari.
 MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1

126
gr/jam(untuk usia ≥ 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500
ml/6 jam.
o Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,
distres pernapasan, sianosis.
o Gangguan Gastrointestinal
 Ranitidin 50 mg/8 jam
 Pemberian transfusi darah jika didapatkan perdarahan
masif saluran cerna
o Gangguan Renal dan elektrolit
 Hipokalemi diatasi dengan pemberian KCL 20-80 mEq
diberikan dalm infus lambat dalam 24 jam.
 Hipernatremia diatasi dengan pemberian dextrose 5%.
 Hiponatremia dikoreksi dengan pemberian normal saline.
o Nutrisi
Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair.
Bila perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik.
o Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya
bersifat intermitten.
o Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan
lendir oro/nasofaring secara berkala.
o Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik.
o Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.
9. Edukasi -
10. Prognosis  Angka kematian tinggi bila :
o Usia tua
o Masa inkubasi singkat
o Onset periode yang singkat
o Demam tinggi
o Spasme yang tidak cepat diatasi
o Disfungsi otonom
11. Tingkat Evidens Class I
12. Tingkat Level A

127
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1.Dr. Widjayanti, Sp.S

14. Indikator Medis o Anamnesis


 Kejang rangsang tonik berulang
 Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
 Trismus
 Perut papan
 Opistotonus
 Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
 Biakan C. Tetani (+)
 Indikator infeksi meningkat.
15. Kepustakaan 1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ.
Tetanus and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma.
2005: 58: 1082-88.
2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf,
Kelompok Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.

128
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH

KESADARAN MENURUN DAN COMA(ICD R40 )

1. Pengertian (Definisi) Sadar: disebut sadar bila memiliki waspada dengan kesiagaan
terus menerus terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran menurun: berkurangnya kewaspadaan dan kesiagaan
terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Coma: tidak adanya respon fisiologis terhadap stimulus external
atau kebutuhan tubuh.
2. Anamnesa 1. Riwayat penyakit sebelumnya: hipertensi, diabetes melitus,
penyakit ginjal, gangguan fungsi hati, epilepsi, penggunaan
obat-obat narkotik
2. Keluhan sebelum terjadi gangguan kesadaran: nyeri kepal yang
mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan
muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak
3. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya
obat penenang, obat tidur, antikoagulansia, abat antidiabetes
(dapat dalam bentuk injeksi), antihipertensi.
4. Apakah gangguan kesadaran terjadi ecara bertahap atau
mendadak, apakah disertai gejala lain/ikutan?
5. Apakah ada inkontinensia urin dan atau alvi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
2. Tekanan darah, suhu tubuh
3. Respirasi, .eliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau
pernafasan (aseton, amonis, alkohol, bahan kimiawi tertentu,
dll)
4. Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit (dehidrasi,
ikterus, sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)

129
5. Kepala, apakah ada luka dan fraktur
6. Konjungtiva, apakah normal, pucat atau ada perdarahan
7. Mukosa mulut dan bibir, apakah dana perdarahan, perubahan
warna
8. Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk
bau cairan juga perlu diperhatikan
9. Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari
hidung
10. Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli,
kelainan pasangan bola mata (paresis n.III, IV, VI), pupil, celah
palpebra, ptosis
11. Leher, apakah ada fraktur vertebra, bila yakin tidak ada fraktur
maka diperiksa apakah ada kaku kuduk
12. Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik
dan teliti
13. Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak,
suara peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu
14. Penilaian derajat kesadaran dengan menggunakan GCS
15. Pemeriksaan rangsang meningeal
16. Pemeriksaan saraf kranial
17. Pemeriksaan motorik
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1. Tidur : Keadaan non patologis dimana ada penurunan kesadaran
yang dengan mudah dibangunkan
2. Akinetik mutisme : Penderita dalam keadaan bangun, mata
terbuka tapi sangat lamban berespon terhadap pertanyaan yang
di ajukan.
3. Sindroma locked-in : Penderita dengan mata terbuka/sadar
dengan komunikasi terganggu , ada sedikit gerakan terutama

130
gerakan mata melirik keatas, kebawah.
4. Status katatonik : sadar penuh fungsi motorik normal tapi tidak
bisa berkomunikasi dengan baik.
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium; darah (darah rutin, elektrolit, faal hati, faal
Penunjang ginjal) dan LCS
2. CT-scan kepala
3. EEG
8. Terapi Gangguan kesadaran sampai koma adalah keadaan darurat medis,
untuk itu perlu penanganan yang cepat, tepat dan akurat mulai dari
ruang unit gawat darurat sampai ke ruang perawatan intensif.
Penanganan terbagi atas dua besar yaitu:
A. Supportif
Penderita kesadaran menurun di lihat /di nilai
-Jalan nafas
-Pernafasan
-Tekanan Darah
-Cairan tubuh (asam basa elektrolit)
-Posisi tubuh
-Pasang Nasogastric tube
-Katheter Urine
1. Jalan nafas
Dilihat:
-Agitasi : Kesan hipoksemia
-Gerakan nafas : dada
-Retraksi sel iga, dinding perut, subcosta clavikula
Didengar suara tambahan berupa dengkuran,
kumuran, siulan : ada sumbatan.

Diraba :
-getaran ekspirasi
-getaran dileher
-fraktur mandibuler

131
Yang menyebabkan gangguan jalan nafas :
-Lidah/epiglottis
-muntahan, darah, sekret benda asing
-trauma mandibula/maksila

Alat yang dipakai


-jalan napas orofaringeal
-jalan napas nasofaringeal
-jalan napas definitis : intubasi, pembedahan

Pola pernafasan
Lesi sentral : Pola nafas
-aupnea
-cheyne stoke
-Sentral neurogenik Hiperventilasi
-Apnea

Lesi Perifer
-Nafas intercostal
-Nafas diafragma (dinding perut)

2. Perhatikan aliran darah


-perfusi : perifer, ginjal : produksi urine
-Nadi : ritme, rate, pengisian
-Tekanan darah

Diusahakan:
 Hemodinamik stabil (tidak naik turun)
 Kondisi tensi normal
 Dihindari: hipertensi/meninggi, syok
Jenis Syok:
 Hipovolemik
 Kardiogenik

132
 Sepsis
 Penimbunan vena perifer (polling)

3. Cairan Tubuh
 Cegah hidrasi berlebihan
 Cairan hipotonik, hipoprotein dan lama pakai
ventilator mudah terjadi hidrasi
 Tekanan osmotik dipertahankan dengan albumin
 Hindari hiponatrermia

4. Gas Darah dan Keseimbangan Asam Basa


 Alat bantu oksimeter untuk mengetahui oksigenasi
diusahakan SaO2 > 95 dan PaO2 > 80 mg (dengan
analisa gas darah)
 PO2 dibuat sampai 100-150 mmHg dengan cara
diberi O2
 PaCo2 : 25-35 mm dengan hiperventilasi

5. Pasang Naso Gastric Tube


Pengeluaran isi lambung berguna:
 Mencegah aspirasi, intoksikasi
 Nutris parenteral

6. Posisi
 Hindari posisi Trendelemberg
 Posisi kepala 30 derajat lebih tinggi
 Pada koma yang lama hindari:
dekubitus: sering alih posisi
Vena dalam thrombosis: pakai stocking
7. Katheter Urine
 Untuk memudahkan penghitungan balans cairan
 Mencegah kebocoran urin

133
 Berguna pada gangguan kencing

B. Terapi Kausatif/Spesifik
1. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas
yang mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin
primer infeksi (meningitis, ensefalitis) di otak bila
gangguan kesadaran tanpa kaku kuduk sangat mungkin
primer infeksi bukan di otak.
2. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas
sangat mungkin perdarahan subaraknoid
3. Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan
neurologis fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy)
penyebabnya lesi intrakranial.
4. Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan
intrakranial meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese
N.III, kaku kuduk, penglihatan kabur secepatnya diberi
manitol, dexamethason, dibuat hiperventilasi.
5. Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau
gejala neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin
penyebabnya metabolik
6. Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial
(anisokor, isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis)
termasuk gawat darurat secepatnya perlu tindakan.
7. Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas,
dapat diterapi spesifik untuk penyebab:
 Hipoglikemi: glukosa
 Overdosis opiat: nalokson
 Overdosis benzodiazepin: flumazenil
 Wernicke ensephalopaty: thiamin
9. Edukasi Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab
terjadinya penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan,
serta prognosis.
10. Prognosis Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan

134
kesadaran, etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai,
serta penyulit atau penyakit penyerta.
11. Tingkat Evidens - Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
12. Tingkat Rekomendasi - Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen <95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Widjayanti Sp.S
14. Indikator Medis - Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan
perawatan dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda vital
lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda
vital lain disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan 1. Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of
Neurology, International ed, Mc GrawHill, New York.
2. DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic
Examination, 5th ed. McGrawHill, New York.
3. Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed.
Mc GrawHill, Boston.
4. Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-
6; Gadjah Mada University Press Yogyakarta
5. Kumar, P. & Clarck, M. 2006 Clinical Medicine, 6th. Elsevier
Saunders, Edinburgh London
6. Mardjono,M., & Sidartha,P. 1994 Neurologi Klinis Dasar, edisi
6; Dian Rakyat Jakarta
7. Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams & Victor’s
Principle of Neurology, 8th ed. Mc Graw Hill, New York.

135
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RS NUR ROHMAH
RS NUR ROHMAH

SINDROMA GUILLAIN BARRE

1. Pengertian (Definisi) Sindrom Guillain-Barré (GBS) dapat digambarkan sebagai


kumpulan sindrom klinis yang bermanifestasi sebagai inflamasi
akut berupa polyradiculoneuropathy dengan kelemahan yang
dihasilkan dan refleks berkurangnya.
2. Anamnesa 2-4 minggu gangguan berupa pilineuropati setelah sebelumnya
mengalami penyakit pernapasan atau pencernaan (diare) dengan
keluhan jari dysesthesias, kelemahan otot proksimal ekstremitas
bawah berkembang selama jam untuk hari juga melibatkan lengan,
otot truncal, saraf kranial, dan otot-otot pernapasan.
Droop Facial (mungkin meniru Bell palsy), diplopia, disartria,
disfagia, oftalmoplegia.
3. Pemeriksaan Fisik Kelemahan N. cranialis VII, VI, III, V, IX, X
Kelemahan ekstremitas bawah, ascenden, asimetris upper
extremitas, facial
Reflex: absen atau hiporefleksi
Refleks patologis –
4. Kriteria Diagnosis Klinis:
 Kelemahan ascenden dan simetris
 Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak
atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot
distal kelemahan otot trunkal, bulbar, dan otot pernafasan juga
terjadi.
 Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai
tetraplegia dan gangguan nafas.

136
 Puncak deficit dicapai 4 minggu.
 Recovery biasanya dimulai 2-4 minggu
 Gangguan sensorik biasanya ringan
 Gangguan sensorik bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
 Gangguan N. cranialis bisa terjadi: facial drop, diplopia,
disartria, disfagia
 Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
 Gangguan otonom dari takikardia, bradikardia, flushing
paroxysmal, hipertensi ortostastik, dan anhidrosis.
 Retensio urin dan ileus paralitik
 Gangguan pernafasan:
- Dyspnoe
- Nafas pendek
- Sulit menelan
- Bicara serak
- Gagal nafas
5. Diagnosis Yang diperlukan untuk diagnosis :
Kelemahan progresif di kedua lengan dan kaki dan Arefleksia
Sangat mendukung diagnosis :
- Perkembangan gejala selama hari, hingga empat minggu
- gejala relatif Simetris
- Gejala sensorik ringan
- Keterlibatan saraf kranial, kelemahan terutama bilateral dari
otot-otot wajah
- Pemulihan mulai dua sampai empat minggu setelah
perkembangan berhenti
- Disfungsi otonom
- Tidak adanya demam saat onset
- Konsentrasi tinggi protein dalam cairan serebrospinal, dengan
kurang dari 10 sel per milimeter kubik (disosiasi sitoalbumin
pada pemeriksaan lumbal punksi)
- Gambaran demielinating polineuropati pada pemeriksaan
Elektrofisiologi (ENMG)

137
6. Diagnosis Banding  Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik
 Tetraparesis penyebab lain
 Hipokalemia
 Miasthenia gravis
7. Pemeriksaan Laboratorium:
Penunjang  LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l,
tanpa peningkatan dari sel < 10 lymposit/mm3
- Hitung jenis dan panel metabolik tidak begitu bernilai
- Peningkatan titer dari agent seperti CMV,
EBV/micoplasma membantu penegakan etiologi. Untuk
manfaat epidemiologi
- Antibodi glycolipid
- Antibodi GMI
- Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti
mielopati
- EMG
8. Terapi  Tidak ada drug of choice
 Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan
pernafasan
 Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
 Roborantia saraf parenteral
 Perlu NGT bila kesulitan mengunyah/menelan
 Kortikosteroid masih controversial, bila terjadi paralisis otot
berat maka perlu kortkosteroid dosis tinggi
 Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar
terutama kasus akut
 Plasma 200-250 ml/kgBB dalam 4-6x pemberian sehingga
waktu sehari diganti cairan kombinasi garam +5% albumin
 Imunoglobulin intravena (expert consensus): IVIG
direkomendasikan untuk terapi GBS 0,4 g/kgBB/tiap hari
untuk 5 hari berturut-turut ternyata sama efektifnya dengan

138
penggantian plasma. Expert consensus merekomendasikan
IVIG sebagai pengobatan GBS
9. Edukasi Pasien dengan GBS dan keluarga mereka harus dididik tentang
penyakit, proses penyakit, dan tentu saja pencegahan. GBS adalah
penyakit dengan pengaruh potensial jangka panjang terhadap fisik
dan kesejahteraan psikososial pasien. Pendidikan keluarga dan
pelatihan juga dianjurkan untuk mencegah komplikasi selama
tahap awal penyakit dan untuk membantu dalam pemulihan fungsi
pada tahap rehabilitasi.
10. Prognosis - tingkat kematian 2-12% meskipun manajemen dilakukan di
ICU (sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis,
pneumonia, penyakit tromboemboli vena, dan serangan
jantung karena disfungsi otonom)
- pasien berusia 60 tahun atau lebih, risiko kematian adalah
6 kali lipat dari orang yang berusia 40-59 tahun dan 157
kali lipat dari pasien yang lebih muda dari 15 tahun
- Tingkat kecacatan : 80% pasien dengan GBS berjalan
secara independen setelah 6 bulan, dan sekitar 60% pasien
mencapai pemulihan penuh pada kekuatan motorik dalam
waktu 1 tahun. Pemulihan pada sekitar 5-10% pasien
dengan GBS memerlukan waktu yang lebih panjang dari 1
tahun, dengan beberapa bulan ketergantungan terhadap
ventilator, dan kadang pemulihan tidak sempurna.
11. Tingkat Evidens dan Tingkat evidens terapi sindroma guillain barre berpedoman kepada
tingkat rekomendasi American Academy of Neurology (AAN) adalah:
Tingkat evidens kuat (strong evidence support)
1. Plasmafaresis direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat
berjalan tanpa bantuan (nonambulant) yang masih berada dalam
waktu 4 minggu onset dari gejala neuropatinya. (Level A, tingkat
rekomendasi Kelas II)
2. IVIG (Imunoglobulin intravena) dengan dosis 0,4/KgBB/ hari,
diberikan selama 5 hari berturut turut direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (nonambulant)

139
yang masih berada dalam waktu 2 minggu onset dari gejala
neuropatinya (Level A, tingkat rekomendasi Kelas II)
3. Terapi kombinasi antara plasmaparesis dan IVIG : perlakuan
plasmaparesis dan diikuti dengan pemberian IVIG tidak memiliki
efek terapi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
plasmaparesis sendiri atau IVIG saja. (Level A, tingkat
rekomendasi Kelas I)
Pemberian cortikosteroid tidak direkomendasikan pada terapi
sindroma guillain Barre (Level A, tingkat rekomendasi Kelas I)
Tingkat evidens baik (good evidence support)
1. Plasmaparesis direkomendasikan pada pasien yang masih dapat
berjalan tanpa bantuan (ambulant) dalam waktu 2 minggu onset
dari gejala neuropatinya. (Level B, tingkat rekomendasi kelas II
terbatas)
2. Jika plasmaparesis dimulai dalam waktu 2 minggu onset,
didapatkan efek terapi yang equivalent atau setara dengan pasien
yang diberikan IVIG yang memerlukan alat bantu berjalan (Level
B, tingkat rekomendasi kelas I)
3. Plasmaparesis adalah terapi pilihan pada anak anak dengan SGB
yang berat (Level B, tingkat rekomendasi kelas II)
4. IVIG direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat berjalan
tanpa bantuan dapat diberikan dalam 4 minggu onset neuropatinya
(level B, tingkat rekomendasi kelas II)
5. Jika pemberian IVIG dimulai dalam waktu 2 minggu onset,
IVIG memiliki kemanjuran yang sebanding dengan plasmaparesis
pada pasien yang memerlukan alat bantu berjalan jika dimulai
dalam 2 minggu onset (level B, tingkat rekomendasi kelas I)
6. IVIG adalah terapi pilihan bagi anak anak dengan SGB yang
parah (level B, tingkat rekomendasi kelas II)
12. Penelaah Kritis 1. Dr. Widjayanti ,Sp.S

13. Indikator Medis 1. fungsi motorik membaik, termasuk gerakan dan kekuatan serta
refleks fisiologis kembali normal merupakan indikator fase

140
penyembuhan.
2. fungsi pernafasan terganggu merupakan indikator untuk
perawatan ICU
3. Terjadinya perbaikan kecepatan hantar saraf pada ENMG
merupakan indikator perbaikan klinis pada pasien SGB secara
elektrofisiologis
14. Kepustakaan 1. Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment approaches
for Guillain-Barré syndrome and chronic inflammatory
demyelinating poly radiculoneuropathy. Neuro
Clin.2001;19:187–204.
2. Hahn AF. Guillain-Barré syndrome. Lancet. 1998;352:635–41.
3. Seneviratne U. Guillain-Barré syndrome. Postgrad Med J.
2000;76:774–82.
4. Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H.
Pregnancy and Guillain-Barré syndrome: a nationwide register
cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15:192–200.
5. The prognosis and main prognostic indicators of Guillain-Barré
syndrome: a multicentre prospective study of 297 patients. The
Italian Guillain-Barré Study Group. Brain. 1996;119(pt 6):2053–
61.
6. Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term
outcome in patients with Guillain-Barré syndrome requiring
mechanical ventilation. Neurology. 2000;54:2311–5.
7. Ropper AH. The Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med.
1992;326:1130–6.
8. Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barré syndrome. Arch
Neurol. 1984;41:511–4.
9. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic
criteria for Guillain-Barré syndrome. Ann Neurol.
1990;27(suppl):S21–4.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings in
Guillain-Barré syndrome. Arch Neurol. 2001;58:913–7.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In:

141
Goldman L, Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine. 21st
ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 2000:2010–6.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY,
Jiang Z, et al. Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause
of acute flaccid paralysis in China. Ann Neurol. 1993;33:333–
42.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin
JW, et al. Patterns of recovery in the Guillain-Barré syndromes.
Neurology. 1997;48:695–700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al.
Pathology of the motor-sensory axonal Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol. 1996;39:17–28.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical
features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology.
2001;56:1104–6.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barré
syndrome: a review. Muscle Nerve. 1994;17:1145–55.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA.
Campylobacter jejuni infection and Guillain-Barré syndrome.
N Engl J Med. 1995;333:1374–9.
18. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, Zielasek J, Weissbrich B,
Schubert J, et al. Preceding infection, immune factors, and
outcome in Guillain-Barré syndrome. Neurology.
2001;56:758–65.
19. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M,
Nash D, et al. The Guillain-Barré syndrome and the 1992–1993
and 1993–1994 influenza vaccines. N Engl J Med.
1998;339:1797–802.
20. Zhou W, Pool V, Iskander JK, English-Bullard R, Ball R, Wise
RP, et al. Surveillance for safety after immunization: Vaccine
Adverse Event Reporting System (VAERS)—United States,
1991–2001. MMWR Surveill Summ. 2003;52:1–24.
21. Lawn ND, Fletcher DD, Henderson RD, Wolter TD, Wijdicks

142
EF. Anticipating mechanical ventilation in Guillain-Barré
syndrome. Arch Neurol. 2001;58:893–8.
22. Sharshar T, Chevret S, Bourdain F, Raphael JC. Early
predictors of mechanical ventilation in Guillain-Barré
syndrome. French Cooperative Group on Plasma Exchange in
Guillain-Barré Syndrome. Crit Care Med. 2003;31:278–83.
23. Tripathi M, Kaushik S. Carbamazepine for pain management in
Guillain-Barré syndrome patients in the intensive care unit. Crit
Care Med. 2000;28:655–8.
24. Pandey CK, Bose N, Garg G, Singh N, Baronia A, Agarwal A,
et al. Gabapentin for the treatment of pain in Guillain-Barré
syndrome: a double-blind, placebo-controlled, crossover study.
Anesth Analg. 2002;95:1719–23.
25. Van Der Meche FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing
intravenous immune globulin and plasma exchange in Guillain-
Barré syndrome. Dutch Guillain-Barré Study Group. N Engl J
Med. 1992;326:1123–9.
26. Hughes RA, Wijdicks EF, Barohn R, Benson E, Cornblath DR,
Hahn AF, et al. Practice parameter: immunotherapy for
Guillain-Barré syndrome: report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology. 2003;61:736–40.
27. Hughes RA, Raphaël JC, Swan AV, van Doorn PA.
Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barré syndrome.
Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1):CD002063
28. Randomised trial of plasma exchange, intravenous
immunoglobulin, and combined treatments in Guillain-Barré
syndrome. Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré
Trial Group. Lancet. 1997;349:225–30.
29. Hund EF, Borel CO, Cornblath DR, Hanley DF, McKhann
GM. Intensive management and treatment of severe Guillain-
Barré syndrome. Crit Care Med. 1993;21:443–46.
30. Raphaël JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma

143
exchange for Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database
Syst Rev. 2004;(1):CD001798
31. Appropriate number of plasma exchanges in Guillain-Barré
syndrome. The French Cooperative Group on Plasma
Exchange in Guillain-Barré Syndrome. Ann Neurol.
1997;41:298–306.
32. Sater RA, Rostami A. Treatment of Guillain-Barré syndrome
with intravenous immunoglobulin. Neurology. 1998;51(6 suppl
5):S9–15.
33. Hughes RA, van Der Meche FGA. Corticosteroids for treating
Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst Rev.
2003;(4):CD001446. Review.
34. Lawn ND, Wijdicks EF. Fatal Guillain-Barré syndrome.
Neurology. 1999;52:635–8.
35. Standar Pelayanan Medik (SPM) Neurologi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)

144

Anda mungkin juga menyukai