Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas

38oC. Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula

merugikan. Pada tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan


tubuh yang bermanfaat karena timbul dan menetap sebagai respon terhadap
suatu penyakit. Namun suhu tubuh yang terlalu tinggi juga akan berbahaya.
Saat ini, demam dianggap sebagai suatu kondisi sakit yang umum. Demam
juga merupakan keadaan yang sering diderita oleh anak-anak. Hampir setiap
anak pasti pernah merasakan demam. Pada dasarnya, terdapat dua kondisi
demam yang memerlukan pengelolaan yang berbeda. Pertama adalah demam
yang tidak boleh terlalu cepat diturunkan karena merupakan respon terhadap
infeksi ringan yang bersifat self limited. Kedua adalah demam yang
membutuhkan pengelolaan segera karena merupakan tanda infeksi serius dan
mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, dan sepsis. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai pengelolaan demam pada anak yang baik menjadi
sesuatu yang penting untuk dipahami.
Salah satu demam pada anak yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah
demam tifoid, Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi dan Salmonella para thypi.
Demam thypoid biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala yang
umum yaitu gejala demam yang lebih dari 1 minggu, penyakit demam thypoid
bersifat endemik dan merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar
hampir di sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia dan menjadi
masalah yang sangat penting (Depkes, 2006).
Penderita demam tifoid mengalami kenaikan suhu pada minggu pertama,
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Salmonella typhi yang masuk kedalam tubuh sebagian akan dimusnahkan oleh
asam lambung, sebagian masuk ke usus halus kemudian menembus epitel usus,
berkembang biak dan masuk ke dalam kelenjar getah bening. Setelah itu kuman
memasuki peredaran darah dan masuk ke organ-organ terutama hepar dan
sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan kuman dan endotoksin.
Endotoksin yang beredar hingga aliran darah sistemik memicu pelepasan
protein pirogen endogen (protein dalam sel) yang mempengaruhi pusat
pengatur suhu tubuh di dalam otak sehingga muncul hipertermia yang remitten
(Widagdo, 2011). Kasus meninggal dapat terjadi pada anak penderita demam
tifoid karena timbulnya komplikasi, baik komplikasi intestinal (seperti
perdarahan usus dan perforasi usus) maupun ekstraintestinal (kardiovaskular:
toksik miokarditis, respirasi : pneumotifoid, muskuloskeletal : periostitis, dan
lain-lain) (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang selalu ada di
masyarakat (endemik) di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania,
termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat
menyerang banyak orang, mulai dari usia balita, anak- anak, dan dewasa
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Israr, 2008). Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diIndonesia.
Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2006).
Data World Health Organization memperkirakan angka kejadian di seluruh
dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal
karena penyakit ini dan 70% kematiannya terjadi di Asia. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per
tahun di Asia (WHO, 2012).
Prevalensi 91% kasus demam tifoid di Indonesia terjadi pada umur 3-19
tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Persentase penderita dengan
usia 12-29 tahun 70-80%, usia 30-39 tahun 10-20%, usia > 40 tahun 5-10%.
Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,
sedang 2% yang lain akan menjadi karier yang menahun. Kekambuhan yang
ringan pada karier demam tifoid, terutama pada karier jenis intestinal, sukar
diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas (Brusch. JL, 2006).Insidensi
demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000
kasus pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus per tahun.
Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di
negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760
sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai 10,4% (WHO,
2004).
Menurut data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, demam tifoid
termasuk 10 penyakit rawat inap dan menempati urutan ke 3 setelah penyakit
gastroenteritis dan demam berdarah dengue, yaitu sebanyak 41.081 kasus,
dengan rata-rata kasus meninggal 0,67%. Prevalensi nasional tifoid
(berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah
1,60%. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi Tifoid diatas prevalensi
nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Papua Barat dan Papua (Riskesdas, 2007).
Jawa Barat menempati urutan ke 3 dari total 14 provinsi diatas prevalensi
nasional, yaitu sebesar 1, 28% atau 157 kasus per 100.000 penduduk. Kasus
tifoid di Jawa Barat sebagian besar terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan (Riskesdas, 2007). Penderita demam tifoid usia 5-14 tahun di
Puskesmas Kabupaten Bogor tercatat sebanyak 10.374 (2,58%) (Profil
Kesehatan Jawa Barat, 2015).
Sedangkan penderita usia 5-14 tahun di Rumah Sakit Umum Citama
Kabupaten Bogor tercatat sebanyak 2.894 (6,40%) pada bulan Juli 2016
dengan jumlah penderita yang mengalami penurunan produktivitas sebanyak
25 orang dan mengalami komplikasi berupa dehidrasi dan demam kejang
sebanyak 13 orang (Data RSU Citama, 2017).
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Artanti (2013), menyatakan
bahwa kejadian demam tifoid pada anak, disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor higiene perorangan seperti kebiasaan cuci tangan
sebelum makan serta kebiasaan makan diluar rumah dan sanitasi lingkungan
seperti sarana pembuangan tinja keluarga. Pada penelitian Naelannajah
Alladany (2010) mendapatkan hasil bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku
kesehatan yang merupakan faktor risiko kejadian demam tifoid adalah kualitas
sumber air, kualitas jamban keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga,
praktek kebersihan diri, pengelolaan makanan dan minuman rumah tangga.
Selain karena kedua faktor tersebut, kejadian demam tifoid pada anak juga
dapat disebabkan oleh faktor karakteristik individu seperti faktor usia dan jenis
kelamin. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tiara Perdana Putri (2016)
menujukkan bahwa usia menjadi salah satu penyebab terjadinya demam tifoid
pada anak. Penelitian oleh Muhammad Zul Azhri Rustam ( 2010) menyatakan
bahwa faktor jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap kejadian demam tifoid
pada anak.
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu demam yang sering dijumapai pada anak adalah demam tifoid.
Tifoid atau yang biasa dikenal dengan tifus adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh basil Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, penyakit ini
memiliki tanda dan gejala berupa demam sekitar 1 minggu serta hipertermia.
Dari penjelasan mengenai penyakit tifoid pada anak, penelitian ini
mengkaji mengenai demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama,
dimana permasalahan demam tifoid terjadi pada bulan Juli Tahun 2016.
Berdasarkan masalah tersebut, peneliti tertarik untuk mengambil judul
“Analisis Penyebab Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada Anak Usia 5-
14 Tahun di RSU Citama Tahun 2018”.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah yang menjadi penyebab kejadian demam tifoid pada anak usia 5-
14 tahun di RSU Citama Tahun 2018?
2. Mengapa sarana pembuangan tinja menjadi salah satu penyebab kejadian
demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama Tahun 2018?
3. Mengapa ketersediaan sarana air bersih menjadi salah satu penyebab
kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama Tahun
2018?
4. Mengapa perilaku cuci tangan dapat menjadi penyebab munculnya
kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama Tahun
2018?
5. Mengapa perilaku kebiasaan makan diluar dapat menjadi penyebab
kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama Tahun
2018?
6. Mengapa perilaku tidak mencuci bahan makanan mentah dapat
menyebabkan demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama
Tahun 2018?
7. Mengapa perilaku buang air besar (BAB) yang buruk dapat menyebabkan
kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14 tahun di RSU Citama Tahun
2018?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui penyebab kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14
tahun di RSU Citama Tahun 2018
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui sarana pembuangan tinja yang dapat
menyebabkan kejadian demam tifoid pada anak di RSU Citama
Tahun 2018
2. Untuk mengetahui ketersediaan sarana air bersih yang dapat
menyebabkan kejadian demam tifoid pada anak di RSU Citama
Tahun 2018
3. Untuk mengetahui perilaku cuci tangan yang dapat menjadi
penyebab kejadian demam tifoid pada anak di RSU Citama Tahun
2018
4. Untuk mengetahui perilaku kebiasaan makan diluar rumah yang
dapat menyebabkan kejadian demam tifoid pada anak di RSU Citama
Tahun 2018
5. Untuk mengetahui perilaku tidak mencuci bahan makanan mentah
yang dapat menjadi penyebab kejadian demam tifoid pada anak di
RSU Citama Tahun 2018
6. Untuk mengetahui perilaku buang air besar (BAB) yang buruk
sebagai salah satu penyebab kejadian demam tifoid pada anak di
RSU Citama Tahun 2018
1.5 Manfaat Penelitian
1. Untuk Akademisi
Diharapkan penelitian ini dapat berguna dan dijadikan rujukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan,
2. Untuk Instansi
Diharapkan untuk RSU Citama bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor dalam rangka pembuatan program berupa pendidikan
kesehatan atau
penyuluhan kesehatan mengenai demam tifoid pada anak, faktor penyebab,
pencegahan, serta penanggulannya.
3. Untuk Mahasiswa
Diharapkan bagi mahasiswa yang akan meneliti demam tifoid pada anak,
penelitian ini dapat berguna untuk dijadikan referensi dalam mengkaji
mengenai demam tifoid pada anak.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kejadian demam tifoid pada anak usia 5-14
tahun yang dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan terhitung dari April 2018 –
Juni 2018 di RSU Citama Kabupaten Bogor, peneliti tertarik untuk mengkaji
mengenai hal ini dikarenakan jumlah penderita anak yang menderita demam
tifoid di RSU Citama sebanyak 2.894 kasus pada tahun 2016 disertai dengan
data komplikasi yang terjadi, jenis penelitian yang digunakan dalam pengkajian
ini adalah penelitian kualitatif.

Anda mungkin juga menyukai