Akhirnya, usaha kecil-kecilan yang telah dirintis oleh Tjie Sien menjadi besar, dan ia menjadi
pengusaha yang sukses. Kesuksesan ini menular ke anak keduanya, Oei Tiong Ham, karena
bagaimana pun juga Kian Gwan turut membentuk dasar untuk karier bisnisnya di kemudian hari.
Pada pertengahan 1890-an, ketika Oei Tiong Ham masih berada di pertengahan dua puluh, yang
beberapa tahun sebelum ayahnya meninggal, ia mulai membeli pabrik gula. Kian Giam sendiri,
akhirnya berubah menjadi Oei Tiong Ham Concern setelah diambil alih kepemimpinannya. Oei Tiong
Ham Concern menjadi induk perusahaan dengan status kepemilikan 100 persen swasta, dan
sekaligus menjadi kerajaan bisnis Oei Tiong Ham yang berpusat di Semarang. Tetapi bidang usahanya
merambah kemana-mana terutama di Surabaya, Madiun, Surakarta hingga Batavia.
Dialah, seperti orang Belanda bilang, sebagai satu-satunya De Groote Suiker Baronnen atau Raja
Gula Kenamaan. Oei Tiong Ham mempunyai 8 orang istri, dan anaknya berjumlah 26 orang.
Setelah Indonesia merdeka, terjadi perubahan yang mendasar di pelbagai segi kehidupan. Tak
terkecuali bidang ekonomi. Pada tahun 1961, seluruh perusahaan Oei Tiong Ham Concern
dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) berdasarkan keputusan Pengadilan Ekonomi
Semarang Nomor 32 Tahun 1961 tertanggal 10 Juli 1961, dan untuk selanjutnya operasional
perusahaan tetap berjalan di bawah pengawasan Menteri atau Jaksa Agung.
Pada 20 Juli 1963, pengelolaan seluruh aset perusahaan eks Oei Tiong Ham Concern
diserahterimakan dari Menteri/Jaksa Agung RI kepada Menteri Urusan Pendapatan Pembiayaan dan
Pengawasan (P3) yang sekarang dinamakan Kementerian Keuangan.
Awal abad ke-20 merupakan masa-masa paling manis bagi perkembangan kota Malang. Lahirnya dua
pabrik gula di wilayah Malang menjadikan wilayah yang tengah berkembang menjadi kota ini
mengalami peningkatan yang semakin signifikan. Munculnya pabrik Gula Kebon Agung pada 1905
dan Pabrik Gula Krebet pada 1906 menjadikan Malang berkembang lebih pesat dari kedua pabrik
baru tersebut.
Pada masa tersebut, pemerintah Hindia Belanda memang tengah getol mendorong tumbuhnya
industri gula secara massal. Salah satu daerah andalan mereka dalam membangun industri ini adalah
di Jawa Timur. Hal itu lah yang menyebabkan mulai berdirinya dua pabrik gula di Malang dalam
waktu yang cukup berdekatan.
Namun tentu saja sebuah pabrik tidak akan muncul secara tiba-tiba jika tidak ada bahan baku yang
mencukupi di sekitarnya. Wilayah Malang yang cukup luas memang dapat dianggap sebagai sebuah
daerah yang cukup subur. Hal itu ditambah pula dengan sudah banyaknya perkebunan tebu di
wilayah sekitar selatan dan timur Malang.
Salah satu hal yang menjadi titik awal perkembangan industri di Malang adalah peresmian UU
Agraria dan UU Gula pada tahun 1870. Karena kandungan tanahnya yang sangat subur, wilayah
Malang menarik minat para pengusaha untuk menaman karet, kopi, teh, dan tebu di wilayah
Malang. Tentu saja sebagian besar perkebunan tersebut sangat mengandalkan buruh dalam
menjalankan usahanya.
Industri gula ini kemudian menjadi salah satu penggerak utama perekonomian di wilayah Malang
pada masa. Ketergantungan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap industri gula menjadi
alasannya. Industri gula ini merupakan salah satu pabrik yang mampu menarik banyak buruh dan
masyarakat lokal untuk bekerja. Selain buruh pabrik, banyak petani tebu wilayah Malang dan
sekitarnya yang sangat bergantung dengan dua pabrik gula ini.
Selain itu mulai banyak juga petani yang bergeser menanam tebu karena semakin banyaknya bahan
baku yang dibuthkan oleh dua pabrik gula di Malang ini. Hal ini berakibat semakin sentralnya usaha
ini dalam sektor ekonomi bagi wilayah Malang.
Buruh perempuan di Jawa sedang bekerja pada sebuah pabrik kopi di masa kolonial. (Foto: Elsbeth
Locher-Scholten dalam "Women and the Colonial State Essays on Gender and Modernity in the
Netherlands Indies"/KITLV Leiden)
Kolonialisme, antara lain dalam bentuk penaklukan tanah adalah awal mula para perempuan harus
menjadi buruh di pabrik atau perkebunan milik Belanda
Revolusi Industri pertama terjadi pada pertengahan abad ke 18 sampai awal abad ke 19 di daerah
Eropa Barat, Amerika Utara, dimulai pertama kali di Inggris. Revolusi Industri kedua terjadi pada
pertengahan abad ke 19 setelah penemuan mesin uap, listrik, mesin pembakaran dalam (tenaga
fosil) dan pembangunan kanal kanal, rel kereta api sampai ke tiang listrik.
Revolusi Hijau yang dijalankan Indonesia pada masa Orde Baru ini yang menyebabkan upaya untuk
melakukan modernisasi yang berdampak pada perkembangan industrialisasi yang ditandai dengan
adanya pemikiran ekonomi rasional. Pemikiran tersebut akan mengarah pada kapitalisme.
Dengan industrialisasi juga merupakan proses budaya dimana dibagun masyarakat dari suatu pola
hidup atau berbudaya agraris tradisional menuju masyarakat berpola hidup dan berbudaya
masyarakat industri. Perkembangan industri tidak lepas dari proses perjalanan panjang penemuan di
bidang teknologi yang mendorong berbagai perubahan dalam masyarakat.
Memasuki tahun 1930, Belanda membentuk Bagian Produksi Pesawat yang menghasilkan pesawat
modifikasi berbadan kayu. Setelah itu, bagian ini dipindahkan ke Lapangan Udara Andir, Bandung
(sekarang Bandara Husein Sastranegara). Empat tahun pasca-pemindahan bagian tersebut, Khouw
Ke Hien (1907-1938), seorang pengusaha rumah potong hewan NV Merbaboe, hendak
mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan transportasi udara, karena beberapa cabang
usahanya berada di luar kota seperti Sukabumi, Yogyakarta, dan Magelang. Ia kemudian
menghubungi Achmad bin Talim, seorang teknisi pesawat terbang. Talim lalu menghubungi kawan-
kawannya untuk mengerjakan permintaan Khouw Ke Hien. Mereka kemudian mengerjakan pesanan
pengusaha tersebut di sebua bengkel di Jalan Pasir Kaliki, tak terlalu jauh dari Lapangan udara
Perusahaan Belanda pertama yang dinasionalisasi adalah pertanian/perkebunan yang membentang
dari Sumatra, Jawa, dan Aceh. Diawali dengan 38 perusahaan perkebunan tembakau, disusul 205
perusahaan pertanian/perkebunan meliputi perkebunan karet (yang paling banyak dinasionalisasi),
teh, kopi, tebu termasuk pabrik gula, kelapa, kelapa sawit, kapok, cengkeh, dan sebagainya. Pada
1960, pemerintah kembali menasionalisasi 22 perusahaan pertanian/perkebunan Belanda; sebagian
besar perkebunan pala. Semua perusahaan tersebut berada di bawah Perusahaan Perkebunan
Negara (PPN) Baru, yang dibentuk pada Desember 1957.
A. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
2. KONDISI EKONOMI
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat, pemerintah
melihat 5 sektor kebijakan yang harus digarap yaitu :
a. Perluasan lapangan kerja secara terus menerus melalui investasi dalam
dan luar negeri seefisien mungkin
b. Penyediaan barang kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi
permintaan pada harga yang terjangkau
c. Penyediaan fasilitas umum seperti : rumah, air minum, listrik, bahan
bakar, komunikasi, angkutan, dengan harga yang terjangkau
d. Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku-buku untuk pendidikan
umum dengan harga terjangkau
e. Penyediaan klinik, dokter dan obat-obatan untuk kesehatan umum
dengan harga yang terjangkau pula.