Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Rhinitis Alergi

Nama : Haryaty Kaseh

NIM : 112017212

KEPANITRAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RS DR. ESNAWAN ANATRIKSA HALIM PERDANA KUSUMA
PERIODE 14 JANUARI 2019 – 16 FEBRUARI 2019
Pendahuluan

Rinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Rinitis alergi merupakan suatu penyakit

inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang

sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-

mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut. Gejala rinitis alergi berupa

bersin (5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan

palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus,

dan rasa lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50%

penduduk. Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan aktifitas fisik,

maupun sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat. Rinitis alergi bukanlah penyakit yang

fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas

hidup yang bermakna pada penderitanya. Penyakit ini mengganggu kehidupan sehari-hari,

selain penyembuhannya berbiaya relatif mahal juga bersifat rekuren, kronis, progresif,

reversibel pada tahap awalnya, serta irreversibel pada tahap lanjut. Berdasarkan studi

epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara konstan

meningkat dalam dekade terakhir. Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80%

rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang

mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi

kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya

yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak

segera diatasi karena telah menjadi kronis


Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah; pangkal hidung
(bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Dinding medial hidung disebut sebagai
septum nasi. 1

Septum di bentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah

1. lamina prependikularis
2. vomer
3. krista nasalis os maksila
4. krista nasalis os palatina.

Bagian tulang rawannya adalah

1. kartilago septum (lamina kuadrangularis)


2. kolumela.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. 1
Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus 8
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka
media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan
konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribosa=saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.( lihat gambar 1) 1

Gambar 1: Anatomi Hidung

Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humudifikasi, penyeimbangan dalam penukaran tekanan dan mekanisme imunologik
local2
b. Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu;
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
d. Fungsi statistic dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas2
e. Reflex nasal.

Vaskularisasi Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri
etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis
anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri
etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina
terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri
septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor
dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis
superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.(lihat pada gambar 2) 1,2

Gambar 2: Vaskularisasi Nasal


Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus
(N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatina. Gangglion sfenopalatina, selain memberikan
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus
petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (lihat pada gambar
3) 1,2

Gambar 3: Persarafan Nasal

Pengertian Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak
dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Epidemiologi

Prevalensi rinitis alergi diberbagai negara berkisar antara 3%-19%. Angka kejadiannrinitis
alergi di beberapa negara seperti Amerika Utara sebesar 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%,
Thailand sekitar 20% dan di Jepang sekitar 10%. Di Indonesia sendiri sebanyak 10-26%
pengunjung poliklinik THT di beberapa rumah sakit besar datang dengan keluhan rinitis alergi.

Rinitis alergi yang muncul pada usia di bawah 20 tahun ditemukan sebanyak 80% dari
keseluruhan kasus. Gejala rinitis alergika muncul 1 dari 5 anak pada usia 2 sampai 3 tahun dan
sekitar 40% pada anak usia 6 tahun. Sebanyak 30% pasien akan menderita rinitis pada usia
remaja. Walaupun semua kelompok usia dapat terkena rinitis alergi, tetapi rinitis alergi ini
biasanya lebih sering muncul pada usia kanak-kanak awal setelah terpapar ataut ersensitisasi
alergen tertentu. Rinitis alergi sering terjadi pertama kali pada kelompok anak-anak antara usia
5-10 tahun dengan puncaknya pada usia remaja antara 10 dan 20 tahun dan cenderung menurun
sesuai dengan pertambahan usia. Rinitis alergi biasanya didapat pada penderita atopi. Keluarga
atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada non atopi. Apabila kedua orang tua atopi,
maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%.

Faktor Resiko

a. Adanya riwayat atopi.


b. Genetik
b. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk
tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
c. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi. 2

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi
alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-
reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama
dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel
penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek
peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat
(RAFC). 1,2
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel
goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea.
Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain itu histamin
merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper
responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi. 1,2

Gejala Klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala
lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda
alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani
atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk
suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.7

Klasifikasi
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma),
2001, rhinitis alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya menjadi:
a. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
b. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari4 minggu. 3

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas. 3

Pemeriksaan Penunjang
- Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri2

- Invivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET
dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen makanan, uji kulit
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 2

Tatalaksana

- Antihistamin
Pemberian antihistamin oral dosis tunggal merupakan first line terapi untuk kasus rinitis
alergi ringan. Gejala – gejala alergi (gatal,bersin, pilek dan hidung tersumbat)
disebabkan interaksi antara mediator dengan saraf, pembuluh darah dan kelenjar yang
berada di rongga hidung. Histamin melalui interaksinya dengan reseptor H1
mempunyai peran dalam mediator inflamasi yang terlibat dalam proses ini. Aktivitas
antihistamin disebabkan peran antagonis hiatamin pada reseptornya. Antihistamin
generasi pertama efektif menekan respon alergi tetapi kemampuannya menembus
sawar darah otak menimbulkan efek samping sentral yang dibagi dalam 3 kategori yaitu
depresif, stimulatori dan neuropsikiatri. Juga terdapat efek antikolinergik perifer seperti
mata kabur, dilatasi pupil, mulut kering dan gangguan berkemih. Sebagian besar
antihistamin generasi kedua tidak mampu menembus sawar darah otak karena
perubahan sifat lipophobisitis dan elektrostatis tetapi pada dosis tinggi terdapat efek
sedasi. Fexofenadine antihistamin generasi terbaru merupakan sediaan tanpa efek
sedasi walaupun dalam dosis tinggi direkomendasikan pemakiannya oleh Royal Air
Force pada pilot karena tidak ada efek sedasi dan gangguan psikomotor. Terfenadine
dan astemizole penggunaannya terbatas karena dapat menimbulkan aritmia jantung
sehingga dengan alasan keamanan obat tersebut ditarik dari peredaran. 1,4

- Dekongestan.
Dekongestan sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi untuk menghilangkan
keluhan hidung tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif tetapi ada resiko
tachyphilaxis dan rebound phenomen jika pemberiannya dihentikan. Sedangkan
sediaan oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan kenaikan tekanan darah. 4

- Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat
dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan
sebagai profilaksis. 5
Non Medikamentosa

- Operatif
- Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil, dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat. 6
- Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.
Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa
oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah. 6

Prognosis
Pada umumnya prognosis rinitis alergi baik dan dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi
penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu
dalam jangka panjang. Dan prognosisnua bisa menjadi buruk apabila sudah terjadi komplikasi.
Kesimpulan
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut
Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit
binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa
makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan,
alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan allergen, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada
pasien.
Daftar Pustaka

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. H.118 – 22, 128 –
33.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan.
Edisi Keenam, Jakarta: BP FKUI; 2009. h. 127-31.
3. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2014
4. Lalwani, AK. Non Allergic and Allergic Rhinitis. Dalam Current Diagnose and
Treatment in Otolaryngology 2nd Edition. New York: McGraw Hill; 2005.
5. Li J, Zhang Y. Zhang L. Discovering suspectibility genes for allergic rhinitis and
allergic using genome-wide association study strategy. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2015; 15(1): 33-40.
6. Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of
otolaryngology). Ed 6. Jakarta: EGC; 1997
7. Rondon C. Fernandez J. Canto G. Blanca M. Local allergic rhinitis: concept, clinical
manifestations, and diagnostic approach. Updated on 2010. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20945601.

Anda mungkin juga menyukai