Bab 1 CKD Dan DM

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang

abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif

dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit

ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan

transplantasi ginjal. Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan

bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular

dan diabetes). 1

Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang

abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2

GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney

disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat

jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti

misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal

resesif.3,4

Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya

data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi

ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium

lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini

dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau

1
pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut.

Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan

adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal,

sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal

menjadi 30% dari nilai normal.2

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.
Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah
8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada
urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat
besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh
dokter spesialis/ subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.
Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha
penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. CHRONIC KIDNEY DISEASES

2.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea

dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). 5


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan

laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada

penyakit gagal ginjal kronik.

3
Kriteria penyakit ginjal kronik: 5

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

- Kelainan patologis

- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit

ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini

meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,

diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara –

negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta

penduduk pertahun.

2.3 Etiologi

Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :

4
1. Kelainan parenkim ginjal

 Penyakit ginjal primer

o Glomerulonefritis

o Pielonefritis

o Ginjal polikistik

o TBC ginjal

 Penyakit ginjal sekunder

o Nefritis lupus

o Nefropati analgesic

o Amiloidosis ginjal

2. Penyakit ginjal obstruktif

 Pembesaran prostat batu

 Batu saluran kencing, dll.

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90

5
atau

2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89

ringan

3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59

sedang

4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung

dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :5


LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor ( contoh )

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2

diabetes

Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi

diabetes sistemik, obat, neoplasma)

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah

besar, hipertensi, mikroangiopathi)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,

batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Rejeksi kronik

6
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

2.5 Faktor Resiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal

ginjal akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social

dan lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,

dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan

penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan

bahan kimia dan lingkungan tertentu.6

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang

terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih

tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

7
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan

ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih

utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan

hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,

keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal

Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan

aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,

nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. 5

Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : 7

- Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan

penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses

pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan

jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar

hematokrit darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa

lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan

saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa

paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari

menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi

eritropoiesis

8
- Sesak nafas
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi

ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi

iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang

terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen

menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah

menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron

dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air  volume

ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan berlebihan 

ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH  peningkatan

tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis 

peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas

- Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat

penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai

dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis

asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi

amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat,

kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan

oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35

dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat

menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan

lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan

9
kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi

karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

- Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga

menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di

aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi

angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi

angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga

meningkatkan tekanan darah.


- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak

bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di

dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan

menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan

terlihat membengkak, meradang dan nyeri

- Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran

hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium

pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan

penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang

disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi

10
natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan

gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.

- Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat

sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika

kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk

membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang

terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut

menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

- Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.

Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid

sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi

demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat

konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat

reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari

tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat

meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak

dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat.

Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di

plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH

tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini,

kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih

11
banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah

hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder.

Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di

banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga

PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.

Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan

dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini

merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi

penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di

usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia

- Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma

meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel

ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.

Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan

peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan

berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari

kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka

dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya

refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan

mental.

- Proteinuria

12
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari

kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.

Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang

melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan

permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.

Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan

immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan

proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang

disebu dengan sindrom nefrotik.

- Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari

uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal

sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin

dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang

mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus

ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala

klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus

gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor

uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada

serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan

menyebabkan koma uremikum.

2.7 Gambaran Klinis

13
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia

sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri

dan kelainan kardiovaskular.8

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering

ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal

kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal

perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat

terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh

substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.5

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau

hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /

serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin

serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya

hemolisis dan sebagainya.8

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping

penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang

dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-

hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah

yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,

14
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut

berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.5

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah

masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora

usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau

rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini

akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil

pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari

mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.

Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.

Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam

kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. . Kelainan kulit

15
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan

segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan

bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan

dinamakan urea frost.5

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan

depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat

seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering

dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai

pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar

kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat

kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi

sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada

stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.8 Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan

histopatologis.9

16
 Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

 Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

 Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

 Menentukan strategi terapi rasional

 Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

17
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual,

muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer,

pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, chlorida).5

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan

penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum

dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat

dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah

lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,

hematuri, leukosuria, dan silinder.5

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:5

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing

tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya

18
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami

kerusakan

3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,

klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.9 Penatalaksanaan 5,8

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan

dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

19
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,

memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari

LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera

diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial

50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis

pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak

lebih dari tiga kali dalam seminggu.10

20
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu

pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah

harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran

hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama

(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi

mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu

program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).

Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan

antihipertensi dan antiproteinuria.

21
g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal

yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan

oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat

pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak

22
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,

anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,

yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien

yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang

cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)

dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-

morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,

tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang

jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

2.10 Prognosis

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya

buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan

sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.

23
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat

lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. 11

B. Diabetes Mellitus

2.11 Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin.
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile
diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada
usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.2
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun
1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu
Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes
Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan
satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga
dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-
Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi
insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih
berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan
etiologinya dapat dilihat pada tabel 1.

24
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus Berdasarkan Etiologinya.2

1 Diabetes Mellitus Tipe 1:

Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut

A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)

B. Idiopatik

2 Diabetes Mellitus Tipe 2

Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin

3 Diabetes Mellitus Tipe Lain

A. Defek genetik fungsi sel β :


• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin

C. Penyakit eksokrin pankreas:

• Pankreatitis

• Trauma/Pankreatektomi

• Neoplasma

• Cistic Fibrosis

• Hemokromatosis

25
• Pankreatopati fibro kalkulus

D. Endokrinopati:

1. Akromegali

2. Sindroma Cushing

3. Feokromositoma

4. Hipertiroidisme

E.Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid,


asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon

F. Diabetes karena infeksi

G. Diabetes Imunologi (jarang)

H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,


Huntington, Chorea, Prader Willi

4 Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya


bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

5 Pra-diabetes:

a. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa


Terganggu)
b. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)

26
2.12 Etiologi dan Patofisiologi.1-3

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit


populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun.
Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus
Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe
otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi
terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita


DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya.
Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana
diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel,
yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun
demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam
tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β
yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer
ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.

Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface


Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama

27
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu.
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Autoantibodi terhadap
enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang
baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA
dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor
kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga
autoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa autoantibodi lain yang
sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan
pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat
dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari
sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi
sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α
kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada
penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α
pulau Langerhans.

Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun


pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi
walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi
hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita
DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin.
Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka
akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu
masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan
tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada
penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi
sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita
yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel

28
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme
biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi
insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di
dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer
seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan
penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan
ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons
insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein
transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di
jaringan adiposa.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-
anak populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya


terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak
dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.


Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang
merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang


berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi

29
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai
akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul


gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab
itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase


pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada
penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin.

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel

Tabel 2. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mula muncul Umumnya masa kanak- Pada usia tua, umumnya >
kanak dan remaja, 40 tahun
walaupun ada juga pada

30
masa dewasa < 40 tahun

Keadaan klinis saat Berat Ringan


diagnosis

Kadar insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal

Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal

Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, Diet, olahraga,


disarankan olahraga hipoglikemik oral

c. Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes Melitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Melitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua.

Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih


sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap
bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan
lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.

d. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada
diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak
cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pra- diabetes
diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang
yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes. Di
Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi,
jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes.

31
Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan
jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes
dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun
pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya
diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:

Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa


darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal:
<100 mg/dl), atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji
toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar
glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral
berada diantara 140-199 mg/dl.

2.13 Faktor Risiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes
selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas
kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya
memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk
melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar
tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi
diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan
kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2,


dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2.


3

Riwayat Diabetes dalam keluarga Diabetes Gestasional

32
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg Kista
ovarium (Polycystic ovary syndrome) IFG (Impaired
fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose tolerance)

Obesitas >120% berat badan ideal

Umur 20-59 tahun : 8,7%

> 65 tahun : 18%

Hipertensi >140/90mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl Kadar lipid darah tinggi


>250mg/dl

Faktor-faktor Lain Kurang olah raga

Pola makan rendah serat

2.14 Gejala Klinis

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa


gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain
itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

 Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,


polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).3
 Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,

33
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.3

2.15 Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa


darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian
sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakau bahan darah utuh, vena,
maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler.
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria,
polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan
gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Diagnosis DM dapat melalui cara berikut:4
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

34
Tabel 4. Kriteria Diagnosis DM.4

Tabel 5. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan


Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL).

Pemerikaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan


Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut:
1) Aktivitas fisik kurang,
2) Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree
relative),

35
3) Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander),
4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat diaberes melitus gestasional (DMG),
5) Hipertensi,
6) Kolesterol HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL,
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium,
8) Riwayat toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu,
9) Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas,
akantosis nigrikans, dan
10) Riwayat penyakit kardiovaskular.

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau


sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risisko tinggi yang hasil pemeriksaan
penyaringnya negatif, pemeriksaan penunjang ulang dilakukan tiap tahun;
sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis
masing-masing pasien.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok: a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal b.
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes) c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa
minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl) d. Kelompok yang
menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140
mg/dl).

2.16 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan


morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal


2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.

36
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes

Tabel 6. Target Penatalaksanaan Diabetes.


3

Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan

Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl

Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl

Kadar Glukosa Darah Saat Tidur


100–140mg/dl
(Bedtime blood glucose)

Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur


110–150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)

Kadar Insulin <7 %

Kadar HbA1c <7mg/dl

Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)

Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)

Kadar Trigliserida <200mg/dl

Tekanan Darah <130/80mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang


pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
oral, atau kombinasi keduanya.

Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil,


satu faktor yang tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada

37
penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi
maupun tenaga medis lainnya.

Terapi Tanpa Obat.4

1. Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet


yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:

• Karbohidrat : 60-70%

• Protein : 10-15%

• Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.

Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin


dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan
setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan
waktu harapan hidup.

Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya


diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300
mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh.

38
Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging
dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.

Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak
25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan
kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-
buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.

2. Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula


darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita
diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,


Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang
disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit
per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara
5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.

Terapi Obat.4

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.

39
Tabel 7. Algoritme Pengolaan DM Tipe 2 di Indonesia

1. Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM


Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM
Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

Prinsip Terapi Insulin :

40
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir
tidak ada
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi
insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miokard akut atau stroke
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi
insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau
ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO

Obat antihiperglikemia suntik

 Insulin

 Insulin kerja cepat :

 Insulin Lispro ( Humalog)

 Insulin Aspart (Novorapid)

 Insulin Glulisin (Apidra)

 Insulim kerja pendek :

 Humulin *

 Actrapid*

41
 Insulin kerja menengah :

 Humulin N*

 Innsulatard *

 Insuman Basal*

 Insulin kerja panjang


 Insulin Glargine (Lantus)
 Insulin Detemir (Levemir)
 Lantus 300
 Insulin kerja ultra panjang
 Degludec (Tresiba*)

 Insulin Campuran

 70/30 Humulin*

 70/30 Mixtard*

 75/25 Humalogmix*

 70/30 Novomix*

 50/50 Premix

 Antagonis GLP-1 / Incretin mimetic

 Liraglutide

 Exenatide

 Albiglutide

 Lixisenatide

42
2. Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan


pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan
dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat.
Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.

Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi


menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral


golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga “starch-blocker”.

Tabel 8. Penggolongan obat hipoglikemik oral

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja

Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di


Glipizida kelenjar pankreas, sehingga hanya

43
Glikazida efektif pada penderita diabetes yang
sel-sel β pankreasnya masih
Glimepirida
berfungsi dengan baik
Glikuidon

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di


kelenjar pancreas

Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis


fenilalanin insulin oleh pancreas

Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar),


menurunkan produksi glukosa hati.
Tidak merangsang sekresi insulin
oleh kelenjar pankreas.

Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh


terhadap insulin. Berikatan dengan
Troglitazone
PPARγ (peroxisome proliferator
Pioglitazone activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin

Inhibitor Acarbose Miglitol Menghambat kerja enzim-enzim


pencenaan yang mencerna
α- glukosidase
karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa ke
dalam darah

Terapi Kombinasi

Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO
dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea

44
dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi
pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif.
Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas
reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling
menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini
dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat
bila dipakai sendiri-sendiri.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat hipoglikemik oral

1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh
sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang
tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.

Obat yang dapat menyebabkan hipoglikemi:

Asetaminofen Inhibitor Monoamin oksidase

Alkohol (akut) Norfloxacin

Steroid Anabolik Pentamidin

Beta-blockers Biguanida

Fenotiazin Klorokuin

Prazosin Klofibrat

45
Propoksifen Disopiramida

Kinin Guanetidin

Salisilat Haloperidol

Sulfonamida Insulin

Sulfonilurea Litium karbonat

Antidepresant trisiklik Fenobarbital

2.17 Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi
dan harus diwaspadai.

a. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa


pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi
gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.
Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.

Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,


walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
dapat berfungsi bahkan dapat rusak.

46
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang
dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di
Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan
oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia
lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.

Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila


penderita:

 Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)


 Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter
atau ahli gizi
 Berolah raga terlalu berat
 Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada
seharusnya
 Minum alkohol
 Stress
 Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila


penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:

a) Dosis insulin yang berlebihan


b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu
terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara


tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,
polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui
dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia

47
dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis,
disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung
lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara
lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang
keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat
dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.

c. Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD),
penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral
vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi
pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular
ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia
dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi
makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac
Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance
Syndrome.

Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita


diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat
penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan
lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak
lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya
hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang,
berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.

d. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk

48
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain
retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia,
ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat
terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko
komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk
perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat
keparahan diabetes.

Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat


jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar
gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan
insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring
kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi
mikrovaskular sampai 60%.

DAFTAR PUSTAKA

49
1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik,

tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi

Indonesia, 2003:13-22.

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W.

Gagal ginjal kronik. Dalam Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta:

Media Aesculapius FKUI,2001:531-534.

3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds):

Harisson’s Principles od Internal Medicine, 16rd ed. New York, McGraw

Hill, 2005:1653-1663.

4. National institutes for health and clinical excellences guidelines

73.Early identification and management of chronic kidney disease in adult in

primary and secondary care.Develop by the national collaborating centre for

chronic condition. 2008,September.

5. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus

A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

6. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney

Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:

http://www.kidney. professionals/kdoqi/guidelinesckd/toc.htm

7. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas

Berwarna Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;

2007. p. 110 – 115.

50
8. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in

Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford

University; 2007. 294-97.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.

Hipertensi. Azis R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor.

Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2006. hlm 168-70.

10. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian

Ilmu Penyakit Dalam UPH.

51

Anda mungkin juga menyukai