Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN

TUTORIAL BLOK 10
SKENARIO A

DISUSUN OLEH

Kelompok Tutorial VIII


Tutor : dr. Sulaiman Waiman, MSc, SpParK

Ayub (04011281320051)
Endy Averossely (04011381320017)
KMS. M. Afif Rahman (04011381320019)
Virdhanitya Vialetha (04011381320045)
Ratu Rizki Ana (04011381320047)
Shafira Amalia (04011381320049)
Fira Andriani (04011381320065)
Afkur Mahesa Nasution (04011381320067)
Devi Agustini Rahayu (04011181320013)
Nina Vella Rizky (04011181320051)
Fellani (04011181320061)
Tri Legina Oktari (04011181320111)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN PELAJARAN 2013-2014

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Illahi Robbi, karena berkat limpahan rahmat dan
hidayahnya jua-lah Penyusun bisa menyelesaikan tugas Laporan Tutorial ini dengan baik
tanpa aral yang memberatkan.

Laporan ini disusun sebagai bentuk dari pemenuhan tugas Laporan Tutorial Skenario
A yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, khususnya pada Blok 10.

Terima kasih tak lupa pula Kami haturkan kepada dr. Sulaiman Waiman, MSc,
SpParK, yang telah membimbing dalam proses tutorial ini, beserta pihak-pihak lain yang
terlibat, baik dalam memberikan saran, arahan, dan dukungan materil maupun inmateril dalam
penyusunan tugas laporan ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik yang membangun sangat Kami harapkan sebagai bahan pembelajaran yang baru bagi
Penyusun dan perbaikan di masa yang akan datang.

Palembang,28 Agustus 2014


Penyusun

Kelompok Tutorial VIII

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................2

DAFTAR ISI ......................................................................................................................3

SKENARIO A ....................................................................................................................4

I. Klarifikasi Istilah ........................................................................................................4

II. Identifikasi Masalah ...................................................................................................5

III. Analisis Masalah .........................................................................................................6

IV. Keterkaitan antar-Masalah .......................................................................................18

V. Identifikasi Topik Pembelajaran (Learning Issue)

A. Matriks Identifikasi............................................................................................. 19

B. Sintesis Masalah

1. Salmonella typhii ............................................................................................ 19

2. Demam Tifoid..................................................................................................30

3. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium .......................................................... 34

4. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................38

VI. Kerangka Konsep .......................................................................................................45

KESIMPULAN .................................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................47

4
SKENARIO A
Doni, laki-laki,18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam. Demam terjadi sejak
9 hari yang lalu. Doni sudah pernah minum obat penurun panas yang dibeli di warung, tetapi
demam hanya turun beberapa jam kemudian naik lagi. Demam meningkat terutama saat
malam hari dan turun di siang hari tetapi tidak sampai suhu normal. Doni juga mengeluh
mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi, BAK biasa, dan nafas
bau. Satu hari yang lalu Doni mengeluh demamnya semakin tinggi, tidak menggigil, serta
mengeluh mual dan muntah.

Doni menyangkal bepergian keluar kota dalam beberapa bulan terakhir.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

Keadaan umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR: 24x/menit, Nadi: 92x/menit,
Suhu: 38,5 oC.

Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, coated tongue, Thoraks: paru dalam batas normal,
jantung: HR 92x/menit, Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus
menurun, hepar lien tidak teraba, Ekstremitas dalam batas normal.

Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3, Ht: 37%, LED: 8 mm/jam.

Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat hasilnya, Dokter
menyimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid.

I. Klarifikasi Istilah

No. Istilah Definisi


1. Demam Penaikan dari suhu tubuh di atas normal
2. Mual Sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mengacu
epigastrium abdomen dengan kecendrungan untuk muntah
3. Konstipasi Suatu keadaan terjadi penurunan motilitas atau pergerakan usus
yang ditandai dengan kesuliatan buang air besar
4. BAK Buang Air Kecil
5. Menggigil Perasaan dingin disertai dengan getaran tubuh
6. Rhagaden Belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat kecil atau

5
dalam, misalnya pada keratodermia.
7. Coated tongue Lidah yang dilapisi dengan lapisan berwarna putih atau
kekuning-kuningan yang terdiri dari epitel deskuamasi, debris,
bakteri, jamur, atau bahan lain yang bisa langsung dibuang.
8. Bising usus Suara yang disebabkan oleh kontraksi otot peristalik dalam
mencerna makanan
9. Ekstremitas Anggota Badan
10. LED (Laju endapan Kecepatan sel-sel darah merah mengendap dalam tabung uji
darah) dengan satua mm/jam
11. Demam tifoid Penyakit infeksi sistem akut yang disebabkan oleh Salmonella
tpyhi di tandai dengan demam berkepanjangan, gangguan
saluran cerna dan gangguan kesadaran

II. Identifikasi Masalah


Tabel Identifikasi Masalah
No. Pernyataan Problem Concern
1. Doni, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan p *****
demam sejak 8 hari yang lalu. Demam menigkat pada malam
hari dan turun di siang hari tapi tidak sampai suhu normal. Doni
sudah pernah minum obat penurun panas tetapi demam hanya
turun beberapa jam kemudian naik lagi
2. Doni juga mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, p ***
nyeri perut, konstipasi, BAK biasa, dan nafas bau.
3. Satu hari yang lalu Doni mengeluh demamnya semakin tinggi, p ****
tidak menggigil, serta mengeluh mual dan muntah.
4. Keadaan Umum: : tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, p **
RR: 24x/menit, Nadi: 92x/menit, Suhu: 38,5 oC
5. Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, coated tongue, Thoraks: - **
paru dalam batas normal, jantung: HR 92x/menit, Abdomen:
datar, lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus menurun,
hepar lien tidak teraba, Ekstremitas dalam batas normal.
6. Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3, p **
Ht: 37%, LED: 8 mm/jam.
7. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. P *
Setelah melihat hasilnya, Dokter menyimpulkan bahwa Doni
menderita demam tifoid.

Main Problem:
Doni, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam sejak 8 hari yang
lalu. Demam menigkat pada malam hari dan turun di siang hari tapi tidak sampai suhu

6
normal. Doni sudah pernah minum obat penurun panas tetapi demam hanya turun
beberapa jam kemudian naik lagi

Problem:
- Doni juga mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut,
konstipasi, BAK biasa, dan nafas bau.
- Satu hari yang lalu Doni mengeluh demamnya semakin tinggi, tidak menggigil, serta
mengeluh mual dan muntah
- Keadaan Umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR: 24x/menit, Nadi:
92x/menit, Suhu: 38,5 oC
- Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, coated tongue, Thoraks: paru dalam batas
normal, jantung: HR 92x/menit, Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan epigastrium,
bising usus menurun, hepar lien tidak teraba, Ekstremitas dalam batas normal.
- Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3, Ht: 37%, LED: 8
mm/jam.
- Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat hasilnya,
Dokter menyimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid

III. Analisis Masalah


A. Doni, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam sejak 8
hari yang lalu. Demam menigkat pada malam hari dan turun di siang hari tapi
tidak sampai suhu normal. Doni sudah pernah minum obat penurun panas tetapi
demam hanya turun beberapa jam kemudian naik lagi
a. Apa penyebab demam pada kasus?
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh salmonella typhi

b. Mengapa demam meningkat pada malam hari dan menurun pada siang hari tidak
sampai suhu normal?
Karena pada malam hari lebih sedikit melakukan metabolisme sehingga
menyebabkan oksigen di dalam tubuh lebih sedikit sedangkan Salmonella typhii
merupakan bakteri yang lebih cepat berkembang biak pada keadaan anaerob.
Sehingga bakteri Salmonella typhii lebih banyak pada malam hari dan tubuh
mengkompensasi dengan cara demam yang suhunya lebih tinggi

c. Bagaimana mekanisme demam?


Infeksi dari Salmonella Thypii yang masuk ke saluran cerna melalui makanan dan
minuman, sehingga mengakibatkan peradangan pada saluran cerna. Peradangan ini
menyebabkan makrofag teraktivasi hiperaktif. Saat Salmonella Thypii di fagosit,
maka terjadilah pengeluaran mediator inflamasi dan sekaligus pirogen atau
endoksin bakteri. Keluarnya pirogen ini menyebabkan terangsangnya hipotalamus,

7
yang kemudian merespon nya dengan meningkatkan suhu tubuh sehingga pasien
mengalami demam.

d. Apa saja jenis-jenis demam?


i. Demam septic, sobat badan berangsur naik ke tingkat tinggi pada malam hari
dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering di sertai
keluhan menggil dna berkerngat. Bila demam turun ke sobat normal di sebut
demam heptik.
ii. Demam remiten, Demam dengan sobat badan yang dapat turun setiap hari
namun tidak mencapai sobat normal. Perbedaan sobat sekitar 2oC.
iii. Demam intermiten, sobat badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam
daolam satu hari. Bila demam ini terjadi setiap 2 hari sekali di sebut Tertiana.
Bila terjadi 2 hari bebas diikuti 2 hari demam di sebut Kuartana.
iv. Demam kontinyu, Terjadi variasi sobat sepanjang hari tidak lebih dari 1oC.
Pada demam yang terus menerus meninggi tiap hari di sebut hiperpireksia.
v. Demam siklik, Terjadi kenaikan sobat selama beberapa hari yang diikuti
periode bebas demam selama bebrapa hari kemudian diikuti kenaiakan sobat
seperti semua.

8
e. Bagaimana pengaruh obat penurun panas pada kasus?
Obat penurun panas pada demam tifoid hanya berpengaruh pada penurunan panas
pasien tanpa membunuh bakteri penyebab penyakit yaitu salmonella typhii. Bakteri
Salmonella dapat ditumpas dengan antibiotik seperti Ciprofloxacin (Dewasa) dan
Cefadroxyl (anak), jika tidak menemukan kedua antibiotik ini maka bisa
digunakan amoxilin dan ampicillin

f. Mengapa demam Doni suhunya turun tidak sampai normal pada siang hari?
Pada kasus ini, demam yang diderita Doni adalah demam remiten karena masa
perkembangan bakteri salmonella terjadi pada malam hari. Demam remiten adalah
keadaan dimana suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali pada siang hari tapi tidak sampai normal, tidak di
sertai mengigil dan berkeringat.

B. Satu hari yang lalu Doni mengeluh demamnya semakin tinggi, tidak menggigil,
serta mengeluh mual dan muntah.
a. Mengapa demamnya tinggi tapi tidak menggigil?
Menggigil adalah salah satu mekanisme termogenesis dalam usaha peningkatan
suhu tubuh .Pada umumnya menggil terjadi pada saat keadaan hiperexia atau suhu
tubuh jauh lebih tinggi dari batas normal dan dalam waktu yang singkat.

b. Mengapa Doni baru muntah satu hari yang lalu setelah mual selama 9 hari?
Karena masa inkubasi bakteri Salmonella adalah 8-20 hari, sehingga minggu
pertama tidak ada gejala dan minggu kedua baru ada gejala muntah

c. Bagaimana mekanisme mual dan muntah?


Kuman yang tidak difagosit kemudian akan berkembang biak dan menyebabkan
organ-organ tersebut membesar disertai dengan nyeri pada rabaan. Organ-organ
yang membesar (hati dan limfa) dapat mendesak lambung sehingga menimbulkan
mual dan muntah. Mual dan muntah juga disebabkan karena adanya peningkatan
asam lambung sebagai bentuk imunitas humoral yang terjadi pada lambung dalam
menhadapi bakteri Salmonella Thypii

9
C. Doni juga mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut,
konstipasi, BAK biasa, dan nafas bau.
a. Apa penyebab mual, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi, napas bau?
 Mual dan muntah pada kasus disebabkan oleh adanya peningkatan
produksi asam lambung yang berfungsi sebagai imunitas hormonal untuk
membunuh Salmonella Thypii.
 Nafsu makan menurun sebagai efek dari mual muntah, sehingga pada
akhurnya food intake penderita demam tifoid kurang.
 Nyeri perut disebabkan oleh Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan
karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).
 Konstipasi terjadi karena adanya gangguan absorbsi pada usus dan gerakan
peristaltik usus menurun.

b. Bagaimana mekanisme mual, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi, napas
bau sesuai kasus?
Proses infeksi dari penyakit thyphoid diawali dengan masuknya kuman
Salmonella Tyhposa kedalam tubuh manusia melalui mulut dengan perantara
makanan dan minuman yang telah tercemar (terdapat kuman Salmonella Thyposa).
Setalah sampai dilambung, sebagian kuman yang masih bertahan hidup melintasi
sawar lambung mencapai usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque payeri
di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi, setelah mengadakan multipliksi di
usus halus. Kuman Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang sintese dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, selanjutnya
membawa zat pirogen kedalam peredaran darah hal ini dapat mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang dapat meningkatan suhu tubuh. Dari
peningkatan suhu tubuh akan terjadi dehidrasi karena adanya penguapan suhu tubuh
dan apabilaterus berlanjut maka dapat terjadi resiko defisit volume cairan.
Setelah menyebabkan peradangan setempat, kuman melewati pembuluh limfe
masuk ke darah (terjadi bakteremia primer). Melalaui duktut thoracitus kuman
menuju retikulo endothelial sistem (RES),hati dan limfa. Di tempat ini kuman di
fagosit berkembang biak dan menyebabkan organ-organ tersebut membesar disertai
nyeri pada perabaan. Organ-oragan yang membesar (hari dan limfa) dapat
mendesak lambung sehingga menimbulkan mual dan muntah.
Sementara itu Salmonella Thyposa yang mengadakan multiplikasi pada usus
halus mengakibatkan inflamasi pada daerah setempat yang dapat mempengaruhi

10
mekanisme kerja usus dan mengiritasi mukosa usus sehingga dapat terjadi dua
kemungkinan. Apabila terjadi gangguan absorbsi pada usus dan peristaltik usus
menurun akan terjadi konstipasi tetapi apabila terjadi peningkatan peristaltik usus
akan terjadui diare.
Apabila peristaltik usus meningkat, maka akan terjadi pergerakan isi usus lebih
cepat diruang usu terisi udara yang berakibat pada lambung sehingga terjadi
peningkatan asam lambung (HCL) maka mengakibatkan mual, muntah, da
anoreksia yang berdampak pada penurunan nafsu makan pada klien menjadi lemah/
lemas dan aktivitas klien harus dibantu oleh keluarga dan perawat karena klien
tidak toleran untuk memenuhi aktivitas secara mandiri.

D. Keadaan Umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR: 24x/menit, Nadi:
92x/menit, Suhu: 38,5 oC
a. Bagaimana interpretasi hasil dari keadaan umum?
TD 110/80 mmHg: masih dalam batas normal (120/80 mmHg)
RR 24x/menit : normal (15-25x/menit)
Nadi 92x/menit : normal (60-100x/menit)
Suhu 38,50C : tidak normal (370C)

b. Bagaimana mekanisme abnormal?


Demam: infeksi dari Salmonella Thypii yang masuk ke saluran cerna melalui
makanan dan minuman, sehingga mengakibatkan peradangan pada saluran cerna.
Peradangan ini menyebabkan makrofag teraktivasi hiperaktif. Saat Salmonella
Thypii di fagosit, maka terjadilah pengeluaran mediator inflamasi dan sekaligus
pirogen atau endoksin bakteri. Keluarnya pirogen ini menyebabkan terangsangnya
hipotalamus, yang kemudian merespon nya dengan meningkatkan suhu tubuh
sehingga pasien mengalami demam.

E. Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, coated tongue, Thoraks: paru dalam batas
normal, jantung: HR 92x/menit, Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan epigastrium,
bising usus menurun, hepar lien tidak teraba, Ekstremitas dalam batas normal.
a. Bagaimana interpretasi hasil dari keadaan spesifik?
Rhagaden : bibir kering dan pecah-pecah (tidak normal)
Coated tongue: lidah kotor (tidak normal)
Thoraks : normal

11
Jantung : HR; 92x/menit normal pada kasus biasanya normal: 60-100x/menit
Nyeri tekan epigastrium tidak normal
Bising usus menurun dan hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal?


 Bising usus menurun disebabkan karena penurunan gerak peristalik
sehingga suara bising usus tidak terlalu terdengar.
 Coated tongue
 Awalnya Salmonella typhii masuk ke dalam memulai mulut, dan tubuh
langsung melakukan kompensasi dengan melakukan poliferasi pada epitel
lidah, sedangkan produksi saliva menurun (dikarenakan demam) sehingga
menyebabkan coated tongue
 Nyeri tekan epigastrium: ada 3 penyebab yaitu; cholecyscitisis/inflamasi
kandung empedu, inflamsai dinding intestinum, dan tingginya level asam
lambung

F. Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3, Ht: 37%, LED: 8
mm/jam.
a. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan laboratorium?
Hb 12,5 gr% : normal (Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL)
Leukosit 4800/mm3 : normal (Nilai normal 4500-10000 sel/mm3
Ht 37% : masih dalam batas normal (Nilai normal dewasa pria 35-54%)
LED 8mm/jam : normal (Nilai normal dewasa pria <15 mm/jam)

b. Bagaimana mekanisme abnormal?


Leukosit dalam demam tifoid termasuk tidak normal atau kurang dari normal
dikarenakan banyak makrofag yang hancur oleh bakteri Salmonella typhii yang
semakin hari semakin banyak berkembang biak di dalam makrofag. Ketika pada
minggu kedua, bakteri Salmonella typhii keluar dari makrofag serta menghancurkan
makrofag sehingga jumlah leukosit rendah.

12
G. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat
hasilnya, Dokter menyimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid
a. Bagaimana etiologi demam tifoid?
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak
dengan rambut getar, tidak berspora, tidak berkapsul, dan fakultatif anaerob.
Mempunyai sekurang – kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik,
terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagela) dan antigen K
(selaput).
Identifikasi Salmonella dari tempat yang normalnya steril, seperti darah, cairan
serebrospinal, dan cairan sendi tidak memerlukan media khusus. Tinja mengandung
banyak mikroorganisme lain sehingga memerlukan media selektif seperti agar
sulfat bismut atau agar deoksilat, yang mengandung penghambat flora tinja normal.
Spesimen tinja yang diletakkan dalam kaldu yang diperkaya sebelum dilapiskan
pada media agar akan meningkatkan jumlah organisme.

b. Bagaimana pathogenesis dari demam tifoid?


Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi
Salmonella, termasuk S. typhi. Khususnya S. typhi, carrier manusia adalah sumber
infeksi. S. typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila
organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang, dan sebagainya)
akan berkembang biak mencapai dosis infektif.
Kuman masuk melalui saluran pencernaan lewat makanan yang terkontaminasi.
Sebagian dimusnahkan dalam lambung, namun ada yang lolos sampai usus,
kemudian berkembang biak. Bila respon imunitas mukosa (IgA) kurang baik,
kuman dapat menembus sel epitel (terutama sel-M), selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kemudian berkembang biak dan difagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup di makrofag kemudian dibawa ke plaques peyeri kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Kemudian kuman masuk ke sirkulasi darah
(menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik), kemudian menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman
menyebarkan meninggalkan sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.

13
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi. Pada minggu pertama ditemukan gejala dan keluhan serupa
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala tampak lebih jelas berupa demam,
bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti dengan peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
serta tremor).

c. Bagaimana epidemiologi dari demam tifoid?


Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim.
Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun
lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana
air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini.
Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya
tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah
yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki
atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang
dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang
atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa
dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia :
12-30 tahun = 70-80%
30-40 tahun = 10-20%
> 40 tahun = 5-10%

d. Bagaimana pencegahan dari demam tifoid?


S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 ºC untuk beberapa
menit atau dengan proses ionidasi/klorinasi.
Pencegahan demam tifoid meliputi hal berikut:

14
a. Penyediaan sumber air minum yang baik
b. Penyediaan jamban yang sehat
c. Sosialisasi budaya cuci tangan
d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e. Pemberantasan lalat
f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
h. Imunisasi
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a. Vaksin parenteral utuh
b. Vaksin oral Ty21a
c. Vaksin parenteral polisakarida

e. Bagaimana penatalaksaan dari demam tifoid?


Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Kadang
makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika
terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis
bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan
pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami
perforasi.
Antibiotika yang sering digunakan:
o Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas.
o Tiamfenikol: Dosis ; 4×500 mg.
o Kotrimoksazol : Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.Ampisilin dan
amoksisilin : dosis : 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
o Sefalosporin generasi ketiga : dosis 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.

f. Bagaimana mekanisme pertahanan tubuh dari demam tifoid?


Mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi berupa demam, mual, nyeri perut.
Demam: beberapa zat kimia baik dari bakteri maupun respon kimia dari imunitas
tubuh. Ketika pasien terinfeksi bakteri da bakterinya berada didalam darah maka

15
pertahanan spesifik dan non spesifik seperti neutrofil dan makrofag akan
melakukan fagosit. Hasil pencernaan dari bakteri itu akan mengeluarkan toksik
yang akan mencapai hipotalamus segera memicu prostaglandin dari asam
arakidonat. Prostaglandin itu akan bekerja dihipotalamus sehingga menimbulkan
demam.
Mual: impuls iritatif yang datang dari traktus gastrointestinal. Pada kasus
ini,impuls iritatif yang terjadi karena bakteri yang berkembang biak didalam traktus
gastrointestinal yaitu didalam lamina propria atau plaque payeri akhirnya akan
terjadi iritasi usus sehingga mengirimkan impuls ke pusat mual dan muntah di otak.

g. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang dari demam tifoid?


Hematologi
 Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan
usus atau perforasi.
 Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi.
 Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
 LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
 Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
Urinalis
 Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
 Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut.
Imunologi
 Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam
darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini
merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta
terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai
uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan
dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile
agglutinin.Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat

16
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi,
reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik
(pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan
umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
 Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir
minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontrak sebelumnya.
 Elisa Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di
ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM
positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah
kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemic
Mikrobiologi
 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis
pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum
tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah
mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan uji
ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang

17
digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/
carrier digunakan urin dan tinja.

h. Bagaimana morfologi, struktur antigen, factor virulensi dari bakteri penyebab


demam tifoid?
Morfologi
S. typhi adalah bakteri yang selnya berbentuk batang berukuran 0,7-l,5µm,
bersifat Gram-negatip sehingga mempunyai komponen outer layer (lapisan luar)
yang tersusun dari LPS (lipopolisakariada) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin,
bergerak dengan flagel peritrik, tidak membentuk spora. Pada media MacConkey
koloni transparan karena bakteri tidak memfermentasikan laktosa, dengan diameter
koloni 2-4 mm. Media MacConkey adalah media yang mengandung garam empedu
dan kristal violet yang fiingsinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram-
positip. Selain itu media tersebut mengandung laktosa dan indikator neutral red
yang dapat untuk menunjukkan terjadinya perubahan pH pada media sehingga
dapat untuk membedakan antara bakteri yang memfermentasikan laktosa secara
cepat, lambat atau tidak memfermentasikan laktosa. Selain itu bakteri S. typhi juga
memiliki pilli atau fimbriae yang berfungsi untuk adesi pada sel host yang
terinfeksi.
Struktur Antigen S. typhi
S. typhi adalah bakteri enterik yang bersifat gram negatif, mempunyai antigen
permukaan yang cukup komplek dan mempunyai peran penting dalam proses
patogenitas, selain itu juga berperan dalam proses terjadinya respon imun pada
individu yang terinfeksi. Antigen permukaan tersebut terdiri dari antigen flagel
(antigen H), antigen somatik (antigen O) dan antigen kapsul atau antigen K (antigen
Vi).
Antigen O disebut juga sebagai antigen dinding sel karena antigen tersebut
adalah bagian outer layer dari dinding sel bakteri gram negatip. Antigen O tersusun
dari LPS (Lipo Polisakarida) yang berfungsi pula sebagai endotoksin, resisten
terhadap pemanasan 100°C, alcohol dan asam, reaksi aglutinasinya berbentuk butir-
butir pasir.
Antigen H atau antigen flagel, antigen ini terdiri dari suatu protein yang dikode
oleh gen fig yang berada pada lokus fliC. Antigen H bersifat termolabil dan dapat
rusak oleh alkohol, pemanasan pada suhu di atas 60°C dan asam, dimana pada
reaksi aglutinasinya berbentuk butir-butir pasir yang hilang bila dikocok. Antigen H

18
terdiri dari 2 fase yaitu antigen H fase 1 (HI) dan antigen H fase 2 (H2) sehingga
dapat dijumpai S.typhi serovar HI dan S.typhi serovar H 2. Sedangkan antigen HI
terdiri dari Hl-d dan Hl-j sehingga dapat dijumpai pula S.typhi serovar Hl-d yang
tersebar luas di seluruh dunia dan S.typhi serovar H-j yang hanya dijumpai di
Indonesia. Strain bakteri S.typhi serovar H-j bersifat kurang motil pada media semi
solid agar dan kurang invasive apabila dibandingkan dengan S.typhi serovar H-d.
Antigen Vi atau antigen kapsul, yaitu antigen yang terdiri dari polimer
polisakarida dan bersifat asam. Antigen Vi yang dimiliki oleh bakteri berfungsi
sebagai antiopsonik dan antipagositik, ekspresi antigen tersebut dikode oleh gen
tviA yang berada di dalam lokus via B, tidak semua strain S.typhi mengekspresikan
antigen Vi. Antigen ini mudah rusak oleh pemanasan selama 1 jam pada suhu 60°C,
selain itu pada penambahan fenol dan asam., dimana pada reaksi aglutinasinya
berbentuk seperti awan.
Untuk pencegahan terjadinya infeksi oleh S. typhi dengan mencegah terjadinya
kontaminasi makanan dan air oleh binatang pengerat atau binatang lain, selain itu
pencegahan yang paling efektif dengan mencegah terjadinya awal infeksi yaitu
dengan vaksinasi.
Faktor Virulensi
S. typhi memiliki kombinasi karakteristik yang menjadikannya patogen efektif.
Spesies ini berisi endotoksin khas dari organisme Gram negatif, serta antigen Vi
yang ini diyakini akan meningkatkan virulensi. Hal ini juga memproduksi dan
mengeluarkannya protein yang dikenal sebagai "invasin" yang memungkinkan sel-
sel non-fagosit untuk mengambil bakteri, di mana ia dapat hidup intrasel. Hal ini
juga mampu menghambat meledak oksidatif leukosit, membuat respons imun
bawaan tidak efektif.

19
IV. Keterkaitan antar-Masalah
Doni, laki-laki, 18 tahun

Demam tinggi pada malam hari, dan


demam turun pada siang hari tapi tidak
sampai normal

Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan

Keadaan umum: tampak sakit Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, Pemeriksaan laboratorium: Hb:
coated tongue, Thoraks: paru dalam 12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3,
sedang, TD: 110/80 mmHg, RR:
batas normal, jantung: HR
24x/menit, Nadi: 92x/menit, Suhu: Ht: 37%, LED: 8 mm/jam.
92x/menit, Abdomen: datar, lemas,
38,5 oC. nyeri tekan epigastrium, bising usus
menurun, hepar lien tidak teraba,
Ekstremitas dalam batas normal.

Demam Tifoid

20
V. Identifikasi Topik Pembelajaran (Learning Issue)

A. Matriks Identifikasi
What I What I have to How I will
Topik What I don’t know
know prove learn
Salmonella typhii Bakteri Morfologi, faktor Kaitan Klinis
virulensi, antigen,
epidemiologi,
patogenesis, sifat, media
Kamus
tumbuh
kedokteran
Pemeriksaan Fisik Definisi Cara pemeriksaan, batas- Interpretasi klinis
KBBI
dan Laboratorium batas normal dalam
Jurnal
tubuh
Internet
Pemeriksaan Definisi Cara pemeriksaan, batas- Interpretasi klinis
Textbook
Penunjang batas normal dalam
tubuh
Demam Tifoid Definisi Mekanisme, gejala, Kaitan Klinis
penyebab

B. Sintesis Masalah
Salmonella typhi
Salmonella typhi adalah strain bakteri anggota familia Enterobacteriaceae yang
merupakan salah satu spesies bakteri salmonella yang berbentuk basil, gram negatif, fakultatif
aerob, bergerak dengan flagel pertrich, mudah tumbuh pada perbenihan biasa dan tumbuh baik
pada perbenihan yang mengandung empedu. Menurut Kauffman-White Scheme bahwa S. typhi
dapat dikelompokkan ke dalam serovar berdasarkan perbedaan formula antigen, yaitu
berdasarkan antigen O(somatik), antigen Vi (kapsul) dan antigen H (flagel). Sedangkan
spesifikasi formula antigen O dideterminasi dari komposisi dan struktur polisakariada selain
itu formula antigen O dapat mengalami perubahan karena terjadinya lysogenik oleh phaga.
Subdivisi serovar S. typhi dapat dilakukan berdasarkan biovar yaitu berdasarkan kemampuan
untuk memfermentasikan xylosa, sehingga dapat dijumpai S.typhi xylosa positip dan S.typhi
xylosa negatip, hal ini dapat digunakan sebagai marker epidemiologiSelain itu subdivisi dari
serovar dapat didasarkan pada resistensi terhadap antibiotik.

Salmonella typhi (S. typhi) disebut juga Salmonella enterica subsp. enterica serovar
Typhi. S. typhi adalah strain bakteri yang menyebabkan terjadinya demam tipoid.
Salmonella typhi menyebabkan penyakit demam tifoid, karena invasi bakteri ke dalam
pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi.
Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian S. typhi memiliki
keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Demam tipoid dapat terjadi
pada semua umur, terbanyak pada usia 3-19 tahun. Bakteri ini masuk melalui mulut bersama
makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan hanyut ke saluran
pencernakan, apabila bakteri berhasil mencapai usus halus dan masuk ke dalam tubuh
mengakibatkan terjadinya demam tipoid. Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi,

21
balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena
kekebalan tubuh mereka yang menurun. Kontaminasi Salmonella dapat dicegah dengan
mencuci tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi.

MORFOLOGI DAN FISIOLOGI

a. Morfologi
S. typhi adalah bakteri yang selnya berbentuk batang berukuran 0,7-l,5µm, bersifat
Gram-negatip sehingga mempunyai komponen outer layer (lapisan luar) yang tersusun dari
LPS (lipopolisakariada) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin, bergerak dengan flagel
peritrik, tidak membentuk spora. Pada media MacConkey koloni transparan karena bakteri
tidak memfermentasikan laktosa, dengan diameter koloni 2-4 mm. Media MacConkey
adalah media yang mengandung garam empedu dan kristal violet yang fiingsinya dapat
menghambat pertumbuhan bakteri gram-positip. Selain itu media tersebut mengandung
laktosa dan indikator neutral red yang dapat untuk menunjukkan terjadinya perubahan pH
pada media sehingga dapat untuk membedakan antara bakteri yang memfermentasikan
laktosa secara cepat, lambat atau tidak memfermentasikan laktosa. Selain itu bakteri S.
typhi juga memiliki pilli atau fimbriae yang berfungsi untuk adesi pada sel host yang
terinfeksi.
Pilli merupakan bentukan batang lurus dengan ukuran lebih pendek dan lebih kaku
bila dibandingkan dengan flagella. Pilli tersusun atas unit protein yang disebut pillin,
mempunyai struktur yang berbentuk pipa, mempunyai peran dalam proses konjugasi,
sebagai reseptor bagi bakteriofag dan berperan pula dalam proses perlekatan (adesi) antara
bakteri dengan permukaan sel inang. Oleh karena itu pilli mempunyai peran dalam proses
patogenesis bakteri, selain itu pilli mampu menginduksi terbentuknya respon imun pada
hewan yang terinfeksi.
Suatu bakteri dapat memiliki beberapa tipe pilli yang berbeda dalam panjang dan
tebalnya, spesifisitas reseptornya. Banyak spesies bakteri dari familia Enterobacteriaceae
(Enterobacter,Proteus, Providencia, morganella, Yersinea, Serratia) mempunyai pilli
tipe 1 dan 3. pilli tipe 1 diklasiflkasikan sebagai mannose-sensitive hemaglutinin (MSHA),
yang mengadakan perlekatan pada sel yang mempunyai reseptor mannose-glycoprotein
dan pilli tipe 3 sebagai pilli mannose-resisten hemaglutinin atau MRHA.
Sifat

 Bentuk batang, gram negatif, fakultatif aerob, bergerak dengan flagel pertrich, mudah
tumbuh pada perbenihan biasa dan tumbuh baik pada perbenihan yang mengandung
empedu.

22
 Sebagian besar salmonella typhi bersifat patogen pada binatang dan merupakan sumber
infeksi pada manusia, binatang-binatang itu antara lain tikus, unggas, anjing, dan
kucing.
 Di alam bebas salmonella typhi dapat tahan hidup lama dalam air , tanah atau pada
bahan makanan. di dalam feses diluar tubuh manusia tahan hidup 1-2 bulan.
Klasifikasi
Domain : Bacteria;
Phylum : Proteobacteria;
Class : Gammaproteobacteria;
Order : Enterobacteriales;
Family : Enterobacteriaceae;
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica subsp. enterica serovar Typhi

b. Sifat fisiologis S. typhi


S. typhi adalah bakteri yang berdasarkan kebutuhan oksigen bersifat fakultatif
anaerob, membutuhkan suhu optimal 37°C untuk pertumbuhannya, memfermentasikan D-
glukosa menghasilkan asam tetapi tidak membentuk gas, oksidase negatip, katalase positip,
tidak memproduksi indol karena tidak menghasilkan enzim tryptophanase yang dapat
memecah tryptophan menjadi indol, methyl red (MR) positip menunjukkan bahwa
fermentasi glukosa menghasilkan sejumlah asam yang terakumulasi di dalam medium
sehingga menyebabkan pH medium menjadi asam (pH=4,2), dengan penambahan
indikator metyl red maka warna medium menjadi merah. Voges-Proskauer(VP) negatip,
citrat negatip, menghasilkan H2S yang dapat ditunjukkan pada media TSIA (Triple Sugar
Iron Agar). Bakteri menghasilkan H2S yang merupakan produk hasil reduksi dari asam
amino yang mengandung sulfur, H2S yang dihasilkan akan bereaksi dengan garam Fe
dalam media yang kemudian menjadi senyawa FeS berwarna hitam yang mengendap
dalam media. Urease negatip, nitrat direduksi menjadi nitrit, lysin dan ornithin
dekarboksilase positip, laktosa, sukrosa, salisin dan inositol tidak difermentasi. Uji ONPG
negatip karena tidak menghasikan enzim betha galaktosidase sehingga bakteri tidak dapat
memfermentasikan laktosa, oleh karena itu strain bakteri S. typhi termasuk anggota familia
enterobacteriaceae yang bersifat tidak memfermentasikan laktosa (non lactosa fermenter),
lipase dan deoksiribonuklease tidak diproduksi.

PATOGENITAS

Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh bakteri S. typhi.
Penyakit ini khusus menyerang manusia, bakteri ini ditularkan melalui makanan dan

23
minuman yang terkontaminasi oleh kotoran atau tinja dari seseorang pengidap atau penderita
demam typo id. Bakteri S. typhi masuk melalui mulut dan hanyut ke saluran pencernaan.
Apabila bakteri masuk ke dalam tubuh manusia, tubuh akan berusaha untuk
mengeliminasinya. Tetapi bila bakteri dapat bertahan dan jumlah yang masuk cukup banyak,
maka bakteri akan berhasil mencapai usus halus dan berusaha masuk ke dalam tubuh yang
akhirnya dapat merangsang sel darah putih untuk menghasilkan interleukin dan merangsang
terjadinya gejala demam, perasaan lemah, sakit kepala, nafsu makan berkurang, sakit perut,
gangguan buang air besar serta gejala lainnya.

Gambar 3. Mekanisme S. typhi mnyerang tubuh manusia.


Penularan S. thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi.
Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Setelah
menyebabkan peradangan dan nekrose setempat, S. typhi kemudian menembus ke lamina
propina, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami
hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk kealiran darah melalui
duktus thoracicus. S. typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal. Dari usus. S. typhi
bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial.
Ditempat ini kuman difagosit oleh sel sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi Demam tifoid (5-9 hari) kuman kembali masuk
ke darah kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan sebagian S. typhi masuk ke organ tubuh

24
terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut kembali dikeluarkan dari
kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus.
Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan
oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada
demam tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat S. typhi berkembang biak.
Demam pada tifoid disebabkan karena S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Setelah melalui asam lambung, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel
mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II.
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of
payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas
vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang . Imunulogi. Humoral lokal, di
usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada
mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis
Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Gejala klinik penyakit ini adalah demam tinggi pada minggu ke 2 dan ke 3, biasanya
dalam 4 minggu gejala tersebut telah hilang, meskipun kadang-kadanjg bertambah lebih
lama. Gejala yang lain yang sering ditemukan adalah anoreksia, malaise, nyeri otot, sakit
kepala, batuk, bradikardia (slow heart rate) dan konstipasi. Selain itu dapat dijumpai adanya
pembesaran hati dan limpa, bintik rose sekitar umbilicus yang kemudian diikuti terjadinya
ulserasi pada Peyer patches pada daerah ilium, yang kemudian diikuti terjadinya perdarahan
kerena terjadi perforasi. Masa inkubasi demam tipoid umumnya 1-3 minggu, tetapi bisa lebih
singkat yaitu 3 hari atau lebih lama sampai dengan 3 bulan, waktu inkubasi sangat tergantung
pada kuantitas bakteri dan host factor serta karakteristik strain bakteri yang menginfeksi.

25
Dosis infektif rata-rata bagi manusia cukup 106 organisme untuk menimbulkan infeksi klinik
atau sub klinik. Pada manusia S. typhi dapat menimbulkan demam enterik, bakterimia dengan
lesi lokal dan enterokolitis. Untuk diagnosis laboratorium antara lain dengan cara
bakteriologik, serologi dan molekuler. Polymerase chain reaction (PCR) menggunakan satu
pasang primer gen flagelin dapat digunakan untuk identifikasi keberadaan S. typhi di dalam
darah, urin dan feses, adapun sampel untuk identifikasi bakteri dapat berupa darah, urin,
feses, sumsum tulang belakang. Untuk identifikasi strain bakteri anggota familia
Enterobacteriaceae dapat dilakukan serangkaian uji biokimia IMViC.
Patogenesis Infeksi Salmonella typhi

Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan
ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, me-nimbulkan
bakteriemia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai
di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella
typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan
limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kem-bali memasuki peredaran darah, menimbulkan
bakteriemia sekun-der. Pada saat terjadi bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala
klinis dari demam tifoid.

MEDIA TUMBUH Salmonella


Untuk menumbuhkan Salmonella dapat digunakan berbagai macam media, salah
satunya adalah media Hektoen Enteric Agar (HEA). Media lain yang dapat digunakan adalah
SS agar, bismuth sulfite agar, brilliant green agar, dan xylose-lisine-deoxycholate (XLD) agar.
HEA merupakan media selektif-diferensial. Media ini tergolong selektif karena terdiri dari
bile salt yang berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa
gram negatif, sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh hanya Salmonella. Media ini
digolongkan menjadi media diferensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella dengan
bakteri lainnya dengan cara memberikan tiga jenis karbohidrat pada media, yaitu laktosa,
glukosa, dan salisin, dengan komposisi laktosa yang paling tinggi. Salmonella tidak dapat
memfermentasi laktosa, sehingga asam yang dihasilkan hanya sedikit karena hanya berasal
dari fermentasi glukosa saja. Hal ini menyebabkan koloni Salmonella akan berwarna hijau-
kebiruan karena asam yang dihasilkannya bereaksi dengan indikator yang ada pada media
HEA, yaitu fuksin asam dan bromtimol blue.

26
STRUKTUR ANTIGEN S. typhi
S. typhi adalah bakteri enterik yang bersifat gram negatif, mempunyai antigen
permukaan yang cukup komplek dan mempunyai peran penting dalam proses patogenitas,
selain itu juga berperan dalam proses terjadinya respon imun pada individu yang terinfeksi.
Antigen permukaan tersebut terdiri dari antigen flagel (antigen H), antigen somatik (antigen
O) dan antigen kapsul atau antigen K (antigen Vi).
Antigen O disebut juga sebagai antigen dinding sel karena antigen tersebut adalah
bagian outer layer dari dinding sel bakteri gram negatip. Antigen O tersusun dari LPS (Lipo
Polisakarida) yang berfungsi pula sebagai endotoksin, resisten terhadap pemanasan 100°C,
alcohol dan asam, reaksi aglutinasinya berbentuk butir- butir pasir.
Antigen H atau antigen flagel, antigen ini terdiri dari suatu protein yang dikode oleh gen
fig yang berada pada lokus fliC. Antigen H bersifat termolabil dan dapat rusak oleh alkohol,
pemanasan pada suhu di atas 60°C dan asam, dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk
butir-butir pasir yang hilang bila dikocok. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu antigen H fase 1
(HI) dan antigen H fase 2 (H2) sehingga dapat dijumpai S.typhi serovar HI dan S.typhi
serovar H 2. Sedangkan antigen HI terdiri dari Hl-d dan Hl-j sehingga dapat dijumpai pula
S.typhi serovar Hl-d yang tersebar luas di seluruh dunia dan S.typhi serovar H-j yang hanya
dijumpai di Indonesia. Strain bakteri S.typhi serovar H-j bersifat kurang motil pada media
semi solid agar dan kurang invasive apabila dibandingkan dengan S.typhi serovar H-d.
Antigen Vi atau antigen kapsul, yaitu antigen yang terdiri dari polimer polisakarida dan
bersifat asam. Antigen Vi yang dimiliki oleh bakteri berfungsi sebagai antiopsonik dan
antipagositik, ekspresi antigen tersebut dikode oleh gen tviA yang berada di dalam lokus via
B, tidak semua strain S.typhi mengekspresikan antigen Vi. Antigen ini mudah rusak oleh
pemanasan selama 1 jam pada suhu 60°C, selain itu pada penambahan fenol dan asam.,
dimana pada reaksi aglutinasinya berbentuk seperti awan.
Untuk pencegahan terjadinya infeksi oleh S. typhi dengan mencegah terjadinya
kontaminasi makanan dan air oleh binatang pengerat atau binatang lain, selain itu pencegahan
yang paling efektif dengan mencegah terjadinya awal infeksi yaitu dengan vaksinasi.

FAKTOR VIRULEN
S. typhi memiliki kombinasi karakteristik yang menjadikannya patogen efektif. Spesies
ini berisi endotoksin khas dari organisme Gram negatif, serta antigen Vi yang ini diyakini
akan meningkatkan virulensi. Hal ini juga memproduksi dan mengeluarkannya protein yang
dikenal sebagai "invasin" yang memungkinkan sel-sel non-fagosit untuk mengambil bakteri,

27
di mana ia dapat hidup intrasel. Hal ini juga mampu menghambat meledak oksidatif leukosit,
membuat respons imun bawaan tidak efektif.

EPIDEMIOLOGI DAN KEPEKAAN S. typhi TERHADAP ANTIBIOTIK

strongly endemic endemic sporadic cases


S.typhi tersebar luas di dunia, kasus yang ditimbulkan dapat terjadi secara sporadis pada
daerah-daerah tertentu namun kebanyakan kasus dapat menggambarkan asal bakteri dari
daerah endemik misalnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak obat (MDR) tampak di
beberapa area di dunia. Selain itu asal strain bakteri S. typhi yang menyebabkan kasus demam
typhoid di suatu daerah tertentu dan pada waktu tertentu pula dapat digambarkan dengan
ribotyping dan phage typing. Strain bakteri S. typhi yang diisolasi dari daerah yang
mengalami kasus demam typhoid secara sporadis dan yang diisolasi dari daerah endemis
menunjukkan perbedaan jumlah rybotype dan phage type nya. Hal ini menunjukkan adanya
keanekaragaman genetik pada strain bakteri S. typhi.
S. typhi rentan terhadap chloramphenicol, ampicilin, amoxillin, TMP-SMX,
trimethoprim- sulfamethoxazole, bahkan jumlah strain yang resisten terhadap banyak
antibiotik atau MDR (multi-drug resistant) meningkat. Resistensi strain bakteri terhadap
antibiotik terjadi karena adanya suatu gen yang terdapat di dalam plasmid, selain itu plasmid
juga mengandung gen yang mengkode enterotoksin, kapsul, hemolisin dan fimbriae. Plasmid
adalah DNA ekstra kromosom yang berbentuk sirkuler yang dapat berpindah dari satu sel
bakteri ke sel bakteri yang lain melalui pilli (fimbriae) yang disebut konjugasi. Sehingga
plasmid dari strain bakteri yang diisolasi dari daerah yang sama dan dilakukan pada waktu
yang sama pula menunjukkan profil plasmid yang homogen, analisis profil menggunakan
pulsed-field gel electrophoresis atau PFGE.
PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi S. typhi diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus atau
imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena

28
perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air
bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa
yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan
rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman atau
makanan.
Untuk Pencegahan secara umum dapat dilakukan hal-hal berikut:
1. Menyediakan tempat pembuangan yang sehat dan higienis.
2. Mencuci tangan sebelum mengkonsumsi jajanan.
3. Menghindari jajan di tempat yang kurang terjamis kebersihan dan kesehatannya.
4. Menjaga agar sumber air yang digunakan tidak terkontaminasi oleh bakteri thypus.
5. Jangan menggunakan air yang sudah tercemar. Masak air hingga 100˚C.
6. Melakukan pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan/jajanan.
7. Melakukan vaksinasi untuk memberi kekebalan tubuh yang kuat.
8. Mencari informasi mengenai bahaya penyakit thypus. Jika memahami tentang penyakit
ini, maka pelajar akan lebih mudah untuk menjaga diri dan lingkungannya agar selalu
bersih dan sehat.
9. Menemukan dan mengawasi pengidap kuman. Pengawasan diperlukan agar tidak lengah
terhadap kuman yang dibawa. Sebab, jika lengan, sewaktu-waktu penyakitnya akan
kambuh.
10. Daya tahan tubuh ditingkatkan lagi.
11. Jangan banyak jajan di luar rumah.
12. Mengkonsumsi makanan yang masih panas sehingga kebersihannya terjamin.
Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid.
Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu
vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup
dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan
atau intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif
bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 µg/ml. Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara
oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut
kosong. Untuk anak usia ≥ 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik
selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi.

PENULARAN
1. Melalalui makanan yang terkontaminasi oleh bakteri.
2. Melalui air untuk keperluan rumah tangga yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

29
3. Melalui daging, telur, susu yang berasal dari hewan sakit yang dimasak kurang matang.
4. Makana dan minuman berhubungan dengan binatang yang mengandung bakteri
salmonella typh, seperti lalat, tikus, kucing dan ayam.
Setelah sembuh dari penyakitnya, penderita akan kebal terhadap typhus, untuk waktu
cukup lama. Interksi ulang (reinfeksi) dapat terjadi, tetapi biasanya gejalanya sangat ringan.
Makanan penderita dapat juga menjadi karier karena bakteri menetap dan berkembang biak
dalam kandung empedunya. Bahan yang berbahaya untuk penularan adalah feses penderita
atau karier.

CARA PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Untuk keakuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal
dan biakan empedu.
1. Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di
laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah
darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia.
2. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman
tifus. Widal positif kalau titer O (1/160) atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan
progresif menggunakan metode “Tube Aglutination Test”.
Reaksi Widal
salmonella typhi mempunyai tiga macam antigen yaitu O antigen (somatik antigen) H
antigen (flagellar antigen) dan Vi antigen (virulensi antigen). pada reaksi aglutinasinya :
 Aglutinasi O berbentuk butir-butir pasir yang tidak hilang bila dikocok.
 Aglutinassi H berbentuk butir-butir yang holang bila dikocok
 Aglutinsi Vi berbentuk awan.
Reaksi widal adalah suatu reaksi serum(sero-tes)untuk mengetahui ada tidaknya antibody
terhadap salmonella tyhpi, dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O,
H, dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, dikatakan reaksi widal posotif yang
berarti serum orang tersebut mempunyai antybody terhadap salmonella tyhpi, baik setelah
vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit thypus ataupun sedang menderita thypus. Reaksi
widal negatif artinya tidak memiliki antybody terhadap salmonella thypi. Reaksi widal
dipakai untuk menegakkan diagnosa penyakit thypus abdominalis. peninggian titer
aglutinin O menunjukkan adanya infeksi yang aktif, peninggian titer aglutinin H
menunjukkan disebabakan vaksinasi, peninggian titer aglutini Vi menunjukkan karier.

30
3. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya
kuman Salmonella typhi dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering
ditemukan dalam urine dan faeces.
Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan
faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-
benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).
Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain
maka perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan
memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti
Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC
(Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia).

PENGOBATAN
Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Kadang
makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi
perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan
masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki
atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.
Antibiotika yang sering digunakan:
 Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
 Tiamfenikol: Dosis ; 4×500 mg.
 Kotrimoksazol : Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80
mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.Ampisilin dan amoksisilin : dosis : 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
 Sefalosporin generasi ketiga : dosis 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc diberikan selama ½
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

31
DEMAM TIFOID

Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.

Etiologi Demam Tifoid


Ashkenazi et al. (2002) menyebutkan bahwa demam tifoid disebabkan oleh jenis
Salmonella tertentu yaitu Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella
paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan
oleh Salmonella typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi
Salmonella yang lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Sebagian besar strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa
dan sukrosa. Organisme Salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Sebagian besar spesies resisten terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C selama 1 jam atau 60 º C selama 15 menit.
Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari
dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering
dan bahan tinja (Ashkenazi et al, 2002).
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan
antigen H adalah protein yang bersifat termolabil (Ashkenazi et al, 2002).

Epidemiologi Demam Tifoid


Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup
umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat
mengurangi penyebaran penyakit ini.
Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya
tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang
kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.

32
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau
perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
usia :
12-30 tahun = 70-80%
30-40 tahun = 10-20%
> 40 tahun = 5-10%

Patogenesis Demam Tifoid


Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari. 10 Masuknya kuman Salmonella
typhi (S. typhi) dan terkontaminasi kuman. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit
oleh selsel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan
disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan
koagulasi. Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear

33
di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara mendalam.
Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada sukarelawan-sukarelawan, dalam
waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit kepala, dingin, rasa tak enak pada perut.
Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan
tubuh di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat
endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen
endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel polimorfonuklear
dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan
gangguan organik lainnya.
Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran
cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang lolos akan
masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus
maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika
bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi
brush border.
Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane
mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan memasuki
lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat
dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S. typhi dapat
menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos,
2003).
Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi berpfoliferasi di
Payer’s patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi sehingga bakteri akan dapat
menyebar ke hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu
bakteri akan menyebar ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian
jaringan limfoid dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu
sel epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF
(Singh, 2001).
Huckstep (1962) dalam Singh (2001) membagi keadaan patologi di Payer patch akibat
S. typhi menjadi 4 fase sebagai berikut.
1. Fase 1 : hiperplasia dari folikel limfoid.

34
2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi mukosa dan
submukosa.
3. Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya perforasi dan perdarahan.
4. Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak terbentuk striktur.

Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payer’s patch yang lebih banyak dan besar. Meskipun
kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar juga mungkin mengalami
kelainan dari folikel limfoid.
Egglestone (1979) dalam Singh (2001) mengatakan bahwa perforasi pada demam tifoid
biasanya sederhana dan mempengaruhi pinggiran antimesentrik dari usus dimana lubang
muncul.

Manifestasi Klinik Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri
abdomen dan muncul akibat infeksi S. typhi dan S. paratyphi. Gejala klinis demam tifoid
bervariasi dari asimtomatik, ringan, berat, bahkan sampai menyebabkan kematian. Masa
inkubasi S. typhi berkisar 3-21 hari dimana durasinya merefleksikan ukuran inokulum dan
kesehatan serta status imun inang yang terinfeksi. Gejala klinis yang umum adalah demam
yang panjang (38,8˚-40,5˚C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu jika tidak
segera ditangani. Keluhan nyeri abdomen hanya berkisar 30-40% dari penderita yang
menderita demam tifoid (Fauci, 2008).
Pada minggu pertama, keluhan yang dapat muncul sangat umum, seperti demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
pada perut, batuk, dan epistaksis. Jika dilakukan pemeriksaan fisik, hanya dapat ditemukan
suhu tubuh yang meningkat. Di minggu kedua gejala mulai lebih menonjol, yakni demam,
bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis (Sudoyo, 2006).
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu
tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Grafik demam:

35
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang bervariasi
menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya. Keadaan Umum anak biasanya
tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi
sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari
delirium, stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang mungkin
terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada infeksi demam tifoid.
Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan bibir kering dengan rasa haus yang
meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan
pinggir yang hiperemi sampai tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali pada demam
tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada cavum pleura yang
menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada anak- anak.
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada demam
tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi pada intestinal atau

36
akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada
saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan didapatkan hepato-
splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose spot atau
Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5 mm. Namun sangat
jarang terjadi pada anak- anak.

Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin (Hb)
Nilai normal dewasa pria 13.5-18 gram/dL, wanita 12-16 gram/dL,wanita hamil 10-15
gram/dL
Nilai normal anak 11-16 gram/dL, batita 9-15 gram/dL, bayi 10-17 gram/dL, neonatus 14-27
gram/dL
- Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia defisiensi besi.
Sebab lainnya dari rendahnya Hb antara lain pendarahan berat, hemolisis,
leukemia leukemik, lupus eritematosus sistemik, dan diet vegetarian ketat
(vegan). Dari obat-obatan: obat antikanker, asam asetilsalisilat, rifampisin,
primakuin, dan sulfonamid. Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.
- Hb tinggi (>18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagal jantung, COPD
(bronkitis kronik dengan cor pulmonale), dehidrasi / diare, eritrositosis,
polisitemia vera, dan pada penduduk pegunungan tinggi yang normal. Dari
obat-obatan: metildopa dan gentamisin.
Hematokrit
Nilai normal dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita hamil 30-46%
Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%, bayi 29-54%, neonatus 40-68%
Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah. Secara kasar,
hematokrit biasanya sama dengan tiga kali hemoglobin.
 Ht tinggi (> 55 %) dapat ditemukan pada berbagai kasus yang menyebabkan kenaikan Hb;
antara lain penyakit Addison, luka bakar, dehidrasi / diare, diabetes melitus, dan polisitemia.
Ambang bahaya adalah Ht >60%.
 Ht rendah (< 30 %) dapat ditemukan pada anemia, sirosis hati, gagal jantung, perlemakan
hati, hemolisis, pneumonia, dan overhidrasi. Ambang bahaya adalah Ht <15%.
Leukosit (Hitung total)
Nilai normal 5000-10000 sel/mm3

37
Neonatus 9000-30000 sel/mm3, Bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm3, Anak 10
tahun 4500-13500/mm3, ibu hamil rata-rata 6000-17000 sel/mm3, postpartum 9700-25700
sel/mm3
Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus, parasit, dan
sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu:
 Anemia hemolitik
 Sirosis hati dengan nekrosis
 Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga)
 Keracunan berbagai macam zat
 Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin, dan sulfonamid.
Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis, anemia
aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue), keracunan kimiawi,
dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina,
kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa antibiotik lainnya.
Leukosit (hitung jenis)
Nilai normal hitung jenis
 Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3)
 Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3)
 Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3)
 Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3)
 Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3)
 Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)
Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik, kecuali untuk penyakit alergi
di mana eosinofil sering ditemukan meningkat.
 Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan
monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left. Infeksi yang disertai shift to the
left biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria. Kondisi noninfeksi yang dapat
menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit alergi lainnya, luka
bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.
 Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil disebut shift
to the right. Infeksi yang disertai shift to the rightbiasanya merupakan infeksi virus. Kondisi
noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal, fenitoin,
dan aspirin.
Trombosit
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000-450.000 sel/mm3.

38
 Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam berdarah dengue,
anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000 sel/mm3.
 Peningkatan trombosit (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit keganasan, sirosis,
polisitemia, ibu hamil, habis berolahraga, penyakit imunologis, pemakaian kontrasepsi oral,
dan penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak berbahaya, kecuali jika >1.000.000
sel/mm3.
Laju endap darah
Nilai normal dewasa pria <15 mm/jam pertama, wanita <20 mm/jam pertama
Nilai normal lansia pria <20 mm/jam pertama, wanita <30-40 mm/jam pertama
Nilai normal wanita hamil 18-70 mm/jam pertama
Nilai normal anak <10 mm/jam pertama
 LED yang meningkat menandakan adanya infeksi atau inflamasi, penyakit imunologis,
gangguan nyeri, anemia hemolitik, dan penyakit keganasan.
 LED yang sangat rendah menandakan gagal jantung dan poikilositosis.
Hitung eritrosit
Nilai normal dewasa wanita 4.0-5.5 juta sel/mm3, pria 4.5-6.2 juta sel/mm3.
Nilai normal bayi 3.8-6.1 juta sel/mm3, anak 3.6-4.8 juta sel/mm3.
 Peningkatan jumlah eritrosit ditemukan pada dehidrasi berat, diare, luka bakar,
perdarahan berat, setelah beraktivitas berat, polisitemia, anemiasickle cell.
Penurunan jumlah eritrosit ditemukan pada berbagai jenis anemia, kehamilan,
penurunan fungsi sumsum tulang, malaria, mieloma multipel, lupus, konsumsi obat
(kloramfenikol, parasetamol, metildopa, tetrasiklin, INH, asam mefenamat)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis
dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left). Namun untuk
tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari
leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di
dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu
dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen.
Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif,
karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung
jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri,
sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid

39
yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia
dengan tipe Hipokromik Mikrositik.
2. Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin/antibodi
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu
sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen
Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)
a. Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube Aglutination
Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V

Larutan 0,9 0,5 0,5 0,5 0,5


garam fisiologis (ml)
Serum pasien (ml) 0,1 0,5 0,5 0,5 0,5

Suspensi antigen (ml) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5

Titer antibody 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160


Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien,
solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10. Tabung
II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I (1/10) + 0,5
ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20 (Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml
serum terdapat 10 unit antibodi)
Cara menentuk an titer antibodi sebagai berikut:
Tabung I II III IV V

Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160

Deretan + + - - -

+ + + - -
Tabung
+ + + + +

Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen
antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi
peningkatan sebanyak 4x

40
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam
atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-
mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang
sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini
dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3)
pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6)
Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi
tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat
aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang
akibat bakteremia kuman.
3. Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila
volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada
waktu antibodi meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur
sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup
tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang
penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena
kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain yang

41
mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil
positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte
sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman salmonella yang
bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi carier
tifoid
4. Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella atau

yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro


semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri
Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan >91%.
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay
(IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui
kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu
indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09
(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS Salmonella
typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik,
konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi.
Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella
typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir
reaksi terhadap skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
 Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
o Immunodominan yang kuat
o Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel
B.
o Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
o Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
o Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang

42
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
5. Pemeriksaan radiologi, bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk
menegakkan diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum:
 Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat mungkin terjadi infeksi
sekunder berupa pneumonia
 Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi komplikasi intestinal seperti
perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi udara yang tidak merata, air
fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, tanda- tanda udara bebas dalam
cavum abdomen.

Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan, diet dan
terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada kasus tifoid yang
berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan penyulit.
a) Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/ Bed rest total dengan
perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan
buang besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan
perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
Posisi anak juga perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b) Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal
yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid terutama sekali
pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan yang akan menjadi
lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian

43
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini
terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan
peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan
epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang muncul pada
anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting tapi tidak mutlak,
mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu pemberian
infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake perOral yang kurang.
Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 ¼ Normal saline, > 3 tahun
D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada
anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
c) Antibiotika
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan

44
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan
resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-
15 mg/kg/hari selama 10 hari.
d) Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan
penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang
sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan
antibiotika metronidazol.

45
VI. Kerangka Konsep

Doni, laki-laki, 18 tahun

Salmonella typhii masuk

Napas bau H2S dan Saliva Mulut Epitel pada Lidah Coated tongue

Produksi Asam Mual dan


Lambung
Lambung Muntah

Usus
Nafsu makan

Peradangan usus

Aliran Darah
Inflamasi Keluarnya pirogen di lambung

Leukosit rendah
Nyeri Perut Hipotalamus

Suhu

Demam

Demam Tifoid

46
KESIMPULAN
Doni, laki-laki, 18 tahun menderita demam tifoid dikarenakan infeksi
Salmonella typhii.

47
DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis Dan Tata Laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan Pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anakindonesia: 37-46
Anonim, 2012. Recommendations for management of common childhood conditions.
http://www.who.or.id
Behrman, Richard, 2007. Nelson Esensi Pediatri. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
Brooks, Geo. F., dkk. 2013. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25. Jakarta : EGC.
Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.
Saunders-Elsevier, 2008
Darmawati, S. 2009. Keanekaragaman Genetik Salmonella typhi. Jurnal Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Semarang. Vol 2(1).
Darmawati, S. Dan Haribi, R, 2005. Analisis Profil Protein Pilli Salmonella typhi Isolat
Rumah Sakit Kariadi Semarang. Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah
Semarang. Vol 3(2).
Diagnosis laboratorium demam tifoid by Dr.Luci Liana,SpPK.[cited] des 2010.
http://www.abclab.co.id
Hassan, Rusepno, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13. Volume 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Jurnal Kedokteran Universitas Sumatera Utara (Terlampir)
Price, Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol.2, edisi 6. EGC,
Jakarta.
Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta
Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Santoso Henry. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid
Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun
2008. Semarang: Universitas Diponogoro
Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
2009. Interna Publishing: Jakarta.
tt. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-ennysucifi-5197-3-bab2.pdf, di
unduh pada 27 Agustus 2014
tt. http://eprints.undip.ac.id/14310/1/1999FK412.pdf, diunduh pada 27 Agustus 2014
tt. http://library.upnvj.ac.id/pdf/3d3keperawatanpdf/0910703004/bab2.pdf, diunduh pada 27
Agustus 2014
tt. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf, diunduh pada
27 Agustus 2014
Widodo Darmowandoyo. 2002. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi Dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fkui: 367-375
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta

48

Anda mungkin juga menyukai