Selain itu didalam UU ini juga dijelaskan adanya pengawasan dari menteri
keuangan yang mana mencakup pemeriksaan terhadap kertas kerja dan
permintaan keterangan untuk memperoleh keyakinan atas kepatuhan dari seorang
akuntan publik, KAP dan cabang KAP terhadap UU dan SPAP. Sehingga menteri
keuangan secara langsung membawahi segala tindakan yang dilakukan oleh para
akuntan publik yang dapat meminimalisir risiko penyelewengan yang dilakukan.
Tetapi dilihat dari pasal 6a, yang menyatakan bahwa “..Yang dapat mengikuti
pendidikan profesi akuntan publik adalah seseorang yang memiliki pendidikan
minimal sarjana strata 1 (S-1), diploma IV (D-IV), atau yang setara.”. Dari
penjelasan pasal 6a tersebut berarti untuk menjadi akuntan publik tidak harus
berasal dari sarjana akuntansi. Untuk menjadi akuntan publik lulusan jurusan
akuntansi harus bersaing dengan lulusan dari jurusan non akuntansi. Tentu hal ini
akan mengancam posisi para lulusan akuntansi, dimana mereka yang selama 4
tahun lebih duduk dibangku kuliah, bergelut dengan dunia akuntansi yang
kemudian dapat disamai oleh mereka yang mungkin hanya menganggap akuntansi
di ibaratkan sebagai angin lalu saja, karena meskipun bukan dari jurusan
akuntansi mereka masih bisa tetap mengikuti pendidikan profesi akuntansi.
Seharusnya pemerintah dapat lebih mengkaji lagi mengenai isi pasal 6 ini
sendiri, tetapi seperti yang sebelumnya sudah dijabarkan indonesia sangat
memerlukan tenaga akuntan publik. Karena, menurut survei yang dilakukan oleh
IAPI, jumlah akuntan publik di indonesia hingga 31 maret 2011 baru 926 dari
total jumlah penduduk yang mencapai 237 juta jiwa, masih kalah dengan
singapura yang hanya memiliki sekitar lima juta penduduk tetapi memiliki 15.120
orang akuntan publik. Selain itu adanya pertumbuhan jumlah akuntan yang tidak
signifikan atau stagnan, hal ini lah yang mendasari pemerintah untuk tidak
membatasi setiap orang untuk mengikuti pendidikan profesi akuntan publik
Beberapa ikatan akuntan juga masih merasa keberatan dengan isi dari UU
ini, seperti pada pasal 55A, 55B dan 56. Pasal – pasal ini menjelaskan mengenai
sanksi yang diterima oleh akuntan publik apabila melakukan pelanggaran. Dalam
pasal ini mengkaitkan soal etika dan admisitratif yang seharusnya masuk pada
wilayah profesi bukan pada ranah publik. Akuntan publik tidak mungkin secara
langsung menjadi pelaku, karena kemungkinannya menjadi pelaku pembantu
yaitu yang membantu terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini, IAPI beranggapan
mereka bekerja berdasarkan kertas kerja, jadi tidak mungkin mereka akan
memalsukan data data mereka sendiri. Selain itu pasal 56 yang menyatakan
tentang sanksi yang terkait dengan pihak asosiasi, seandainya seorang akuntan
publik melakukan kesalahan, yang non pegawai pun akan terkena imbasnya.
Dengan adanya peraturan dan sanksi tersebut, dikhawatirkan akan menghambat
perkembangan profesi ini dan menyebabkan semakin berkurangnya minat dari
masyarakat untuk menggeluti profesi ini. Bukankah tujuan awal pemerintah
adalah untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya akuntan publik, dengan
diperbolehkannya mereka yang bukan lulusan akuntansi mengikuti pendidikan
profesi akuntan publik.
Memang, mesti diakui pula bahwa munculnya UU AP, yang pada awalnya
masih dalam bentuk RUU telah menuai berbagai perbedaan pendapat, juga tidak
terlepas dari silang pendapat antara pemerintah dengan sebagian profesi. Asosiasi
profesi akuntan publik yang diwadahi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menilai bahwa sebagian UU AP
dikhawatirkan akan menghambat dan mengganggu perkembangan akuntan publik
Indonesia. Perbedaan pendapat atas sebagian UU AP tersebut, utamanya
menyangkut pemberian sanksi pidana dan pengaturan rotasi klien. Nyatanya, di
lingkup profesi memang terdapat dua kubu besar yang berbeda pendapat. Dua
kubu itu diwakili oleh akuntan publik yang bekerja sendiri (single practitioner)
dan mereka yang membentuk partnership atau kemitraan. Single
practitioner misalnya, beranggapan bahwa rotasi klien maupun pemberian sanksi
pidana hanya akan “mengubur” profesi. Sementara mereka yang membentuk
partnership menjawab hal tersebut sebagai tantangan profesi dan hal yang jamak
dilakukan adalah dengan melakukan rotasi klien. Terlebih di banyak negara pun
pola rotasi klien sudah jamak dilakukan.
Namun, -terlepas dari kontroversi yang ada mengenai penetapan UU AP-
di lain pihak harus diakui bahwa profesi akuntan publik mempunyai peranan yang
besar untuk mendukung terwujudnya perekonomian nasional yang sehat dan
efisien serta meningkatkan transparansi dan kualitas informasi keuangan dan guna
mendorong terwujudnya profesi akuntan publik yang berkualitas dan dapat
bersaing di tingkat global, maka sudah selayaknya profesi akuntan publik
didukung dengan peraturan setingkat undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA