Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri

berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis.

Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak (droplet) dari

penderita TB kepada individu yang rentan (daya tahan tubuh rendah). Pada

umumnya TB menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ

lainnya (Safitri, 2011).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), Tuberkulosis

(TB) masih merupakan salah satu penyakit pada anak dengan tingkat morbiditas

dan mortalitas yang masih tinggi. Diperkirakan, TB masih merupakan salah satu

dari tiga penyakit infeksi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas terbanyak

di seluruh dunia dan merupakan peringkat kedua penyebab kematian karena

infeksi setelah HIV/AIDS (Bakhtiar, 2016).

Indonesia saat ini termasuk dalam 5 negara dengan penderita TB

terbanyak di dunia. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 1,02 juta kasus TB baru

(391 per 100.000 penduduk) dengan 110.000 kematian (42 per 100.000

penduduk). Tuberkulosis pada anak merupakan komponen penting dalam

pengendalian TB karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50%

populasi dan terdapat 1 juta kasus TB baru pada anak di dunia pada tahun 2016

(Prasetyo, 2019).

Meningkatnya kasus TB pada anak diperkirakan berkaitan dengan

kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Salah satu diantaranya adalah, kesulitan

mendapatkan M. Tuberculosis sebagai kuman penyebab. Berbagai kemajuan

1
teknologi telah memberi dukungan sebagai penunjang diagnosis. Namun, pada

sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, penerapan teknologi sebagai

penunjang diagnosis TB pada anak tidak mungkin dilakukan. Karena itu, sistem

skoring sebagai alternatif untuk menegakkan diagnosis sangat mungkin untuk

diterapkan. Sebagaimana, penulis membuat referat ini bertujuan untuk memahami

dan mempelajari penyakit tuberculosis pada anak secara keseluruhan (Prasetyo,

2019).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M.

Tuberculosis. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penamaan ini

didasarkan pada kemampuan M. tuberculosis untuk mempertahankan ikatan

dengan fuschin yang disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel.

Pewarnaan dengan carbol fushin ini dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk

pewarnaan preparat apus M. tuberculosis (Bakhtiar, 2016).

2.2 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh secara

lambat di dalam sel (intraselular). Karakteristik utama Mycobacterium yang

membedakan dengan bakteri lain adalah kemampuannya mempertahankan warna

merah fuchsin saat dilakukan dekolorisasi dengan asam dan alkohol pada

pewarnaan preparat apus. Struktur dinding Mycobacterium tuberculosis bersifat

kompleks dan antigenik. Dinding sel M. tuberculosis ini mempunyai peranan

penting untuk interaksi dengan sel-sel imun pejamu. Substansi antigenik yang

terdapat pada dinding sel tersebut antara lain lipoarabinomanan (LAM), sulfolipid,

asam mikolat yang mengandung glikolipid dan lipoprotein. Protein yang terdapat

pada dinding M. tuberculosis yang terikat pada lemak dapat membangkitkan

reaksi tuberkulin. Sebagian besar antigen pada dinding sel tersebut menimbulkan

hipersensitivitas tipe lambat (Bakhtiar, 2016).

2.3 Epidemiologi

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai

organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara –

3
negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 – 50 %

dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia

menderita TB setiap tahun (Kemenkes RI, 2016).

Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada

tahun 2010 adalah 9,4 %, kemudian menjadi 8,5 % pada tahun 2011, 8,2 % pada

tahun 2012, 7,9 % pada tahun 2013, 7, 16 % pada tahun 2014, dan 9 % pada tahun

2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi dari 1,2 % sampai 17,3 %

(Kemenkes RI, 2016).

2.4 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor

resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko

penyakit) (Safitri, 2011).

1. Resiko infeksi TB

Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan

dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,

kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak

membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti

perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif (Safitri, 2011).

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih

tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas

atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif

dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi

udara yang kurang baik (Safitri, 2011).

4
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa

di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam

sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena

imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu

menyebabkan sakit.

b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer

biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak

terjadi produksi sputum.

c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor

batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB

anak.

2. Resiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini

adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi

sakit TB (Safitri, 2011).

a. Usia

Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi

infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang

sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara

bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki

risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan

meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan

5
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala

yang akut.

a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif

menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.

b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,

pengangguran, pendidikan yang rendah.

c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,

keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).

d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.

2.5 Patogenesis

Paru merupakan port de entre lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Kuman

TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil ( < 5 mm)

akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologi spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan

seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian

besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

dihancurkan akan terus berkembang biak didalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag . Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat

tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon. Selanjutnya, kuman TB menyebar

melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang

mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

6
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah atau tengah,

kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),

sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah

kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis

dinamakan kompleks primer (Kemenkes RI, 2016).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB bervariasi selama 2 – 12 minggu, biasanya berlangsung selama 4 – 8

minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembangbiak hingga mencapai

jumlah 103 − 104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas

seluler (Kemenkes RI, 2016).

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin

negative. Pada sebagian individu dengan system imun yang berfungsi baik, pada

saat system imun seluler berkembang, profilerasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,

sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas

seluler terlah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (Kemenkes RI, 2016).

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi

7
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga

akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun – tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB (Kemenkes RI, 2016).

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat focus di paru

atau di kelenjar limfe regional. Focus primer di paru dapat membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang ebrat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar mellaui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) (Kemenkes RI, 2016).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,sehingga

bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil ( ball –

vale mechanism) . Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan

erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk

fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang sering disebut sebagai

lesi segmental kolaps- konsolidasi (Kemenkes RI, 2016).

Selama masa inkubasi, terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelnjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjur

menyebar secara limfahematogen. Dapat juga terjadi peneybaran hematogen

8
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut

sebagai penyakit sistemik (Kemenkes RI, 2016).

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara

sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang

di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,

limpa,dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ

lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain – lain. Pada umumnya, kuman di

sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif( tenang), demikian pula dengan

proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan focus simon, yang

kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dna terjadi TB apeks paru saat dewasa.

(Kemenkes RI, 2016).

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisa akur. Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan bererdar

didalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.TB

diseminata ini timbul dalam waktu 2 – 6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya

penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta

frekuensi berulangnya penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya

system imun pejamu dalam mengatasi infeksi Tb, misalnya pada anak bawah 5

tahun ( balita) terutama dibawah dua tahun (Kemenkes RI, 2016).

9
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protacted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan di dinding

vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman

TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalize hematogenic

spread (Kemenkes RI, 2016).

Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya TB


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).
Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic

spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan

10
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian

hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), lirntangitis (2), dan

limladenitis regional (3).

3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran

hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga

pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.

4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa

melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi

sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).

2.6 Manifestasi klinis

Seorang anak harus dicurigai menderita tuberculosis kalau

• Mempunyai sejarah kontak erat ( serumah )dengan penderita TBC BTA

positif

• Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG ( dalam 3–7

hari )

• Terdapat gejala umum TBC seperti batuk persisten, berat badan turun atau

gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif.

Gejala Tb yang khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah

diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk

demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang

adekuat untuk masalah berat badan) (Safitri, 2011).

11
Gejala umum TBC pada anak :

• Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi

gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1 – 2 bulan.

• Demam lama dan/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,

infeksi saluran kemih, malaria, dan lain - lain). Demam umumnya tidak

tinggi. Keringat malam saja merupakan gejala spesifik TB pada anak

apabila tidak disertai dengan gejala sistemik/umum lain.

• Batuk lama ≥ 2 minggu, batuk bersifat non – remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika

atau obat asma (sesuai indikasi).

• Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

(Kemenkes RI, 2016).

Gejala spesifik

Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang

misalnya :

• TBC Kulit (skrofuloderma)

Ditandai dengan adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi

ulkus (skin bridge).

• TBC tulang dan sendi :

- Tulang punggung ( spondilitis ) : gibbus

- Tulang panggul ( koksitis ) : pincang pembengkakan dipinggul

- Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak

12
- Tulang kaki dan tangan

• TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk

muntah-muntah dan kesadaran menurun

• Tuberkulosis mata : Konjungtivitis fliktenularis , Tuberkel koroid ( hanya

terlihat dengan funduskopi)

• Tuberkulosis kelenjar

o Biasanya di daerah leher (region colli)

o Pembesaran kelenjar getah bening tidak nyeri, konsistensi kenyal,

multiple dan kadang saling melekat ( konfluens).

o Ukuran besar ( lebih dari 2 x 2 cm), biasanya pembesaran KGB

terlihat jelas bukan hanya teraba.

o Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika

o Bisa terbentuk rongga dan discharge

(Kemenkes RI, 2016).

Gambar 2.2 Limfadenitis TB


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

2.7 Penegakkan diagnosis

Definisi anak menurut IDAI adalah usia 0- 18 tahun. Penegakan diagnosis

TB paling tepat adalah dengan ditemukan kuman TBC dari bahan yang diambil

dari penderita misalnya dahak bilasan lambung biopsi dll, tetapi pada anak hal ini

13
sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan

pada 4 hal, yaitu :

1. Konfirmasi bakteriologis TB

2. Gejala klinis yang khas TB

3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberculin positif atau kontak erat dengan

pasien TB)

4. Gambaran foto toraks sugestif TB.

14
Gambar 2.3 Alur diagnosis TB Paru Anak
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

15
Gambar 2.4 Sistem Skoring TB Anak
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

16
2.8 Pemeriksaan penunjang

Uji Tuberkulin ( Mantoux )

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ( pernyuntikan intrakutan ) dengan

semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah

tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaandilakukan 48-72 jam setelah

penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran

dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm ( pada

gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan

adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji

tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi ( malnutrisi , penyakit

sangat berat pemberian imunosupresif, dll ). Jika uji tuberkulin

meragukandilakukan uji ulang. Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux

dibagi dalam (Bahar, 2007):

a. Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no

sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol.

b. Indurasi 6-9 mm: Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini

peran antibodi humoral masih menonjol.

c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di

sini peran kedua antibodi seimbang.

d. Indurasi > 15 mm: Mantoux positif kuat =golongan hypersensitivity. Di

sini peran antibody seluler paling menonjol.

17
Gambar 2.5 Hasil Mantoux
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

Reaksi Cepat BcG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari ) berupa

kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis (Safitri, 2011).

Foto Rontgen dada

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidakkhas dan interpretasi foto

biasanya sulit, harus hati - hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau

underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar

kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang

mencurigai TBC adalah (Safitri, 2011).

• Milier

• Atelektasis /kolaps konsolidasi

18
• Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

• Konsolidasi ( lobus )

• Reaksi pleura dan atau efusi pleura

• Kalsifikasi

• Bronkiektasis

• Kavitas

• Destroyed lung

Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus

dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero-Anterior )

dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin AP saja.

Gambar 2.6 Tuberukulosis pada anak


(Sumber : Kim, Susan,2014, Pediatric TB Radiology for clinicians).

Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya

dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak.

Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara

19
baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR ( Polymery chain Reaction )

atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis (Kemenkes RI, 2016).

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :

 Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan tubuh

atau jaringan biopsy)

Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu

sewaktu dan pagi hari.

 Tes cepat molekuler (TCM) TB

1. Pemeriksaan line probe assay (misalnya Hain genotype) dan

NAAT Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MB/RIF).

2. TCM digunakan untuk mendeteksi kuman M. Tuberkulosis secara

molekuler sekaligus menentukan ada tidaknya resisten terhadap

rifampicin.

 Pemeriksaan biakan

Gold Standart diagnosis TB adalah menemukan kuman penyebab TB.

Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu :

1. Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4 – 8 minggu

2. Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat ( 1 – 2 minggu),

tetapi lebih mahal.

Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan

lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis

praktis (Kemenkes RI 2016).

20
Pemeriksaan histopatologi (PA/Patalogi Anatomi)

Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan

nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia

langhans dan atau kuman TB (Kemenkes RI 2016).

2.9 Tatalaksana

Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:

 Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam

monoterapi

 Pengobatan diberikan setiap hari

 Pemberian gizi yang kuat

 Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.

Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan

profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,

sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer

atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)) (Kemenkes RI

2016).

Panduan Obat Terapi TB Anak

Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase

intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali pada

TB berat). Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya

resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.

Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. OAT diberikan setiap

21
hari dengan paduan obat yaitu rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase

intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Sedangkan pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB tertentu yaitu : TB

milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan

peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg

BB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan taffering off dalam jangka waktu yang sama.

Tujuan pemberian steroid adalah untuk mengurangi proses inflamasi dan

mencegah terjadinya perlekatan jaringan (Kemenkes RI 2016).

Pengobatan saat ini yang cukup baik hasilnya adalah penggunaan obat anti

tuberkulosis (OAT) yang terdiri dari INH, Rifampisin, dan pirazinamid. INH

diberikan dengan dosis 10-15mg/kgBB selama 6 bulan, Rifampisin 10-15

mg/kgBB selama 6 bulan, dan pirazinamid 25-35 mg/kgBB selama 2 bulan.

Untuk mengurangi angka drop out pengobatan TB dan meningkatkan kepatuhan

pasien menelan obat, maka dibuat bentuk fixed dose combination (FDC) yaitu

menggabungkan INH, rifampisin, dan pirazinamid dalam satu kemasan. Syarat

FDC yang baik adalah bioavailabilitas dan bioekuivalennya harus baik yaitu tidak

ada perbedaan yang bermakna apabila dibandingkan dengan sediaan lepas obat

yang digabung (Kemenkes RI 2016).

22
Gambar 2.7 Dosis OAT untuk Anak
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

Gambar 2.8 Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

Gambar 2.9 Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed drug combination (FDC)
(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

Pemantauan Hasil Pengobatan

a. Pengawasan terhadap respon pengobatan. Perhatikan perbaikan klinik,

aktivitas, nafsu makan, kenaikan berat badan. Bila ada tuberkulosis ekstra

23
pulmonal diamati perbaikan yang terjadi. Respon klinis yang baik terhadap

terapi mempunyai nilai diagnostik. Respon yang baik dapat dilihat dari

perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan membaik, berat badan

meningkat dengan cepat, keluhan demam dan batuk menghilang dan tidak

merasa sakit. Respon yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase

intensif).

b. Pengawasan terhadap komplikasi.

c. Pengawasan terhadap efek samping obat : biasanya jarang terjadi pada anak.

Neuritis perifer, gangguan Nervus VIII, gangguan penglihatan, gejala

hepatotoksik.

d. Pengamatan terhadap perbaikan gambaran laboratorium darah. Pemeriksaan

kimia darah atas indikasi.

e. Pengamatan terhadap perbaikan radiologik dilakukan pada akhir pengobatan.

f. Mencari sumber infeksi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya.

24
Gambar 2.10 Hasil akhir pengobatan pasien TB Anak

(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

2.10 TB Milier

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan

merupakan 3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi

(dapat mencapai 25% pada bayi). Tuberkulosis milier merupakan penyakit

limfohematogen sistemik akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari

kompleks primer, yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering

dalam 3 bulan pertama, setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier lebih sering

terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <2 tahun, karena imunitas selular

spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum

berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah berkembangbiak dan

menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak

besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak

adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman.

25
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuman M.

tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan status imunologis pasien (nonspesifik dan

spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat

memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi

morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan

kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi

perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya paparan sinar

matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol,

obat bius, serta sosial ekonomi.

Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada

banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai

adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya

anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa

demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak

napas.

Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa

demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat

dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Pada lebih

kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali

akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan

berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau disertai

gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal. Beberapa minggu

kemudian, hampir di semua organ, terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di

paru, limpa, hati, dan sumsum tulang. Gejala klinis biasanya timbul akibat

26
gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas

disertai ronki atau mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom

sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernapasan, hipoksia,

pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga terjadi gangguan fungsi

organ, kegagalan multiorgan, serta syok.

Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa

tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid ditemukan

pada 13−87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat

spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier. Maka, pada TB milier perlu

dilakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid.

Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20−40% pasien

yang berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah

terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi lumbal.

Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran abdomen.

Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2−3 minggu

setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu

berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru,

dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1−3 mm). Lesi-lesi

kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang

membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1−2 minggu setelah timbulnya penyakit,

pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju.

Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak

dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran klinis,

gambaran radiologis yang khas, serta uji tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin

27
tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin

yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB,

atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif terjadi pada lebih dari 40% TB diseminata.

Di bagian Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 80 kasus TB milier yang

dilaporkan sejak bulan Januari 1981 hingga bulan Desember 1984, sebanyak 43

pasien (53,70%) memiliki hasil uji tuberkulin (-), 23 kasus diantara 43 kasus

tersebut memiliki hasil biakan M. tuberculosis (+). Pada ulangan uji tuberkulin,

sebanyak 24 kasus menjadi positif setelah adanya perbaikan klinis.

Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur M. tuberculosis tetap

penting dilakukan. Pemeriksaan M. tuberculosis akan menunjukkan hasil positif

pada 30−50% pasien. Akan tetapi, untuk diagnosis dini, pemeriksaan sputum atau

bilas lambung kurang sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis

dan histologis dari biopsi hepar atau sumsum tulang.

Untuk menentukan diagnosis meningitis TB, sebaiknya dilakukan pungsi

lumbal pada setiap pasien TB milier walaupun belum timbul kejang atau

penurunan kesadaran.

Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4−5 macam OAT

selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 6−10

bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Kortikosteroid (prednison) diberikan

pada TB milier, meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB.

Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1−2 mg/kg BB/hari selama 2−4

minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2−6 minggu.

Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan

lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam

28
setelah 2−3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas

hidup sehari-hari, dan peningkatan BB. Gambaran milier pada foto toraks

biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur

menghilang dalam 5−10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga

beberapa bulan.

2.11 Tuberkulosis Kelenjar

Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial disebut dengan skrofula.

Tuberkulosis kelenjar merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang

paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Skrofuloderma

biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai kelompok

kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan

daerah lateral leher. Pada penyakit ini didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak

dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang

fluktuatif. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, diskret, dan

tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau

di atasnya. Gejala sistemik biasanya demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi.

Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil yang positif, sedangkan gambaran foto

toraks terlihat normal pada 70% kasus. Awitan penyakit kadang-kadang

berlangsung lebih akut, dengan demam tinggi dan pembesaran kelenjar limfe yang

cepat, disertai nyeri tekan dan terdapat fluktuasi. Diagnosis definitif memerlukan

pemeriksaan histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi kelenjar

limfe dengan cara aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy: FNAB,)

ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy), dan harus didiagnosis banding

dengan mikobakterium atipik. Pengobatan berupa 3 macam OAT (rifampisin,

29
INH, PZA). INH, rifampisin, dan PZA diberikan selama 2 bulan pertama,

sedangkan rifampisin dan INH dilanjutkan sampai 6 bulan. Selain itu perlu

diperhatikan penanganan suportif seperti perbaikan gizi. Tatalaksana lokal/topikal

tidak ada yang khusus, cukup dengan kompres atau higiene yang baik.

2.12 Tuberkulosis Pleura

Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut yang

disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan

leukosit darah tepi. Penurunan BB dan malaise dapat dijumpai, demikian juga

menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih

sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak dan

meliputi setengah dari hemitoraks.

Dari pemeriksaan foto toraks dapat dijumpai kelainan parenkim paru.

Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim

parunya. Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura dan

jaringan pleura.

Terapi sama dengan terapi TB paru. Bila respons terhadap terapi baik,

maka suhu akan turun dalam 2 minggu terapi, dan cairan pleura akan diserap

dalam 6 minggu. Pada beberapa pasien, demam dapat berlangsung hingga 2 bulan

dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat

memperpendek fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah

perlekatan, walaupun rasio manfaat dan risiko penggunaannya belum diketahui

pasti. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh

dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan lamanya pemberian

dosis penuh.

30
2.13 Tuberkulosis Perikardium

Yang umum terjadi adalah perikarditis TB. Tuberkulosis ini jarang terjadi,

hanya 0,5−4% dari TB anak. Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu,

dan BB turun, sedangkan nyeri dada jarang timbul pada anak. Dari pemeriksaan

fisis dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus

paradoksus. Terdapat pula cairan perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau

hemoragik.

Pada pengobatan perikarditis TB, selain OAT diberikan juga

kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi

penyempitan perikardium.

2.14 Tuberkulosis Tulang/Sendi

Manifestasi klinis bersifat lambat dan tidak khas. Gejala atau tanda pada

TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. Gejala spesifik berupa

bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tuberkulosis ini juga

seringkali ditemukan atau disadari setelah terjadi trauma.

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk TB pada

anak secara umum dan pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai.

Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan

ultrasonografi (USG).

Medikamentosa berupa rifampisin, INH, PZA, dan ETB. Rifampisin dan

INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan ETB selama 2 bulan

pertama. Selain itu dapat juga diberikan terapi suportif. Indikasi tindakan bedah

umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons

31
terhadap OAT. Prognosis penyakit ini sangat bergantung pada derajat kerusakan

sendi atau tulangnya.

2.15 Tuberkulosis susunan syaraf pusat (SSP)

Bentuk TB SSP berupa meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis.

Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase.

- Fase prodormal berlangsung selama 2−3 minggu, ditandai dengan malaise,

sefalgia, demam tidak tinggi, dan dapat dijumpai perubahan kepribadian.

- Fase meningitik ditandai dengan tanda neurologis yang lebih nyata seperti

meningismus, sefalgia hebat, muntah, kebingungan, dan kelainan saraf

kranialis dalam berbagai derajat.

- Fase paralitik merupakan fase percepatan penyakit, gejala kebingungan

berlanjut ke stupor dan koma, kejang, dan hemiparesis.

Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis, perjalanan penyakit pasien

dibagi menjadi tiga tahapan klinis berdasarkan temuan klinis dan radiologis.

- Tahap 1, pasien relatif tenang, tidak ada tanda kelainan neurologis fokal

dan tidak ada bukti hidrosefalus.

- Tahap 2, pasien kebingungan, tampak kelainan fokal seperti kelumpuhan

saraf kranialis atau hemiparesis.

- Tahap 3, penyakit berada dalam tahap lanjut dimana pasien delirium,

stupor, koma, atau hemiplegia.

Dari pemeriksaan cairan serebrospinal terlihat peningkatan kadar protein dan

penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuklear dengan hitung sel antara

100−500 sel/μL. Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah pemeriksaan

apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan serebrospinal.

32
Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan pungsi lumbal selama 3

hari berturut-turut.

Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi

lumbal ke-2 dan ke-3. Untuk menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah

basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus, dapat dilakukan pemeriksaan CT-

scan dengan kontras.

Terapi segera diberikan bila secara klinis meningitis TB. Medikamentosa

berupa OAT, 2 bulan fase intensif dengan 4 OAT (INH, rifampisin, PZA, dan

ETB), dilanjutkan dengan 2 OAT (INH dan rifampisin) hingga 12 bulan. Steroid

dapat sebagai terapi ajuvantivus, yaitu prednison dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari,

diberikan selama 4 minggu dosis penuh, lalu selama 4 minggu dilakukan

penurunan dosis bertahap (tappering off). Lama pemberian kortikosteroid adalah

2−6 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu,

sesuai dengan lamanya pemberian dosis penuh.

2.16 Tuberkulosis Abdomen

Penyakit ini jarang dijumpai, yaitu sekitar 1−5% dari kasus TB anak.

Selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB pada

anak. Manifestasi klinis TB abdomen terbagi dua, yaitu terdapatnya asites dan

adanya gambaran fenomena papan catur.

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan sama dengan pemeriksaan pada

TB secara umum, bila perlu dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen, analisis

cairan asites, dan biopsi peritoneum.

Tatalaksana medikamentosa peritonitis TB sama dengan tatalaksana TB

ekstrapulmonal lain seperti spondilitis TB, yaitu rifampisin, INH, dan PZA.

33
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA selama 2 bulan

pertama. Kortikosteroid diberikan 1−2 mg/kg BB selama 1−2 minggu pertama.

Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan

operasi.

2.17 Tuberkulosis Hati

Manifestasi klinis TB hati adalah gejala klinis umum TB anak dan gejala

tambahan, yaitu hepatomegali, splenomegali, nyeri perut, dan ikterus.

Pemeriksaan tambahan adalah uji fungsi hati, USG hati, dan biopsi hati.

Pengobatan pada TB hati adalah pemberian OAT berupa empat macam

obat, yaitu rifampisin, INH, PZA, dan ETB, dengan dosis OAT sama seperti TB

lainnya. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan

ETB diberikan selama 2 bulan pertama pengobatan. Penyakit ini memerlukan

pemantauan terhadap uji fungsi hati. Pemantauan ketat sebaiknya dilakukan

selama 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada 2 minggu pertama

pengobatan.

2.18 Tuberkulosis Ginjal

Pasien dengan TB ginjal, seringkali secara klinis tenang pada fase awal,

hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Namun demikian,

disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen, dan hematuria makroskopis dapat

terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan kuman lain,

yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat memperlambat

diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

adalah biakan TB dari urin, pielografi intravena (PIV), USG, dan CT- scan.

34
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga

dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Pemberian OAT

terdiri dari sedikitnya empat macam obat pada 2 bulan pertama, dan dilanjutkan

dengan dua macam obat sampai 12 bulan. Bila diperlukan, tindakan bedah dapat

dilakukan setelah pemberian OAT selama 4−6 minggu.

2.19 Tuberkulosis Perinatal

Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital (prenatal),

selama proses kelahiran (natal), maupun transmisi pascanatal oleh ibu pengidap

TB aktif. Oleh karena itu, transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB

perinatal. Pada TB kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen

melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada TB

natal, transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan, sedangkan pada TB

pascanatal terjadi akibat penularan secara droplet.

Mycobacterium tuberculosis tidak dapat melalui sawar plasenta yang

sehat, sehingga kuman akan menempel pada plasenta dan membentuk tuberkel.

Apabila tuberkel pecah, maka terjadi penyebaran hematogen dan menyebabkan

infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran

hematogen, M. tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan

KGB periportal, dan pada perkembangan selanjutnya akan menyebar ke paru.

Selain cara di atas, penularan ke paru dapat terjadi melalui aspirasi cairan amnion

yang mengandung M. tuberculosis langsung ke paru. Sedangkan penularan

pascanatal adalah secara droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB anak

umumnya.

35
Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir atau

pada minggu ke-2−3 kehidupan. Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan

sepsis neonatal, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis. Gejala

yang sering timbul adalah distres pernapasan, hepatosplenomegali, dan demam.

Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain prematuritas, berat lahir

rendah, sulit minum, letargi, dan kejang. Selain itu dapat juga terjadi

abortus/kematian bayi.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah

pemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada

plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan

adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan kuretase endometrium

untuk mencari endometritis TB.

Penentuan TB kongenital adalah dengan ditemukannya BTA dan M.

tuberculosis pada vena umbilikus dan plasenta. Beitzke memberikan kriteria untuk

TB kongenital, yaitu ditemukannya M. tuberculosis dan memenuhi salah satu

kriteria sebagai berikut: (1) lesi pada minggu pertama, (2) kompleks primer hati

atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau traktus genitalia,

(4) kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan. Untuk menentukan TB natal

dan pascanatal, kriterianya sama dengan TB pada anak.

Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri, yaitu melibatkan

beberapa aspek seperti aspek ibu, bayi, dan lingkungan. Ibu harus ditatalaksana

dengan baik untuk menghindari penularan selanjutnya. Selain itu harus dicari

sumber lain di lingkungannya serta memperbaiki kondisi lingkungan. Tatalaksana

pada bayi adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan isoniazid

36
selama 9−12 bulan, sedangkan pirazinamid diberikan selama 2 bulan. Air susu ibu

tetap diberikan, dan tidak perlu cemas akan kelebihan dosis OAT karena

kandungan OAT dalam ASI sangat kecil.

Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB perinatal tetapi ibu

menderita TB dengan BTA positif, maka bayi memerlukan perlakuan khusus,

yaitu pemberian OAT profilaksis isoniazid 5−10 mg/kgBB/hari, dan bayi tetap

diberikan ASI. Alur penanganan bayi dari ibu dengan TB aktif dapat dilihat pada

Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Alur Tatalaksana tuberculosis perinatal


(Sumber : Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak).

37
2.20 Pencegahan tuberkulosis anak

1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang

ditujukan terhadap orang dewasa. Akan tetapi seperti yang telah

diterangkan sebelumnya bahwa TBC anak yang tidak mendapat

pengobatan akhirnya menjadi TBC dewasa dan akan menjadi sumber

penularan.

2. Vaksinasi BCG.

Vaksin BCG merupakan suatu attenuated vaksin yang mengandung kultur

strain Mycobacterium bovis dan digunakan sebagai agen imunisasi aktif

terhadap TBC. Walaupun telah digunakan sejak lama, akan tetapi efikasinya

menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu antara 0 – 80% di seluruh dunia.

Vaksin BCG secara signifikan mengurangi resiko terjadinya active

tuberculosis dan kematian. Efikasi dari vaksin tergantung pada beberapa

faktor termasuk diantaranya umur, cara/teknik vaksinasi, jalur vaksinasi, dan

beberapa dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada infants, dan anak-anak yang hasil

uji tuberculinnya negatif dan yang berada dalam lingkungan orang dewasa

dengan kondisi terinfeksi TBC dan tidak menerima terapi atau menerima

terapi tetapi resisten terhadap isoniazid atau rifampin. Selain itu, vaksin BCG

juga harus diberikan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan

dengan pasien infeksi TBC tinggi. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG

(selain bayi sampai dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu

menjalani skin test. Vaksin BCG tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil

38
uji tuberculinnya posistif atau telah menderita active tuberculosis, karena

pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah terinfeksi

TBC. Vaksin BCG merupakan serbuk yang dikering-bekukan untuk injeksi

berupa suspensi. Sebelum digunakan serbuk vaksin BCG harus dilarutkan

dalam pelarut khusus yang telah disediakan secara terpisah. Penyimpanan

sediaan vaksin BCG diletakkan pada ruang atau tempat bersuhu 2 – 8ᵒC serta

terlindung dari cahaya. Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan secara

injeksi intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas

atau injeksi perkutan sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin

sulit menerima injeksi intradermal. Dosis yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Untuk infants atau anak-anak kurang dari 12 bulan diberikan 1 dosis

vaksin BCG sebanyak 0,05ml (0,05mg).

2. Untuk anak-anak di atas 12 bulan dan dewasa diberikan 1 dosis vaksin

BCG sebanyak 0,1 ml (0,1mg).

Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan untuk 10 –

15 tahun. Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya dilakukan pada

usia 12 -15 tahun.

Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan

pada kulit seperti atopic dermatitis, serta baru saja menerima vaksinasi lain

(perlu ada interval waktu setidaknya 3 minggu).

39
Vaksin BCG juga tidak diberikan untuk :

1. Pasien dengan gangguan imunitas (immunosuppressed) seperti pasien

HIV, pasien yang mengkonsumsi obat-obat kortikosteroid

(immunosuppressan), atau baru saja menerima transplantasi organ.

2. Wanita hamil dan menyusui, walaupun belum ada data yang menunjukkan

efek bahaya dari pemberian vaksin BCG terhadap wanita hamil dan

menyusui.

Beberapa adverse reaction yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin BCG

antara lain:

 Nyeri pada tempat injeksi, terjadi ulcer atau keloid karena kesalahan pada saat

injeksi.

 Kelebihan dosis dan pemberian vaksin pada pasien dengan tuberculin positif.

 Sakit kepala, demam, dan timbul reaksi alergi

Beberapa contoh vaksin BCG yang tersedia di Indonesia adalah : Vaksin BCG

kering (Bio Farma) dan BCG Vaccine SSI (Statent Serum Institut – Denmark).

3. Kemoprofilaksis primer maupun sekunder.

o Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji

tuberculin negative), tetapi kontak dengan penderita TBC aktif. Obat yang

digunakan adalah INH 5-10 mg/kgBB/hari selama 2-3 bulan.

o Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberculin

positif, tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor

risiko menjadi TBC aktif. Golongan ini adalah balita, anak yang mendapat

pengobatan kortikosteroid atau imuosupresan lain, penderita dengan

keganasan, terinfeksi virus (HIV, morbili), gizi buruk, masa akil balik,

40
atau infeksi baru TNC, konversi uji tuberculin kurang dari 12 bulan. Obat

yang digunakan adalah INH 5-10mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.

4. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan.

5. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.

6. Penyuluhan dan pendidikan kesehatan.

41
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis anak selain mempunyai problematik sendiri juga merupakan

akibat dari tuberkulosis dewasa. Dengan demikian tuberkulosis anak merupakan

parameter yang penting berhasil tidaknya pemberantasan sumber penularan.

Tuberkulosis anak merupakan bibit tuberkulosis dewasa dan dengan sendirinya

merupakan sumber penularan pada masa dewasa.

Dalam pengelolaan TBC anak harus diingat bahwa TBC primer

merupakan penyakit sistemik. Komplikasi dapat terjadi terutama dalam 1 – 1,5

tahun perjalanan penyakit, kadang baru dalam 5 tahun. Kesukaran dalam

diagnosis TBC anak karena gejala klinik dan radiologik tidak khas, sedang

pemeriksaan bakteriologis tidak banyak dapat diharapkan. Vaksinasi BCG yang

langsung dikerjakan dan memberi reaksi yang cepat dalam 7 hari pertama (terjadi

indurasi) harus dicurigai adanya infeksi tuberkulosis yang aktif. Jadi vaksinasi

BCG untuk memberikan imunitas pada anak. Pengobatan TBC memerlukan

ketekunan dan waktu yang lama sehingga kadang membosankan penderita.

Pemberantasan TBC akan berhasil baik bila secara simultan disertai perbaikan

sosial ekonomi masyarakat.

42
DAFTAR PUSTAKA

Safitri, F., 2011, Diagnosis tb dewasa dan anak berdasarkan Istc (international
standard for tb care,UMM journal, Vol. 7. pp.15.
Bakhtiar, 2016, Pendekatan diagnosis tuberkulosis pada anak Di sarana pelayanan
kesehatan dengan Fasilitas terbatas jurnal kedokteran syiah kuala, Vol.16,
pp.2.
Sharif,2013, National guidelines on management of tuberculosis in children
ministry of health division of leprosy, tuberculosis and lung disease
second edition.
WHO, 2014,Guidance for national tuberculosis programmes on the management
of tuberculosis in children.
Kemenkes RI, 2016, Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak.
Kim, Susan,2014, Pediatric TB Radiology for clinicians.

43

Anda mungkin juga menyukai