Anda di halaman 1dari 5

Ellina Sadiah

Tingkat 3B

Hubungan Tingkat Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Melakukan Self Injury

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Syamsu Yusuf (2011) mengungkapkan kematangan emosi merupakan


kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai
kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, selain itu
mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif. Banyak cara untuk
seseorang menyalurkan emosinya, penyaluran emosi dapat dilakukan dengan cara
positif dan negatif. Salah satu penyaluran emosi negatif bila seorang remaja
mempunyai tingkat kematangan emosi yang rendah dalam menghadapi masalah
yaitu dengan melakukan self injury. Menurut Gratz dkk. (dalam Hasking dkk,
2002: 5) self injury berfungsi untuk mengurangi emosi negatif dan stress.

Alderman (dalam Fiona 1997) dan Connors (dalam Fiona 2000)


mengatakan bahwa sesungguhnya self injury merupakan suatu metode yang
digunakan untuk mempertahankan hidup dan merupakan suatu coping terhadap
keadaan emosional yang sulit, seperti kecemasan, stress, dan perasaan negatif
lainnya. Dirgagunarsa (dalam Fiona, 2005), seseorang lebih baik
mengekspresikan emosi dengan cara menyalurkannya daripada memendamnya,
untuk menghindari akibat negatif. Akan tetapi, mereka yang terlibat self injury
cenderung mengalami kesulitan untuk mengungkapkan emosi mereka pada orang
lain.

Mengiris/menggores dan membakar kulit adalah bentuk self injury yang


paling umum (Walsh, 2006). Banyak dari perilaku self injury memiliki pola rutin
yang mereka rencanakan dan lakukan secara teratur. Banyak juga yang
melakukan tindakan-tindakan ini secara acak, saat mereka memiliki perasaan-
perasaan sulit (Fiona, 2005).

Para perilaku self injury memiliki berbagai pandangan tentang perilaku


mereka. Kebanyakan setuju bahwa perilaku itu merusak, tetapi mereka merasa
tidak bisa berhenti karena rasa nyaman yang diperolehnya. Beberapa dari mereka
merasa bangga akan “prestasi” dan nilai seni yang mereka yakini terpancar dari
luka-luka mereka. Sedangkan, di lain pihak beberapa dari mereka merasa sangat
malu akan bekas-bekas luka mereka dan berharap mereka dapat menghilangkan
bekas-bekas yang ada pada tubuh mereka (Centerio, 1980).

Pada beberapa subjek yang diteliti Ramli (2010), ditemukan bahwa sejak
kecil, individu yang melukai dirinya biasanya telah mengalami kekerasan fisik
sehingga mereka tidak mampu belajar menemukan problem solving yang baik.
Problem solving yang mereka ketahui hanyalah kekerasan fisik sehingga mereka
memiliki hambatan dalam mengekspresikan emosi mereka dengan benar. Ketika
dihadapkan pada suatu stressor, mereka kemudian memilih untuk
mengekspresikan emosinya ke dalam diri mereka dengan cara agresi berbentuk
melukai diri mereka sendiri. Alasan-alasan yang membuat perilaku itu berulang
diantaranya adalah karena adanya penguatan positif pada perilaku tersebut.
Karena terluka, orang disekitar mereka akan lebih memperhatikan mereka.
Mereka juga merasa lebih puas karena bisa menyalurkan emosinya yang
terpendam. Selain itu, dengan melukai diri, mereka bisa melenyapkan kondisi
emosi tidak menyenangkan yang mereka rasakan. Meskipun tidak seluruhnya,
kebanyakan perilaku self injury mengalami penyiksaan di masa lalunya, baik
secara fisik, emosional, maupun seksual, sehingga mereka pada umumnya kurang
mampu mengendalikan emosi dan cenderung menghadapi banyak masalah di
kemudian hari. (Centerio, 1998).

Pada umumnya perilaku self injury dilakukan pada masa remaja yang
penuh dengan masalah dan perubahan besar, sehingga pelaku self injury pada
masa tersebut memerlukan metode coping yang baru dan lebih berhasil. Self
injury dipengaruhi beberapa factor penyebab dan sebagian besar pelakunya
kurang memiliki kemampuan untuk mengendalikan perasaan atau emosi yang
membebaninya (Fiona, 2005).

Hasil penelitian Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada


Riskesdas 2018, berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20; Nilai Batas Pisah
(Cut off Point) ≥ 6 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Usia
>15 Tahun Provinsi Jawa Barat berada di angka 12,1%. Angka ini mengalami
peningkatan dibandingkan lima tahun sebelumnya pada Riskesdas 2013,
berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20; Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥
6 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Usia >15 Tahun
Provinsi Jawa Barat berada pada angka 9,3 %.

Meningkatnya angka gangguan mental emosional di Provinsi Jawa Barat


dikhawatirkan akan meningkatkan kecenderungan seseorang berperilaku self
injury khususnya pada remaja, karena (dalam Fiona, 2005) perilaku self injury ini
didasari oleh alasan emosional. Oleh karena itu, saya ingin menggali lebih dalam
permasalahan self injury, emosi yang terlibat pada proses dan diri individu yang
melakukan self injury khususnya pada remaja. Adapun judul yang ingin saya
angkat dalam penelitian ini adalah “Hubungan Tingkat Kematangan Emosi
dengan Kecenderungan Melakukan Self Injury”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat ditarik sebuah rumusan
masalah. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimana
hubungan tingkat kematangan emosi dan aspek-aspeknya dengan kecenderungan
perilaku self injury pada remaja?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan tingkat kematangan emosi


dan aspek-aspeknya dengan kecenderungan melakukan self injury pada remaja.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian emosi
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk emosi
3. Untuk mengetahui karakteristik emosi
4. Untuk mengetahui pengertian kematangan emosi
5. Untuk mengetahui karakteristik kematangan emosi
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi
7. Untuk mengetahui pengertian self injury
8. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi self injury
9. Untuk mengetahui gejala dari self injury
10. Untuk mengetahui dampak dari self injury
11. Untuk mengetahui cara pendegahan dari perilaku self injury

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Klien dan Keluarga
Melalui penelitian ini diharapkan klien dapat mengetahui pengaruh kematangan
emosi terhadap kecenderungan melakukan self injury.
1.4.2. Bagi Perawat
Melalui penelitian ini diharapkan perawat dapat memberikan pengetahuan dalam
upaya pencegahan yang tepat pada klien dengan gangguan mental emosi yang
memiliki kecenderungan untuk melakukan self injury.
1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dan dapat menjadi referensi tambahan kepustakaan ilmiah dalam
keperawatan.
1.4.4. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada institusi
pelayanan kesehatan khususnya dalam lingkup kejiwaan dalam memberikan
upaya pencegahan sehingga faktor risiko perilaku self injury data dikendalikan.
1.4.5. Bagi Peneliti
Sebagai media pembelajaran untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan
sebagai pembelajaran bagi peneliti dalam melakukan penelitian secara sistematis
dan ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai