Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan antara tiga lempeng

bumi yang sangat aktif bergerak satu terhadap yang lainnya yaitu lempeng

Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Pergerakan setiap lempeng tektonik

tersebut sebesar 0-15 cm/tahun. Lempeng Indo-Australia di bagian Selatan

relatif bergerak ke Utara dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun, lempeng

Eurasia di bagian Utara relatif bergerak ke Selatan dengan kecepatan

mencapai 13 cm per tahun, dan lempeng Pasifik di bagian Timur yang relatif

bergerak ke Barat dengan kecepatan 10 cm per tahun (ESDM, 2009). Hal

tersebut menimbulkan terbentuknya sesar-sesar regional yang menjadi sumber

gempabumi di daerah pertemuan antar lempeng. Peta lempeng tektonik

ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lempeng tektonik Indonesia (ASIA WEEK, 1976)

1
Pulau Jawa termasuk dalam zona subduksi karena merupakan daerah

pertemuan antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Pertemuan

lempeng tersebut menyebabkan wilayah Pulau Jawa sangat rentan terhadap

gempabumi, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut data dari

Pusat Informasi Pengembangan Pemukiman dan Bangunan (PIP2B) Daerah

Istimewa Yogyakarta, gempa besar di Yogyakarta terjadi pada tahun 1867,

1937,1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006, dengan jumlah korban besar terjadi

pada tahun 1867, 1943, dan 2006. Pada tahun 2006 terjadi gempabumi di

daerah Bantul yang berdampak rusaknya bangunan-bangunan di kawasan

Bantul, Yogyakarta, Sleman, Gunungkidul, Kulon Progo, dan sebagian

wilayah Jawa Tengah.

Kabupaten Kulon Progo menjadi salah satu daerah yang terkena

dampak dari gempabumi tahun 2006 Bantul. Gempabumi tersebut

mengakibatkan 2201 korban jiwa dan korban luka-luka, 16.210 bangunan

rusak dan hancur, dan kerugian materi sebesar 683 miliar rupiah

(BAPPENAS). Pada tahun 2014 terjadi gempabumi cukup besar dengan

magnitude 6,5 skala Richter berpusat di Kebumen yang memberikan dampak

di wilayah Kulon Progo. Gempabumi tersebut mengakibatkan puluhan rumah

rusak dan kerusakan infrastruktur lain di Kulon Progo (ESDM, 2014).

Kabupaten Kulon Progo rawan terhadap gempabumi karena menjadi

salah satu wilayah yang terkena dampak gempabumi Bantul dan Kebumen,

tetapi belum ada penelitian untuk menentukan kerentanan gempa di

Kabupaten Kulon Progo. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang

indeks kerentanan seismik di Kabupaten Kulon Progo untuk menentukan

2
tingkat kerentanan wilayah tersebut terhadap gempabumi. Wilayah yang

memiliki nilai indeks kerentanan seismik tinggi berarti wilayah tersebut rentan

terhadap gempabumi, sebaliknya wilayah yang memiliki nilai indeks

kerentanan seismik rendah berarti kerentanan terhadap gempabumi rendah.

Indeks kerentanan seismik merupakan indeks yang menggambarkan

tingkat kerentanan permukaan tanah saat terjadi gempabumi. Indeks

kerentanan seismik dapat ditentukan dengan menggunakan metode Horizontal

to Vertical Spectral Ratio (HVSR) dari data mikrotremor. Metode HVSR ini

membandingkan antara rasio spektrum dari sinyal mikrotremor komponen

horizontal terhadap komponen vertikalnya. Parameter penting yang dihasilkan

dalam metode HVSR adalah frekuensi predominan dan amplifikasi

(Nakamura, 1989). Dengan mengetahui nilai frekuensi predominan dan

amplifikasi maka dapat dibuat mikrozonasi indeks kerentanan seismik di

Kabupaten Kulon Progo.

Mikrozonasi akan menggambarkan daerah-daerah dengan kerentanan

gempabumi tinggi dan rendah berdasarkan nilai indeks kerentanan seismik.

Dengan membuat mikrozonasi indeks kerentanan seismik, informasi akan

lebih mudah dimengerti. Mikrozonasi juga dapat dihubungkan dengan tingkat

kerusakan yang terjadi karena gempabumi Kebumen di Kabupaten Kulon

Progo.

3
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diidentifikasikan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu daerah yang rawan

gempabumi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Penelitian di Kabupaten Kulon Progo tentang nilai indeks kerentanan

seismik masih terbatas.

3. Informasi tentang hubungan nilai indeks kerentanan seismik dengan

tingkat kerusakan akibat gempabumi masih terbatas.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang ada dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Berapa nilai indeks kerentanan seismik di Kabupaten Kulon Progo?

2. Bagaimana hubungan antara indeks kerentanan seismik terhadap tingkat

kerusakan akibat gempabumi di Kabupaten Kulon Progo?

D. Batasan Masalah

Ruang lingkup masalah yang diamati pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Data yang digunakan dalam studi ini berupa data mikrotremor pada

koordinat geografis 110.147225° BT – 110.219745° BT dan 7.65315333°

LS –7.942275° LS.

2. Mikrotremor diukur menggunakan seismometer tipe TDV-23S dan TDS-

303 (Digital Portable Seismograph) dan data mikrotremor diolah

menggunakan metode HVSR.

4
3. Pengambilan data mikrotremor mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh

SESAME European Research Project.

4. Data mikrotremor yang digunakan diambil dari 38 titik yang berada di

seluruh Kabupaten Kulon Progo dengan jarak antar titik sejauh 4 km.

5. Nilai indeks kerentanan seismik diperoleh berdasarkan nilai frekuensi,

nilai amplifikasi dan nilai kecepatan gelombang geser di bawah

permukaan tanah di Kabupaten Kulon Progo.

E. Tujuan Penelitian

1. Menentukan nilai indeks kerentanan seismik di Kabupaten Kulon Progo.

2. Menentukan hubungan antara nilai indeks kerentanan seismik terhadap

tingkat kerusakan gempabumi di Kabupaten Kulon Progo.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Memberikan informasi kuantitatif tentang kerentanan gempabumi di

Kabupaten Kulon Progo.

2. Memberikan gambaran secara visual berupa mikrozonasi indeks

kerentanan seismik di Kabupaten Kulon Progo.

3. Memberikan informasi kepada Pemerintah daerah setempat dalam

antisipasi bencana serta pembangunan dan pengembangan infrastruktur

daerah setempat.

5
BAB II

DASAR TEORI

A. Gempabumi

1. Pengertian Gempabumi

Gempabumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di

dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada

kerak bumi yang disebabkan oleh deformasi batuan. Deformasi batuan terjadi

akibat adanya tekanan dan tarikan pada lapisan bumi yang terus menerus sehingga

terjadi pengumpulan energi dan pada suatu saat batuan pada lempeng tektonik

tidak mampu lagi menahan gerakan tersebut dan terjadilah pelepasan energi yang

disebut gempabumi. Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi

dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan

dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempabumi sehingga efeknya dapat

dirasakan sampai ke permukaan bumi. Semakin besar energi yang dilepaskan

maka semakin kuat gempabumi yang terjadi (BMKG, 2014).

Gempabumi sebenarnya terjadi hampir setiap hari, namun kebanyakan

berkekuatan kecil dan tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Gempabumi

berkekuatan kecil juga dapat mengiringi terjadinya gempabumi yang lebih besar

dan dapat terjadi sesudah atau sebelum gempabumi besar tersebut terjadi.

Gempabumi dinyatakan dalam skala dari satu hingga sembilan berdasarkan

ukuran skala Richter (menunjukkan besarnya energi yang dibebaskan pada pusat

gempa).

6
2. Gelombang Seismik

Ketika gempabumi terjadi, energi yang dilepaskan dari hiposentrum akan

dibawa oleh gelombang seismik. Hiposentrum adalah titik pada patahan di mana

terjadi gerakan yang pertama kali, sedangkan episentrum adalah tempat di

permukaan bumi yang berada tepat berada di atas hiposenter. Umumnya

gelombang seismik dibagi menjadi dua, yaitu body waves dan surface waves.

Body waves adalah gelombang seismik yang berjalan di dalam bumi dan

menyebar dari hiposentrum ke segala arah. Sedangkan surface waves adalah

gelombang seismik yang berjalan pada permukaan bumi dari episentrum.

Body waves merambat dalam badan medium yang berarti dapat pula

merambat di permukaan bumi dan dapat merambat di sela-sela bebatuan di bawah

permukaan bumi. Terdapat dua jenis body waves, yaitu:

1). P wave (primary wave) adalah gelombang longitudinal yang arah gerakan

partikel medium yang dilaluinya searah dengan arah penjalarannya.

Gelombang P (primer) merupakan gelombang yang sangat cepat dengan

kecepatan 4 km/s sampai 7 km/s. Kecepatan rambat gelombang P dapat

dinyatakan sebagai (Kayal, 2008):

4
+3μ
= (1)

dengan VP adalah cepat rambat gelombang (m/s), K adalah modulus bulk

(N/m),  adalah modulus geser (N/m), dan  adalah massa jenis (kg/m3).

Gelombang ini merupakan gelombang yang datang pertama yang mengikuti

7
gempa bumi. Gelombang P dapat menjalar pada medium bumi yang padat

maupun cair

2). S wave (Secondary wave) adalah gelombang yang arah gerakan partikel

medium yang dilaluinya tegak lurus terhadap arah penjalarannya. Gelombang

S mengikuti gelombang P dan bergerak dengan kecepatan 2 km/s sampai 5

km/s. Kecepatan rambat gelombang S dapat dinyatakan sebagai (Kayal,

2008):

= (2)

dengan Vs adalah cepat rambat gelombang (m/s),  adalah modulus geser

(N/m), dan  adalah massa jenis (kg/m3). Gelombang S hanya dapat

merambat pada medium bumi yang padat karena cairan dan gas tidak

punya daya elastisitas untuk kembali ke bentuk asal. Arah gerakan

partikelnya tegak lurus terhadap arah penjalaran gelombangnya.

Dibandingkan dengan gelombang P, gelombang S inilah yang paling

merusak. Gelombang ini mampu mendorong lapisan tanah ke beberapa sisi

dan membuatnya merekah.

Surface waves merupakan gelombang yang paling lambat. Pada umumnya

gelombang ini lebih merusak daripada body waves, karena lebih banyak

menghasilkan pergerakan tanah dan berjalan lambat. Ada dua tipe utama dari

surface waves, yaitu :

1). Loves waves, gelombang geser yang terpolarisasi secara horizontal dan tidak

menghasilkan perpindahan vertikal. Loves waves terbentuk karena interferensi

8
konstruktif dan pantulan-pantulan gelombang seismik pada permukaan bebas.

Pergerakan horizontal gelombang ini merusak bangunan-bangunan pada

pondasinya.

2). Rayleigh waves, gelombang yang lintasan gerak partikelnya menyerupai elips,

dihasilkan oleh gelombang datang P dan gelombang S yang berinteraksi pada

permukaan bebas dan merambat sejajar dengan permukaan tersebut.

Gelombang ini menyerupai pergerakan gelombang samudera.

a)

b)

c)

d)

e)

Gambar 2. Gelombang seismik (a) Material tak terganggu (b) Gelombang P


(c) Gelombang S (d) Gelombang Rayleigh (e) Gelombang Love (Abdullah,
2011)

9
B. Regional Kulon Progo

Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah bagian Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat dengan batas sebelah barat

dan utara adalah Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan adalah Samudera

Indonesia. Secara geografis terletak antara 7 38'42" - 7 59'3" Lintang Selatan

dan 110 1'37" -110 16'26" Bujur Timur. Luas area adalah 58.627,5 km2 yang

meliputi 12 kecamatan dan 88 desa. Dari luas tersebut 24,89% berada di

wilayah Selatan yang meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur,

38,16% di wilayah tengah yang meliputi kecamatan Lendah, Pengasih,

Sentolo, Kokap, dan 36,97% di wilayah utara yang meliputi kecamatan

Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Luas kecamatan antara

3.000 km2 hingga 7.500 km2 dan yang wilayahnya paling luas adalah

kecamatan Kokap seluas 7.379,95 km2 sedangkan yang wilayahnya paling

sempit adalah kecamatan Wates seluas 3.291,23 km2 .

Berdasarkan Peta Geologi Kabupaten Kulon Progo pada Gambar 3,

wilayah Kabupaten Kulon Progo tersusun oleh formasi geologi sebagai

berikut:

10
Gambar 3.. Peta Geologi
Geologi Kabupaten Kulon Progo (Rahardjo, 1995).

1. Formasi Nanggulan

Terdiri
erdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan

dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff.


tuff Berdasarkan
erdasarkan penelitian

tentang umur batuannya didapat umur formasi Nanggulan


anggulan sekitar eosen tengah

sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali

Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu

Axinea Beds, Yogyakarta beds,


beds dan Discocyclina beds.

2. Formasi Andesit Tua

Formasi
masi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, llapili

tuff, tuff, breksi lapisi,


lapisi aglomerat,
glomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik

yang tersingkap di daerah


daera Kulon Progo. Formasi ini diendapkan secara tidak

11
selaras dengan formasi Nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan

formasi ini berumur oligosen – miosen.

3. Formasi Jonggrangan

Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa tufa, napal, breksi,

batu lempung dengan sisipan lignit di dalamnya, sedangkan pada bagian

atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan

batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini adalah 2540 meter. Letak

formasi ini tidak selaras dengan formasi Andesit Tua. Formasi Jonggrangan

ini diperkirakan berumur miosen.

4. Formasi Sentolo

Formasi Sentolo mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir

napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal

tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi ini tak selaras

dengan formasi Jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen

bawah sampai pleistosen

5. Formasi Alluvial dan gumuk pasir

Formasi ini terdiri dari endapan yang tidak selaras terhadap lapisan

batuan yang umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu pasir vulkanik

Merapi yang juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri

dari pasir halus maupun kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari

batuan sedimen berupa pasir, kerikir, lanau dan lempung secara berselang–

seling. Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri

termasuk dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang

12
penyusunnya berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran

lava andesit.

C. Mikrotremor

Mikrotremor merupakan getaran tanah selain gempa bumi, bisa berupa

getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Mikrotremor bisa

terjadi karena getaran akibat orang yang sedang berjalan, getaran mobil,

getaran mesin-mesin pabrik, gerakan angin, gelombang laut atau getaran

alamiah dari tanah. Mikrotremor mempunyai frekuensi lebih tinggi dari

frekuensi gempabumi, periodenya kurang dari 0,1 detik yang secara umum

antara 0,05 - 2 detik dan untuk mikrotremor periode panjang bisa 5 detik,

sedang amplitudonya berkisar 0,1 - 1,0 mikron (Mirzaoglu, 2003).

Salah satu implementasi mikrotremor adalah dalam bidang

perancangan bangunan tahan gempa, juga dapat dipakai untuk investigasi

struktur bangunan yang rusak akibat gempa. Dalam merancang bangunan

tahan gempa, sebaiknya perlu diketahui periode natural dari tanah setempat

untuk menghindari adanya fenomena resonansi yang dapat memperbesar

amplifikasi getaran jika terjadi gempa bumi. Mikrotremor juga dapat dipakai

untuk mengetahui jenis tanah berdasarkan tingkat kekerasannya, di mana

semakin kecil periode predominan tanah maka tingkat kekerasannya semakin

besar atau tanah yang mempunyai periode predominan besar makin lunak atau

lembek sifatnya.

Untuk melakukan pengukuran periode predominan tanah natural

sebaiknya dilakukan pada saat sumber getaran yang lain minimal, misalnya

13
pada waktu malam hari saat aktivitas manusia tidak ada, sehingga diharapkan

getaran yang terekam benar-benar getaran asli dari tanah.

D. Seismograf dan Seismometer

Seismograf merupakan instrumen yang dapat mendeteksi dan mencatat

pergerakan tanah atau getaran tanah akibat gempabumi beserta informasi

waktu yang tepat. Seismograf terdiri dari seismometer, penunjuk waktu yang

akurat, dan perangkat untuk merekam sinyal yang diperoleh dari seismometer.

Hasil rekaman pergerakan tanah dari seismograf disebut seismogram. Pada

penelitian ini seismograf yang digunakan adalah Digital Portable

Seismograph tipe TDL-303S. Bentuk alat Digital Portable Seismograph tipe

TDL-303S ditunjukkan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Digital Portable Seismograph tipe TDL-303S

Seismometer merupakan sensor yang dapat merespon getaran tanah

dan menghasilkan sinyal yang dapat direkam oleh seismograf. Seismometer

memiliki tiga detektor yang dapat mendeteksi getaran tanah. Tiga detektor ini

14
digunakan untuk mendeteksi getaran dari dalam tanah dan getaran lain di

sekitar lokasi yang menyentuh tanah. Pada penelitian ini seismometer yang

digunakan adalah seismometer dengan tipe TDV-23S. Seismometer tipe TDV-

23S mendeteksi variabel kecepatan dari getaran tanah (TAIDE, 2010).

Seismometer tipe TDV-23S ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. (a) Tampilan fisik seismometer tipe TDV-23S;(b) Konstruksi


seismometer tipe TDV-23S;(c) Dimensi seismometer tipe TDV-23S;(d)
Struktur bagian dalam seismometer tipe TDV-23S (TAIDE, 2010)

E. Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)

HVSR adalah metode yang didasarkan pada asumsi bahwa rasio

spektrum horizontal dan vertikal dari getaran permukaan merupakan fungsi

perpindahan. Kebenaran dari metode ini telah dibuktikan dengan

menggunakan hasil pengamatan mikrotremor di beberapa titik. Hal itu juga

menunjukkan bahwa karakteristik dinamis lapisan permukaan secara kasar

dapat dipahami pada titik yang diobservasi, jika pengamatan bentuk

15
gelombang seismic tremor dilakukan dari 3 komponen, yaitu dua komponen

horizontal dan satu komponen vertikal. Parameter penting yang dihasilkan

dari metode HVSR ialah frekuensi natural dan amplifikasi.

Berkaitan dengan HVSR untuk karakterisasi geologi lokal, perlu

diketahui parameter-parameter bawah permukaan yang mempengaruhi

frekuensi natural dan amplifikasi. Hal ini mempunyai tiga tujuan. Pertama,

interpretasi mikrozonasi dengan HVSR dapat dilakukan secara tepat.

Kedua, mengetahui penyebab kerusakan akibat gempa dapat diketahui secara

pasti. Ketiga, sebagai pertimbangan dalam mengekstraksi parameter bawah

permukaan dengan kurva HVSR.

Agar dapat mengetahui parameter yang berpengaruh pada

frekuensi predominan dan amplifikasi, perlu dilakukan karakterisasi kurva

HVSR melalui pemodelan. Dalam karakterisasi HVSR, perlu diketahui

model gelombang yang terkandung dalam HVSR terlebih dulu. Nakamura

(1989) mengembangkan konsep HVSR dengan asumsi mikrotremor

didominasi oleh gelombang geser dan mengabaikan gelombang

permukaan (gelombang Rayleigh dan Love). HVSR ini dianggap sama

dengan fungsi transfer antara getaran gelombang pada sedimen dan

bedrock. Artinya, amplitudo dan frekuensi HVSR merepresentasikan

amplifikasi dan frekuensi setempat.

Diasumsikan bahwa hanya komponen horizontal yang dipengaruhi

oleh tanah dan karakteristik sumber spektrumnya mempertahankan komponen

vertikal maupun komponen horizontal. Site Effect (SE) mempengaruhi

permukaan geologinya yang biasanya dinyatakan sebagai rasio spektra (SR)

16
dengan cara membandingkan antara spektrum komponen horizontal dari

permukaan lunak (Hs) dan spektrum komponen horizontal dari bedrock (Hb).

= (3)

Persamaan 3 di atas digunakan dengan asumsi:

1. Data mikrotremor tersusun dari beberapa gelombang.

2. Efek dari gelombang Rayleigh (Erw) terdapat pada spektrum komponen

vertikal di permukaan (Sp), tapi tidak pada permukaan dasar (Sb)

= (4)

3. Komponen vertikal dari data mikrotremor tersebut tidak diperbesar oleh

permukaan tanah yang lunak.

4. Pengaruh dari gelombang Rayleigh pada mikrotremor besarnya sama

untuk komponen vertikal dan komponen horizontal pada rentang frekuensi

antara 0,2-20 Hz, sehingga rasio spektrum dari komponen vertikal dan

komponen horizontal yang bergerak di bawah permukaan nilainya

mendekati persamaan

=1 (5)

5. Dalam kondisi ini, karena rasio spektrum antara komponen vertikal dan

komponen horizontal mendekati nilai satu, maka gangguan yang terekam

di permukaan lunak memungkinkan pengaruh dari gelombang Rayleigh

(Erw) dapat dihilangkan. Sehingga hanya ada pengaruh yang disebabkan

oleh site effect

= = (6)

17
sehingga dapat dirumuskan bahwa

= = (7)

[( ) +( ) ]
= = (8)

Persamaan 8 di atas menjadi dasar perhitungan rasio spektrum mikrotremor

komponen horizontal terhadap komponen vertikalnya atau Horizontal to

Vertical Spectral Ratio (HVSR).

F. Transformasi Fourier, DFT, FFT

a. Transformasi Fourier

Transformasi Fourier digunakan untuk mentransformasikan sinyal dari

domain waktu ( ) ke domain frekuensi ( ) yang didefinisikan sebagai

(Manolakis and Ingle, 2011):


( )=∫ ∞
( ) (9)

di mana (√−1) adalah bilangan imaginer, adalah frekuensi. Tranformasi

sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi diperoleh dengan mencari

persamaan deret Fourier dari ( ) yang dinyatakan dengan superposisi fungsi

sinus dan kosinus yaitu (Hidayat, 2009):

( ) = ∑∞ ∞ (10)

Persamaan (10) digunakan untuk menentukan koefisien Fourier yang

diperoleh dari mengkalikan kedua sisi dengan

( ) = ∑∞ ∞ (11)

18
Integralkan kedua sisi dari 0 hingga =2 / , sehingga

∫ ( ) = ∫ ∑∞ ∞ (12)

adalah periode fundamental dari fungsi ( ), integrasi dan penjumlahan

persamaan (12) diperoleh

( )
∫ ( ) = ∑∞ ∞ ∫ (13)

Untuk ≠ , maka integral di sisi kanan adalah nol. Untuk = , nilai di

sisi kanan sama dengan 1, sehingga nilai integralnya adalah .

( ) , =
∫ = (14)
0, ≠

Persamaan (13) hanya akan mempunyai nilai ketika = , sehingga

diperoleh

∫ ( ) = (15)

maka koefisien fourier didefinisikan sebagai

= ∫ ( ) (16)

Untuk menghitung koefisien Fourier dari sinyal yang periodik dengan interval

< < maka persamaan (16) menjadi

/
= ∫ /
( ) (17)

19
Ketika bertambah besar, akan bertambah kecil maka jarak antar

koefisien Fourier menjadi semakin kecil. Ketika mendekati nilai tak

hingga, maka koefisien Fourier dinyatakan sebagai


=∫ ∞
( ) −∞< <∞ (18)

dimana adalah indeks domain frekuensi, = adalah frekuensi

fundamental dalam radian per sekon, dan = adalah frekuensi

fundamental dalam Hz (Li Tan, 2008). Dengan mengubah ( ) = dan

= maka diperoleh persamaan transformasi Fourier seperti pada

persamaan (9).

b. DFT (Discrete Fourier Transform)

DFT adalah metode atau algoritma untuk mengetahui komponen-

komponen frekuensi harmonik beserta amplitudonya dari sebuah sinyal

periodik atau merupakan deret Fourier (Li Tan, 2008). DFT juga

memperlihatkan hubungan antara domain waktu dengan domain frekuensi.

Oleh karena itu, DFT dapat diaplikasikan untuk analisis frekuensi dari sebuah

rangkaian sinyal domain waktu (Li Tan, 2008). Persamaan DFT diperoleh

dengan cara mengubah notasi integral pada persamaan (16) menjadi notasi

sigma dengan subtitusi = , = , = dan = , sehingga dapat

didefinisikan sebagai:

( )= ∑ ( ) (19)

20
dengan = 0, 1, 2, … , − 1 adalah indeks dalam domain frekuensi atau

bilangan bulat yang menyatakan komponen harmonik ( = ) dan =

0, 1, 2, … , − 1 adalah domain waktu.

c. FFT (Fast Fourier Transform)

FFT adalah metode perhitungan koefisien Fourier yang sebelumnya

dihitung dengan DFT, tetapi lebih efisien dengan algoritma yang tidak

mengubah esensi dari DFT itu sendiri (Li Tan, 2008). Sinyal digital yang

merupakan data diskrit x(n) terdiri dari 2 data, di mana m merupakan

bilangan positif sehingga =2, 4, 8, 16,...dst. Jika ( ) tidak sama

jumlahnya dengan 2 maka harus ada zero padding, yaitu menambahkan data

( ) = 0 sampai jumlah data ( ) mencapai nilai 2 .

Dalam FFT terdapat dua algoritma yaitu decimation in frequency

algorithm (DIF) dan decimation in time algorithm (DIT). Kedua algoritma

tersebut merujuk pada algoritma FFT radix, yaitu metode dalam FFT yang

digunakan untuk pengolahan sinyal sehingga lebih efisien dan cepat (Li Tan,

2008). Bermula dari persamaan (19), misal = sebagai faktor

twiddle dan = 2, 4, 6, 8, 16, … 2 dapat dikembangkan sebagai

( ) ( ) ( )
( ) = (0) + (1) + (2) … + ( − 1) (20)

kemudian ( ) dikelompokkan menjadi suku genap dan ganjil sehingga

persamaan (20) menjadi

( )
( )= (2 ) + (2 + 1) (21)

suku kedua (ganjil) pada persamaan (21) dapat ditulis ulang

21
( )= (2 ) + (2 + 1) (22)

( )
dengan menggunakan = = maka = , sehingga

persamaan (22) menjadi

( )= (2 ) / + (2 + 1) / (23)

dengan = 0, 1, … , − 1.

Persamaan (23) didefinisikan dalam dua fungsi baru yaitu:

Fungsi genap:

( )=∑ (2 ) = DFT [ (2 ) dengan data] (24)

Fungsi ganjil:

( )=∑ (2 + 1) = DFT [ (2 + 1) dengan data] (25)

Setelah domain waktu dibagi dua, maka domain frekuensi juga dibagi

dua sehingga persamaan (24) akan menjadi ( )= + dengan

= 0, 1, … , − 1 dan persamaan (25) akan menjadi ( )= +

dengan = 0, 1, … , − 1. Subtitusi persamaan (24) dan (25) ke dalam

persamaan (23) sehingga menghasilkan persamaan:

22
( )= ( )+W ( ) = 0, 1, … , −1 (26)
2

Persamaan (23) dan (26) merupakan FFT radix-2 Decimation in Time

dengan cara membagi data menjadi 2 bagian. Selain itu FFT radix-2 dapat

dihitung menggunakan metode pendekatan matrik. Persamaan (27) merupakan

susunan matrik asli yang meliputi matrik domain frekuensi, matrix kernel, dan

matrik domain waktu dari data:

(27)

Periodisitas dan simetri dari matrik DFT dapat digambarkan oleh

setiap sebagai sebuah fasor. Untuk representasi dari sudut fasor 0

ditunjukkan dengan panah ke atas dan rotasi fasor searah jarum jam, seperti

ditunjukkan pada persamaan (28) (Manolakis and Ingle, 2011).

(28)

23
Struktur dari matrik tersebut untuk mengefisiensikan perhitungan

pada DFT dengan = 8, sehingga hasil bentuk matrik dapat dinyatakan

seperti pada persamaan (29).

(29)

Dengan menggunakan matrik identitas = −1, maka persamaan

matrik pada persamaan (31) dapat dikelompokkan menjadi suku genap dan

ganjil seperti ditunjukkan pada persamaan (30):

(30)

Matrik pada persamaan (30) dapat disusun menjadi matrik yang lebih

kecil seperti ditunjukkan pada persamaan (31)

24
(31)

Setelah menggunakan radix-2, berikut akan dirumuskan FFT radix-4

dengan cara DFT sebanyak data dibagi menjadi empat bagian seperti pada

persamaan (34).

/ /
( ) ( )
( )= (4 ) W + (4 + 1) W

/ /
( ) ( )
+ (4 + 2) W + (4 + 3) W (32)

Dengan menguraikan suku kedua, ketiga, dan keempat, maka persamaan (32)

dapat ditulis ulang menjadi:

/ /
( ) ( )
( )= (4 ) W +W (4 + 1) W

/
( )
+W (4 + 2) W

/
( )
+W (4 + 3) W (33)

25
Setelah membagi waktu menjadi empat, maka frekuensi dibagi empat

dengan periode /4 tepat setelah diperoleh faktor twiddle W = =

/ =W / . Dengan mendefinisikan variable baru pada persamaan (33)

menjadi:

/ /
( )
(4 ) W = W / = ( ) (34)

/ /
( )
(4 + 1) W = W / = ( ) (35)

/ /
( )
(4 + 2) W = W / = ( ) (36)

/ /
( )
(4 + 3) = ℎ W / = ( ) (37)

maka FFT radix-4 menjadi

( )= ( )+ ( )+ ( )+ ( ) (38)

(Chu and Goerge, 2000)

Radix-4 merupakan pengelompokan kembali suku genap dan ganjil

yang berawal dari radix-2. Dengan menggunakan = 8 maka matrik radix-8

menjadi

26
(39)

Sama dengan radix-2, dengan menggunakan identitas = −1, maka

persamaan (39) menjadi

(40)

Matrik pada persamaan (41) kemudian dapat dipecah menjadi

matrik-matrik yang lebih kecil, yaitu:

(41)

Perhitungan menggunakan radix-4 lebih efisien karena lebih

banyak suku yang simetri sehingga perhitungan lebih cepat.

27
G. Penghalusan Data (Smoothing)

Dalam pemrosesan sinyal untuk penghalusan suatu sinyal dilakukan

dengan cara membuat suatu fungsi pendekatan yang mempresentasikan pola

data, sedangkan noise dalam hal ini dianggap sebagai frekuensi tinggi yang

akan direduksi. Dalam penghalusan data, titik-titik data suatu sinyal

dimodifikasi sedemikian rupa sehingga titik-titik yang tidak mengikuti pola

tersebut akan direduksi. Penghalusan ini dilakukan sebelum perhitungan nilai

H/V dan didasarkan pada persamaan moving average.

Moving average digunakan untuk mereduksi noise dari sinyal pada

domain frekuensi. Moving average beroperasi dengan cara merata-rata nilai

dari sebuah sinyal input untuk menghasilkan nilai sinyal output untuk setiap

titik. Dalam bentuk persamaan, moving average dituliskan sebagai (Smith,

1997) :

1
[ ]= [ + ] (42)

di mana [ ] adalah sinyal input, [ ] adalah sinyal output, dan adalah

banyaknya nilai yang dirata-rata.

28
Gambar 6. a). Sinyal input b). Sinyal output dengan 11 titik moving average
c). Sinyal output dengan 51 titik moving average (Smith, 1997)

Gambar 6 adalah contoh bagaimana penghalusan data

menggunakan moving average. Gambar 5a adalah sinyal input sebelum

menggunakan moving average, sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c adalah

sinyal output setelah menggunakan moving average dengan nilai rata-rata 11

dan 51.

H. Indeks Kerentanan

Indeks kerentanan seimik dapat diperkirakan oleh rasio spektral

mikrotremor yang diukur secara simultan pada struktur dan permukaan tanah.

Indeks kerentanan seimik didapatkan dari pergeseran regangan permukaan

tanah dan strukturnya saat terjadi gempabumi. Untuk menentukan indeks

kerentanan seismik tanah, digunakan Tabel 1 yang menunjukkan hubungan

antara regangan γ dengan bencana yang diakibatkan oleh tanah. Dari data

tersebut diketahui bahwa saat = 1000 × 10 tanah mulai menunjukkan

29
karakter yang tidak linier dan saat > 10000 × 10 tanah akan

mengalami deformasi dan keruntuhan (Nakamura, 1997).

Tabel 1. Hubungan regangan dengan sifat dinamis tanah (Nakamura, 1997)

Skema deformasi regangan permukaan tanah dapat ditunjukan pada

Gambar 7. Nilai dari pergeseran regangan γ tanah dapat dituliskan dengan

persamaan (Nakamura, 1997) :

= (43)

Gambar 7. Deformasi regangan pada permukaan tanah (Nakamura, 1997)

di mana adalah faktor amplifikasi, H adalah ketebalan lapisan tanah (m),

dan d adalah pergeseran gelombang seismik di bawah permukaan tanah (m).

Kecepatan pergeseran gelombang di bawah permukaan tanah dan

pada permukaan tanah masing-masing dilambangkan sebagai dan .

Besarnya frekuensi predominan pada permukaan tanah dirumuskan sebagai

(Nakamura, 1997):

30
= (44)
(4 )

Percepatan di bawah permukaan tanah αb dinyatakan sebagai

(Nakamura, 1997):

α = (2 ) (45)

dan jika γ dinyatakan dengan Fg, Ag, dan vb maka

4
= (46)
2

= (47)

Jika efisiensi dari penerapan gaya dinamis yang berpengaruh

terhadap regangan adalah sebesar e% dari gaya statis, maka besarnya regangan

efektif adalah

= (e)α (48)

sehingga

= /( )/100 (49)

Nilai dari mendekati nilai konstan pada daerah yang sangat luas dan

adalah nilai yang ditentukan untuk suatu titik, sehingga dapat dianggap

sebagai indeks kerentanan dari daerah terdeformasi yang mana berguna untuk

mendeteksi titik lemah pada tanah.

I. Kerangka Berfikir

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode HVSR yang

membandingkan komponen horizontal dengan komponen vertikal data

mikrotremor. Pada metode ini, digunakan dua komponen horizontal dan satu

31
komponen vertikal untuk dibandingkan. Komponen horizontal terdiri dari

komponen Utara-Selatan dan Barat-Timur. Untuk menyelesaikan rasio

spektrum dari komponen horizontal dengan komponen vertikal digunakan

software MATLAB R2010a.

Untuk menentukan besarnya indeks kerentanan seismik, yang

digunakan adalah persamaan (49). Sebelum persamaan tersebut digunakan,

perlu diketahui besarnya frekuensi predominan dan amplitudo rasio HVSR di

setiap titik pengambilan data. Nilai frekuensi predominan dan nilai faktor

amplifikasi diperoleh dari analisis spektrum menggunakan software

MATLAB R2010a. Untuk membuat mikrozonasi berdasarkan data indeks

kerentanan seismik digunakan program Surfer 10.

32
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 24-28 November 2013.

Sebelum dimulai penelitian, telah dilakukan survei di lokasi penelitian dan

studi literatur. Pengukuran data mikrotremor secara langsung dilakukan di

daerah Kabupaten Kulon Progo sebanyak 38 titik penelitian dengan jarak 4 km

setiap titik penelitian

B. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : frekuensi predominan tanah (f0) dan faktor

amplifikasi (A)

2. Variabel Kontrol : kecepatan pergeseran gelombang di bawah

permukaan tanah (Vb).

3. Variabel Terikat : indeks kerentanan seismik (Kg).

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari

perangkat keras dan perangkat lunak.

1. Perangkat Lunak

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. MATLAB R2010a berfungsi untuk menganalisis data mikrotremor

dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT).

33
b. Sassaray-Geopsy untuk menganalisis data mikrotremor yang hasilnya

dibandingkan dengan nilai analisis menggunakan MATLAB R2010a.

c. Surfer 10 digunakan untuk membuat mikrozonasi.

d. Microsoft Excel berfungsi untuk mengubah data bentuk DAT menjadi

SAF.

2. Perangkat Keras

Perangkat keras yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

a. Digital Portable Seismograph tipe TDL-303S untuk merekam

getaran tanah pada setiap titik penelitian.

b. Seismometer tipe TDV-23S untuk mengukur getaran tanah pada setiap

titik penelitian.

c. Global Positioning System (GPS) digunakan untuk menentukan posisi

pada setiap titik penelitian.

d. Kabel untuk menghubungkan Digital Portable Seismograph dengan

Seismometer.

e. Kompas digunakan untuk menentukan arah pada saat memasang

seismometer.

f. Laptop digunakan untuk akuisisi dan analisis data mikrotremor.

34
Gambar 8. Global Positioning System, kabel, Seismometer, Digital
Portable Seismograph

D. Teknik Pengambilan Data

Langkah kerja yang dilakukan sebelum pengambilan data

mikrotremor secara langsung adalah membuat desain survei yang bertujuan

untuk menentukan lokasi pengambilan data mikrotremor. Desain survei

dibuat dengan mengacu pada peta geologi Kabupaten Kulon Progo dengan

skala 1:150000. Dengan menggunakan metode grid, peta diplot dengan

koordinat geografis 110o14’72” BT – 110°21’97” BT dan 7°65’32” LS –

7°94’23” LS.

Setelah titik lokasi ditentukan, dilakukan survei lokasi pengambilan

data. Hal ini bertujuan untuk mempermudah saat proses pengambilan data

supaya tidak memerlukan tambahan waktu karena lokasi titik penelitian sudah

diketahui sebelumnya. Jarak 4 km antar titik dalam sumbu vertikal dan

horizontal menjadi sedikit berubah ±200 m dari titik awal karena pada

keadaan sebenarnya titik lokasi ada yang bertepatan dengan jurang,

bangunan rumah atau sarana umum. Pemilihan lokasi dan pengambilan data

35
dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis survei mikrotremor yang

ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan teknis survei mikrotremor (SESAME, 2004).

Parameter Saran yang dianjurkan

Durasi fg minimum yang diharapkan Durasi pencatatan minimum yang


Pencatatan (Hz) disarankan (menit)

0.2 30

0.5 20

1 10

2 5

5 3

10 2

Coupling soil- 1. Mengatur sensor langsung pada permukaan tanah.


sensor alami 2. Tidak menempatkan sensor seismograf pada permukaan tanah
lunak (lumpur, semak-semak) atau tanah lunak setelah hujan.
coupling soil-1. Menghindari lempengan yang terbuat dari material lunak seperti
sensor buatan karet atau busa.
2. Memasang sensor dalam timbunan pasir atau wadah yang diisi pasir
untuk kemiringan yang curam dimana sulit mendapatkan level
sensor yang baik.
Keberadaan 1. Menghindari pengukuran dekat dengan bangunan, gedung
bangunan atau bertingkat, dan pohon yang tinggi, jika terdapat tiupan angin di atas
pohon ±5 m/s. Kondisi ini sangat mempengaruhi hasil analisis HVSR yang
ditunjukkan dengan kemunculan frekuensi rendah pada kurva.
2. Menghindari pengukuran di lokasi tempat parkiran, pipa air, dan
gorong-gorong.
Kondisi cuaca 1. Angin: melindungi sensor jika kecepatan angin di atas ±5 m/s.
2. Hujan: menghindari pengukuran di bawah terpaan hujan lebat,
kecuali hujan ringan, karena tidak akan berpengaruh.
3. Temperatur: memeriksa sensor seismograf dan mencatat instruksi
pabrik.
Gangguan 1. Sumber monokromatik: menghindari pengukuran mikrotremor
dekat dengan mesin, industri, pompa air, dan generator yang sedang
beroperasi.
2. Sumber sementara: jika terdapat sumber getar transient (jejak
langkah kaki, mobil lewat, motor lewat) tingkatkan durasi
pengukuran untuk memberikan jendela yang cuku untuk analisis
setelag gangguan tersebut hilang.

Lokasi pengambilan data mikrotremor ditunjukkan oleh titik yang

berwarna hitam dengan nomor pada peta lokasi yang berjumlah 38 titik

36
penelitian. Peta lokasi pengambilan data mikrotremor berupa peta informasi

geologi Kabupaten Kulon Progo ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta lokasi pengambilan data mikrotremor

Pengambilan data mikrotremor di banyak titik lokasi yang berjarak 4

km setiap titik bertujuan supaya hasil indeks kerentanan seismik yang

didapatkan dapat mengambarkan keadaan yang sebenarnya di Kabupaten

Kulon Progo. Hal tersebut dikarenakan setiap lokasi titik tertentu

memiliki frekuensi predominan yang berbeda, frekuensi predominan

inilah yang akan memberikan pengaruh terhadap besar atau kecilnya

nilai indeks kerentanan seismik.

E. Teknik Analisis Data

Data mikrotremor hasil pengukuran merupakan data mentah getaran

tanah dalam fungsi waktu. Pengolahan data mikrotremor menggunakan

metode HVSR dengan proses analisis HVSR dilakukan minimal pada 10

37
window dan data yang diambil antara 20 detik – 50 detik. Masing-masing

window dari 2 komponen horizontal dan 1 komponen vertikal dianalisis

menggunakan algoritma Fast Fourier Transform (FFT). Setelah itu dilakukan

penghalusan data (smoothing) dengan menggunakan persamaan moving

average sebanyak 40 poin data. Data yang sudah dismoothing, dianalisis

dengan metode HVSR yang didapat dari akar kuadrat amplitudo spektrum

horizontal dibagi dengan spektrum vertikal menghasilkan nilai H/V untuk

masing-masing window. Dari analisis HVSR akan diperoleh kurva HVSR

yang menunjukkan nilai frekuensi predominan dan faktor amplifikasi. Untuk

criteria kurva H/V merujuk pada standar yang ditetapkan oleh SESAME

European Research Project, yang berupa kriteria reliabel dari kurva H/V

yang ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Reliabel dari Kurva H/V (SESAME, 2004).

Kriteia reliabel dari kurva H/V

f0 > 10/Iw
nc > 200
σA < 2 untuk 0.5 f0 < f < 2 f0 jika f0 > 0.5 Hz atau
σA > 3 untuk 0.5 f0 < f < 2 f0 jika f0 < 0.5 Hz

Kemudian mencari data kecepatan gelombang S dari USGS sehingga

diperoleh nilai pergeseran gelombang di permukaan tanah ( ). Nilai

dapat digunakan untuk menentukan nilai ketebalan lapisan sedimen (H)

dengan persamaan:

= /4 (50)

38
Lalu nilai ketebalan lapisan sedimen (H) tersebut dapat digunakan untuk

menentukan nilai pergeseran gelombang di bawah permukaan tanah ( )

menggunakan persamaan:

=4 (51)

Ketiga nilai data tersebut digunakan untuk menentukan nilai indeks

kerentanan seismik. Persamaan yang digunakan untuk menentukan indeks

kerentanan seismik adalah

= ( / ) (1/ ) (52)

Nilai indeks keretanan seismik (Kg) dari semua titik lokasi digunakan

sebagai data masukan untuk membuat mikrozonasi indeks kerentanan

seismik.

F. Algoritma

Algoritma merupakan urutan langkah logika untuk menyelesaikan

masalah. Adapun pada kajian ini digunakan algoritma sebagai berikut.

a. Data mikrotremor diambil dari titik lokasi yang telah ditetapkan.

b. Data dengan format ASCII diubah menjadi data dengan format

SAF menggunakan program Microsoft Excel.

c. Data dengan format SAF dianalisis menggunakan program MATLAB

R2010a dengan minimal 10 pemilihan sinyal yang baik (windowing)

yang stasioner antara 20-50 detik.

d. Frekuensi predominan (f0) dan nilai faktor amplifikasi (A)

ditentukan dari grafik yang diperoleh.

39
e. Indeks kerentanan seismik (Kg) didapat dengan cara memasukan

data frekuensi predominan (f0) dan nilai faktor amplifikasi (A) ke

persamaan.

f. Mikrozonasi indeks kerentanan seismik dibuat dengan

menggunakan data nilai indeks kerentanan seismik (Kg)

menggunakan program Surfer 10.

40
G. Diagram Alir Penelitian

1. Diagram alir penelitian

Gambar 10. Diagram alir penelitian

41
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah indeks kerentanan

seismik dan mikrozonasi indeks kerentanan seismik di Kabupaten Kulon Progo.

Nilai indeks kerentanan seismik ini berkaitan dengan tingkat kerentanan wilayah

Kabupaten Kulon Progo terhadap risiko bencana gempabumi. Semakin besar nilai

indeks kerentanan seismik di wilayah tersebut, maka tingkat kerentanan terhadap

gempabumi semakin besar. Hasil nilai indeks kerentanan seismik (Kg) ini

dipengaruhi oleh frekuensi predominan (f0), faktor amplifikasi (A) dan kecepatan

pergeseran gelombang bawah permukaan tanah (Vb). Kecepatan pergeseran

gelombang bawah permukaan tanah (Vb) berbanding lurus dengan ketebalan

lapisan sedimen, faktor amplifikasi, dan frekuensi predominan. Semakin besar

kecepatan pergeseran gelombang bawah permukaan tanah (Vb), maka nilai faktor

amplifikasi dan frekuensi predominan semakin besar. Kecepatan pergeseran

gelombang bawah permukaan tanah (Vb) di Kabupaten Kulon Progo berkisar

antara 541,05 m/s –7450,05 m/s (USGS, 2014).

Untuk menentukan hubungan antara nilai frekuensi predominan (f0)

terhadap faktor amplifikasi dan nilai indeks kerentanan seismik, maka diambil

sebanyak 38 data di Kabupaten Kulon Progo. Perbedaan pengaruh dari frekuensi

predominan (f0) suatu wilayah terhadap amplifikasi (A) dan nilai indeks

kerentanan seismik (Kg) berdasarkan hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar

11.

42
Gambar 11. Pengaruh frekuensi predominan (f0) dan faktor amplifikasi (A)
terhadap indeks kerentanan seismik (Kg) berdasarkan hasil
penelitian.

Berdasarkan peta kontur indeks kerentanan seismik pada Gambar 11,

maka ketika nilai frekuensi predominan (f0) besar dan faktor amplifikasi besar,

indeks kerentanan seismik (Kg) akan bernilai besar. Jika frekuensi predominan (f0)

kecil dan faktor amplifikasi (A) besar maka indeks kerentanan seismik (Kg) akan

bernilai besar, dan sebaliknya jika nilai frekuensi predominan (f0) besar dan faktor

amplifikasi (A) kecil maka indeks kerentanan seismik (Kg) akan bernilai kecil.

Nilai frekuensi predominan (f0), faktor amplifikasi, dan indeks kerentanan seismik

(Kg) dapat dibuat pemodelan visual sebagai mikrozonasi. Mikrozonasi indeks

kerentanan seismik (Kg) ini bertujuan untuk memberikan informasi kerentanan

wilayah terhadap gempabumi. Mikrozonasi nilai faktor amplifikasi, frekuensi

predominan, dan indeks kerentanan seismik (Kg) ditunjukkan pada Gambar 12.

43
Gambar 12. Mikrozonasi faktor amplifikasi (A) di Kabupaten Kulon Progo.

Faktor amplifikasi diperoleh dari nilai amplifikasi puncak H/V hasil

pengolahan data menggunakan metode HVSR. Berdasarkan hasil mikrozonasi

faktor amplifikasi pada Gambar 12, nilai amplifikasi antara 1,5– 9 dengan zona

warna biru muda adalah daerah dengan nilai faktor amplifikasi rendah, sedangkan

zona warna merah adalah daerah dengan nilai faktor amplifikasi tinggi. Nilai

faktor amplifikasi tertinggi terdapat di titik 2 (Kecamatan Samigaluh) dan

terendah terdapat di titik 14 (Kecamatan Girimulyo).

Selain faktor amplifikasi, didapatkan juga nilai frekuensi predominan.

Dari 38 titik hasil pengukuran dan pengolahan data, nilai frekuensi predominan

diperoleh antara 1 Hz – 13 Hz. Distribusi nilai frekuensi predominan tersebut

berhubungan dengan kondisi geologi dan jenis tanah wilayah tersebut.

Mikrozonasi nilai frekuensi predominan ditunjukkan pada Gambar 13.

44
Gambar 13. Mikrozonasi frekuensi predominan (f0) di Kabupaten Kulon Progo.

Dari Gambar 13 dapat diketahui bahwa frekuensi predominan tinggi

berada pada zona warna merah dan frekuensi predominan rendah berada pada

zona warna biru muda. Nilai frekuensi predominan terbesar terdapat di titik 27

(Kecamatan Pengasih) dengan nilai 13,44 Hz. Sedangkan nilai frekuensi

predominan terendah terdapat di titik 37 (Kecamatan Galur). Berdasarkan

besarnya nilai frekuensi predominan, dapat diketahui perbedaan karakteristik

tanah dan kondisi geologi di daerah penelitian. Berdasarkan hasil mikrozonasi

frekuensi predominan di Kabupaten Kulon Progo, dapat disimpulkan bahwa

Kecamatan Girimulyo, Kalibawang, Kokap, Nanggulan, Samigaluh, dan Sentolo

termasuk dalam klasifikasi tanah jenis I yang terdiri dari batuan keras hard sandy

gravel, dan lapisan tanah tua. Kecamatan Pengasih dan Temon termasuk dalam

45
klasifikasi tanah jenis I dan II, di mana tanah jenis II terdiri dari tanah pasir

berbatu keras, alluvial berbatu dengan ketebalan 5 meter. Kecamatan Lendah dan

Panjatan termasuk dalam klasifikasi tanah jenis II dan III, di mana tanah jenis III

terdiri dari pasir, tanah berpasir, tanah liat, dan jenis alluvial. Kecamatan Galur

dan Wates termasuk dalam klasifikasi tanah jenis III dan IV di mana tanah jenis

IV terdiri dari tanah lembek, berupa endapan delta atau endapan lumpur sungai.

Klasifikasi tanah berdasarkan nilai frekuensi predominan ditunjukkan pada Tabel

4.

Tabel 4. Klasifikasi jenis tanah (Pitilakis et al., 2004)

Klasifikasi Tanah Frekuensi (Hz) Keterangan

Batuan tersier, batuan keras (hard


Jenis I 6,7 – 20
sandy gravel), lapisan tanah tua

Tanah pasir berbatu keras, alluvial


Jenis II 4 - 6,7
berbatu dengan tebal sekitar 5 meter

Tanah pasir, tanah berpasir, tanah


Jenis III 2,5–4
liat, jenis alluvial

Tanah lembek, berupa endapan delta


Jenis IV 1,4 -2,5
atau endapan lumpur sungai

Hasil tersebut membuktikan bahwa wilayah Kulon Progo yang rentan

terhadap gempabumi adalah kecamatan yang berada pada klasifikasi jenis tanah

III dan IV, karena jenis tanah di wilayah tersebut terdiri dari tanah berpasir, tanah

liat dan tanah lumpur sehingga mudah mengalami likuifaksi saat menerima

getaran yang disebabkan oleh gempabumi. Hasil dari analisis mikrozonasi

frekuensi predominan sesuai dengan hasil dari mikrozonasi indeks kerentanan

seismik, yaitu wilayah yang berada pada klasifikasi jenis tanah III dan IV

46
memiliki nilai indeks kerentanan tinggi. Mikrozonasi indeks kerentanan seismik

di Kabupaten Kulon Progo ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Mikrozonasi indeks kerentanan seismik (Kg) di Kabupaten Kulon


Progo.

Hasil mikrozonasi pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai indeks

kerentanan seismik tinggi terdapat pada zona warna merah dan nilai indeks

kerentanan seismik rendah terdapat pada zona warna biru muda. Nilai indeks

kerentanan seismik terbesar terdapat pada titik 32 (Kecamatan Wates) dengan

nilai 11,73×10-6 s2/cm, sedangkan nilai indeks kerentanan seismik terendah

terdapat pada titik 19 (Kecamatan Kokap) dengan nilai 0,35×10-6 s2/cm.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, indeks kerentanan seismik dengan nilai rendah

antara 0,35×10-6 s2/cm – 2,70×10-6 s2/cm berada di Kecamatan Kokap,

Girimulyo, Nanggulan, dan Sentolo. Indeks kerentanan seismik dengan nilai

47
sedang antara 4,27×10-6 s2/cm – 6,41×10-6 s2/cm berada di Kecamatan

Samigaluh, Kalibawang, Lendah, Temon, dan Pengasih. Indeks kerentanan

seismik dengan nilai tinggi antara 7,62×10-6 s2/cm – 11,72×10-6 s2/cm berada di

Kecamatan Wates, Galur, dan Panjatan.

Kerentanan seismik wilayah Kabupaten Kulon Progo ditentukan oleh

nilai indeks kerentanan seismik yang menggambarkan tingkat kerentanan lapisan

tanah permukaan terhadap deformasi saat terjadi gempabumi. Nilai indeks

kerentanan seismik berhubungan dengan kondisi geologi wilayah tersebut. Pada

wilayah pesisir yang tersusun oleh material alluvium, tanah berpasir, tanah liat,

tanah lembek, berupa endapan delta atau endapan lumpur sungai diperoleh nilai

indeks kerentanan seismik tinggi. Sedangkan pada wilayah yang tersusun oleh

material batuan tersier, batuan keras, lapisan tanah tua diperoleh nilai indeks

kerentanan seismik rendah. Untuk wilayah perbatasan antara dataran alluvium

dengan perbukitan menunjukkan nilai indeks kerentanan seismik relatif rendah,

dan untuk wilayah di perbukitan menunjukkan nilai indeks kerentanan seismik

sangat rendah.

Mikrozonasi nilai indeks kerentanan seismik kemudian dibandingkan

dengan peta kerusakan Kabupaten Kulon Progo akibat gempabumi yang terjadi di

Kebumen dengan kedalaman 48 km, dan magnitudo sebesar 6,5 SR berdasarkan

data dari BPBD. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara nilai

indeks kerentanan seismik dengan data kerusakan. Peta kerusakan akibat

gempabumi Kebumen ditunjukkan pada Gambar 15.

48
-7.65

SAMIGALUH

-7.7

GIRIMULYO
-7.75

NANGGULAN
-7.8 KOKAP

PENGASIH
-7.85

TEMON
WATES
-7.9
LENDAH
PANJATAN

GALUR
-7.95

110.05 110.1 110.15 110.2 110.25

Gambar 15. Peta distribusi kerusakan akibat gempabumi Kebumen.

Wilayah yang mengalami kerusakan akibat gempabumi Kebumen

ditunjukkan pada zona warna kuning yaitu Kecamatan Lendah, Galur, dan

Kalibawang dengan tingkat kerusakan ringan hingga sedang. Mikrozonasi nilai

indeks kerentanan seismik sesuai dengan peta kerusakan akibat gempabumi

tersebut. Hal tersebut ditunjukkan pada Kecamatan Lendah, Galur, dan

Kalibawang yang memiliki nilai indeks kerentanan seismik sedang hingga tinggi,

tetapi pada Kecamatan Wates dan Panjatan yang memiliki nilai indeks kerentanan

seismik tinggi tidak mengalami kerusakan akibat gempabumi. Kerusakan dapat

disebabkan oleh kontruksi bangunan dan kondisi tanah di wilayah tersebut.

Kontruksi bangunan lama tanpa menggunakan cakar ayam lebih mudah rusak

karena tidak mempertimbangkan risiko saat terjadi gempabumi. Selain itu tanah

yang lunak dan tanah yang keras juga mempengaruhi risiko saat terjadi

gempabumi.

49
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut.

1. Nilai frekuensi predominan (f0) di Kabupaten Kulon Progo adalah 0,76 Hz

– 13,44 Hz sedangkan nilai faktor amplifikasi (A) adalah 1,37 – 9,13

sehingga didapatkan nilai indeks kerentanan seismik (Kg) 0,35×10-6 s2/cm

–11,73×10-6 s2/cm. Dari hasil mikrozonasi nilai indeks kerentanan seimik

dapat disimpulkan bahwa daerah di Kabupaten Kulon Progo yang

memiliki kerentanan tertinggi terhadap gempabumi adalah di Kecamatan

Wates dan terendah terdapat di Kecamatan Kokap.

2. Hasil nilai indeks kerentanan seismik sesuai dengan tingkat kerusakan

akibat gempabumi Kebumen di Kabupaten Kulon Progo. Hal ini

ditunjukkan dengan kerusakan yang terjadi di Kecamatan Lendah, Galur,

dan Kalibawang yang berada pada tingkat kerentanan sedang hingga

tinggi.

B. Saran

Untuk penelitian sejenis mendatang disarankan agar menggunakan

metode pengolahan data yang lain, sehingga hasil yang diperoleh akan dapat

dibandingkan dengan metode yang sudah ada. Misalnya metode dalam

smoothing data tidak lagi menggunakan moving average.

50
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Agus. (2011). Ensiklopedi Seismik. e-book ensiklopediseismik.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah. (2014). Data Bencana Kabupaten Kulon


Progo. Kulon Progo: BPBD Kabupaten Kulon Progo.

Bappenas. 2006. Penilaian Awal dan Kerusakan Bencana Alam di Yogyakarta


dan Jawa Tengah. Public Disclousure Authorized.

Bemmelen, Van. (1949). The Geology of Indonesia Vol-IA General Geologi of


Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office, The
Hague.

BMKG, 2014. Gempabumi. Diakses dari


http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Gempabumi_-
_Tsunami/Gempabumi.bmkg pada tanggal 18 Mei 2014.

Chu, Eleanor, Alan George, 2000. Discrete and Continous Fourier Transforms.
Canada:University of Guelph.

ESDM. (2014). Tanggapan Gempa Bumi Kebumen 27 Januari 2014. Diakses dari
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gempabumi-a-tsunami/kejadian-
gempabumi-a-tsunami/306-tanggapan-gempa-bumi-kebumen-27-januari-
2014, pada tanggal 11 Mei 2014.

ESDM. (2009). Gempa di Indonesia Akibat Interaksi Lempeng Utama Dunia.


Diakses dari http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/2849-
gempa-di-indonesia-akibat-interaksi-lempeng-utama-dunia-.html, pada
tanggal 11 Mei 2014.

Hidayat, Risanuri, 2009. Deret dan Transformasi Fourier. Yogyakarta:


Universitas Gajah Mada

Kayal, J.R. 2008. Chapter 2 Earthquakes and Seismic Waves of Microearthquake


Seismology And Seismotectonics Of South Asia. New Mexico: Springer.

Lathi, B. P. 1998. Signal Processing and Linear Systems. California: Berkeley


Cambridge Press.

51
Manolakis, Dimitris & Vinay Ingle. 2011. Applied Digital Signal Processing
Theory and Practice. Cambridge : Cambridge University Press.

Mirzaoglu, Mete. and Dýkmen, Ünal. 2003. Application of microtremors to


seismic microzoning procedure. Balkan: Jornal of the Balkan Geophysical,
Vol. 6, No. 3,p. 143 – 156, 13 figs., 1 tab.

Nakamura, Y. 1989. A Method for Dynamic Characteristics Estimation of


Subsurface using Microtremor on the Ground Surface. Japan: Quarterly
Report of Railway Technical Research Institute (RTRI), Vol. 30, No.1.

Nakamura, Y. 1997. Seismic Vulnerability Indices for Ground and Structures


Using Microtremor. Florence: World Congress on Railway Research.

Pitilakis, K., Gazepis, C., and Anastasiadis, A. 2004. Design Response Spectra
and Soil Classification for Seismic Code Provisions. Canada: 13th World
Conference on Earthquake Engineering.

Rahardjo, W., Sukandarumidi, and Rosidi, H.M.D., 1995. Geological Map of The
Yogyakarta Sheet, Jawa, scale 1:100.000. Geological Research and
Development Centre, Bandung.

SESAME European Research Project. (2004). Guidelines for The Implementation


of The H/V Spectral Ratio Technique on Ambient Vibration:
Measurements, Processing and Interpretation.

Smith, Steven W., (1997). The Scientist and Engineer's Guide to Digital Signal
Processing. San Diego:University of Utah.

Tan, Li. 2008. Digital Signal Processing Fundamentals and Applications. San
Francisco: Elsevier.

TAIDE. 2010. TDV-23S feedback short-period seismometer operator's manual.


China: Zhuhai TAIDE Enterprise Co., Ltd.

USGS http://earthquake.usgs.gov/hazards/apps/vs30/custom.php. diakses tanggal


25 April 2014

52
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Penelitian.

Indeks Kerentana Seismik


Koordinat Amplitudo (A) Frekuensi (f0) Vb
Titik (Kg) 10
(m/s2)
Lintang (˚) Bujur (˚) Matlab Geopsy Matlab Geopsy Matlab Geopsy
1 -7.653153333 110.147225 8.702 8.97312 5.76 6.35449 5150.094 2.584 2.49082
2 -7.6529 110.182572 9.13 10.1049 2.64 2.98423 7450.05 4.290 4.64968
3 -7.653103333 110.219842 1.66 1.95479 3.72 4.20761 1269.456 0.591 0.724265
4 -7.652851667 110.256605 8.012 8.72472 3.16 3.30821 3951.499 5.204 5.8952
5 -7.690895 110.150227 4.081 4.38577 5.44 5.93253 2174.245 1.425 1.50971
6 -7.688825 110.183713 3.021 3.14043 12.52 13.074 1296.69 0.569 0.588958
7 -7.68964 110.220422 4.428 4.69494 4.48 4.82745 3213.163 1.379 1.43867
8 -7.688903333 110.256102 6.379 6.99477 2.68 2.98423 3209.597 4.789 5.17148
9 -7.725031667 110.147397 2.99 3.54032 3.04 3.79555 1828.423 1.628 1.82846
10 -7.725115 110.184007 2.961 3.07853 8.64 8.93241 2113.232 0.486 0.508302
11 -7.725161667 110.219843 3.044 3.63951 3.72 4.82745 1088.65 2.316 2.55171
12 -7.761015 110.111037 2.764 3.00655 5.04 6.13989 1667.582 0.920 0.893799
13 -7.761738333 110.14724 1.837 2.13184 3.84 4.82745 1613.175 0.551 0.590828
14 -7.7605 110.184307 1.37 1.6054 3.8 4.50689 896.5204 0.558 0.645773
15 -7.76126 110.219065 2.481 2.70693 6.92 7.29059 672.3293 1.339 1.51342
16 -7.797751667 110.14739 2.939 3.84723 3.24 3.79555 1847.873 1.460 2.13649
17 -7.797976667 110.184 2.745 2.9417 8.8 9.59679 878.3632 0.987 1.03932
18 -7.795946667 110.218537 2.464 2.49844 13.16 13.531 748.1185 0.624 0.624293

53
19 -7.836078333 110.075333 2.375 2.51656 11.64 12.2059 1415.55 0.347 0.371082
20 -7.833075 110.11111 2.12 2.195 10.76 11.0105 1091.22 0.387 0.4.05976
21 -7.833653333 110.14743 2.165 2.69929 2.16 2.78606 1047.021 2.098 2.52874
22 -7.833861667 110.183375 3.252 3.97553 4.48 5.17081 1315.315 1.817 2.35262
23 -7.83383 110.216755 3.347 3.71973 5.64 5.93253 976.7158 2.059 2.41749
24 -7.86896 110.074563 4.233 5.36145 1.4 1.50115 2034.316 6.369 9.52956
25 -7.869813333 110.111248 2.853 2.98527 6.72 8.08209 1317.632 0.931 0.847228
26 -7.870061667 110.147278 2.738 3.83321 1.12 1.60792 884.4026 7.662 10.4607
27 -7.869773333 110.183332 2.767 2.92467 13.44 14.0039 925.2428 0.623 0.668344
28 -7.869633333 110.220017 4.593 4.89125 9.24 9.93222 1609.991 1.436 1.51468
29 -7.870365 110.25638 4.39 5.12604 4.44 4.99618 1629.964 2.696 3.26662
30 -7.905723333 110.074735 2.225 3.27026 7 7.54541 775.5383 0.923 1.85024
31 -7.905841667 110.1117 2.716 4.49941 1.04 1.18027 822.7831 8.727 21.1055
32 -7.90591 110.147065 3.373 4.30091 0.96 0.96236 1023.132 11.727 19.0197
33 -7.906191667 110.183468 4.828 5.9501 1.32 1.50115 1576.718 11.338 15.1433
34 -7.905535 110.2201 5.356 6.13194 5.52 6.13989 2258.158 2.330 2.74556
35 -7.906316667 110.255423 2.599 3.00098 3.44 3.79555 907.743 2.190 2.6463
36 -7.940726667 110.14805 2.088 2.64012 3.64 4.06551 617.9705 1.962 2.80876
37 -7.942658333 110.183357 1.91 2.49516 0.76 0.92798 541.051 8.982 12.5537
38 -7.942275 110.219745 2.768 3.71612 1.36 1.51639 858.7865 6.641 10.7358

54
Lampiran 2. Analisis Mikrotremor dengan sofware MATLAB R2010a

Langkah – langkah analisis mikrotremor menggunakan metode HVSR dengan

bantuan software MATLAB R2010a adalah sebagai berikut:

1. Mengolah data mentah hasil pengukuran mikrotremor menggunakan

software Microsoft Excel 2007.

2. Membuka aplikasi software Microsoft Excel 2007, maka akan muncul:

3. Kemudian pilih menu open untuk membuka file data mikrotremor:

4. Pilih file data SHE,SHN, dan SHZ kemudian klik Open.

55
5. Kemudian menyatukan file SHE,SHN, dan SHZ menjadi satu file

Excel dengan cara copy paste sehingga file akan menjadi

6. Kemudian melakukan pemilihan data (windowing) dengan cara

membuat data mikrotremor menjadi grafik

7. Data mikrotremor yang dipilih adalah data yang tidak mengandung

noise dengan panjang data 25 detik atau 2500 data tiap window karena

setiap 1 detik mempunyai 100 data.

8. Setelah windowing selesai, buat data mikrotremor yang tadinya hanya

pada satu file saja menjadi tiga file sehingga 2 komponen horizontal

56
terpisah dengan komponen vertikal. Simpan file dengan format

EW.xlsx untuk komponen East-West, NS.xlsx untuk komponen North-

South, dan V.xlsx untuk komponen vertikal.

9. Membuka sofware MATLAB R2010a, maka akan muncul:

10. Klik menu open file lalu buka file radix

11. Menganalisis tiap komponen dengan cara FFT menggunakan program

radix.

12. Kemudian klik run, maka pada workspace akan muncul nilai hasil FFT

menggunakan radix.

57
13. Lalu copy nilai hasil FFT semua komponen tersebut dan paste ke

dalam satu file Excel yang baru sehingga akan menjadi

14. Kemudia dilakukan proses penghalusan data (smoothing)

menggunakan Moving Average dengan persmaan

[]= ∑ [ + ]

58
15. Kemdian untuk mendapatkan nilai HVSR dengan menggunakan

persamaan

( [( ) ( ) ])/
= sehingga didapatkan

16. Untuk memperoleh grafik nilai HVSR dilakukan dengan cara ploting

menggunakan software MATLAB R2010a.

17. Copy paste terlebih dahulu nilai HVSR ke dalam satu file Excel yang

berbeda dan simpan dengam format HV.xlsx sehingga dalam satu file

Excel hanya terdapat nilai HVSR saja.

59
18. Dengan ploting menggunakan software MATLAB R2010a maka akan

didapatkan bentuk grafik sebagai berikut:

19. Dari grafik maka akan diketahui nilai amplifikasi dan nilai frekuensi

predominan.

20. Proses ini dilakukan untuk semua hasil pengukuran yang dilakukan di

setiap titik lokasi penelitian.

60
Lampiran 3. Analisis Mikrotremor dengan sofware Sassaray-Geopsy

Langkah – langkah analisis mikrotremor menggunakan metode HVSR

dengan bantuan software Sassaray-Geopsy adalah sebagai berikut:

1. Mengolah data mentah hasil pengukuran mikrotremor menggunakan

software Datapro untuk diubah ke dalam format miniseed (MSD File).

2. Membuka aplikasi software Sesarray-Geopsy, maka akan muncul:

3. Pada kotak kecil Preferences Klik OK, sehingga tampilan software menjadi:

4. Klik import signals, pilih file data SHE,SHN,SHZ kemudian klik Open.

61
5. Kemudian file SHE,SHN,SHZ di blok, klik kanan pilih Table. Untuk

component 1 diganti dengan East, component 2 diganti dengan North,

component 3 diganti dengan Vertical. Untuk Sampling Frequency semua

kolom diganti dengan 100.

6. Kemudian file SHE, SHN, SHZ di blok lagi, klik kanan pilih Grafik,

maka muncul tampilan software seperti di bawah ini:

7. Klik icon H/V yang tertera pada toolbox software, maka akan muncul H/V

toolbox.

62
8. Pada kotak H/V toolbox terdapat pilihan Time, Processing, dan Output.

Untuk Time pilih pengaturan length windows 25.00 s dan pilih add agar pada

saat melakukan windowing dapat memilih data yang sesuai dengan data yang

digunakan saat analisis menggunakan MATLAB R2010a. Untuk Processing

pilih smoothing type Konno & Ohmachi sedang utuk Horizontal component

pilih Square average. Untuk Output atur Frequency sampling 0.50 Hz

sampai 15.00 Hz dengan Number of samples 375. Kemudian klik start, maka

akan muncul grafik H/V Result seperti di bawah ini:

9. Klik kanan pilih Properties, Layer, Action, lalu pilih Save.

63
10. Untuk memperoleh data frekuensi dan amplifikasi dari grafik, buka software

Microsoft Excel, kemudian buka file hasil pengolahan software Sesarray-

Geopsy.

11. Klik Next, pilih Space, lalu Finish, maka akan ditampilkan data nilai

frekuensi dan nilai amplifikasi.

12. Proses ini dilakukan untuk semua hasil pengukuran yang dilakukan di setiap

titik lokasi penelitian.

64
Lampiran 4. Pembahasan dan Grafik hasil analisis data mikrotremor

Hasil nilai dari frekuensi predominan (f0) dan faktor amplifikasi (A)

terhadap indeks kerentanan seismik (Kg) yang dianalisis menggunakan MATLAB

R2010a memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan nilai hasil analisis

menggunakan Sessaray-Geopsy. Dari hasil analisis kedua metode tersebut,

diperoleh untuk frekuensi predominan (f0) sebesar 0,993 , untuk faktor

amplifikasi (A) sebesar 0,961 , dan untuk indeks kerentanan seismik (Kg)

sebesar 0,918. Perbedaan hasil ini dikarenakan metode yang digunakan saat

melakukan penghalusan data (smoothing) berbeda. Analisis pada MATLAB

R2010a menggunakan metode Moving Average sedangankan analisis pada

Sessaray-Geopsy menggunakan metode Konno-Ohmachi.

Perbedaan dari kedua metode penghalusan data tersebut adalah pada

persamaan yang digunakan. Selain itu, perbedaan hasil penelitian dikarenakan

oleh data yang digunakan pada saat windowing tidak sepenuhnya sama, ada

kemungkinan terdapat beberapa data yang berbeda sehingga mengakibatkan

hasilnya juga berbeda. Untuk mengetahui perbedaan hasil analisis data

mikrotremor menggunakan MATLAB R2010a dengan Sassaray-Geopsy, maka

dibuat grafik frekuensi predominan (f0), faktor amplifikasi (A) yang ditunjukkan

pada gambar berikut.

65
1

66
5

67
9

10

11

12

68
13

14

15

16

69
17

18

19

20

70
21

22

23

24

71
25

26

27

28

72
29

30

31

32

73
33

34

35

36

74
37

38

75
Lampiran 5. Program FFT MATLAB R2010a radix-64

X=xlsread('EW.xlsx');
x=X(1:length(X));
M=length(x);
A=2500;

%window ke 1
D=x(((0*A)+1):(1*A));
E=length(D);
r=64;
k=0:E/r-1;
l=0:E-1;
z1=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r)/E)*D(r*k+1);
z2=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+1)/E)*D(r*k+2);
z3=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+2)/E)*D(r*k+3);
z4=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+3)/E)*D(r*k+4);
z5=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+4)/E)*D(r*k+5);
z6=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+5)/E)*D(r*k+6);
z7=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+6)/E)*D(r*k+7);
z8=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+7)/E)*D(r*k+8);
z9=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+8)/E)*D(r*k+9);
z10=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+9)/E)*D(r*k+10);
z11=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+10)/E)*D(r*k+11);
z12=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+11)/E)*D(r*k+12);
z13=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+12)/E)*D(r*k+13);
z14=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+13)/E)*D(r*k+14);
z15=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+14)/E)*D(r*k+15);
z16=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+15)/E)*D(r*k+16);
z17=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+16)/E)*D(r*k+17);
z18=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+17)/E)*D(r*k+18);
z19=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+18)/E)*D(r*k+19);
z20=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+19)/E)*D(r*k+20);
z21=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+20)/E)*D(r*k+21);
z22=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+21)/E)*D(r*k+22);
z23=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+22)/E)*D(r*k+23);
z24=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+23)/E)*D(r*k+24);
z25=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+24)/E)*D(r*k+25);
z26=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+25)/E)*D(r*k+26);
z27=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+26)/E)*D(r*k+27);
z28=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+27)/E)*D(r*k+28);
z29=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+28)/E)*D(r*k+29);
z30=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+29)/E)*D(r*k+30);
z31=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+30)/E)*D(r*k+31);
z32=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+31)/E)*D(r*k+32);
z33=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+32)/E)*D(r*k+33);
z34=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+33)/E)*D(r*k+34);
z35=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+34)/E)*D(r*k+35);
z36=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+35)/E)*D(r*k+36);
z37=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+36)/E)*D(r*k+37);
z38=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+37)/E)*D(r*k+38);
z39=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+38)/E)*D(r*k+39);
z40=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+39)/E)*D(r*k+40);
z41=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+40)/E)*D(r*k+41);
z42=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+41)/E)*D(r*k+42);
z43=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+42)/E)*D(r*k+43);
z44=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+43)/E)*D(r*k+44);

76
z45=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+44)/E)*D(r*k+45);
z46=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+45)/E)*D(r*k+46);
z47=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+46)/E)*D(r*k+47);
z48=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+47)/E)*D(r*k+48);
z49=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+48)/E)*D(r*k+49);
z50=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+49)/E)*D(r*k+50);
z51=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+50)/E)*D(r*k+51);
z52=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+51)/E)*D(r*k+52);
z53=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+52)/E)*D(r*k+53);
z54=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+53)/E)*D(r*k+54);
z55=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+54)/E)*D(r*k+55);
z56=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+55)/E)*D(r*k+56);
z57=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+56)/E)*D(r*k+57);
z58=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+57)/E)*D(r*k+58);
z59=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+58)/E)*D(r*k+59);
z60=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+59)/E)*D(r*k+60);
z61=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+60)/E)*D(r*k+61);
z62=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+61)/E)*D(r*k+62);
z63=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+62)/E)*D(r*k+63);
z64=exp(-1j*2*pi*l'*(k*r+63)/E)*D(r*k+64);

p1=z1+z2+z3+z4+z5+z6+z7+z8+z9+z10+z11+z12+z13+z14+z15+z16+z17+z18+z19+z20+z21+z
22+z23+z24+z25+z26+z27+z28+z29+z30+z31+z32+z33+z34+z35+z36+z37+z38+z39+z40+z41
+z42+z43+z44+z45+z46+z47+z48+z49+z50+z51+z52+z53+z54+z55+z56+z57+z58+z59+z60+z6
1+z62+z63+z64;
c1=abs(p1)/E;

%window ke 2
...........
%window ke 3
...........
%window ke n
.........
total = c1+c2+c3+…+c(n)
rata-rata = total/jumlah window

Program untuk ploting nilai HVSR


Y=xlsread('HV.xlsx');
X=Y(1:length(Y));
A=2500;
dt=1/100;
T=A*dt;
p=1:A;
f=p*1/T;
plot(f(1:375),X(1:375))
xlabel('frekuensi');
ylabel('amplitudo');

77
Lampiran 6. Pemetaan

1. Buka software Surfer 10, dengan tampilan awal sebagai berikut:

2. Buka icon New Worksheet pada bagian pojok kiri atas, kemudian masukkan

koordinat bujur pada kolom A, koordinat lintang pada kolom B, dan besarnya

nilai indeks kerentanan seismik pada kolom c. Lalu klik Save dengan format

tipe bln.

3. Buka icon New Plot seperti pada tampilan awal. Kemudian klik icon Grid

pada barisan toolbar, pilih data titik yang telah disimpan dalam format bln.

78
4. Cari data dengan format bln yang telah disimpan. Kemudian klik Open lalu

Ok.

5. Pilih icon Map pada barisan toolbar, pilih New kemudian klik Image Map

untuk pemetaan, pilih file kemudian Ok.

6. Kemudian akan muncul hasil pemetaan seperti berikut.

79
7. Cara memberi warna ada di samping kiri bawah pada kolom General.

Kemudian pilih warna, misalnya pola warna ChromaDepth.

8. Masukkan data titik pengukuran dengan cara klik icon New Post Map pada

barisan toolbar, lalu buka data titik yang telah tersimpan dalam format bln.

9. Untuk memasukkan peta Kulon Progo, menggunakan icon New Base Map

pada barisan toolbar. Cari file peta yang akan digunakan kemudian mengatur

koordinat yang diinginkan pada kolom Scale dan kolom Limit maka akan

muncul seperti berikut.

80
81
Lampiran 7. Pengolahan data dengan FFT radix-2

= 0, 1, 2, … , −1

= 0, 1, 2, … , −1

(0) (0)
(1) (1)
(2) (2)
(3) (3)
= =
(4) (4)
(5) (5)
(6) (6)
(7) (7)

(0) 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1


(1) 1.0000 0.7071-0.7071i 0.0000-1.0000i -0.7071-0.7071i -1.0000-0.0000i -0.7071+0.7071i -0.0000+1.0000i 0.7071+0.7071i 2
(2) 1.0000 0.0000-1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 1.0000+0.0000i 0.0000-1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 3
(3) = 1.0000 -0.7071-0.7071i -0.0000+1.0000i 0.7071-0.7071i -1.0000-0.0000i 0.7071+0.7071i 0.0000-1.0000i -0.7071+0.7071i 4
=
(4) 1.0000 -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i 5
(5) 1.0000 -0.7071+0.7071i -0.0000-1.0000i 0.7071+0.7071i 1.0000-0.0000i 0.7071-0.7071i -0.0000+1.0000i -0.7071-0.7071i 6
(6) 1.0000 -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i 0.0000-1.0000i 1.0000+0.0000i -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000-1.0000i 7
(7) 1.0000 0.7071+0.7071i -0.0000+1.0000i -0.7071+0.7071i -1.0000-0.0000i -0.7071-0.7071i -0.0000-1.0000i 0.7071-0.7071i 8

82
(0) 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1
(1) 1.0000 0.0000-1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 0.7071-0.7071i -0.7071-0.7071i -0.7071+0.7071i 0.7071+0.7071i 2
(2) 1.0000 -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i 3
(3) 1.0000 -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i 0.0000-1.0000i -0.7071-0.7071i 0.7071-0.7071i 0.7071+0.7071i -0.7071+0.7071i 4
= =
(4) 1.0000 1.0000+0.0000i 1.0000+0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i 5
(5) 1.0000 -0.0000-1.0000i 1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i -0.7071+0.7071i 0.7071+0.7071i 0.7071-0.7071i -0.7071-0.7071i 6
(6) 1.0000 -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i -0.0000-1.0000i 7
(7) 1.0000 -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000-1.0000i 0.7071+0.7071i -0.7071+0.7071i -0.7071-0.7071i 0.7071-0.7071i 8

(0) 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000


(1) 1.0000 0.0000-1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 0.7071-0.7071i -0.7071-0.7071i -0.7071+0.7071i 0.7071+0.7071i
(2) 1.0000 -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i 1 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i 2
(3) 1.0000 -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i 0.0000-1.0000i 3 -0.7071-0.7071i 0.7071-0.7071i 0.7071+0.7071i -0.7071+0.7071i 4
= +
(4) 1.0000 1.0000+0.0000i 1.0000+0.0000i 1.0000+0.0000i 5 -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i -1.0000-0.0000i 6
(5) 1.0000 -0.0000-1.0000i 1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 7 -0.7071+0.7071i 0.7071+0.7071i 0.7071-0.7071i -0.7071-0.7071i 8
(6) 1.0000 -1.0000-0.0000i 1.0000+0.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000+1.0000i 0.0000-1.0000i -0.0000+1.0000i -0.0000-1.0000i
(7) 1.0000 -0.0000+1.0000i -1.0000-0.0000i -0.0000-1.0000i 0.7071+0.7071i -0.7071+0.7071i -0.7071-0.7071i 0.7071-0.7071i

(0) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


36.0000 -4.0000 + -4.0000 + -4.0000 + -4.0000 - -4.0000 - -4.0000 - -4.0000 -
9.6569i 4.0000i 1.6569i 0.0000i 1.6569i 4.0000i 9.6569i

83
Lampiran 8. Dokumentasi Proses Pengambilan Data.

85

Anda mungkin juga menyukai