Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

ASITES
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Pembimbing:
dr. Rastri Mahardika P., Sp.PD, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA

2019

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
ASITES

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Minggu/03 Februari 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Rastri Mahardika P., Sp.PD, FINASIM

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS

Nama : Ny. N
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Dusun Bawangan RT 04 RW 03, Reksosari,
Suruh.
Tanggal Masuk : 26 Januari 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sesak nafas
setelah melakukan hemodialisa. Keluhan sesak nafas dirasakan sangat berat
dan mendadak. Demam, nyeri perut, mual, muntah disangkal. Pasien rutin
melakukan hemodialisa pada hari Rabu dan Sabtu. Sebelumnya pasien
sudah pernah dirawat di RSUD Salatiga 5 hari yang lalu. Pasien dirawat
karena akan dilakukan HD rutin, saat dirawat pasien mengeluhkan perutnya
tiba-tiba membesar, namun tidak nyeri, tidak mual dan muntah. BAB dan
BAK lancar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang
lalu. Setiap bulan rutin ke puskesmas dan mendapatkan obat untuk
mengatasi hipertensinya. Kurang lebih dua tahun yang lalu pasien
didiagnosa menderita gagal ginjal kronik stadium V dan harus mendapatkan
terapi hemodialisa.
Riwayat penyakit jantung, hepatitis, ikterik disangkal.

1
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluh sakit serupa. Riwayat
penyakit DM, hipertensi, stroke alergi, dan sakit jantung pada keluarga
disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Penggunaan obat-
obatan injeksi, tato, transfusi, riwayat hepatitis atau ikterik dan bertempat
tinggal di area yang endemik hepatitis disangkal.
Pasien sehari-hari bekerja sebegai ibu rumah tangga, tinggal dirumah
dengan suami dan satu anaknya. Pasien memiliki asuransi kesehatan berupa BPJS
Kesehatan. Sejak didiagnosa gagal ginjak kronik, aktifitas pasien menurun.

C. PEMERIKSAAN FISIK
26 Januari 2019
Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sesak sedang
Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6)
IGD Bangsal
Tekanan Darah : Tekanan Darah : 140/90
Vital Signs /
180/116mmhg mmhg
Tanda-Tanda
Nadi : 98x/menit Nadi : 90x/menit.
Vital
Respirasi : 28x/menit Respirasi : 25x/menit
Suhu :36 0C Suhu :38,40C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis
tengah, JVP 5±1
Thorax
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk, ginekomasti (-), spider navi (-)

2
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Redup, terutama dibagian basal paru dextra dan
sinistra
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ menurun dikedua
lapang paru
Suara ronkhi: +/+
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V midclavicularis sinistras
Jantung tidak membesar, batas paru-jantung:

 Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra


Perkusi  Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
 Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
 Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis
Sinistra
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
Auskultasi
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Tampak membesar, asites (+), caput medusa (-), striae
(-), sikatriks (-)
Auskultasi Bising usus (+) menurun
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak dapat diraba
karena terdapat cairan yang banyak di dalam perut,
shifting dullness (+), undulasi (+)
Perkusi Redup (+), batas paru-hepar dan paru-lien tidak dapat
dinilai
Ekstremitas
Inspeksi Ekstremitas atas (+/+)
Ekstremitas bawah (+/+)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, WPK <2 detik
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan EKG

Gambar 1.1. Hasil EKG tanggal 26 Januari 2019


Hasil:
 Irama jantung sinus
 Frekuensi 120x/ menit
 Aksis 60o
 Gelombang P < 0,12 mm
 Interval PR < 0,2 mm
 Kompleks QRS tidak menunjukan Q patologis
 Segmen ST tidak menggambarkan elevasi maupun depresi
 Terdapat gelombang T inverted di lead V4, V5, V6
 Gelombang U dalam batas normal
 SV1 + r V5/V6 < 35

Kesimpulan:
Sinus takikardi
Iskemik miokard lateral

4
2. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 Januari 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 7,28 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 3,83 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 11,2 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 34,2 37 – 47 vol%
MCV 89,2 85 – 100 Fl
MCH 29,2 28 – 31 Pg
MCHC 32,8 30 – 35 gr/dL
Trombosit 272 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah B
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 1–6 %
Basophil 0,3 0–1 %
Limfosit 2,6 20 – 45 %
Monosit 3,4 2–8 %
Neutrofil 93,3 40 – 75 %
Kimia
GDS 61 < 140 mg/dL
Ureum 50 10 – 50 mg/dL
Creatinin 3,4* 0,6 – 1,1 mg/dL
SGOT 22 < 31 U/L
SGPT 13 < 32 U/L
Elektrolit
Natrium 132 135-155 mml/e
Kalium 3,7 3,6-5,5 mml/e
Chlorida 99 95-108 mmol/e
Kalsium 12,1* 8,4-10,5 mg/%
Magnesium 1,5 1,70-2,5 mg/dl

5
3. Pemeriksaan Radiologi

Gambar 1.2. Foto thorax (27 Januari 2019)


Hasil:
- Tampak opasitas homogen di hemithorax dextra et sinistra
- Tampak corakan vaskular pulmo meningkat dengan hilar haze (+)
- Tampak pelebaran pleural space bilateral
- Tak tampak pembesaran limfonodi hilus bilateral
- Diafragma bilateral licin dan tak mendatar
- Cor, CTR tak valid dinilai o/k batas kanan-kiri tertutup opasitas di hemithorax
- Tampak kalsifikasi di proyeksi setinggi costa 4 sinistra aspek posterior, diameter
lk. 2cm
- Sisterna tulang yang tervisualisasi intak

Kesimpulan:
- Efusi pleura bilateral dengan odema pulmonum
- Kalsifikasi di proyeksi setinggi costa 4 sinistra aspek posterior, diameter lk. 2cm
- Besar cor tak valid dinilai

6
E. ASSESSMENT
1. Efusi pleura bilateral
2. Chronic kidney disease
3. Asites

F. PENATALAKSANAAN/PLANNING
IGD
Tatalaksana 26-01-2019
- Infus D 5% 500 mL (8 - EKG
tpm) - Rontgen thorax
- O2 4 liter/menit - Pemeriksaan
- Injeksi Furosemide 10 mg laboratorium (Darah
1 amp IV rutin, Ureum, Kreatinin,
- Injeksi ranitidin 1 amp IV SGOT/SGPT, GDS dan
- CaCO3 3x1 Elektrolit
- Prorenal tab 2x1
- Amlodipin 10 mg 1x1
- ISDN 5 mg 3x
- Asam folat tab 3x1

BANGSAL
Tatalaksana 27-01-2019
- Infus D 5% 500 mL (8
tpm)
- O2 4 liter/menit
- Injeksi Furosemide 10 mg
1 amp IV
- Injeksi ranitidin 1 amp IV
- CaCO3 3x1
- Prorenal tab 2x1
- Amlodipin 10 mg 1x1
- ISDN 5 mg 3x1

7
Tatalaksana 28-01-2019
- Infus NS lini
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gram IV
- ISDN 3x1
- CaCO3 3x1
- Injeksi furosemid 2x1 amp
- Injeksi amynophylin SP 0,7 mikrogram
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Injeksi bisolvon 3x1 amp
- Konsul dr. Aprilludin, Sp.P

Tatalaksana 29-01-2019
- Pungsi cairan pleural ±500 ml
- Infus NS lini
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gram IV
- ISDN 3x1
- CaCO3 3x1
- Injeksi furosemid 2x1 amp
- Injeksi amynophylin SP 0,7 mikrogram
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Injeksi bisolvon 3x1 amp

Tatalaksana 30-01-2019
- Telah dilakukan HD
- Terpasang O2 3 liter/menit
- Infus NS lini
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gram IV
- ISDN 3x1
- CaCO3 3x1
- Injeksi furosemid 2x1 amp
- Injeksi amynophylin SP 0,7 mikrogram
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Injeksi bisolvon 3x1 amp

1
Tatalaksana 31-01-2019
- Infus NS lini
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gram IV
- ISDN 3x1
- CaCO3 3x1
- Injeksi furosemid 2x1 amp
- Injeksi amynophylin SP 0,7 mikrogram
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Injeksi bisolvon 3x1 amp

Tatalaksana 01-02-2019
- Infus NS lini
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gram IV
- ISDN 3x1
- CaCO3 3x1
- Injeksi furosemid 2x1 amp
- Injeksi amynophylin SP 0,7 mikrogram
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Injeksi bisolvon 3x1 amp

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ASITES
1. Definisi
Asites merupakan penimbunan secara abnormal di rongga peritoneum. Istilah asites
pertama kali diperkenalkan oleh Trevisa pada tahun 1938, berasal dari bahasa Yunani
“askos” yang berarti kantong yang menggembung atau balon (Moore dan Aithal, 2006).
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan
di rongga periotoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar yaitu transudasi dan
eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah
salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui
mekanisme transudasi. (Hirlan, 2006).
2. Etiologi
Penyebab asites dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu yang
berhubungan dengan peritoneum normal dan yang terjadi akibat adanya penyakit pada
peritoneum. Sirosis hati merupakan penyebab terbanyak kasus asites (84%), sedangkan
cardiac ascites, karsinoma peritoneal dan mixed ascites hanya sekedar 10-15%.
Metastasis hati masif, peritoneal tuberkulosis, pankreatitis dan sindrom nefrotik
merupakan penyebab asites yang jarang ditemukan (Hou W, 2009).

3
Tabel 2.1. Etiologi asites

Peritoneum normal Penyakit pada peritoneum


Hipertensi portal
(SAAG < 1,1 g/dL)
(SAAG > 1,1 g/dL)
1. Kongesti hepar 1. Infeksi
- Gagal jantung kongestif - Peritonitis bakterial
- Perikarditis konstriktif - Peritonitis tuberkulosis
- Insufisiensi trikuspid - Peritonitis fungal
- Sindrom Chiarri-Budd - Peritonitis yang berhubungan dengan
- Penyakit Oklusi Vena HIV

2. Penyakit pada hepar 2. Keganasan


- Sirosis - Karsinoma peritoneal
- Hepatitis alkoholik - Mesotelomia primer
- Gagal hati akut - Pseudomyoma peritonei
- Metastase hati masif - Metastase hepatic masif
- Fibrosis hati - Karsinoma hepatoseluler
- Acute Fatty liver pada kehamilan
3. Oklusi vena porta 3. Kondisi lain
Hipoalbuminemia - Familial mediterranean fever
(SAAG <1,1 g/dL) - Vaskulitis
- Hipoalbuminemia - Peritonitis granuomatosa
- Sindrom nefrotik - Peritonistis eosinofilia
- Protein-losing enteropathy
- Malnutrisi berat dengan anasarka
Miselanous
(SAAG <1,1g/dL)
- Chillous ascites
- Asites pankreatitis
- Asites empedu
- Asites nefrogenik
- Miksedema
- Penyakit ovarii

4
3. Patogenesis
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori itu
misalnya underfilling, overfilling dan periferal vasodilatation.
a. Teori pengisian ulang (Underfilling theory)
Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang
menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbunimenia. Hipertensni porta akan
meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan
menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravaskular menurun (Hou W,
2009).
Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan
mlakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom
hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun.
Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelittian selanjutnya yang menunjukkan
bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanshnic
bed, peningkatan volume cairan intravaskuar dan curah jantung (Hirlan, 2006).

Gambar 2.1. Splanchnic Bed

b. Teori pengisian berlebihan (Overflilling theory)


Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma
akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktifitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktifitas hormon natriuretik
karena penurunan fungsi hati.

5
Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites menjadi sindrom
hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan neurohormonal yang
terjadi pada sirosis hati dan asites (Hirlan, 2006).
c. Teori vasodilatasi perifer
Menurut teori vasodilatasi perifer, faktor patogenesis pembentukan asites yang
amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan
gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik (Hou W, 2009).
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi
sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta
diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah
akibat vasodilatasi spalchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan
selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum.
Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glukagon, nitrit oxide
(NO), calcitrione gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial
(ANF), polipeptide vasoaktif intertinal (VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin,
dan tumor necrosis factor (TNF) (Hou W, 2009).
Vasodilaor endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial
sistemik, akbatnya terjadi peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatan aktifitas sistem saraf
simpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron dan anginin vasopresin. Akibat
selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan
peningkatan indeks jantung (Hirlan, 2006).
4. Patofisiologi
Asites dapat terjadi pada kasus dengan gangguan hepar (sirosis) dan tanpa gangguan
hepar. Asites akibat gangguan hepar dapat terjadi karena adanya hipertensi vena porta.
Awal mula terjadinya yaitu adanya peningkatan resistensi intrahepatic, sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan vena porta dan vasodilatasi dari spalnchnic bed dan
menghasilkan peningkatan tekanan vena porta. Hal tersebut terjadi akibat peningkatan
prosukdi splancnic lymph. Faktor-faktor vasodilator seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan nitrite oxide berpengaruh terhadap proses vasodilatasi. Perubahan
hemodinamik mengakibatkan teraktivasinya sistem renin-angiotensin aldosteron

6
(RAAS) yang ditandai dengan keadaan hiperaldosteronisme dan retensi natrium.
Retensi natrium menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan ekspansi volume cairan
ekstraseluler sehingga terbentuk edema perifer dan asites (Kathleen et al., 2015)
Retensi natrium merupakan konsekuensi dari adanya perubakan homeostastis yang
diakibatkan underfilling dari sirkulasi arterial menjadi vasodilatasi pada splanchnic bed.
Akibat retensi natrium, cairan yang terakumulasi merembes dari kompartemen
intravaskular kedalam kavitas peritoneum, sehingga vascular filling tidak dapat terjadi
dan proses perembesan terus terjadi. Hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik
juga berkontribusi terhadap hilangnya cairan dari kompartemen vaskular kedalam
kavitas peritoneum. Hipoalbuminemia terjadi akibat penurunan fungsi pada hepar (Hou
W, 2009).

Gambar 2.2 Patofisiologi asites pada pasien sirosis

Asites yang terjadi bukan karena gangguan hepar umunya dikarenakan


karinomatosis peritoneal, infeksi pada peritoneum dan penyakit pankreas.
Karsinomatosis peritoneal terjadi karena keganasan primer seperti mesotelioma atau
sarkoma, atau keganasan sekunder seperti adenokarsinoma gaster dan colon, metastasi
dari karsinoma mammae atau paru. Sel-sel tumor yang mengelilingi peritoneum
memproduksi protein kaya cairan sehingga dapat menyebabkan terjadinya asites. Pada

7
peritonitis tuberkulosa menyebabkan aktivitas yang mirip dengan tumor, sedangkan
pada asites pankreatis terjeadi karena kebocoran enzim pankreas kedalam ruang
peritoneum (Hou W, 2009).
5. Klasifikasi
Asites menurut jumlahnya dibagi menjadi tiga tingkatan/grade.
a. Grade I (minimal) adalah asites dalam jumlah sangat kecil yang hanya dapat
terdeteksi melalui USG.
b. Grade II (moderate) adalah asites yang terlihat sebagai distensi abdomen yang
tampak simetris.
c. Grade III (large) adalah asites dalam jumlah besar hingga menimbulkan distensi
abdomen yang sangat nyata. Memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi mulai
dari asimtomatik, gejala hepatitis akut, hingga tanda-gejala sirosis dan gagal hati.
Asites juga dapat diklasifikasikan menurut gradien abuminnya. Dikatakan gradien
tinggi bila nilainya >1,1 gram/dL. Kurang dari nilai itu disebut rendah. Gradien tinggi
terdapat pada asites transudasi dan berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan
nilai gradien rendah lebih sering terdapat pada asites eksudat (Brune, 2015).
Tabel 2.2 Klasifikasi asites berdasarkan gradien protein
Gradien tinggi Gradien rendah
Sirosis hati Karsinomatosis peritoneum
Gagal hati akut Peritonitis tuberkulosa
Metastasi hati masif Asites surgikal
Sindrom Budd-Chiari Asites biliaris
Penyakit veno-okslusif Penyakit jaringan ikat
Miksedma Sindrom nefrotik
Asites pankreatik

6. Diagnosis
a. Anamnesis

8
Diagnosis asites dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis biasanya terdapat pembesaran lingkar
perut disertai dengan nyeri perut. Karena asites merupakan keadaan kronik dari
penyakit hati dengan hipertensi porta, maka pasien perlu ditanyakan beberapa faktor
risiko seperti konsumsi alkohol, tranfusi, pembuatan tato, penggunaan obat-obatan
injeksi, riwayat hepatitis atau ikterik dan bertempat tinggal di area yang endemik
hepatitis. Riwayat kanker atau penurunan berat badan yang ekstrem merupakan
penanda kecurigaan asites pada keganasan (Hou W, 2009).
Pada pemeriksaan fisik seharusnya ditemukan tanda-tanda hipertensi porta dan
tanda penyakit hati kronik. Peningkatan tekanan vena jugularis dapat menandakan
gagal jantung kongestif kanan atau perikarditis konstriktif. Hepatomegali dan teraba
lembut merupakan karateristik pada hepatitis alkoholik atau sindrom Chiarri-Bud.
Adanya pembesaran vena pada dinding abdomen menandakan hipertensi porta.
Tanda-tanda penyakit hati kronik seperti palmar eritema, caput medusa dan
ginekomasti. Edema anasarka juga dapat terjadi akibat gagal jantung atau sindrom
nefrotik dengan hipoalbuminemia. Pemeriksaan fisik merupakan salah satu metode
diagnostik yang relatif kurang sensitif untuk mendeteksi asites. Pada umumnya, pasien
dapat didiagnosis asites dari pemeriksaan fisik jika volume cairan yang terbentuk
minimal 1500 ml, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan ultrasonografi (Brune,
2015).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada abdomen dimulai dari inspeksi. Pada inspeksi akan
tampak perut membuncit seperti perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal
mendekati simpisi os pubis. Kadang juga akan tampak hernia umbilikalis akibat
tekanan intraabdomen yang meningkat (Hirlan, 2006)
Setelah inspeksi auskultasi harus dilakukan. Hilangnya bising usus atau adanya
bising usus dengan nada yang tinggi menandakan ileus atau obstruksi intestine. Pada
perkusi, akan didapatkan pekak samping dan shifting dullnes. Namun, keadaan ini
tidak selalu menandakan asites, karena minimun volume cairan pada asites yaitu
1500ml. Asites yang masih sedikit bisanya belum menunjukkan tanda fisik yang
nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya dengan puddle sign untuk
menemukan asites (Brune, 2015).

9
Pemeriksaan yang terakhir yaitu palpasi, abdomen perlu dilakukan palpasi untuk
mengevaluasi adakah nyeri tekan, massa, hepatomegali, splenomegali atau nodular
liver yang menandakan tumor atau sirosis (Hirlan, 2006).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis dari
asites yaitu ultrasonografi, parasintesis cairan asites dan evaluasi laboratorium dari
cairan asites.
1) Parasintesis
Parasintesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru.
Kuadran kanan bawah merupakan tempat yang baik untuk dilakukan parasintesis
karena kedalaman asites lebih besar di daerah tersebut, serta dinding abdomennya
lebih tipis. Parasintesis merupakan prosedur yang aman walaupun pada pasien
dengan koagulopati, hipotensi, sindrom hepatorenal dan infeksi.
Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang amat penting untuk
pengelolaan selanjutnya. Beberapa hal yang diperiksa pada cairan asites yaitu,
warna, gradien nilai albumin serum dan asites, hitung sel, biakan kuman dan
pemeriksaan sitologi (Katheleen et al., 2015).
a) Warna
Cairan asites hemoragik sering dihubungkan dengan keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur
kapiler peritoneum. Chillous asites merupakan tanda ruptur pembukuh limfe
sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum. Cairan asites yang berwana
cokelat gelap menandakan bahwa terdapat konsentrasi bilirubin yang tinggi
dan mengindikasikan perforasi kantong empedu. Sedangkan cairan yang
berwana kehitaman mungkin menandakan adanya nekrosis pankreas dan
metastasis melanoma (Katheleen et al., 2015).
b) Gradien nilai albumin serum dan asites
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Serum albumin
asites menandakan tekanan didalam sinusoid hepar dan berkorelasi dengan
gradien tekanan vena hepar. Serum albumin aites dihitung dengan
mensubstrasi konsentrasi protein asites dari serum albumin. Disepakati
bahwa gradien dikatakan tinggi bila nilainya >1,1 gram/dL. Kurang dari nilai

10
itu disebut rendah. gradien serum albumin >1,1 gram/dL menandakan adanya
hipertensi porta dan mengindikasikan bahwa asites yang terjadi akibat
peningkatan tekaan didalam sinusoid hati. Beberapa penyebab yang mungkin
yaitu asites cardiac, sindrom Chiarri-Bud, Veno-Occlusive Disease, atau
metastasi hati masif. Sedangkan serum asites albumin <1,1 gram/dL
menandakan bahwa asites yang terjadi tidak berkaitan dengan hipertensi
porta seperti pada asites tuberkulosis, karsinoma peritoneal dan asites
pankreas (Katheleen et al., 2015).
Konsentrasi protein asites kadang dapat menunjukkan asal asites,
misalnya: protein asites <3 gram/dL lebih sering terdapat pada asites
transudat sedangkan konsentrasi protein >3 gram/dL sering dihubungkan
dengan asites eksudat (Hirlan, 2006).

Gambar 2.3. Algoritma diagnosis asites berdasarkan serum albumin asites

c) Hitung sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk
menialai asal infeksi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang
meningkat lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan,
sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa
atau karsinomatosis (Hirlan, 2006).
d) Biakan kuman

11
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang
dicurigai terinfeksi. Asites yang terinfeksi a kibat perforasi usus akan
menghasilkan kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontak
akan menghasilkan kuman mnomikroba. Metoda pengambilan sampel untuk
biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk biakan
kuman dari darah yaitu bed side innoculation blood culture botle (Hirlan,
2006).
e) Pemeriksaan sitologi
Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi
asites dengan cara yang baik memberikan hasil true positive hampir 100%.
sampel untuk pemeriksaan sitologi harus cukup banyak (± 200ml) untuk
meningkatkan sensitivitas. Harus diingat bahwa banyak tumor penghasil
asites tidak melaluimekanisme karsinomatosis peritoneum, sehingga tidak
dapat dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites. Tumor itu misalnya
karsinoma hepatoseluler masif, tumor metastase hati serta limfoma yang
menekan aliran limfe (Hirlan, 2006).
2) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi tes fungsi hati, serum
albumin, prothombine time, serta darah lengkap untuk mengevaluasi adanya
sitopenia yang mungkin muncul dari hipertensi porta atau adanya leukositosis,
aneia, dan trombositosis yang muncul akibat proses infeksi. Serum amilase dan
lipase juga dapat diperiksa khususnya pada pasien dengan pankreatitis akut.
Protein urin dapat diperiksa pada pasien asites yang curiga terjadi karena sindrom
nefrotik.
3) Pencitraan
Ultrasonografi abdomen sangat berguna untuk mengkonfirmasi adanya
asites. Baik USG dan CT-imaging beruna untuk membedakan asites akibat
hipertensi porta dan non-hipertensi porta.

7. Tatalaksana

12
Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
a. Tirah baring
Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika pada pasien asites
transudat yang berhubunga dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretik
berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, sehingga
aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Pada tirah
baring, pasien tidur telentang dengan kaki sedikit diangkat selama beberapa jam
setelah minum diuretika (Aithal, 2006).
b. Diet rendah garam
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi
garam perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meq/hari. Hiponatremia ringan
sampai sedang bukan merupakan konraindikasi untuk memberikan diet rendah
garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah
total Na dalam tubuh sebenarnya diatas normal. Biasanya diet rendah garam yang
mengandung NaCl kurang dari 40 meq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl
yang amat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal (Aithal, 2006).
c. Diuretik
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang berkerja sebagai aldosteron
misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di
tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Efektivitas obat ini lebih bergantung
pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang
dianjurkan antara 100-600 mg/hari (Aithal, 2006)
Diuretika looop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini lebih
berpotensi daripada diuretik distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme utama
reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretik loop menjadi kurang
efektif (Hirlan, 2006)
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam dan
terapi diuretik adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800
g/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500
g/hari. Sebagian besar pasien berhasil dengan terapi kombinasi tirah baring, diet
rendah garam dan diuretik kombinasi. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis
diuretik dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih

13
tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites
tidak terbentuk lagi (Hirlan, 2006).
Komplikasi diuretik pada pasien sirosis hati harus diwaspadai. Komplikasi itu
misalnya gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan
asam-basa dan ensefalopati hepatikum (Hirlan, 2006)
Asites pada kegansana tidak respon terhadap pembatasan natrium dan
pemberian diuretik, sehingga perlu dilakukan large volume paracentesis (LVP’s),
pemakaian kateter transkutaneus atau yang sangat jarang yaitu pemasangan
peritoneovenous shunt.
d. Terapi parasintesis
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif.
Pada keadaan demikian pilihan selanjutnya adalah parasintesis. Mengenai
parasintesis cairan asites dapat dilakukan sebanyak 5-10 liter/hari, dengan catatan
harus dilakukan infus albumin sebanyak 6–8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan.
Setelah dilakukan parasintesis terapi konvensional tetap diberikan (Moore dan
Aithal, 2006).
e. Terapi penyakit yang mendasari
Asites merupakan komplikasi dari berbagai macam penyakit yang dapat diobati
dengan menyembuhkan penyakit tersebut sehingga dapa menyembuhkan asitesnya.
Sebagai contoh adalah asites pada peritonitis tuberkulosa yang dapat diobati dengan
pengobatan dari tuberculosis itu sendiri (Hirian, 2006).

14
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Pada kasus ini datang seorang perempuan berusia 57 tahun ke IGD RSUD Salatiga
dengan keluhan sesak nafas. Keluhan muncul setelah pasien melakukan hemodialisa.
Sesak nafas dirasakan sangat berat dan mendadak. Demam, nyeri perut, mual, muntah
disangkal. Pasien merupakan pasien yang rutin melakukan hemodialisa pada hari Rabu dan
Sabtu. Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di RSUD Salatiga 5 hari yang lalu. Pasien
dirawat karena akan dilakukan HD rutin, saat dirawat pasien mengeluhkan perutnya tiba-
tiba membesar, namun tidak nyeri, tidak mual dan muntah. BAB dan BAK lancar. Keluhan
perut membesar dirasakan kurang lebih sudah dua minggu. Karena tidak ada keluhan lain
seperti nyeri, mual, dan muntah pasien tidak langsung memeriksakannya. Saat pasien
dirawat untuk dilakukan HD, pasien sudah memberitahukan keluhannya kepada dokter,
namun saat itu tidak dilakukan penanganan untuk perut yang tiba-tiba membesar, pasien
hanya dilakukan penangan untuk persiapan HD rutin.
Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu. Setiap bulan
rutin ke puskesmas dan mendapatkan obat untuk mengatasi hipertensinya. Kurang lebih
dua tahun yang lalu pasien didiagnosa menderita gagal ginjal kronik stadium V dan harus
mendapatkan terapi hemodialisa. Riwayat penyakit jantung, hepatitis, ikterik disangkal.
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluh sakit serupa. Riwayat penyakit DM,
hipertensi, stroke alergi, dan sakit jantung pada keluarga disangkal.
Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Penggunaan obat-obatan injeksi, tato,
transfusi, riwayat hepatitis atau ikterik dan bertempat tinggal di area yang endemik
hepatitis disangkal.
Pasien sehari-hari bekerja sebegai ibu rumah tangga, tinggal dirumah dengan suami
dan satu anaknya. Pasien memiliki asuransi kesehatan berupa BPJS Kesehatan. Sejak
didiagnosa gagal ginjak kronik, aktifitas pasien menurun.
Dari pemeriksaan status generalisata pasien didapatkan hasil bahwa suhu awal saat
di IGD yaitu 36oC, namun pada saat sudah dipindahkan dibangsal suhu pasien mendadak
naik menjadi 38,4oC, nadi: 90x/menit dan pernafasan 28x/menit. Pasien tampak sesak
sedang. Hasil pemeriksaan dari kepaladan leher, didapatkan adanya konjungtiva yang
tampak anemis. Saat dilakukan palpasi tidak didapatkan pembesaran limfonodi, tidak ada

15
deviasi trakea dan jugular venous pressure (JVP) dalam batas normal, tidak ada
peningkatan maupun penurunan. Pada pemeriksaan thorax didapatkan hasil bahwa bentuk
dadanya simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk. Palpasi thorax menunjukkan
tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus dalam batas normal. Saat dilakukan
perkusi, suara yang dihasilkan redup terutama dibagian basal paru dextra maupun sinistra,
ini menandakan bahwa adanya cairan didalam rongga pleura. Pada auskultasi paru
didapatkan suara dasar vesikuler menurun di kedua lapang paru, suara tambahan seperti
ronki dan wheezing tidak ditemukan. Pada pemeriksaan jantung tidak terlihat pulsasi pada
ictus cordis, perkusi jantung juga menunjukkan hasil normal, tidak ada pembesaran jantung.
Saat dilakukan asukultasi suara jantung juga normal tidak ada suara tambahan maupun
bising jantung. Pemeriksaan abdomen menunjukan adanya pembesaran dinding abdomen,
bising usus menurun, tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak dapat dievaluasi karena
terdapat cairan yang memenuhi rongga abdomen. Pemeriksaan pekak beralih dan undulasi
positif, hal ini menunjukkan bahwa terdapat asites pada pasien ini. Ekstremitas baik superior
dan inferior didapatkan adanya edema piting pada kedua tangan dan kakinya. Keluhan
bengkak ini sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Pasien kemudian dirawat inap dibangsal untuk mengevaluasi sesak nafas yang
dirasakan, pasien kemudian dilakukan usulan pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin
dan foto rontgen thorax. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan
creatinin sebesar 3,4 mg/dl dan peningkatan kalsium sebesar 12,1 mg%. Kadar kreatinin
yang meningkat pada pasien ini dikarenakan kerusakan ginjal yang sudah kurang lebih 2
tahun. Foto thorax pasien menunjukkan kesan efusi pleura bilateral dengan edema
pulmonum, hal ini yang menjadi dasar mengapa pasien merasakan sesak nafas yang berat.
Selain efusi pleura, hasil thorax juga menunjukkan adanya kalsifikasi di proyeksi setinggi
costa 4 sinistra apex posterior, dengan diameter lk. 2cm. Kalsifikasi ini menunjukkan bahwa
pasien dahulu pernah mengalami infeksi pada parunya. Kemungkinan pasien ini menderita
TB paru, saat ini memang tidak ada keluhan batuk berdahak. Namun jika dilihat klinis
pasien, pasien tampak sangat kurus. Apabila pasien memang menderita TB paru, efusi
pleura yang terbentuk dapat diakibatkan karena infeksi tersebut. Efusi pleura merupakan
suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit melainkan manifestasi dari berbagai macam penyakit.
Dalam keadaan normal cairan masuk ke dalam rongga pleura dari kapiler di pleura parietal
dan diserap melalui pembuluh limfe yang berada di pleura visceral. Cairan juga bisa masuk

16
ke rongga pleura melalui rongga intersisial paru melalui pleura viscera atau dari rongga
periotneum melalui celah sempit yang ada di diafragma.
Efusi pleura yang pada pasien TB terjadi akibat antigen TB memasuki rongga pleura
sehingga terjadi interaksi dengan limfosit yang akan menghasikan suatu reaksi
hipersensitivtas tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler pleura terhadap protein, sehingga akan terbentuk cairan
pleura. Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui
benar adakah infeksi paru atau tidak. Pasien hanya dilakukan pungsi, untuk mengeluarkan
cairan pada rongga pleura. Pungsi dilakukan dua kali, total cairan yang dikeluarkan ± 1000
ml. Setelah dilakukan pungsi, pasien sudah tidak sesak lagi.
Pasien ini juga menunjukkan adanya asites. Asites dapat terjadi baik pada pasien
dengan gangguan hati maupun tanpa gangguan hati. Pada pasien dengan gejala asites,
sebaiknya harus dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk menunjukkan benar adakah
cairan dalam rongga peritoneum atau tidak. Selain itu juga perlu dilakukan parasintesis
untuk mengambil cairan asites agar mengetahui asal asites, apakah berasal dari gangguan
vena porta atau tidak. Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
maupun parasintesis, dikarenakan asites yang terjadi belum terlalu besar. Pemeriksaan
gradien serum albumin asites juga tidak dilakukan, sehingga asites yang terjadi pada pasien
ini tidak diketahui penyebab utamanya.
Asites yang terjadi pada pasien ini mungkin terbentuk akibat gagal ginjal kronik
yang diderita pasien kurang lebih 2 tahun. Gagal ginjal kronik yang dderita mengakibatkan
ginjal tidak bisa berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan resistensi intrahepatic,
dan menyebabkan peningkatan tekanan vena porta serta vasodilatasi dari spalnchnic bed.
Hal tersebut terjadi akibat peningkatan prosukdi splancnic lymph. Faktor-faktor vasodilator
seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan nitrite oxide berpengaruh terhadap
proses vasodilatasi. Perubahan hemodinamik mengakibatkan teraktivasinya sistem renin-
angiotensin aldosteron (RAAS) yang ditandai dengan keadaan hiperaldosteronisme dan
retensi natrium. Retensi natrium menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan ekspansi
volume cairan ekstraseluler sehingga terbentuk edema perifer dan asites.
Retensi natrium merupakan konsekuensi dari adanya perubakan homeostastis yang
diakibatkan underfilling dari sirkulasi arterial menjadi vasodilatasi pada splanchnic bed.
Akibat retensi natrium, cairan yang terakumulasi merembes dari kompartemen
intravaskular kedalam kavitas peritoneum, sehingga vascular filling tidak dapat terjadi dan

17
proses perembesan terus terjadi. Sehingga terbentuk asites. Hipoalbuminemia dan
penurunan tekanan onkotik juga berkontribusi terhadap hilangnya cairan dari kompartemen
vaskular kedalam kavitas peritoneum. Hipoalbuminemia terjadi akibat penurunan fungsi
pada hepar.
Kemungkinan adanya keganasan yang mengakibatkan asites pada pasien ini belum
dapat disingkirkan, karena pemeriksaan penunjang yang diperlukan tidak dilakukan.
Selain asites, pasien ini juga mengalami edema piting pada keempat ekstremitasnya.
Edema yang terjadi merupakan komplikasi dari gagal ginjal kronik yang diderita pasien.
Pada pasien dengan gagal ginjal kronik terjadi penurunan masa nefron sehingga
menurunkan filtrasi glomerulus dan selanjutnya reabsorpsi natrium dan air, sehingga akan
terbentuk edema.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan asites yaitu tirah baring,
pembatasan intake garam dan cairan, pemberian diuretik serta parasintesis. Pada pasien ini
diberikan infus NS lini 8 tpm, NS memiliki kadar natrium dan kalium yang rendah. Pasien
tidak diberikan infus dengan kadar natrium yang tinggi karena hal itu akan memperberat
keadaan ginjal dan asitesnya, akibatnya retensi natrium akan berlebih dan cairan yang
masuk ke rongga peritoneum akan semakin banyak. Diuretika yang diberikan yaitu
furosemid dengan dosis 2x1 ampul per hari. Furosemid bekerja terutama dengan
menghambat reabsorpsi aktif ion korida di ascending limb lengkung henle. Eksresi dari
beberapa elektrolit akan meningkat yatiu natrium, klorida, kalium, hidrogen, kalsium,
magnesium, amonium, bikarbonat dan mungkin fosfat. Diuretik yang diberikan selain untuk
terapi ginjalnya juga sebagai terapi untuk mereduksi asites dan edema yang terjadi. Pasien
juga diberikan CaCO3 untuk terapi gagal ginjal yang diderita. CaCO3 biasanya diberikan
pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 atau 5 karena ketidakmampuannya untuk
mengeksresikan fosfat. Apabila terjadi hiperfosfatemia maka dapat memicu terjadinya
penyakit kardiovaskular dan meningkatkan mortalitas. Obat ini bekerja untuk menurunkan
serum fosfat dengan cara menurunkan abosrpsi fosfat pada usus.
Pasien diberikan amynophilin 2x1 ampul per hari dikarenakan pasien mengeluhkan
sesak nafas akibat efusi pleura yang terjadi, aminophylin merupakan salah satu obat
bronkodilator yang berkerja untuk merangsang pembukaan saluran nafas, sehingga pasien
dapat bernafas dengan lega. Selain itu pasien juga diberikan bisolvon 3x1 ampul perhari
untuk mengatasi batuk yang terjadi. Untuk mengatasi risiko terjadinya infeksi, pasien
diberikan injeksi ceftriaxone 2x1 gram per hari. Parasintesis tidak dilakukan karena asites

18
yang terjadi belum terlalu berat. Parasintesis terapeutik biasanya dilakukan pada asites
derajat 3 atau yang biasa dinamakan asites permagna. Apabila asites yang terbentuk belum
terlalu berat, dengan obat-obatan yang diberikan diharapkan dapat berkurang.

19
B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
pada kasus ini didiagnosis menderita gagal ginjal kronik dengan efusi pleura dan asites.
Asites yang terjadi pada pasien ini mungkin dikarenakan gagal ginjal kronik yang diderita
pasien. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini yaitu tirah baring, pembatasan
intake garam, dan obat-obatan diuretik. Beberapa pemeriksaan penunjang yang seharusnya
dilakukan untuk mendiagnosis asites pada pasien ini tidak dilakukan karena berbagai alsan
dan kondisi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aithal, G.P.(2006). Portal hypertension and ascites. In Hepatopancreatobiliary. In: Odd, S.M,
and Hunter, J.G., eds. General Surgery. Nottingham: Elsevier. p: 28
Hirlan. (2006). Asites. Dalam: A.W.Sudoyo.ed. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.h: 447.
Kathleen E, Corey and Lawrence S. Friedman. (2015). Abdominal swelling and ascites. In:
Isselbacher et al., eds. Harrison Principles of internal medicine 19th edition: MC Graw
Hill. p:285-88
Hou W. (2009). Ascites: Diagnosis and Management. Medical Clinics of North America.
9394:801-17
Brune R.Bacon. (2015). Cirrhosis and its complications. In; Isselbacher et al., eds. Harrison’s
Principle of internal medicine 19th edition :MC Graw Hill. p:2058-2067.

21

Anda mungkin juga menyukai