Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri

berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis.

Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak (droplet) dari

penderita TB kepada individu yang rentan (daya tahan tubuh rendah). Pada

umumnya TB menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ

lainnya (Safitri, 2011).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), Tuberkulosis

(TB) masih merupakan salah satu penyakit pada anak dengan tingkat morbiditas

dan mortalitas yang masih tinggi. Diperkirakan, TB masih merupakan salah satu

dari tiga penyakit infeksi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas terbanyak

di seluruh dunia dan merupakan peringkat kedua penyebab kematian karena

infeksi setelah HIV/AIDS (Bakhtiar, 2016).

Indonesia saat ini termasuk dalam 5 negara dengan penderita TB

terbanyak di dunia. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 1,02 juta kasus TB baru

(391 per 100.000 penduduk) dengan 110.000 kematian (42 per 100.000

penduduk). Tuberkulosis pada anak merupakan komponen penting dalam

pengendalian TB karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50%

populasi dan terdapat 1 juta kasus TB baru pada anak di dunia pada tahun 2016

(Prasetyo, 2019).

Meningkatnya kasus TB pada anak diperkirakan berkaitan dengan

kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Salah satu diantaranya adalah, kesulitan

mendapatkan M. Tuberculosis sebagai kuman penyebab. Berbagai kemajuan

1
teknologi telah memberi dukungan sebagai penunjang diagnosis. Namun, pada

sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, penerapan teknologi sebagai

penunjang diagnosis TB pada anak tidak mungkin dilakukan. Karena itu, sistem

skoring sebagai alternatif untuk menegakkan diagnosis sangat mungkin untuk

diterapkan. Sebagaimana, penulis membuat referat ini bertujuan untuk memahami

dan mempelajari penyakit tuberculosis pada anak secara keseluruhan (Prasetyo,

2019).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M.

Tuberculosis. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penamaan ini

didasarkan pada kemampuan M. tuberculosis untuk mempertahankan ikatan

dengan fuschin yang disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel.

Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ

tubuh lainya di luar paru - paru, seperti kelenjar getah bening(kelenjar), kulit,

usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan sebagianya (Bakhtiar, 2016).

2.2 Epidemiologi

TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Pada

tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB

sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB Control

2011 menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden

countriesterhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat

8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif

serta 1,4 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat TB termasuk 0,35 juta

orang dengan penyakit HIV.

Tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan insidensi

TB tertinggi di dunia sebanyak 0,37 – 0,54 juta setelah India (2,0 – 2,5 juta), Cina

(0,9 – 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta). Penyakit ini merupakan

penyebab kematian terbesar ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit

saluran pernapasan serta merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok

penyakit infeksi.

3
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai

organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara –

negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 – 50 %

dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia

menderita TB setiap tahun (Kemenkes RI, 2016).

Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada

tahun 2010 adalah 9,4 %, kemudian menjadi 8,5 % pada tahun 2011, 8,2 % pada

tahun 2012, 7,9 % pada tahun 2013, 7, 16 % pada tahun 2014, dan 9 % pada tahun

2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi dari 1,2 % sampai 17,3 %

(Kemenkes RI, 2016).

2.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh secara

lambat di dalam sel (intraselular). Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh

Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen

beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi bila dalam cairan akan mati pada

suhu 60°C dalam waktu 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis

menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan

asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel

epiteloid dan tuberkel. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus

yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai

Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung,

tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun

(Bakhtiar, 2016).

4
Basil tuberculosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin maupun

eksotoksin). Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui udara,

sehingga sebagian besar fokus primer tuberculosis terdapat dalam paru. Selain

melalui udara, penularan dapat peroral misalnya minum susu yang mengandung

basil tuberculosis, biasanya Mycobacterium bovis. Dapat juga melalui luka atau

lecet di kulit (Bakhtiar, 2016).

Mycobacterium tuberculosis mengandung zat organik dan anorganik.

Protein (tuberculoprotein) bersifat sebagai antigen, sehingga terjadi reaksi antigen

antibodi yang menyebabkan terjadinya lesi dan eksudasi. Lipid (tuberculolipid)

merangsang jaringan sehingga terjadi reaksi spesifik (terbentuk tuberkel). Lipid

bersama-sama dengan zat asam lain dari kuman akan menyebabkan kuman

menjadi tahan asam. Polisakarida dari kuman bersifat sebagai hapten yang

dianggap berperan dalam merangsang tubuh untuk membentuk suatu kekebalan

(Bakhtiar, 2016).

2.4 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB

maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi

faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko

penyakit) (Safitri, 2011).

1. Resiko infeksi TB

Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan

dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,

kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak

5
membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti

perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif (Safitri, 2011).

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih

tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas

atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif

dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi

udara yang kurang baik (Safitri, 2011).

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa

di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam

sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena

imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu

menyebabkan sakit.

b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer

biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak

terjadi produksi sputum.

c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor

batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB

anak.

2. Resiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi

TB menjadi sakit TB (Safitri, 2011).

6
a. Usia

Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi

infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang

sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara

bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki

risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan

meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan

timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala

yang akut.

a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif

menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.

b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,

pengangguran, pendidikan yang rendah.

c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,

keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).

d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.

2.5 Patogenesis

Paru merupakan port de entre lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Kuman

TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil ( < 5 mm)

akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologi spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan

seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian

7
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

dihancurkan akan terus berkembang biak didalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag . Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat

tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon. Selanjutnya, kuman TB menyebar

melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang

mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah atau tengah,

kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),

sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah

kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis

dinamakan kompleks primer (Kemenkes RI, 2016).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB bervariasi selama 2 – 12 minggu, biasanya berlangsung selama 4 – 8

minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembangbiak hingga mencapai

jumlah 103 − 104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas

seluler (Kemenkes RI, 2016).

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin

8
negative. Pada sebagian individu dengan system imun yang berfungsi baik, pada

saat system imun seluler berkembang, profilerasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,

sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas

seluler terlah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (Kemenkes RI, 2016).

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi

setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga

akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun – tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB (Kemenkes RI, 2016).

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat focus di paru

atau di kelenjar limfe regional. Focus primer di paru dapat membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang ebrat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar mellaui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) (Kemenkes RI, 2016).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,sehingga

bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil ( ball –

vale mechanism) . Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan

erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk

9
fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang sering disebut sebagai

lesi segmental kolaps- konsolidasi (Kemenkes RI, 2016).

Selama masa inkubasi, terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjur

menyebar secara limfahematogen. Dapat juga terjadi peneybaran hematogen

langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut

sebagai penyakit sistemik (Kemenkes RI, 2016).

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara

sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang

di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,

limpa,dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ

lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain – lain. Pada umumnya, kuman di

sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan

proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan focus simon, yang

kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dna terjadi TB apeks paru saat dewasa.

(Kemenkes RI, 2016).

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisa akur. Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan bererdar

didalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

10
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.TB

diseminata ini timbul dalam waktu 2 – 6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya

penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta

frekuensi berulangnya penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya

system imun pejamu dalam mengatasi infeksi Tb, misalnya pada anak bawah 5

tahun ( balita) terutama dibawah dua tahun (Kemenkes RI, 2016).

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protacted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan di dinding

vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman

TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalize hematogenic

spread (Kemenkes RI, 2016).

11
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya TB
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).
Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic

spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan

vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian

hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), lirntangitis (2), dan limladenitis

regional (3).

12
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran

hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga

pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.

4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa

melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi

sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).

2.6 Manifestasi klinis

Seorang anak harus dicurigai menderita tuberculosis kalau

• Mempunyai sejarah kontak erat ( serumah )dengan penderita TBC BTA

positif

• Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG ( dalam 3–7

hari )

• Terdapat gejala umum TBC seperti batuk persisten, berat badan turun atau

gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif.

Gejala Tb yang khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah

diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk

demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang

adekuat untuk masalah berat badan) (Safitri, 2011).

Gejala umum TBC pada anak :

• Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi

gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1 – 2 bulan.

• Demam lama dan/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,

infeksi saluran kemih, malaria, dan lain - lain). Demam umumnya tidak

13
tinggi. Keringat malam saja merupakan gejala spesifik TB pada anak

apabila tidak disertai dengan gejala sistemik/umum lain.

• Batuk lama ≥ 2 minggu, batuk bersifat non – remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika

atau obat asma (sesuai indikasi).

• Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

(Kemenkes RI, 2016).

Gejala spesifik

Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang

misalnya :

• TBC Kulit (skrofuloderma)

Ditandai dengan adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi

ulkus (skin bridge).

• TBC tulang dan sendi :

- Tulang punggung ( spondilitis ) : gibbus

- Tulang panggul ( koksitis ) : pincang pembengkakan dipinggul

- Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak

- Tulang kaki dan tangan

• TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk

muntah-muntah dan kesadaran menurun

• Tuberkulosis mata : Konjungtivitis fliktenularis , Tuberkel koroid ( hanya

terlihat dengan funduskopi)

• Tuberkulosis kelenjar

14
o Biasanya di daerah leher (region colli)

o Pembesaran kelenjar getah bening tidak nyeri, konsistensi kenyal,

multiple dan kadang saling melekat ( konfluens).

o Ukuran besar ( lebih dari 2 x 2 cm), biasanya pembesaran KGB

terlihat jelas bukan hanya teraba.

o Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika

o Bisa terbentuk rongga dan discharge

(Kemenkes RI, 2016).

Gambar 2.2 Limfadenitis TB


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).

2.7 Penegakkan diagnosis

Definisi anak menurut IDAI adalah usia 0- 18 tahun. Penegakan diagnosis

TB paling tepat adalah dengan ditemukan kuman TBC dari bahan yang diambil

dari penderita misalnya dahak bilasan lambung biopsi dll, tetapi pada anak hal ini

sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan

pada 4 hal, yaitu :

1. Konfirmasi bakteriologis TB

2. Gejala klinis yang khas TB

15
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberculin positif atau kontak erat dengan

pasien TB)

4. Gambaran foto toraks sugestif TB.

Anamnesis

- Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas

atau gagal tumbuh

- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu

- Batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa wheeze

- Riwayat kontak dengan pasien tb paru dewasa.

Pemeriksaan fisik

- Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal

- Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang

- Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bias

negative pada anak dengan TB milier atau juga menderita HIV/AIDS, gizi

buruk atau beru menderita campak

- Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat

menurut panjang/tinggi badan.

Pemeriksaan penunjang

Uji Tuberkulin ( Mantoux )

Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang

terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat

dibutuhkan.Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam

menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux

16
karena dosis antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di

control.Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui

adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun dengan uji

tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak

menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan

salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan

menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 – 6 jarum

berdasarkan cara Heat andTine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1

mL yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan (

PPD ) yang distabilkan dengan Tween 80.9 Sampai sekarang cara Mantoux masih

dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah

tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya.

Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:

1. Eritema karena vasodilatasi perifer

2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibody

3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.

Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan diukur

diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang penderita akan

mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif.

Faktor – factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi,

immunosupresi karena penyakit atau obat – obat, infeksi virus, vaksin virus hidup,

dan tuberculosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak yang

17
terinfeksi dengan M.tuberculosis. Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi

erhadap tuberculin, dengan pengaruh yang sangat bervariasi.

Interpretasi hasil test Mantoux :

1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif

Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman

Mycobacterium tuberculosis.

2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan

Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan

Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi yang

sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti infeksi dengan

Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau

BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain daritubeculosis yang

jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan

Mycobacterium tuberculosis.

3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.

Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.

Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh sensitisi silang

terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya

sementara selama beberapa bulan sampai beberapa tahundan menghasilkan

indurasi kurang dari 10 – 12 mm. Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat

menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang

mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan

reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun kemudian pada penderitayang pada

mulanya memiliki uji kulit positif.

18
Gambar 2.3 Hasil Mantoux
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).

Foto Rontgen dada

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto

biasanya sulit, harus hati - hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau

underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar

kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang

mencurigai TBC adalah (Safitri, 2011).

• Milier

• Atelektasis /kolaps konsolidasi

• Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

• Konsolidasi ( lobus )

• Reaksi pleura dan atau efusi pleura

19
• Kalsifikasi

• Bronkiektasis

• Kavitas

• Destroyed lung

Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus

dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero-Anterior )

dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin AP saja.

Gambar 2.4 Tuberukulosis pada anak


(Sumber : Kim, Susan,2014, Pediatric TB Radiology for clinicians).

20
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya

dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak.

Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara

baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR ( Polymery chain Reaction )

atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis (Kemenkes RI, 2016).

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :

 Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan tubuh

atau jaringan biopsy)

Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu


sewaktu dan pagi hari. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurang – kurang nya ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu
sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.
 Tes cepat molekuler (TCM) TB

1. Pemeriksaan line probe assay (misalnya Hain genotype) dan

NAAT Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MB/RIF).

2. TCM digunakan untuk mendeteksi kuman M. Tuberkulosis secara

molekuler sekaligus menentukan ada tidaknya resisten terhadap

rifampicin.

 Pemeriksaan biakan

Gold Standart diagnosis TB adalah menemukan kuman penyebab TB.

Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu :

1. Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4 – 8 minggu

2. Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat ( 1 – 2 minggu),

tetapi lebih mahal.

21
Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan

lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis

praktis (Kemenkes RI 2016).

Pemeriksaan histopatologi (PA/Patalogi Anatomi)

Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan

nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia

langhans dan atau kuman TB (Kemenkes RI 2016).

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang maka

dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor >6

(sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat

pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi

secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,

pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll.

22
Gambar 2.5 Alur diagnosis TB Paru Anak
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).

23
Gambar 2.6 Sistem Skoring TB Anak
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).

24
Klasifikasi Tuberkulosis

1. Berdasarkan lokasi anatomi penyakit :

Tuberculosis paru :

 Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB milier

dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

 Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau

efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB

pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.

 Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB

ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

Tuberkulosis ekstra paru :

 Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura,

kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan

tulang.

 Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru

diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.

 Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,

diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ

menunjukkan gambaran TB yang terberat.

2. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).

25
Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,

yaitu :

 Pasien kambuh : adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan

hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis ( baik karena benar –

benar kambuh atau karena reinfeksi).

 Pasien diobati kembali setelah gagal : adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

 Pasien yang diobati kembali setelah putus obat : pasien yang

pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus

berobat).

 Lain – lain : pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

 Mono resisten ( TB MR) : resisten terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama saja.

 Poli resisten ( TB PR) : resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT

lini pertama adalah isoniazid (H) dan rifampicin (R) secara

bersamaan.

 Multidrug resisten ( TB MDR) : resisten terhadap isoniazid (H)

dan rifampicin (R) secara bersamaan .

26
 Extensive drug resistant (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga

resiten terhadap salah satu dari OAT golongan flurokuinolon dan

minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan ( Kanamisin,

Kapreomisin dan Amikasin).

 Resisten Rifampisin (TB RR) : resisten terhadap rifampisin dengan

atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi

menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (

konvesional).

4. Berdasarkan status HIV

 HIV positif

 HIV negative

 HIV tidak diketahui

2.8 Tatalaksana

Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:

 Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam

monoterapi

 Pengobatan diberikan setiap hari

 Pemberian gizi yang kuat

 Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.

Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan

profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,

sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer

atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)) (Kemenkes RI

2016).

27
Panduan Obat Terapi TB Anak

Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase

intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali pada

TB berat). Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya

resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.

Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. OAT diberikan setiap

hari dengan paduan obat yaitu rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase

intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Sedangkan pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB tertentu yaitu : TB

milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan

peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg

BB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan taffering off dalam jangka waktu yang sama.

Tujuan pemberian steroid adalah untuk mengurangi proses inflamasi dan

mencegah terjadinya perlekatan jaringan (Kemenkes RI 2016).

Pengobatan saat ini yang cukup baik hasilnya adalah penggunaan obat anti

tuberkulosis (OAT) yang terdiri dari INH, Rifampisin, dan pirazinamid. INH

diberikan dengan dosis 10-15 mg/kgBB selama 6 bulan, Rifampisin 10-15

mg/kgBB selama 6 bulan, dan pirazinamid 25-35 mg/kgBB selama 2 bulan.

Untuk mengurangi angka drop out pengobatan TB dan meningkatkan kepatuhan

pasien menelan obat, maka dibuat bentuk fixed dose combination (FDC) yaitu

menggabungkan INH, rifampisin, dan pirazinamid dalam satu kemasan. Syarat

28
FDC yang baik adalah bioavailabilitas dan bioekuivalennya harus baik yaitu tidak

ada perbedaan yang bermakna apabila dibandingkan dengan sediaan lepas obat

yang digabung (Kemenkes RI 2016).

Gambar 2.7 Dosis OAT untuk Anak


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).

Gambar 2.8 Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).
Paduan OAT disediakan dalam bentuk kombinasi dosis tetap = KDT. Tablet KDT
untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu :
 Tablet RHZ yang merupakan kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid), dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
 Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

29
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan
komposisi dari tablet KDT tersebut.

Gambar 2.9 Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed drug combination (FDC)
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak).
Keterangan :
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk kerumah sakit
- Anak dengan BB > 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus
Bila paket KDT belum tersedia dapat digunakan paket OAT Kombipak anak
dosisnya

Dosis OAT Kombipak fase awal/intensif pada anak


Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dosis OAT Kombipak fase lanjutan pada anak


Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

30
Pemantauan Hasil Pengobatan

a. Pengawasan terhadap respon pengobatan. Perhatikan perbaikan klinik,

aktivitas, nafsu makan, kenaikan berat badan. Bila ada tuberkulosis ekstra

pulmonal diamati perbaikan yang terjadi. Respon klinis yang baik terhadap

terapi mempunyai nilai diagnostik. Respon yang baik dapat dilihat dari

perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan membaik, berat badan

meningkat dengan cepat, keluhan demam dan batuk menghilang dan tidak

merasa sakit. Respon yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase

intensif).

b. Pengawasan terhadap komplikasi.

c. Pengawasan terhadap efek samping obat : biasanya jarang terjadi pada anak.

Neuritis perifer, gangguan Nervus VIII, gangguan penglihatan, gejala

hepatotoksik.

d. Pengamatan terhadap perbaikan gambaran laboratorium darah. Pemeriksaan

kimia darah atas indikasi.

e. Pengamatan terhadap perbaikan radiologik dilakukan pada akhir pengobatan.

f. Mencari sumber infeksi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya.

31
Gambar 2.10 Hasil akhir pengobatan pasien TB Anak

(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB


anak).

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidapatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan

terapi dan meningkatnya resiko terjadinya TB resisten obat.

1. Jika anak tidak minum obat > 2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di

fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatam dari awal.

2. Jika anak tidak minum obat < 2 minggu di fase inetnsif atau < 2 bulan di

fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan

sampai selesai.

Pengobatan ulang TB pada anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali

dengan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita Tb. Evaluasi

dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau resisten skoring.\

32
Respon pengobatan dilakukan baik apabila gejala klinis membaik ( demma

menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan berat badan

meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik makan pengobatan TB tetap

dilanjutkan dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai

kemungkinan resistensi obat, komplikasi, komorbiditas, atau adanya penyakit

paru lain. Pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan.

Pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang

pada akhir bulan ke – 2, k-5, dank e-6.

Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga

tidak perlu dilakukan foto thoraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB

milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 – 4

minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberculin karena uji tuberculin yang

positif akan tetap positif.

Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan. Pemberian OAT

dihentikan setelah pengobatam lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis

maupun pemeriksaan penunjang lains eperti foto toraks ( pada TB milier, TB

dengan kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran rediologis tidak menunjukkan

perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka

pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai. Kepatuhan minum

obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan.

2.9 Pencegahan tuberkulosis anak

1. Vaksinasi BCG

Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil

tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian

33
BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi

super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi

yang berat.

2. Kemoprofilaksis

- Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji

tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang

digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 2 – 3 bulan.

- Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif

tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi

TB aktif, obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12

bulan.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul antara lain :

 TB milier

 Meningitis TB

 Efusi pleura

 Pneumotoraks

 Bronkiektasis

 Atelektasis

2.11 Prognosis

Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya mendapat

infeksi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini,

pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang

berulang dan lain-lain.

34
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka

morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di Negara maju

yaitu merupakan satu diantara 10 penyebab kematian utama di dunia. Tahun 2010,

Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan insidensi TB tertinggi di

dunia.

Penyebab penyakit ini adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang

merupakan bakteri tahan asam. Penyakit ini memerlukan pengobatan yang lama

dan teratur sehingga memerlukan kesabaran dan peran serta dari keluarga dan

dokter yang memberi pengobatan.

Upaya untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian

vaksinasi BCG sewaktu anak baru lahir atau dengan kemoprofilaksis primer pada

anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita

TB aktif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberculosis pada

anak, dengan memberikan Isoniazid 5-15 mg/kgbb/hari, dosis tunggal dan

kemoprofilaksis sekunder bertujuan untuk mencegah aktifnya infeksi sehingga

anak tidak sakit yang ditandai dengan uji tuberculin (+) tetapi gejala klinis dan

radiologis normal, yang diberikan adalah isoniazid 10mg/kgbb/hari selama 6-12

bulan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, 2016, Pendekatan diagnosis tuberkulosis pada anak Di sarana pelayanan


kesehatan dengan Fasilitas terbatas jurnal kedokteran syiah kuala, Vol.16,
pp.2.
Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al :
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2008, hal 1028 –
1042
Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak.
Kim, Susan,2014, Pediatric TB Radiology for clinicians.
Safitri, F., 2011, Diagnosis tb dewasa dan anak berdasarkan Istc (international
standard for tb care,UMM journal, Vol. 7. pp.15.
Sharif,2013, National guidelines on management of tuberculosis in children
ministry of health division of leprosy, tuberculosis and lung disease
second edition.
WHO, 2014,Guidance for national tuberculosis programmes on the management
of tuberculosis in children.
WHO Indonesia, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Jakrta :
WHO Indonesia; 2009;113-118

36

Anda mungkin juga menyukai