Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN LUPUS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah (KEPERAWATAN ANAK II) yang
diampu oleh(ZAKIYAH YASIN, S. Kep., Ns., M. Kep)

Kelompok 9

Dodi Rachman Hariyansyah 717.6.2.0942

Noer Kholis 717.6.2.0913

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah asuhan keperawatan lupus.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya, makalah yang telah disusun dapat
bermanfaat untuk menambah ilmu dan wawasan untuk kami dan orang
pembacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan dimasa depan.

Sumenep, 14 September 2019


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I .......................................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................1
1.1 DEFINISI ........................................................................................................... 1
1.2 ETIOLOGI ........................................................................................................ 2
1.3 PATOFISIOLOGI ............................................................................................ 5
1.4 WOC/PATHWAY............................................................................................. 7
BAB II .....................................................................................................................8
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI ..................................................................8
2.1 PENGKAJIAN .................................................................................................. 8
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN .................................................................... 10
2.4 PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI ................................................. 15
2.5 EVALUASI ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

iii
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun
multisistem kronis pembuluh darah dan jaringan ikat.Penyebab dan gejalanya
bervariasi dan tak terduga, dari ringan sampai komplikasi yang mengancam
jiwa. Jenis lain dari lupus eritematosus termasuk lupus erythematosus kronis
kulit (discoid lupus erythematosus), obat-induced lupus erythematosus, sub-
akut cutaneus lupus eritematosus, dan neonatal lupus. Neonatal lupus terjadi
ketika autoantibodi ibu melewati plasenta dan menyebabkan lupus transien
seperti gejala pada bayi baru lahir dengan potensi komplikasi mematikan yg
memblok jantung.SLE pada anak-anak cenderung lebih parah pada onset dan
memiliki perjalanan klinis lebih agresif dari penyakit onset dewasa. Sisa
diskusi berfokus pada SLE.
Laporan terakhir menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup pada
anak-anak dengan SLE harus ditingkatkan secara signifikan; Tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun dikatakan tingkat kelangsungan hidup hampir
100% dan 10 tahun mendekati 90% (Ravelli, Ruperto, and Martini, 2005).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan.Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria dengan
faktor 10:1.Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut.Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi,
namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth,
2009).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan
pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka.Darah mengandung antibody
beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-
komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh
darah (vaskulitis) dan radang ginjal.Sama dengan rematik, SLE juga

1
merupakan penyakit autoimun, teteapii jauh lebih jarang terjadi dan terutama
timbul pada wanita. Sebabnya tidak diketahui, penanganannya dengan
kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200
mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100 mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul
(Tan&Kirana, 2007).
Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700 wanita
berumur 15-64 tahun.Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi pada 1 dari 254
wanita.Lupus lebih sering menyerang wanita daripada pria, khususnya wanita
berusia 20 dan 40 tahun.Tidak ada obat untuk lupus.Pengobatan bersifat
individual dan biasanya berupa minum steroid.Ada baiknya tidak hamil ketika
anda mengalami serangan lupus.Wanita penderita lupus berisiko tinggi
mengalami keguguran.Juga risiko lahir mati, yang memerlukan perawatan
ekstra selama kehamilan.Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam.
Mereka juga mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini
mungkin lahir premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan
intrauterine.Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,
seperti siklofosfamida.Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan
terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.
1.2 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
factorpredisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantarabeberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut
ini beberapa factorpredisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbulproduk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLEtelah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar.Sekitar 2-5% anakkembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risikoterjadinya SLE adalah 58%.Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memilikisaudara dengan penyakit ini
adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasiumum.Studi

2
mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas IIkhususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah
dikaitkan dengantimbulnya SLE.Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemenmerupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. DiKaukasia telah dilaporkan
bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemenreseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE.15,1
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
PresentingCell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapareseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupunfungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal inimenyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenaliperintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akanteraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk mautoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T
dan sel B juga akan sulitmengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin danautoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substratantibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit Tuntuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatanproduksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal

3
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya
LE.Beberapastudi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yangtinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormaldapat dipertimbangkan sebagai faktor
resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksidalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiridari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnyaSLE.Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteriStreptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapimenjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat.Hal inimenyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadiinflamasi di tempat tersebut secara
sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memilikikecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon
imun tubuh akanterganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres
sendiri tidak akanmencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
d. Obat-obatan
a. Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapatmenyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).Jenis
obat yang dapatmenyebabkanDILE diantaranya kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid,dan isoniazid.

4
1.3 PATOFISIOLOGI
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells
(APCs) dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
dan dapat berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini
menyebabkan terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi
antilimfosit T, menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi
hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(helper). CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya
jumlah sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal
yang sampai pada CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T
dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T yang
disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi
autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3
mekanisme yaitu :
1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan
jaringan.
3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi
komplemen yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998).
Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat
meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun
terjadi penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga
fagositosis yang inadekuat pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan
reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi
komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi
kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi

5
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktifasi
komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar, 2003).
Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemikadalah
sebagai berikut :
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
yang berasal dari luar (bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus) dan dari
dalam (protein DNA/RNA

Terdapatnya antibodi antilimfosit T

Limfositopenia sel T, Hiperaktivitas sel B, fungsi sel T supresor abnormal

Double negatif (CD4-CD8-), hipergamaglobulinemia, penimbunan kompleks


ag-ab (igG/igM) dalam jaringan/pembuluh darah

Mengaktifkan komplemen

Komplemen melepaskan MCF (Macrophage chemotactic factor)

Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut

Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme
oksigen dan arginin (oksigen radikal bebas)

Merusak jaringan sekitarnya (autoimun)

Lupus Eritematosus Sistemik

6
1.4 WOC/PATHWAY

7
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


2.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering di derita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa di temukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi di stribusi penyakit
ini.
2. KeluhanUtama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu di kaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam di skoid bintik-bintik eritematosa menimbul,
Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkusdimulut.
b. Mulai kapan keluhan di rasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dankuinidin.

8
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis:
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut di curigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura. .
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung( S1,S2,S3),
bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonaldan aorta ), bunyi mur-mur.
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesieritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujungjaritangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukurtingkat kesadaran (efekdarihipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak; compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga
serangan kejang-kejang
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tampung (menilai fungsi ginjal), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus),
e. B5 (Bowel)
Polamakan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan.,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeritekan, apakah ada hepatomegali,
pembesaran limpa.

9
2.2 DiagnosaKeperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
2. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan
fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan
hemoglobin
5. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan
akibat anemia.
6. Keletihan b/d peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
7. Ganggun integritas kulit b/d perubahan fungsi, ballier kulit, penumpukan,
kompleks imun.
8. Mobilitas fisik b/d penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri
pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
9. Kurang Pengetahuan b/d proses penyakit yang timbul
10. Intoleransi aktivitas tubuh b/d kekurangan cairan dalam tubuh/tidak balance

2.3 Intervensi Keperawatan


1. Dx : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : Setelah di berikan askep selama 1x15 menit. Di harapkan pasien
menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang
normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi, ke Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi
dalaman peningakatan kerja napas. Ke dalaman pernapasan
pernapasan dan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi
ekspansi paru. dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis

10
Catat atau nyeri dada pleuritik.
upaya pernapasan,
termasuk
pengguanaan otot
bantu/ pelebaran
masal.

2. Auskultasi bunyi Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas
napas dan catat obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/
adanya bunyina kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan
pasad ventisius mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan
seperti krekels, pernapasan.
mengi, gesekan
pleura.

Tinggikan kepala Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan


dan bantu memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan
mengubah posisi. ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen
Bangunkan pasien paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
turun dari tempat
tidur dan ambulan
di
sesegeramungkin.

Observasi pola Kongesti alveolar mengakibatkan batuk keringat


batuk dan karakter auiritasi. Sputum berdarah dapat di akibatkan oleh
secret. kerusakan jaringan atau anti koagulan berlebihan.

Berikan oksigen Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja


tambahan napas

Berikan Memberikan kelembaban pada membrane mukosa

11
humidifikasi dan membantu pengenceran secret untuk
tambahan, mis: memudahkan pembersihan.
nebulizer
ultrasonic

Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : setelah di berikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh
pasien menurun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Bibir pasien tidak bengkak lagi

Intervensi Rasional
Pantau suhu pasien ( derajat dan Suhu 38,9-41,1C menunjukkan
pola ) proses penyakit infeksi usakut.

Pantau suhu lingkungan, batasi atau Suhu ruangan / jumlah selimut harus
tambahkan linen tempat tidur sesuai di ubah untuk mempertahankan
indikasi mendekati normal

Berikan kompresman di hangat; Dapat membantu mengurangi


hindari penggunaan alcohol demam

3. Dx :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,
intrademal sekunder
Tujuan : setelah di berikan askep selama 2 x24 jam di harapkan pasien tidak
akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteri ahasil:
a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma

12
c. Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi Rasional
Lihat kulit, adanya edema, area Kulit berisiko karena gangguan
sirkulasi nya terganggu atau sirkulasi perifer
pigmentasi

Hindari obat intramaskular Edema interstisial dan gangguan


sirkulasi memperlambat absorpsi
obat dan predisposisi untuk
kerusakan kulit

Beritahu pasien untuk tidak Mencegah terjadinya luka akibat


menggaruk area yang gatal garukan

4. Dx : Kekurangan volume Cairan berhubungan dengan kehilangan cairan


berlebih
Tujuan : setelah di berikan askep selama 1 x 24 jam di harapkan kekurangan
volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Pasien tidak mengalami diare lagi
b. Pasien tidak mengalami mual dan muntah
c. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
d. Turgor kulit kembali normal
Intervensi Rasional
Ukur dan pantau TTV, contoh Peningkatan suhu atau
peningakatan suhu/ demam memanjangnya demam
memanjang, takikardia, hipotensi meningkatkan laju metabolic dan
ortostatik. kehilangan cairan melalui evaporasi.
TD ortostatik berubah dan

13
peningkatan takikardia menunjukkan
kekurangan cairan sistemik.
Kaji turgor kulit, kelembaban Indicator langsung keadekuatan
membrane mukosa (bibir, lidah). volume cairan, meskipun membrane
mukosa mulut mungkin kering
karena napas mulut dan oksigen.
Monitor intake dan output cairan Mengetahui keseimbangan cairan

Beri obat sesuai indikas imisalnya Berguna menurunkan kehilangan


antipiretik, antiemetic. cairan

Berikan cairan tambahan IV sesuai Pada adanya penurunan masukan/


keperluan banyak kehilangan, penggunaan
parenteral dapat memperbaiki atau
mencegah kekurangan.

5. Dx : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex:


makanan).
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam di
harapkan nyeri pasien teratasi
Criteria hasil:
1) Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
2) Wajah tidak meringis
3) Skala nyeri 0
4) Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
a) Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg
b) Nadi : 60-100 kali/menit
c) Pernapasan : 16-20 kali/menit
d) Suhu : 36-37oC

14
Intervensi Rasional
Ukur TTV Untuk mengetahui kondisi umum
pasien

Kaji tingka tnyeri (PQRST) Untuk mengetahui factor pencetus


nyeri
Berikan posisi yang nyaman sesuai memberikan rasa nyaman
dengan kebutuhan kepadapasien

Ciptakan suasana yang tenang Membantu pasien lebih relaks

Bantu pasien melakukan teknik Membantu dalam penurunan


relaksasi persepsi/responnyeri. Memberikan
control situasi meningkatkan
perilaku positif.

Observasi gejala-gejala yang tanda-tanda tersebut menunjukkan


berhubungan, seperti dyspnea, mual gejala nyeri yang di alami pasien.
muntah, palpitasi, keinginan
berkemih.

Kolaborasi dengan dokter dalam Analgesik dapat meredakan nyeri


pemberian analgesik yang dirasakan oleh pasien.

2.4 Implementasi
Implementasi di lakukan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan.

2.5 Evaluasi
Evaluasi yang dicapai sesuai dengan tujuan dan criteria hasil yang diharapkan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Ariska Niken. “SLE-Hiper”
https://www.academia.edu/16786724/SLE-hiper. Diakses pada tanggal 13
Oktober 2018

Yuni Azizah. “Asuhan Keperawatan Lupus pada anak”


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&
ved=2ahUKEwi57Mz4roLeAhXEwI8KHbJZB_kQFjAIegQIAxAC&url=htt
p%3A%2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F20351600-PR-
Yuni%2520Azizah.pdf&usg=AOvVaw0FXf7HyS4ne04Ns7Mmllqg.
Diakses pada tanggal 13 Oktober 2018

Novianti Dwi. 2014. “Systemic_Lupus_Erythematosus”.


https://www.academia.edu/11259027/Systemic_Lupus_Erythematosus. Diakses
pada tanggal 16 Oktober 2018.

16

Anda mungkin juga menyukai