Anda di halaman 1dari 34

MODUL HOM

Seorang Laki – laki dengan Kelelahan, Nafas Pendek Saat Aktivitas dan
Berkeringat pada Malam Hari

KELOMPOK VII

030.07.156 Marissa Rusyani


030.08.189 Oryza Sativa
030.09.151 Melly Utami
030.09.164 Nabila Zaneta
030.09.179 P. Gusti Ratih
030.09.194 Raufina Yunica
030.09.209 Riyan Budianor
030.09.223 Sara Vigorousty L
030.09.239 Sitti Monica A. A.
030.09.253 Tezar Andrean B.
030.09.266 Wicaksoso Harry
030.09.281 Yusrina Affiatika U.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA


24 April 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Diskusi kami berlangsung selama 4 jam dibagi dalam 2 sesi pertemuan


yang bertempat diruangan 205 lantai 2 FK Trisakti. Setiap sesi berlangsung dalam
waktu 2 jam. Diskusi sesi pertama dan sesi kedua diikuti oleh dua belas orang
peserta. Diskusi pertama dan kedua dibimbing oleh dr. Lenny Sp.GK dengan
topik yang dibahas adalah “Seorang laki-laki 32 tahun dengan keluhan mudah
lelah, nafas pendek dan keringat malam” dan beliau memberi pengarahan yang
baik selama diskusi berlangsung.
Pada sesi pertama, diskusi dilaksanakan pada hari Rabu, 18 April 2012
dari pukul 10.00 sampai 11.50 WIB. Diskusi kelompok ini dipimpin oleh Sara
Vigorousty L, dengan sekretaris Nabila Zaneta. Sedangkan sesi dua dilaksanakan
pada hari Jumat, 20 April 2012 dari pukul 13.00 sampai 14.50 WIB. Diskusi
kelompok ini dipimpin oleh P Gusti Ratih P, dengan sekretaris Sara Vigorousty L.
Sepanjang diskusi berlangsung, semua mahasiswa mengikuti jalanya diskusi
dengan baik. Hal-hal yang terjadi selama diskusi berlangsung adalah perdebatan
antara anggota diskusi dalam menguraikan masalah pasien sampai penyaranan
prosedur kepada pasien.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. 1 IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. Brian
 Umur : 32 Tahun
 Jenis Kelamin : Laki – Laki
 Alamat :-
 Pekerjaan :-
 Kewarganegaraan : -
 Status :-

A. 2 HASIL ANAMNESIS PASIEN


Keluhan utama :
- Pasien datang dengan keluhan kelelahan
- Nafas pendek saat beraktivitas
- Berkeringat pada malam hari selama 4 minggu

Keluhan tambahan :
- Pasien merasa nyeri pada kuadran kiri atas dan penurunan nafsu makan
karena merasa perutnya penuh

Keterangan tambahan dari pasien :


- Pasien adalah orang yang sehat dan suka berolahraga sebelumnya,
aktif bekerja dan tidak pernah pergi ke dokter selama beberapa tahun

Kesimpulan kelompok kami berdasarkan anamnesis :


Kemungkinan gagal jantung bisa disingkirkan terlebih dahulu karena
pasien adalah orang yang sehat dan suka berolahraga sebelumnya, tetapi perlu
pemeriksaan fisik untuk lebih memastikannya. Selain itu, ada keluhan nyeri pada
kuadran kanan atas. Hal itu membuat kelompok kami memikirkan penyakit lain

2
sebagai penyebab keluhan, misalnya splenomegali karena anemia hemolitik, atau
karena ada infiltrasi sel leukemia.

A. 3 PEMERIKSAAN FISIK
I. Keadaan Umum
a. Tingkat kesadaran : Compos mentis
b. Kesan sakit : Fatig
c. Terlihat : Pucat wajah dan kulit
II. Status Antropometri
a. Tinggi badan : 167 cm
b. Berat badan : 54 kg
c. BMI : 16,17 (menurun)
III. Tanda Vital

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan


Suhu 37,2°C 36,5 - 37,2°C Normal
Denyut nadi1 140 x/menit 60-100 x/menit Meningkat
Irama denyut Tidak diketahui Teratur (reguler) Tidak diketahui
Tekanan 130/85 mmHg 130/85 mmHg(Normal) Normal
darah2 (Prehipertensi)
Pernafasan 22 x/menit 16-20 x/menit Meningkat

IV. Status Generalis

Pemeriksaan Hasil pemeriksaan


Mata Tidak diketahui

Telinga Tidak diketahui

Kepala
Hidung Tidak diketahui

3
Mulut dan Kesehatan Gigi Pucat di bibir dan lidah

Tenggorokan Tidak diketahui

Leher dan Pembesaran kel. pembesaran KBG, kanan:


Tiroid 3x4x4 cm 1 buah, kiri: 1-
2x1x2 cm 2 buah (dapat
Leher
digerakkan, tidak
undulasi, padat dan tidak
nyeri). Tiroid hanya bisa di
palpasi jika menelan
Cor Normal
Thorax Pulmo Normal

Mammae Tidak diketahui

Usus Tidak diketahui


Abdomen Hepar Teraba (hepatomegali)
dan tidak nyeri
Lien Teraba masa di kuadran
kiri atas, 10 cm di bawah
costae kiri
Punggung Tidak diketahui
Ekstremitas Normal
Kulit Pucat
Genitalia Kelenjar inguinal tidak
teraba (Normal)

Kesimpulan kelompok kami berdasarkan anamnesis :


Pada pemeriksaan fisik kami menyimpulkan beberapa penyakit yang bisa
menjadi penyebab dan alasan kami menyingkirkannya. Pertama, thalassemia
minor berdasarkan tampak pucat, lelah dan hepatosplenomegali. Tetapi
kemungkinan ini kami singkirkan karena adanya limfadenopati pada pasien ini.

4
Kedua, infeksi TBC karena ada keringat pada malam hari, limfadenopati
dan sesak saat beraktifitas. Kemungkinan ini kami coret karena adanya
hepatosplenomegali.
Ketiga, gagal jantung. Dari anamnesis kelompok kami sudah
menyingkirkan berdasarkan keterangan pasien. Pemeriksaan fisik juga
menguatkan pendapat kami karena ada tanda yang lebih khas untuk penyakit lain.
Selain itu pada pasien tidak terdapat oedema pada ekstremitas.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang anamnesis,
kami meyimpulkan kemungkinan adanya keganasan pada pasien ini yang bias
disebabkan oleh limfoma Hodgkin dan leukemia kronis. Kami berpendapat
leukemia kronis karena pada suhu tubuh pasien tidak terlalu tinggi. Berbeda
dengan yang akut yang didominasi oleh sel blast, suhu tubuh pasien bias tinggi
karena rentan terhadap infeksi.

B. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang kami maksudkan adalah faktor resiko untuk penyakit
leukemia. Dari kasus, kami menemukan beberapa faktor resiko, yaitu :
- umur yang semakin tua
- pria
Untuk faktor resiko lain yang tidak kami dapatkan pada kasus yaitu :
- riwayat radiasi, misalnya untuk terapi kanker sebelumnya.3

C. DAFTAR MASALAH DAN HIPOTESIS


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, beikut daftar masalah yang
kami simpulkan :
Masalah Dasar Masalah Hipotesis
Kelelahan ringan  Kadar Hb : 8,6 g/dl   Leukemia myeloid
anemia. kronis
 Tidak nafsu makan akibat  Leukemia limfositik
perut terasa penuh karena kronis

5
splenomegali.  Limfoma Hodgkin
 Hipermetabolisme akibat  Limfoma non-
proliferasi sel-sel Hodgkin
leukemia.  Anemia aplastik
Nafas pendek  RR : 22 x/menit   Leukemia myeloid
ketika beraktivitas takipneu. kronis
 Hipermetabolisme akibat  Leukemia limfositik
proliferasi sel-sel kronis
leukemia.  Limfoma Hodgkin
 Limfoma non-
Hodgkin
 Anemia aplastik
Keringat malam  Hipermetabolisme akibat  Leukemia myeloid
proliferasi sel-sel kronis
leukemia.  Leukemia limfositik
kronis
 Limfoma Hodgkin
 Limfoma non-
Hodgkin
 Anemia aplastik
Nyeri di kuadran  Pada palpasi teraba massa  Leukemia myeloid
kiri atas di kuadran kiri atas sampai kronis
10 cm di batas bawah kosta  Leukemia limfositik
kiri  splenomegali  kronis
menimbulkan nyeri seperti  Limfoma Hodgkin
di remas.  Limfoma non-
Hodgkin
Penurunan nafsu  Splenomegali  Leukemia myeloid
makan mengakibatkan desakan kronis
lambung terhadap limpa   Leukemia limfositik

6
perut terasa penuh.4 kronis
 Pada pemeriksaan  Limfoma Hodgkin
antropometri  gizi  Limfoma non-
kurang. Hodgkin

Untuk menegakkan diagnosis pada pasien, kelompok kami mengusulkan


pemeriksaan laboratorium, SADT, aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan
sitogenetika untuk mencari kelainan kromosom, misalnya kromosom
philadelphia.

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HASIL NILAI
PEMERIKSAAN KETERANGAN
PEMERIKSAAN RUJUKAN
Hb 8,6 g/dl 13-16 g/dl Anemia

9
4,5-11 x 109
Leukosit 115 x 10 sel/l Leukositosis
sel/l
150-350 x 109
Trombosit 840 x 109 sel/l Trombositosis
sel/l
Basofilia. Netrofilia
0-1/1-3/2-6/50-
5/1/-/80/2/2 Limfositopenia.
70/20-40/3-8
Monositopenia
Hitung jenis Blast 2 ↑
Tidak
Promielosit 4 ↑
ditemukan di
Mielosit 20 ↑
darah tepi
Metamielosit 4 ↑
Retikulosit 2% 0,5-1,5% Retikulositosis
Asam urat 9,5 mg/dl 2,5-9 mg/dl ↑
SGOT 31 IU/l 0-40 IU/l Normal
SGPT 26 IU/l 5-40 IU/l Normal
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,7-1,5 mg/dl Normal

7
Ureum 32 mg/dl 10-38 mg/dl Normal
Kalium 5,2 mEq/l 3,5-5,2 mEq/l Normal
Natrium 141 mEq/l 135-145 mEq/l Normal

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium:


1. Hb ↓: Hb yang rendah pada pasien ini menunjukan bahwa pasien
menderita anemia. Hb yang rendah berarti terjadi gangguan oksigenasi ke
jaringan, hal ini menerangkan kenapa pasien cepat lelah. Karena gangguan
oksigenasi ke jaringan maka sebagai kompensasi pasien akan
meningkatkan frekuensi pernapasanya untuk mendapatkan oksigen yang
lebih sehingga ia mengeluh nafasnya pendek saat beraktivitas. Hb yang
rendah juga dapat dilihat pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan kulit,
muka, bibir, dan lidah pasien berwarna pucat, hal ini terjadi sebagai
kompensasi tubuh terhadap gangguan oksigenasi dengan cara
meningkatkan redistribusi ke organ vital dan terjadi vasokonstriksi di
perifer.
2. Leukositosis: Leukosistosis yang sangat tinggi menadakan bahwa produksi
leukosit di sum-sum tulang berlebihan. Kadar leukosit dapat meningkat
pada infeksi namun pada pasien ini meskipun terjadi leukositosis tidak
dapat dikatakan telah terjadi infeksi karena pasien tidak demam, pada
leukemia parameter untuk menentukan infeksi adalah ada atau tidak ada
nya demam. Dapat disimpulkan bahwa leukositosis yang terdapat pada
pasien ini ialah akibat produksi yang berlebihan, menunjang hipotesis
kami yaitu leukemia mielositik kronik, leukemia limfositik kronik. Pada
leukemia mielositik kronik, hitung leukosit biasanya lebih dari 100 x 109
sel/l. Pada leukemia limfositik kronik hitung leukosit bisa mencapai 500 x
109 sel/l, akan tetapi pada leukemia tipe ini sering didapatkan gejala
demam sebagai manifestasi dari infeksi akibat terjadinya neutropeni.
3. Trombositosis: Nilai trombosit yang tinggi menandakan bahwa produksi
trombosit di sum-sum tulang berlebihan. Produksi trombosit yang berlebih
dapat terjadi pada leukemia mielositik kronik tetapi tidak pada leukemia

8
limfositik kronik. Pada leukemia limfositik kronik justru nilai trombosit
rendah karena produksi trombosit dihambat oleh seri limfosit yang
berproliferasi dengan cepat oleh karena itu berdasarkan nilai trombosit
maka leukemia limfositik kronik dapat disingkirkan dari hipotesis.
4. Hitung jenis: Hasil hitung jenis pada pasien ini sesuai dengan hitung jenis
yang biasa didapatkan pada pasien penderita leukemia mielositik kronik.
Yaitu, pada pasien ini dapat ditemukan peningkatan sel seri granulosit
(basofil dan netrofil) dan juga ditemukan sel-sel mielosit yang muda yang
seharusnya dalam keadaaan normal tidak didapatkan pada darah tepi.
Sesuai dengan hitung jenis pada pasien, pada penderita leukemia
mielositik kronik dapat ditemukan <10% sel blast dan promielosit serta sel
mielosit yang dominan. Hasil hitung jenis pasien tidak sesuai dengan
leukemia limfositik kronik karena pada penyakit ini dapat ditemukan
limfositosis sedangkan pada pasien yang didapatkan ialah limfositopenia,
sehingga memperkuat kelompok kami menyingkirkan hipotesis ini.
5. Asam urat ↑: Peningkatan asam urat pada pasien ini ialah akibat
pemecahan sel-sel darah yang meningkat. Pemecahan sel dapat
menghasilkan asam urat akibat degradasi nukleotida di dalam sel yang
terdiri dari purin. Sel-sel darah muda yang berada di dalam darah tepi
gampang pecah karena ukurannya yang besar sehingga dapat
menghasilkan asam urat.
6. Retikulositosis: Retikulositosis ringan yang didapatkan pada pasien ini
terjadi akibat peningkatan sintesis eritrosit, yang juga berasal dari myeloid
stem cell. Hal ini juga menyingkirkan anemia aplastik.

9
E. SEDIAAN APUS DARAH TEPI

mielosit

mieloblast
basofil
Netrofil
segmen

metamielosit
promielosit

Netrofil
batang Hipersegmen
tasi netrofil
Anomali
pelger huet

Berdasarkan pemeriksaan sediaan apus darah tepi, menurut kelompok


kami hasil dari pemeriksaaan ini lebih memperkuat hipotesis kami yaitu leukemia
mielositik kronik karena ditemukan seri granolisit lengkap serta keabnormalan sel
yang biasa ditemui pada pasien leukemia mielositik kronik :
1. Banyak sekali leukosit yang berada dalam 1 sedian apusan darah tepi.
2. Ditemukan berbagai jenis granulosit dari proses granulopoesis. Jenis
granulosit yang ditemukan antara lain :
a) Mieloblas inti besar berbentuk oval kadang tidak
teratur, dengan kromatin halus, sitoplasma relative sedikit
dibandingkan inti, berwarna biru kelabu dan tidak bergranula.
b) Promielosit bentuk sel bulat atau oval dengan warna
sitoplasma biru muda, nukleolus tampak ukuran sedang atau
kadang-kadang tidak terlihat.
c) Mielosit bentuk oval atau bulat dengan sitoplasma
biru muda atau merah jambu, nucleolus tidak terlihat.

10
d) Metamielosit bentuk oval atau bulat, warna sitoplasma
merah muda, ada lekukan kurang dari setengah diameter inti.
e) Neutrofil batang Inti berbentuk huruf U, lekukannya
lebih dari setengah diameter inti, warna sitoplasma merah
muda, kromatin kasar dan padat dan granula tersebar merata.
f) Neutrofil segmen Inti terdiri dari 2-5 lobus yang
dihubungkan oleh filament, sitoplasma merah muda, kromatin
kasar padat dan granula tersebar merata.
g) Basofil Sitoplasma mengandung granula dengan
ukuran berbeda, bentuk tak selalu bulat, warna biru hitam dan
ada yang menutup inti.
3. Adanya anomali Pelger-Huet. Hal ini terjadi akibat kegagalan
pemisahan inti pada neutrofil segmen sehingga dijumpai neutrofil
dengan inti hanya 2 lobus atau kurang (mirip gagang telepon).
Biasanya ditemukan dalam leukemia kronik.
4. Bentuk eritrosit normositik normokrom dan tampak eritrosit mulai
membentuk rouleaux. Hal ini dapat dilihat pada hasil laboratorium
dimana terjadi peningkatan LED.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pemeriksaan SADT pada


kelompok kami adalah pasien kemungkinan besar menderita Leukimia
Mieloblastik Kronik, dimana dapat dilihat terjadi peningkatan seri
granulosit/mielosit dalam darah tepi.5

F. PEMERIKSAAN ASPIRASI SUMSUM TULANG


Penilaian aspirasi sumsum tulang pasien yang seharusnya (bila didapatkan
gambarnya) dilakukan dengan menilai selularitas sel, menilai hitung jenis sel,
serta menilai M:E ratio. M:E ratio ialah myeloid to erythroid ratio yang dihintung
dengan cara membandingkan sel seri granulosit dengan sel seri eritrosit dimana
normalnya ialah 2-4:1. Pada pasien ini karena dicurigai menderita leukemia
mielositik kronik makan seherasnya gambaran sum-sum tulangnya ialah

11
hiperseluler dengan M:E ratio yang meningkat. Hasil pemeriksaan aspirasi sum-
sum tulang yang didapatkan untuk pasien ini ialah:

SEL YANG NILAI


HASIL PASIEN KETERANGAN
DINILAI RUJUKAN
Sel blast 5% 1-2% ↑
Basofil 4% 0-1% ↑

Interpretasi hasil aspirasi sumsum tulang :


Aspirasi sumsum tulang menunjukkan peningkatan sel seri myeloid yang
bisa didapatkan pada leukemia mielositik kronik. Nilai sel blas serta basofil pada
pasien ini juga menunjukan bahwa pasien menderita leukemia mielositik kronik
yang berada pada fase kronik. Ini karena pada fase akselerasi seharusnya
ditemukan blas 10-20% dan basofil ≥20% dan pada blast crisis seharusnya
ditemukan blas ≥20%.6

G. HASIL ANALISIS SITOGENETIKA

12
Setelah dilakukan pemeriksaan sitogenetik, kelompok kami semakin yakin
bahwa pasien menderita Leukemia Myelositik Kronik (LMK). Pada hasil
sitogenetik dapat dilihat bahwa pasien juga mempunyai kromosom Philadelphia
(Ph) yang khas. Sebagian besar penderita kromosom Ph memang mempunyai
factor resiko lebih tinggi terkena LMK. Kromosom ini dihasilkan dari translokasi
t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen
Abelson (ABL) dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian
kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Setelah terjadi pemindahan, terbentuklah
fusi protein BCR-ABL yang nantinya akan membentuk tirosin kinase dan
akhirnya mengarah pada leukemia mielositik kronik.5

H. DIAGNOSIS
Diagnosa pasti kelompok kami adalah Leukemia Mielositik Kronik,
yang menjadi dasar kelompok kami menegakan diagnosa ini adalah sebagai
berikut :
Anamnesis :
 Terdapat gejala cepet lelah sebagai manifestasi anemia serta
hipermetabolisme yang terdapat pada leukemia mielositik kronik.
 Terdapat gejala sering berkeringat malam hari sebagai manifestasi
dari hipermetabolisme yang terdapay pada leukemia mielositik
kronik.
 Adanya riwayat nyeri pada perut kiri atas dimana sebagai
kemungkinan splenomegali yang sering terjadi pada leukemia
mielositik kronik. (splenomegali telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan fisik)
Pemeriksaan fisik :
 Pucat sebagai manifestasi anemia,
 Frekuensi nafas yang meningkat sebagai kompensasi dari anemia.
 Frekuensi nadi yang meningkat sebagai kompensasi dari anemia.
 Pemebesaran limpa (splenomegali)

13
 Limfadenopati
Pemeriksaan penunjang :
 Hemoglobin yang rendah : anemia
 Trombosit meningkat
 Peningkatan basofil dan netrofil (seri granulosit)
 Ditemukan sel imatur seri granulosit pada pemeriksaan darah tepi
dimana secara normal hanya terdapat pada sum-sum tulang
 Peningkatan asam urat
 Aspirasi dan biopsi sum-sum tulang, dimana menunjukan diagnosa
pasti leukemia mielositik krinik fase kronik.

SEL YANG NILAI


HASIL PASIEN KETERANGAN
DINILAI RUJUKAN
Sel blast 5% 1-2% ↑
Basofil 4% 0-1% ↑
 Terdapat kromosom philadelphia

14
I. PATOFISIOLOGI

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada leukemia granulositik kronis adalah mencapai remisi
lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular.

Medikamentosa Non Medikamentosa Bedah


1. Pemberian 1. Edukasi Dilakukan cangkok
Hydroxyurea (hydrea) Edukasi yang sumsum tulang
 Dosis 30 mg/kg/BB dberikan berupa : alogenik.
diberikan sebagai  pencegahan Menurut kelompok kami
dosis tunggal agar tidak hal ini dianjurkan
maupun di bagi 2 – 3 terjadi luka berhubung keadaan
dosis. Apabila  menjaga pasien juga masih pada
leukosit kebersihan fase kronis yang bila

15
>300.000/mm3, dosis  menjelaskan dilakukan cangkok
boleh ditinggikan tentang sumsum tulang dapat
sampai maksimal 2,5 penyakit yang memungkinkan
gram/hari diderita pasien terjadinya
 Penggunaan kepada pasien penyembuhan. Jika
dihentikan dulu jika dan keluarganya pada fase akselerasi dan
leukosit <8.000/mm3  Penjelasan fase krisis dilakukan
atau trombosit < tentang efek cangkok sumsum tulang
100.000/mm3 samping dari hasilnya tidak sebaik
 Menurut literature terapi yang pada fase kronis.
penggunaan obat ini akan diberikan.
dapat memberikan
harapan hidup
selama 4 tahun.
2. Busulfan
 Dosis 4 – 8 mg/hari
per oral, dapat
dinaikkan sampai 12
mg/hari.
 Bila leukosit sangat
tinggi sebaiknya
pemberian busulfan
ini disertai dengan
alopurinol dan
hidrasi yang baik.
 Hati – hati dengan
efek samping
fibrosis paru dan
supresi sumsum
tulang yang
berkepanjangan.
3. Imatinib mesylate
 Bekerja dengan

16
menghambat
aktivitas tirosin
kinase dari fusi gen
BCR-ABL
 Digunakan pada
pasien ini karena
pasien terbukti dari
hasil pemeriksaan
cytogenetikanya
adalah kromosom
Philadelphia.
 Dosis 400 mg/hari
setelah makan
(karena fase kronik).
Dosis dapat
ditingkatkan sampai
600 mg/hari bila
tidak mencapai
respons hematologik
setelah 3 bulan
pemberian atau
pernah mencapai
respon yang baik
tetapi terjadi
perburukan secara
hematologik yakni
Hb rendah dan/atau
leukosit meningkat
dengan/tanpa
perubahan jumlah
trombosit
 Jika terjadi netropeni
berat <500/mm3 atau

17
trombositopenia
berat <50.000/mm3
atau peningkatan
SGOT/SGPT dan
bilirubin.
 Menurut literature
dapat memberikan
harapan hidup
selama 5 tahun.
4. Interferon alfa-2a atau
Interferon alfa-2b
 Dosis 5 juta
IU/m2/hari subkutan
sampai tercapai
remisi sitogenetik,
biasanya setelah 12
bulan terapi. Tetapi
berdasarkan data
penelitian di
Indonesia dosis yang
dpat ditoleransi
adalah 3 juta
2
IU/m /hari
 Atau memakai
sediaan pegilasi
interferon sehingga
penyuntikan cukup
sekali seminggu,
tidak perlu tiap hari.
 Diperlukan
premedikasi dengan
analgetik dan
antipiretik sebelum

18
pemberian interferon
untuk mencegah atau
mengurangi efek
samping interferon
berupa flue-like
7
syndrome.

K. KOMPLIKASI
1. Masalah metabolic
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis (penghancuran sel-sel
tubuh), yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan
hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian
cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.

2. Hiperleukositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan
komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan
penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan
viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan
sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan
viskositas tersebut. Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50
000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti
hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan
transfusi eritrosit.

3. Hepatosplenomegali
Hepatosplenomegali disebabkan oleh karena terjadinya hiperleukositosis,
dimana terdapat akumulasi leukosit yang berinfiltrasi ke dalam hepar dan limpa,
lalu terkumpul di sana dan menyebabkan pembesaran kedua organ tersebut.

4. Priapism

19
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh
leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf
dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik,
pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien)
dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).

5. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan
jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila
penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa
paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya
sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat,
walaupun hasilnya kurang memuaskan

6. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan
meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan
degradasi kolagen.

L. PROGNOSIS

 Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Terdapatnya kromosom Philadelphia dan faktor umur dibawah 40
tahun merupakan penanda baik untuk prognosis pasien CML. Pada pasien
dengan kelainan kromosom Philadelphia akan memberikan prognosis yang
lebih baik dibandingkan pasien tanpa kromosom Philadelphia. Untuk
pasien CML yang berumur dibawah 40 tahun juga memiliki survival rate
lebih besar dibandingkan pasien umur 40 tahun keatas.
 Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Dengan terapi dini yang adekuat dapat mencegah infiltrasi ke
organ lain dan fungsi organ-organ vital masih dapat dipertahankan.

20
 Ad Sanationam : Dubia ad Malam
Pada kasus CML, untuk terjadinya relaps atau kekambuhan
memiliki angka yang cukup besar, kecuali jika dilakukan transplantasi
stem cell yang akan memberikan kesembuhan total bagi pasien.

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari skenario kasus yang diberikan, informasi yang kami dapatkan masih
minim pada sesi awal, sehingga untuk menentukan diagnosis pasien ini menjadi
agak sulit. Oleh karena itu kami perlu melakukan anamnesis tambahan terkait
riwayat penyakit, dan kami pun memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan.
Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan informasi yang kami dapatkan pada
pasien ini dengan informasi yang tercantum dalam literature dan pada sesi kedua
sudah terdapat hasil pemeriksaan yang kami anjurkan.

Anamnesis yang kami lakukan


 Riwayat penyakit sekarang:
 Sejak kapan keluhan tersebut timbul?
 Sejak kapan terdapat nyerinya?
 Sifat nyerinya bagaimana?atau ada hal yang mencetuskan nyerinya?
 Adakah keluhan lainnya?Apakah ada keluhan batuk?
 Apakah pasien mengalami penurunan berat badan?
 Ada dema atau tidak?
 Apakah mengalami nyeri tulang atau pada persendian?
 Apakah timbul memar pada badan?
 Riwayat penyakit dahulu:
 Apakah pasien punya riwayat gastritis atau tidak?
 Adakah riwayat infeksi?
 Pernah mengalami gejala serupa?
 Riwayat penggunaan radiasi?
 Riwayat Keluarga :
 Apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang sama?atau
yang sidah terdiagnosis TB?
 Riwayat Obat-obatan :

22
 Apakah sudah mengkonsumsi obat untuk mengatasi keluhannya?
 Riwayat kebiasaan :
 Bagaimana aktivitas sehari-hari?
 Apa pekerjaan pasien?
 Bagaimana intake makanannya?
 Masih aktif berolahraga atau tidak?
 Apakah mengonsumsi alkohol?

Gejala Klinis Pada LMK

Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah


leukosit pada pemeriksaan laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat
berupa: malaise, demam yang tidak terlalu signifikan, gout, kenaikan rerata
infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun
kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan
LGK). Splenomegali seringkali terjadi.

Diagnosis

Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah


lengkap, yang memperlihatkan kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-
sel myeloid dewasa.

Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan;


halini membantu membedakan LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum
tulang biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dignosis LGK, tetapi
morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup untuk menetapkan diagnosis LGK.

Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom


Philadelphia. Karakteristik abnormalitas kromosomal ini dapat dideteksi dengan
pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi fluorescent in situ, atau
dengan PCR untuk gen bcr-abl.

23
Patofisiologi/ Patogenesis

LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan


abnormalitas genetik secara langsung, yaitu translokasi kromosomal yang dikenal
dengan kromosom Philadelphia. Kelainan kromosomal ini dinamai berdasarkan
penemunya pada tahun 1960, dua orang ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania:
Peter Nowell dan David Hungerford.

Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat.
Akibatnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22
bercampur dengan gen ABL dari kromosom 9. Dari penggabungan abnormal ini
terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran berat protein
selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan
gugus phosphat ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen
BCR-ABL juga berupa tirosin kinase.

Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin


3beta(c). Transkrip BCR-ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan
pengaktifan oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-ABL mengaktifkan kaskade
protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi,
protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan
pada sistem gen dan membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik
lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL merupakan penyebab patofisologis dari
LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-sifat dari protein BCR-
ABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan,
yaitu dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL.

Klasifikasi

LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari
fase kronik, dan beberapa tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi
(accelerated) dan akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis blast

24
merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut.
Beberapa pasien telah berada pada fase terakselerasi atau krisis blast saat
didiagnosis.

Fase Kronik

Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat
didiagnosis. Selama fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita
gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi
dari fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit
didiagnosis dan seberapa efektif terapi yang diberikan.

Fase Terakselerasi

Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi


yang paling umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center
dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila:

 10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang


 >20% basofil pada darah atau sum-sum tulang
 Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi
 Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi
 Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom
Philadelphia
 Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada
terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan
diatas.

Krisis Blast

25
Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia
akut dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat
salah satu tanda berikut pada pasien LGK:

 > 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang
 Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang
 Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum
tulang)

Pemeriksaan Penunjang
- Hematologi rutin.
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun,
leukosit antara 20.000-60.000/mm3. Persentasi eusinofil dann atau basofil
meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3.
Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau
trombositopenia.
- Apus Darah Tepi.
Erotrosit sebagian besar normositik normokrom, sering ditemukan adanya
prolikromasi eritroblas asidofil atau plorikromatofil. Tampak seluruh
tingkatan diferensiasi dan maturasi sel granulosit, presentasi sel mielosit
dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eusinofil dan atau
basofil.
- Apus Sumsum Tulang.
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukemia, sehingga rasio myeloid:eritroid meningkat. Megakariosit juga
tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma
susum tulang mengalami fibrosis.
- Karyotipik.
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-binding technique), saat ini
teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan perannya digantiksn oleh metode
FISH (Fluoresen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi

26
kromososm yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +21,
i(17).
- Laboraturium Lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.

Pengobatan
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi siogenik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi
hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai
remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok
sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60
tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan resiko rendah menurut
perhitungan Sokal.
 Hydroxyurea (Hydrea)
o Merupakan terapi terpilih untuk indikasi remisi hematologik pada
LGK
o Lebih efektif disbanding busulfan, melfalan (Alkaren), dan
klorambusil
o Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1
minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang
dapat menyebabkan anemi aplastik dan fibrosis paru.
o Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh
ditinggikan sampai maximal 2.5 gram/hari
 Busulfan (Myleran)
o Termasuk golongan alkil yang sangat kuat
o Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikan sampai 12mg/hari. Harus
dihentikan bila lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru dimulai
kembali setelah lekosit >50.000/mm3.
o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil

27
o Interaksi obat : asetaminofen, siklofosfamid, dan intrakonazol akan
meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitonin akan
menurunkan efeknya.
o Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya busulfan disertai dengan
alopurinol dan hidrasi yang baik.
o Dapat menyebabkan hidrasi paru dan supresi sumsum tulang yang
berkepanjangan.
 Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec)
o Tergantung antibody monoclonal yang dirancang khusus untuk
menghambat aktivitas tirosin kinase dari fungsi gen BCR-ABL.
o Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per
oral
o Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon
hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologic,
yakni Hb menjadi rendah dan/atau leukosit meningkat
dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit.
o Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3)
atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan
SGOT/SGPT dan bilirubin.
o Untuk fase akselerasi atau krisis blas, dapat diberikan langsung
800mg/hari (400mg b.i.d)
o Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang
o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil
o Interaksi obat : ketokonazol, simvastatin, dan fenitoin akan
meningkatkan efek imatimib mesilat
o Selain remisi hematologic, obat ini dapat menghasilkan remisi
sitogenetik yang ditandaki dengan hilangnya/berkurangnya
kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan

28
berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang
dihasilkannya.
 Interferon alfa 2a atau Interferon alfa 2b
o Interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun
dapat mencapai remisi sitogenetik
o Dosis 5juta IU/m2/hari subkutan sampai terjadi remisi sitogenetik,
biasanya setelah 2 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di
Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari.
Saat imi sudah tersedia sediaan pengilasi interferon, sehingga
penyuntikan cukup sekali smeinggu,, tidak perlu tiap hari.
o Diperlukan pre medikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum
pemberian interfero untuk mencegah/mengurangi efek efek
samping interferon berupa flue-like-syndrome.
o Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat
meningkatkan efek toksin interferon
 Cangkok sumsum tulang
o Merupakan terapi definitf untuk LGK. Data menunjukkan bahwa
cangok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi
sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik.
o Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Phnegatif Tu BCR-
ABL negative.
-

Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun
setelah dosis ditega,kkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru,
maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Sebagai contoh pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea dengan interferon
media kelangungan hdup mencapai 6-9 tahun. Imatimib mesilat memberikan hasil
yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat

29
ditentukan karena masih menunggu b eberapa hasil uji klinik yang saat iini masih
berlangsung.
Faktor - faktor dibawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara
lain:
- Pasien : usia lanjt, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam
- Laboraturium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eusinofilia, kromosom Ph negative, BCR-ABL negative
- Terapi : memerlukan waktu lama (>3bulan) untuk mencapai remisi,
memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi singkat.8

30
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Widjaja S. EKG Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 43.


2. NHLBI. Categories for Blood Pressure Level in Normal Blood. Available
at: http://www.nhlbi.nih.gov/hbp/detect/categ.htm. Accessed on May
25th, 2011.
3. Mayoclinic staff. Chronic Mylogenous Leukemia. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/chronic-myelogenous-
leukemia/DS00564/DSECTION=risk-factors. Accessed at: April 22th ,
2012.
4. F a d j a r i , H . A n e m i a G r a n u l o s i t i k K r o n i s . Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. 2007. Jakarta; Interna Publishing: 688-91.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta:
Penerbit Buku kedokteran EGC;2002.p.167-8
6. Bloomfield CD, Byrd JC, Wetzler M. Acute and Chronic Myeloid
Leukemia. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.
7. Besa EC. Chronic Myelogenous Leukemia. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/199425-medication. Accessed at:
April 22th 2012.
8. Fadjari, Heri. Leukimia Granulositik Kronis in Buku ajar Ilmu Penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I et al. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal:689-91

31
BAB VI
PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasti kelompok kami adalah Leukemia
Myelositik Kronik. Hasil anamnesis yang mendukung ialah terdapat cepat lelah
yang merupakan manifestasi anemia dan keringat malam yang mungkin terjadi
karena hipermetabolisme pada pasien ini. Terdapat nyeri pada perut kanan atas,
kemungkinan karena terjadi splenomegali. Hasil anamnesis ialah berupa keluhan
yang sering terjadi pada leukimia myelositik kronik.
Pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umumnya pucat yang terjadi
karena anemia. Frekuensi nadi dan nafasnya juga meningkat karena merupakan
mekanisme kompensasi dari anemianya, kemudian ditemukan juga splenomegali
dan limfadenofati. Pembesaran ini bisa terjadi karena adanya infiltrasi dari sel
leukosit yang berlebihan.
Hasil pemeriksaan penunjang menunjukan hemoglobin rendah yang
berarti anemia, trombosit meningkat, leukositosis, seri granulosit (neutrofil)
meningkat, sel granulosit imatur di darah tepi dan peningkatan asam urat. Hasil-
hasil tersebut sangat mendukung diagnosis leukimia myelisitik kronik dan untuk
mematiskannya dapat dilihat dari hasil aspirasi dan biopsi sumsum tulang serta
biopsi limfadenopati. Pada biopsi limfadenopati diharapkan tidak ditemukan
kelainan dan Aspirasi sum-sum tulang menunjukkan peningkatan sel seri myeloid
yang bisa didapatkan pada leukemia mielositik kronik. Nilai sel blas serta basofil
pada pasien ini juga menunjukan bahwa pasien menderita leukemia mielositik
kronik yang berada pada fase kronik.
Selain itu juga didapatkan hasil analisa kromosom yang menurut
interpretasi kelompok kami, pada pasien ini terjadi kromosom philadelphia. Hal
tersebut bisa menjadi dasar terapi dan prognosis yang lebih baik.
Secara keseluruhan kasus ini begitu bermanfaat bagi kami, dan sangat memicu
diskusi yang kondusif dari seluruh peserta diskusi. Kami menyadari bahwa
diskusi dan laporan kami masih jauh dari sempurna. Diharapkan dengan

32
bimbingan dan panduan para dosen, kami akan semakin baik nantinya. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

33

Anda mungkin juga menyukai