Anda di halaman 1dari 9

Dampak penundaan interval dosis misoprostol untuk

induksi persalinan: sebuah penelitian retrospektif

Elizabeth H. Harman Crowell, Alexander M. Crowell dan Regan N. Theiler

Abstrak

Latar belakang: Induksi persalinan terjadi lebih dari 22% dari seluruh kehamilan
di Amerika Serikat. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
misoprostol lebih efektif untuk induksi dibandingkan oksitosin atau dinoprostone
saja. World Health Organization merekomendasikan misoprostol vaginal 25 mcg
tiap 6 jam dan American Congress of Obstetricians and Gynecologist
merekomendasikan misoprostol vaginal 25 mcg tiap tiga hingga 6 jam. Meskipun
ruten pemberian dan dosis misoprostol telah dipelajari secara luas, hanya sedikit
yang diketahui mengenai interval dosis optimal dari pemberian misoprostol
vaginal.

Metode: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan efek
penundaan pemberian dosis misoprostol vaginal, yang ditetapkan sebagai interval
lebih dari 4.5 jam pada saat persalinan normal. Hipotesis kami adalah bahwa
interval dosis rutin 4 jam memperpendek waktu untuk persalinan normal
dibandingkan penundaan pemberian, bahkan ketika disesuaikan dengan waktu
penundaan. Tujuan kedua meliputi efek dari penundaan pemberian misoprostol
vaginal untuk angka kejadian operasi sesar, angka persalinan normal operatif,
hasil maternal dan neonatal.

Kami melakukan tinjauan grafik retrospektif dari 323 induksi persalinan pada satu
institusi akademik. Hasil akhir primer adalah proporsi pasien yang mengalami
persalinan vaginal dalam waktu 24 jam. Kelompok yang menerima seluruh dosis
misoprostol dalam jeda pemberian 4.5 jam (Kelompok Interval Pemberian Dosis
Rutin) dibandingkan dengan kelompok dengan deviasi dosis (Kelompok Interval
Penundaan Pemberian).
Hasil: Dari 133 pasien yang diikutsertakan, 64 subjek memperoleh dosis interval
rutin dan 69 subjek memperoleh dosis interval tertunda. Angka persalinan normal
dalam 24 jam adalah 56% (36/64) dan 20% (14/64) (P<10-4). Angka persalinan
pervaginam spontan adalah 86% (55/64) vs 75% (52/69) (P=.13). Kurva Kaplan
Meier menunjukkan perbedaan waktu untuk persalinan pervaginam antar
kelompok yang signifikan, dengan rasio Risiko Proporsional Cox untuk interval
pemberian rutin 1.73 (P<10-5) unadjusted dan 1.34 (P=.01) adjusted untuk
penundaan pemberian.

Kesimpulan: Penelitian retrospektif ini menunjukkan adanya peningkatan waktu


persalinan pervaginam ketika pemberian misoprostol vaginal ditunda hingga lebih
dari 4.5 jam.

Kata kunci: Operasi sesar, Induksi, Misoprostol, Multiparitas, Nulliparitas,


Persalinan pervaginam

Latar belakang

Induksi persalinan terjadi lebih dari 22% dari seluruh kehamilan di Amerika
Serikat. Jumlah ini bertambah sesuai meningkatnya insidensi obesitas, usia
kehamilan lanjut, dan komorbiditas maternal. Sejarahnya, oksitosin, stimulasi
puting, dan amniotomi telah digunakan untuk induksi persalinan, tetapi baru-baru
ini pematangan serviks ditemukan dapat mempersingkat waktu untuk persalinan
pervaginam. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
misoprostol lebih efektif daripada oksitosin atau dinoprostone saja.

Misoprostol dapat diberikan baik secara vagina atau oral untuk pematangan
serviks. Khan et al menemukan bahwa pemberian misoprostol secara oral
memiliki waktu onset yang lebih pendek dan waktu paruh yang lebih pendek
daripada misoprostol vagina, tetapi misoprostol vaginal ditemukan menyebabkan
efek samping yang lebih sedikit seperti mual, muntah, dan kram.

Penelitian lain yang terfokus pada dosis optimal misoprostol, menunjukkan bahwa
persalinan dipercepat dengan pemberian dosis misoprostol vaginal 50 mcg setiap
4 jam. Namun, sebuah tinjauan Cochrane menyimpulkan bahwa risiko hasil janin
yang merugikan seperti takisistol, perawatann di unit perawatan intensif neonatal,
dan cairan amnion bercampur mekonium melebihi manfaat pada dosis yang lebih
tinggi. Meskipun rute pemberian dan dosis telah dipelajari dengan baik, hanya
sedikit yang diketahui mengenai interval dosis misoprostol yang optimal.

World Health Organization merekomendasikan misoprostol vagina 25mcg tiap


enam jam dan American Congress of Obstetricians and Gynecologist
merekomendasikan 25 mcg misoprostol vagina tiap tiga hingga enam jam.
Namun, hanya sedikit literatur tersedia yang mendukung interval pemberian ini.
Tujuan kami adalah untuk menentukan efek interval pemberian misoprostol
vaginal tepat waktu pada persalinan pervaginam dan untuk menguji korelasi klinis
dari interval penundaan pemberian. Hipotesis kami adalah bahwa interval
pemberian misoprostol vagina 4 jam memperpendek waktu untuk persalinan
pervaginam dibandingkan dengan interval pemberian yang lebih lama.

Metode

Kami melakukan peninjauan grafik retrospektif dari semua induksi persalinan di


Dartmouth-Hitchcock Medical Centre dari April 2013 hingga Desember 2015.
Penelitian ini telah disetujui oleh Pusat Perguruan Tinggi Dartmouth untuk
Perlindungan Subjek Manusia (Institutional Review Board). Subjek yang
disertakan adalah perempuan yang menjalani induksi persalinan di pusat kami
dengan usia kehamilan lebih dari 30 minggu dengan membran yang utuh. Mereka
harus menerima dua atau lebih dosis misoprostol vagina, dan tidak boleh
menerima misoprostol oral atau dinoprostone vagina.

Hasil utama adalah proporsi pasien yang mencapai persalinan pervaginam dalam
waktu kurang dari 24 jam dari inisiasi induksi dengan misoprostol vaginal.
Perhitungan kekuatan dilakukan berdasarkan tingkat persalinan pervaginam yang
dilaporkan sebelumnya 66% dalam waktu 24 jam setelah induksi persalinan
dengan misoprostol vaginal 25mcg sebagaimana yang ditentukan oleh Elati et al.
Reduksi persalinan pervaginam dalam 24 jam dari 66 menjadi 41% (25 poin
persentase) dianggap signifikan secara klinis. Perhitungan daya yang sesuai
(OpenEpi, Versi 3) dengan daya 80% dan interval kepercayaan 95%
membutuhkan ukuran sampel total 134 wanita. Data dikumpulkan secara
retrospektif dalam urutan kronologis terbalik dari Desember 2015 hingga 134
wanita memenuhi kriteria inklusi. Dalam analisis akhir 133 wanita diikutsertakan
karena satu pasien telah menerima misoprostol 3 jam setelah dosis pertama,
dimana hal tersebut telah melanggar protokol.

Data ringkasan pengiriman diimpor dari catatan kesehatan elektronik (EHR), dan
unsur-unsurnya dikonfirmasi oleh tinjauan manual. Data obat diekstraksi dari
catatan pemberian obat dan interval dosis misoprostol dihitung secara manual.
Catatan kemajuan dan ringkasan pemberian ditinjau untuk menentukan alasan
penundaan pengobatan, dan untuk meninjau rangkaian persalinan. Data kemudian
ditempatkan ke dalam basis data REDCap.

Di institusi kami misoprostol vaginal dipesan untuk pemberian tiap 4 jam. Kami
mengizinkan tambahan 30 menit buffer untuk kelompok dosis rutin. Wanita yang
menerima semua dosis misoprostol dalam interval 4,5 jam, kelompok dosis rutin,
dibandingkan dengan wanita yang pemberian dosisnya ditunda melebihi 4,5 jam.
Variabel kontinu dibandingkan dengan Student T-test berpasangan dan variabel
ordinal dibandingkan dengan Chi Squared Tests atau Fischer's Exact Tests
berdasarkan ukuran kelompok. Waktu untuk persalinan pervaginam dibandingkan
dengan menggunakan kurva Kaplan Meier yang dibangun dengan menggunakan
Paket Lifeline Python v0.13 [9]. Persalinan secara sesar dikeluarkan dari kurva
Kaplan Meier pada saat kejadian. Interval kepercayaan ditentukan oleh estimator
Kaplan Meier, dan rasio risiko maupun tingkat signifikansi untuk masing-masing
kovariat ditentukan dengan Cox Proportional Hazard Model.

Hasil

Dari 323 grafik yang ditinjau, 134 pasien memenuhi kriteria inklusi asli. Enam
puluh empat subjek menerima dosis rutin dan 70 subjek menerima dosis interval
tertunda (Gambar 1). Outlier dieksklusi karena salah satu pasien salah
dikategorikan dalam kelompok dosis interval tertunda ketika dia menerima dosis
kedua hanya 3 jam setelah dosis pertama. Total kelompok yang dianalisis adalah
133 pasien. Kelompok-kelompok itu serupa, dengan perbedaan yang signifikan
hanya dalam paritas (Tabel 1). Lima puluh persen dari pasien dalam kelompok
takaran interval rutin memiliki riwayat persalinan pervaginam sebelumnya, yang
secara signifikan lebih tinggi dari 32% pada kelompok pemberian interval
tertunda (P=0,036). Indikasi induksi dan skor Bishop awal tidak berbeda secara
signifikan antar kedua kelompok tersebut.
Angka persalinan pervaginam adalah 56% (n = 36/64) dan 20% (n = 14/69) dalam
24 jam dalam kelompok dosis rutin vs kelompok interval dosis tertunda, masing-
masing (P<10−4). Ketika dikelompokkan berdasarkan pasien yang hanya
menerima 2-3 dosis misoprostol, angka persalinan pervaginam adalah 61%
(n=36/59) dan 29% (n=12/41) dalam 24 jam (P=0,004). Angka persalinan
pervaginam spontan kumulatif tidak berbeda secara signifikan antar kelompok
pemberian rutin vs tertunda, 86% (n=55/64) vs 75% (n=52/69) dengan P=0,13
(Tabel 2), meskipun penelitian ini tidak diberdayakan untuk mendeteksi adanya
perbedaan dalam hasil sekunder. Pemberian oksitosin serupa, dengan 71% pasien
dalam setiap kelompok mendapatkan infus oksitosin. Tidak ada perbedaan hasil
yang signifikan untuk neonatus atau ibu yang ditemukan ketika membandingkan
kedua kelompok (Tabel 2).

Kelompok interval pemberian tertunda membutuhkan dosis misoprostol yang


lebih banyak, rata-rata 3,41 vs 2,38 (P<10−4). Alasan yang dikutip untuk
penundaan pemberian termasuk rasio perawat terhadap pasien yang tidak
memadai, kontraksi yang sering, pilihan pasien, takisistol, dan penelusuran
jantung janin yang tidak meyakinkan (File tambahan 1: Tabel S1). Hanya satu
pasien yang tercatat mengalami takisistol dengan penelusuran yang tidak
meyakinkan, dan pasien tersebut berada dalam kelompok dosis tertunda. Rincian
interval dosis tambahan ditampilkan dalam File tambahan 2: Gambar S1.

Kurva Kaplan Meier menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik


dalam waktu persalinan pervaginam antar kedua kelompok, dengan rasio Cox
Proportional Hazard yang disesuaikan dan tidak disesuaikan yaitu 1,73 (P<10−5)
dan 1,34 (P=0,01) untuk waktu persalinan pervaginam pada kelompok dosis rutin
(Tabel 3). Kurva yang disesuaikan mengurangi waktu yang disebabkan oleh
keterlambatan dosis dari waktu persalinan pervaginam (Gambar 2a). Kami
selanjutnya mengontrol paritas dengan menunjukkan bahwa rasio risiko Cox
untuk pemberian tertunda adalah lebih dari 1 dari masing-masing Kurva Kaplan
Meier yang disesuaikan dan yang tidak disesuaikan (Gambar 2b, Tabel 3).

Komentar

Studi retrospektif ini menunjukkan peningkatan waktu persalinan pervaginam


ketika dosis misoprostol vagina tertunda hingga lebih dari 4,5 jam. Hal ini
ditunjukkan tidak hanya oleh hasil primer dari 56 dan 20% angka persalinan
spontan dalam 24 jam (P<10−4) dalam kelompok dosis rutin vs kelompok interval
dosis tertunda, tetapi juga dalam sub-analisis pasien yang hanya menerima dua
atau tiga dosis misoprostol. Stratifikasi berdasarkan jumlah dosis misoprostol
yang diperoleh memungkinkan kami untuk mengontrol penundaan waktu
persalinan pervaginam yang disebabkan oleh periode non-intervensi antar setiap
dosis misoprostol, dan perbedaan antara kedua kelompok tetap signifikan secara
statistik. Meskipun interval dosis belum pernah diteliti sebelumnya dalam induksi
persalinan, Society of Family Planning juga menyimpulkan bahwa interval
pemberian misoprostol vaginal pada aborsi trimester kedua sama pentingnya
dengan dosis persalinan tepat waktu.

Kurva Kaplan Meier yang disesuaikan dengan penundaan menunjukkan bahwa


penundaan waktu persalinan pervaginam lebih besar daripada yang dapat
disebabkan oleh penundaan pemberian obat saja. Skor Bishop awal pada populasi
pasien ini jauh lebih rendah dari ambang yang ditetapkan sebelumnya sebagai
serviks yang baik, >8 atau lebih konservatif >5, dan tidak berbeda secara
signifikan antara kelompok-kelompok penelitian [11, 12]. Kelompok interval
tertunda yang lebih signifikan terdiri dari pasien multipara, yang kami kontrol
dengan stratifikasi berdasarkan paritas, Gambar 2b. Ini menunjukkan bahwa
interval pemberian 4 jam misoprostol vaginal memulai rangkaian persalinan lebih
efektif dibandingkan menunda interval pemberian. Hal ini sesuai dengan
penelitian oleh Khan et al. yang menjelaskan konsentrasi puncak dan waktu paruh
misoprostol vaginal. Pasien yang memperoleh interval pemberian misoprostol
vaginal 4 jam tidak hanya memiliki kemungkinan mengalami persalinan
pervaginam dalam 24 jam yang lebih tinggi, namun juga waktu persalinan yang
lebih singkat.
Penelitian ini unik karena kami menilai interval pemberian misoprostol,
dibandingkan rute atau dosis pemberian. Penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan. Dengan melakukan penelitian kohort retrospektif, kita tidak mampu
mengontrol skor Bishop awal, paritas, dan faktor-faktor lain yang diketahui
mempengaruhi waktu persalinan pervaginam. Meskipun penelitian melibatkan
berbagai pasien, homogenitas pada institusi akademik kami dengan 98.5% pasien
Kaukasian menjadikan penelitian ini kurang dapat diterapkan pada populasi yang
lebih beragam.

Angka kelahiran pervaginam dalam 24 jam lebih rendah dalam penelitian kami,
dibandingkan dengan penelitian oleh Elati. Hal ini mungkin akibat dari dosis
misoprostol vaginal 25 mcg yang diteliti dan eksklusi pasien yang hanya
memperoleh satu dosis misoprostol vaginal dalam kohort kami. Telah terlihat
bahwa induksi dengan dosis misoprostol vaginal 50 mcg memiliki angka
persalinan dalam 24 jam tertinggi.

Kami menyajikan bukti awal bahwa kepatuhan terhadap dosis misoprostol vagina
tiap 4 jam mengakibatkan peningkatan angka persalinan pervaginam dalam 24
jam, dan bahwa dosis yang tertunda memerlukan dosis misoprostol yang lebih
banyak dan waktu pemberian yang lebih lama. Harus dilakukan upaya untuk
mematuhi metode induksi persalinan yang benar untuk meningkatkan hasil bagi
ibu dan anak. Karena penelitian kami tidak didukung untuk mendeteksi hasil ibu
dan janin yang merugikan atau angka kelahiran operatif, diperlukan penelitian
acak terkontrol untuk menentukan regiemen dosis optimal untuk induksi
persalinan menggunakan misoprostol vaginal.

Anda mungkin juga menyukai