Anda di halaman 1dari 36

Presentasi Kasus Poloklinik

EPILEPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani
KepaniteraanKlinik Senior pada Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh :
Fairuz Roji Akbar

Pembimbing :
dr. Ika Marlia, M.Sc, Sp. S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BAGIAN / SMF NEUROLOGI RSUDZA
BANDA ACEH
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, tugas Presentasi kasus poli telah dapat diselesaikan. Selanjutnya
shalawat dan salam penulis hanturkan kepangkuan alam Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Epilepsi”. Tugas ini diajukan sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF IlmuSaraf
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Ika Marlia,
M.Sc, Sp.S yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kami tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun
daridosen dan teman teman agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.

Banda Aceh, Desember 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data
World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk
dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong tinggi
dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53
per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-
10 per 1000 penderita epilepsy. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi
diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per
1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering dijumpai. Definisi
epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011 adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan
disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan
suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya
kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari populasi dunia
terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah orang penderita epilepsi per
1000 penduduk 8,93 dari 108 negara responden. Jumlah orang penderita epilepsi per 1000
penduduk berbeda-beda di setiap regional. Sementara itu data di regional Amerika dan Afrika
di dapatkan 12,59 dan 11,29. Data di regional Asia Tenggara di dapatkan sebesar 9,97.
Sedangkan data sebesar 8,23 didapatkan di regional Eropa. Jumlah rata-rata orang epilepsi
per 1000 penduduk berkisar dari 7,99 di negara-negara berpendapatan tinggi dan 9,50 di
negara-negara berpendapatan rendah.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir
sama, walaupun beberapa penelitian menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7%, prevalensinya
bervariasi antara 4-7%, sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000-1.800.000
penderita. Epilepsi merupakan salah satu penyakit syaraf kronik kejang berulang muncul

1
tanpa provokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak
terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai
disfungsi otak. Insidensi epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di
negara berkembang mencapai 100/100.000.
Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40%
adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut
(Purba, 2008). Insidensi epilepsi di negara-negara maju ditemukan 24-53 setiap 100.000
populasi, sementara insidensi epilepsi di negara-negara berkembang 49.3-190 setiap 100.000
populasi. Tingginya insidensi epilepsi di negaranegara berkembang dikarenakan infeksi
susunan saraf pusat, trauma kepala dan morbiditas perinatal. Tingkat insidensi epilepsi
menunjukkan laki-laki lebih sering terjangkit daripada wanita penelitian, yang berkisar antara
41,9 setiap 100.000 populasi laki-laki dan 20,7 setiap 100.000 populasi wanita. Tingkat
insidensi pada laki-laki lebih tinggi merupakan kontribusi faktor resiko dari trauma kepala.
Epilepsi merupakan suatu gangguan serius pada otak dan mengenai hampir 50.000.000
orang di seluruh dunia. Angka insidensinya berkisar antara 30-50 per 100.000 orang
pertahun, dengan puncaknya pada umur kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Epilepsi
menghimpun sekitar 1% dari total beban semua penyakit dari seluruh dunia. Data penelitian
menunjukkan 80% beban dari beban ini terdapat pada negara berkembang salah satunya
Indonesia. Di Indonesia angka prevalensi epilepsi tidak jauh berbeda dari negara-negara asia
lainnya, yaitu antara 3,9-5,6/1000 orang. Prevalensi 0,5% dan penduduk 220 juta orang,
terdapat lebih 1,1 juta orang dengan epilepsi di Indonesia. Kualitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan merupakan keseluruhan kondisi status kesehatan seorang pasien, termasuk
kesehatan fisik pasien, sosial, psikologis, dan ekonomi pasien. Penilaian kualitas hidup
dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial, dan emosional. Seorang penderita dengan
epilepsi dapat dinilai kualitas hidupnya berdasarkan salah satu faktor yaitu lama menderita
epilepsi (Duration of epilepsy). Dalam melakukan penilaian kualitas hidup pada penderita
epilepsi dapat menggunakan suatu instrumen yaitu, Quality of Life in Epilepsy (Qolie)).
Lama menderita epilepsi mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi secara keseluruhan.
Hal ini terbukti dengan adanya pengurangan jumlah skor kualitas hidup pada penderita
epilepsi.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai

akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya

muatan listrik abnormal dan berlebihan dineuro-neuron secara paroksismal, didasari oleh

berbagai factor etiologi. Bangkitan epilepsy adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa

(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi

secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor

pencetus, dan kronisitas. Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai

keadaan yang didapat, kongenital atau bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak

dan beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai usia. Sindroma epileptik yang spesifik

pada anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang disebabkan kelainan

metabolik herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, epilepsi

yang disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa

walaupun hal ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada

usia dewasa. Tumor otak tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya

meduloblastoma), lainnya pada orang dewasa (meningioma) dan beberapa penyakit hanya

terdapat pada usia lanjut (misalnya demensia presenilis dan penyakit serebrovaskuler).

Berbagai keadaan lain terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa misalnya trauma infeksi

otak.

3
2.2 Etiologi

Penyebab epileptik pada umum nya di bagi 3 yaitu :

1) Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi ± 50% dari penderita

epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >

3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat

diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil


2) Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.

Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan

metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.


3) Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difusi.

Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat

kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak

yang abnormal.

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari

adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir

atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa

perkembangan anak.

4
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan

obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol,

atau mengalami cidera.

2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke

otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

4. tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.

5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

8. kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena

ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

2.3 Patofisiologi

Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk menerangkan tentang masalah

kelistrikan epilepsi antara lain oleh Herbert Jasper (Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika)

antara tahun 1935 – 1945.Dari penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi

dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen,

yang biasanya diketahui lokasinya tetapi tak selalu diketahui sifatnya.

Otak terdiri dari milyaran sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan.

Pada umumnya hubungan antar neuron terjalin dengan pulsa listrik dan dengan bantuan zat

kimia yang secara umum disebut neurotransmitter. Hasil akhir dari komunikasi antar neuron

ini tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan normal lalu lintas pulsa

5
antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa

sebagian dari neuron bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme

yang mengatur lalu lintas pulsa antar neuron kacau bila braking system dari otak mengalami

gangguan. Antara lain yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah

neurotransmitter kelompok glutamat (yang mendorong ke arah aktivitas berlebihan atau

excitatory) dan kelompok GABA (gamma-aminobutyric acid), yang bersifat menghambat :

inhibitornya.

Kejang epileptik apapun jenisnya selalu di sebabkan oleh transmisi impuls yang

berlebihan didalam otak yang mengikuti pola yang normal. Terjadi apa yang di sebut

sinkronisasi dari pada impuls , sinkronisasi bisa terjadi hanya pada sekelompok kecil neuron

saja atau kelompok yang lebih besar, atau malahan meliputi seluruh neuron di otak secara

serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya. serangan epileptik yang

ditimbulkan juga jadi sangat beragam. Bagaimana cara terjadinya sinkronisasi tidak diketahui

secara tepat.

Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini :

a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga terjadi

pelepasan impuls epileptik secara berlebihan


Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA

tidak normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung

konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi

potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat

reseptor GABA.
Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas

epileptik disebabkan oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini

merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA

6
ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan

bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak

lengkap yang akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA pada

absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada kesepekatan tentang

peran GABA pada epilepsi kronis.


b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi

pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.


Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi

sistim pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan

oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran

peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara

pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps perangsang

di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan bahwa aplikasi

glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal seperti pada epilepsi. Kini

diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari beberapa subtip reseptor lagi.

Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat sedangkan zinc memblokir pengaruhnya

bila diberikan sebelum serangan dimulai.

2.4 Klasifikasi Epilepsi

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsy dibagi atas 2

penyebab yaitu :

Bangkitan Epilepsi

a. Bangkitan parsial

1. Bangkitan parasial sederhana

a. Disertai gejala motor

b. Disertai gejala sensori khusus

c. Disertai gejala kejiwaaan

7
2. Bangkitan parsial kompleks

a. Bangkitan Parsial Sederhana Diikuti Gangguan Kesadaran

b. Bangkitan Parsial Disertai Gangguan Kesadaran Awal Bangkitan

c. Bangkitan Parsial Yang Menjadi Umum Sekunder

d. Parsial Sederhana Menjadi Umum Tonik Klonik

e. Parsial Kompleks Menjadi Umum Tonik Klonik

f. Parsial Sederhana Menjadi Parsial Kompleks Kemudian Menjadi Umum

Tonik Klonik

b. Bangkitan umum

a. Lena (Absence)

b. Mioklonik

c. Tonik

d. Tonik- klonik

c. Bangkitan tak tergolongkan

d. Status Epileptikus

Sindrome Epilepsi (ILAE 1989)

A. Berkaitan Lokasi (Localized Related)

1. Idiopatik (primer)

a. Epilepsy benigna gelombang paku daerah sentropental

b. Epilepsi Benigna Gelombang Paroksismal Daerah Oksipital

2. Simtomatik (sekunder)

a. Epilepsi Parsial Kontinua Kronik Pada Anak – Anak (Sindrom Kojenikow)

b. Sindrom Bangkitan Dipresipitasi Rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat,

hiperventilasi,

c. Epilepsi Refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi

8
d. Epilepsi Lobus Frontal

e. Epilepsi Lobus Parietal

f. Epilepsi Lobus Oksipital

3. Kriptogenik

B. Epilepsi Umum & Sindrom Epilepsi Berurutan Umur

1. Idiopatik (Primer)

a. kejang neonatus familial benigna

b. Kejang Neonatus Familial Benigna

c. Kejang Neonatus Benigna

d. Kejang Epilepsi Mioklonik Pada Bayi

e. Epilepsi Lena Anak

f. Epilepsi Lena Remaja

g. Epilepsi Mioklonik Remaja

h. Epilepsi Bangkitan Tonik – Klonik Saat Terjaga

i. Epilepsi Umum Idiopatik Lain

j. Epilepsi Tonik Klonik Dipresiitasi Aktivasi Tertentu

2. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai peningkatan usia

a. Syndrome west (spasme infantile & spasme salam)

b. Sindrom Lennox-Gastaut

c. Epilepsi lena mioklonik

3. Simtomatik

a. Etiologi non spesifik

1. Ensefalopati mioklonik dini

9
2. Ensefalopati infantil dini dengan burst supression

3. Epilepsi simtomatik umum lain

b. Etiologi spesifik

1. Bangkitan epilepsy komplikasi penyakit

C. Sindrom khusus

1. Kejang Demam

2. Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali ( Isolated)

3. Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis, Alkohol, Obat-

Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik.

4. Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)

2.5. Diagnosis

Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan faktor

penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk

dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Diagnosis epilepsi didasarkan atas

anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan

radiologis. Penderita atau orang tuanya perlu diminta keterangannya tentang riwayat adanya

epilepsi dikeluarganya. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan antara lain:

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan ini menapis sebab-sebab terjadinya bangkitan dengan menggunakan umur

dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada usia lanjut auskultasi didaerah leher penting

untuk menditeksi penyakit vaskular. Pada anak-anak, dilihat dari pertumbuhan yang lambat,

adenoma sebasea (tuberous sclerosis), dan organomegali (srorage disease).

Elektro-ensefalograf

Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi bangkitan.

Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang bersumber pada sekelompok

10
neuron yang mengalami depolarisasi secara sinkron. Gambaran epileptiform anatarcetusan

yang terekam EEG muncul dan berhenti secara mendadak, sering kali dengan morfologi yang

khas.

Pemeriksaan pencitraan otak

MRI bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Yang bermanfaat

untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Disamping itu juga dapat

mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil, malformasi

vaskular tertentu, dan penyakit demielinisasi.

Diagnosis banding

Kejang parsial simplek, dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan

muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau

kelainan psikis yang abnormal,tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di

bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan

bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah

dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak

menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami dejavu

(merasa pernah megalami perasaan seperti sekarang di masa yang lalu.

Kejang Jacksonian gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan

atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas

listrik di otak. Kejang parsial (psikomotor) kompleks, dimulai dengan hilangnya kontak

penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah,

menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan

suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan

menolak bantuan.

11
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan

muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah

otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi. Epilepsi primer

generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang sejak

awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang

sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi

penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh

tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian

kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan

merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama

kejang.

Kejang petit mal, dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5

tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grandmal. Penderita hanya

menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30

detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan

maupun menyentak-nyentak. Status epileptikus, merupakan kejang yang paling serius,

dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu

bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam otaknya menyebar luas. Jika tidak

segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan penderita biasa

meninggal.

Spame Infatil adalah serangan berupa fleksi atau ekstensi satu kelompok, akut atau

lebih secara mendadak, biasanya terjadi berturutan dan sering disertai dengan teriakan. Satu

dari 3.000 anak terkena serangan ini dan 90% diantaranya terjadi antara usia 3-12 bulan. West

Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis

12
simptomatik disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis

cryptogenic tidak diketahui penyebabnya.

Gejala Kejang Berdasarkan Sisi Otak Yang Terkena

1. Lobus frontalis Kedutan pada otot tertentu

2. Lobus oksipitalis Halusinasi kilauan cahaya

3. Lobus parietalis Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu

4. Lobus temporalis Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks misalnya

berjalan berputar-putar

5. Lobus temporalis anterior Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium

6. Lobus temporalis anterior sebelah dalam Halusinasi bau, baik yg menyenangkan

maupun yg tidak menyenangkan

2.6 Pengobatan

Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosis epilepsi ditegakkan adalah

membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik dengan mempertimbangkan setiap

konsekuensi dari masing-masing pilihan terapi. Pada prinsipnya, obat-obat anti epilepsi harus

segera diberikan dengan senantiasa memperhatikan apakah pasien juga menderita penyakit

yang masih aktif, misalnya tumor cerebri, hematoma subdural kronik, mengidentifikasi hal-

hal lain yang harus dilakukan secara bersamaan misalnya operasi tumor otak, pemasangan

ventriculo-peritoneal shunt dan sebagainya. Bila ditemukan, kelainan-kelaian ini harus segera

diobati. Kadang-kadang dtemukan lesi aktif/progresif yang belum ada obatnya, misalnya

penyakit degeneratif. Pada sebagian besar penderita epilepsi, sulit ditentukan adanya lesi

(idopatik, kriptogenik) atau lesinya sudah inaktif (sekuele), misalnya sekuele karena trauma

lahir dan meningioensefalitis. Dalam hal seperti ini, pengobatan ditujukan terhadap gejala

epilepsinya

13
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi bertujuan agar kualitas hidup optimal

untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental

yang dimilikinya dapat tercapai. Tujuan tersebut hanya akan dicapai melalui beberapa upaya

yang diolah serta diterapkan secara holistik antara lain adalah menghentikan bangkitan,

mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka

kesakitan dan kematian serta mencegah timbulnya efek samping obat anti epilepsi.

Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa

faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat

diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula

menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya pemberian

antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan

mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan

anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.

Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:

1. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus

epileptik
2. Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.

Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini.

Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat

antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang

mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai

antiepilepsi. Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi

mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan

hidantoin, barbiturate, oksazolidindion dan suksinimid. Akhir-akhir ini karbamazepin dan

asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi, karbamazepin untuk

14
bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk

bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.

Golongan obat anti epilepsi

1. Hidantoin

obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan

kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit

sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme

aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) yang mengakibatkan influk

(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial

aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5

mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering

terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah,

kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.

Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh

dan nystagmus.Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalahgingival

hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi

resiko gingival hyperplasia.

2. Barbiturat

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik.

Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang

penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya

menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai

obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan

konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek

15
langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan

durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain

itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic

GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis

pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi

pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan,

mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat

menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit,

danStevens-Johnson syndrome.

3. Deoksibarbiturat

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon

mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama

dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi

metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat

meningkatkan aktifitas fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping

yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan,

perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi

4. Iminostilben

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin

digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik.

Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion

Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh

depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun

16
10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis

pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400

mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah

gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak

dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut

akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.

5. Suksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari

beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus

berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada

kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada

kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan

20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6

tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan

muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,

mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

6. Asam valpoat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,

kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA

dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga

berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta

mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek

samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,

muntah,anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan

adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat

17
mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan

asam valproat adalah hepatotoksik.Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai

dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai

menyebabkan kerusakan hati.

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait

penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan

dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan.

Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan

karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme

valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5%

saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

7. Benzodiazepine

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis

GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan

reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11

tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek

samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan

kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.

8. Obat epilepsi lain

a. Gabapeptin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi

walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind

dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa

penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo.

Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan

18
dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800

mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600

mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme

yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca 2+ tipe

L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L.

Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus.

Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-

35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek

samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan

ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa

pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

b. Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang

memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau

menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah

blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi

neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari.

Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada

pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan

(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak).

Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4

minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

c. Levitirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifatpyrrolidone ((S)-ethyl-2-

oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang

19
absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati

epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat

menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan

eksitatori atau meningkatkan inhibitori. Proses pengikatan levetiracetam dengan protein

sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang

umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku

seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam.

Beberapa contoh obat yang sering digunakan dalam pengobatan kejang spesifik

Tipe seizure Terapi pilihan pertama Obat alternatif


Seizure parsial Karbamazepin Gabapentin

Fenitoin Topiramat

Lamotrigin Levetiracetam

Asam valproat Zonisamid

okskarbanzepin Tiagabin

Primidon

Fenobarbital

Felbamat

kejang umum absens Asam valproat Lamotrigin

Etosuksimid Levetiracetam

20
Mioklonik Asam valproat Lamotrigin,

Klonazepam topiramat,

felbamat, zonisamid,

levetiracetam

Tonik- Fenitoin Lamotrigin,


klonik
Karbamazepin topiramat, primidon,

Asam valproat fenobarbital,

okskarbanzepin,

Levetiracetam

21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Ny NA
Umur : 32 Tahun
Pekerjaan : Wiraswast
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Sigli
Nomor CM : 1-11-14-83
Tanggal Pemeriksaan : 6 Desember 2016

3.2. Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Kejang

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang. Awalnya kejang pertama kali
dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu. Kejang kemudian memberat sejak 2 bulan terakhir.
Keluhan kejang dirasakan secara tiba-tiba ketika pasien ingin tidur. Kejang yang dirasakan
pasien selama ± 30 menit dengan frekuensi kejang sebanyak satu kali. Kejang dirasakan
terjadi pada seluruh badan pasien. Keluhan mulut berbusa pada saat kejang tidak ada.
Riwayat penurunan kesadaran saat dan setelah kejang tidak ada. Riwayat trauma sebelumnya
tidak ada. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan melihat seperti kilatan cahaya. Riwayat
demam, mual dan muntah disangkal. Pasien memiliki riwayat hipertensi selama 2 tahun
terakhir 150/90 mmHg, dan tidak mengkonsumsi obat. Riwayat diabetes mellitus tidak ada.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (+), Diabetes Mellitus (-)

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga tidak terdapat adanya keluhan yang sama seperti pasien.

22
3.2.5 Riwayat Sosial
Pasien seorang wiraswasta.

3.3. Status Internus


Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Pernafasan : 18 x/menit
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3.4. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Kulit
Warna : Kuning langsat
Turgor : Cepat kembali
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Pemeriksaan Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), ikterik (-/-),
sekret (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+), Pupil bulat isokor, 3 mm/3 mm
Telinga : Serumen (-/-)
Hidung : Sekret (-/-)
Mulut
o Bibir : tidak simetris
o Lidah : Sulit dinilai
o Tonsil : Sulit dinilai
o Faring : Sulit dinilai

Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : TVJ R-2cmH2O, pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Thorax
Inspeksi
o Statis : Simetris, bentuk normochest

23
o Dinamis : Pernafasan thorakoabdominal, retraksi suprasternal (-),
retraksi intercostal (-), retraksi epigastrium (-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Kiri
Palpasi Fremitus N Fremitus N
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-) Ronchi (-) wheezing (-)
Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, luka memar pada abdomen (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen sinistra (-), defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), tapping pain (-)
Auskultasi : Peristaltik 4x/menit, kesan normal
Tulang Belakang
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan : Tidak ada
Kelenjar Limfe
Pembesaran KGB: Tidak ada

Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

3.5. Status Neurologis


GCS : E4 M6 V5

24
Pupil : Isokor, bulat, ukuran 3 mm/3 mm
Reflek Cahaya : Langsung (+ /+), tidak langsung (+/+)
Tanda Rangsang Meningeal: Tidak ada

Nervus Cranialis
Kelompok Optik Kanan
Kiri
Nervus II (visual)
- Visus Dalam bata normal Dalam bata normal
- Lapangan pandang Dalam bata normal Dalam bata normal
- Melihat warna Dalam bata normal Dalam bata normal
Nervus III (otonom)
- Ukuran 3 mm 3 mm
- Bentuk Pupil bulat bulat
- Reflek cahaya positif positif
- Nistagmus negatif negatif
- Strabismus negatif negatif
Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)
- Lateral Dalam bata normal Dalam bata normal
- Atas Dalam bata normal Dalam batas normal
- Bawah Dalam bata normal Dalam bata normal
- Medial Dalam bata normal Dalam bata normal
- Diplopia Dalam bata normal Dalam bata normal

Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
- Membuka Mulut : Dalam bata normal
- Menggigit dan mengunyah : Dalam bata normal
Nervus VII (fungsi motorik)
- Mengerutkan dahi : Dalam bata normal
- Menutup Mata : Dalam bata normal
- Menggembungkan pipi : Dalam bata normal
- Memperlihatkan gigi : Dalam bata normal

25
- Sudut bibir : Dalam bata normal
Nervus IX (fungsi motorik)
- Bicara : Dalam bata normal
- Reflek menelan : Dalam bata normal
Nervus XI (fungsi motorik)
- Mengangkat bahu : Dalam bata normal
- Memutar kepala : Dalam bata normal
Nervus XII (fungsi motorik)
- Artikulasi lingualis : Dalam bata normal
- Menjulurkan lidah : Dalam bata normal
Kelompok Sensoris
Nervus I (penciuman) : Dalam bata normal
Nervus V (sensasi wilayah) : Dalam bata normal
Nervus VII (pengecapan) : Dalam bata normal
Nervus VIII (pendengaran) : Dalam bata normal
Badan
Motorik
- Gerakan Respirasi : Thorakoabdomial
- Gerakan Columna Vertebralis : Simetris
- Bentuk Columna Vertebralis : Kesan simetris
Sensibilitas
- Rasa Suhu : Tidak dilakukan
- Rasa nyeri : Dalam bata normal
- Rasa Raba : Dalam bata normal
Anggota Gerak Atas
Motorik 5555/5555
Refleks Kanan Kiri
- Bisceps ++ ++
- Trisceps ++ ++
Anggota Gerak Bawah
Motorik 5555/5555
Refleks Kanan Kiri
- Patella ++ ++
- Achilles ++ ++

26
- Babinski negatif negatif
- Chaddok negatif negatif
- Gordon negatif negatif
- Oppenheim negatif negatif
Kaku Kuduk negatif negatif
Kuduk Kaku negatif negatif
Sensibilitas
- Rasa suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Rasa nyeri : Dalam bata normal
- Rasa raba : Dalam bata normal

3.6. Pemeriksaan Penunjang

3.7. Diagnosis Kerja


Diagnosis Klinis : Epilepsi
Diagnosis Topis :
Diagnosis Etiologi :
Diagnosis Patologi :
Diagnosis Sekunder : Hipertensi

3.8. Penatalaksanaan
1 Phenitoin 100mg 3x1 tablet
2 Asam folat 1x1 tablet

27
3.9. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia Ad Malam
Quo ad functionam : Dubia Ad Malam
Quo ad Sanactionam : Dubia Ad Malam

3.10 Daftar Masalah


1. Kejang
2. Riwayat hipertensi ±2 tahun

BAB IV
PEMBAHASAN

1. Diagnosis
a. Anamnesis
Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang perempuan berusia 32 tahun dengan
diagnosis klinis Epilepsi. Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang.
Awalnya kejang pertama kali dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu. Kejang kemudian
memberat sejak 2 bulan terakhir. Keluhan kejang dirasakan secara tiba-tiba ketika pasien
ingin tidur. Kejang yang dirasakan pasien selama ± 30 menit dengan frekuensi kejang
sebanyak satu kali. Kejang dirasakan terjadi pada seluruh badan pasien. Keluhan mulut
berbusa pada saat kejang tidak ada. Riwayat penurunan kesadaran saat dan setelah kejang
tidak ada. Riwayat trauma sebelumnya tidak ada. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan
melihat seperti kilatan cahaya. Riwayat demam, mual dan muntah disangkal. Pasien memiliki

28
riwayat hipertensi selama 2 tahun terakhir 150/90 mmHg, dan tidak mengkonsumsi obat.
Riwayat diabetes mellitus tidak ada. .
Berdasarkan anamnesis di atas, gejala klinis yang terdapat pada pasien ini yang
mengarah ke epilepsi adalah sebagai berikut:
- kejang
- Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak ± 20 tahun yang lalu

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan:
- Glasgow Coma Scale : E4M5Vx
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Mata : pupil isokor ukuran 3 mm/3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
- Tanda rangsangan meningeal : tidak ada
- Nervus cranialis : dalam batas normal
- Motorik : ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 5555/5555
- Sensorik : dalam batas normal
- Reflek fisologis : ++
- Reflek patologis : (-/-)

c. Pemeriksaan penunjang

Dari anamnesis didapatkan gejala-gejala defisit neurologi akibat gangguan pada


sistem saraf pusat. suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik abnormal dan berlebihan dineuro-neuron secara paroksismal, didasari oleh
berbagai faktor etiologi.
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

29
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi

2+
konduksi Ca secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang


memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
“mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal
muncul secara bersama- sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam
otak.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran
neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat
sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion
kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium
keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat
terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi
ini dapat terjadi.

30
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat
terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi
ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (
gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials)
adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap
yang akan menambah rangsangan.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik
( Glutamat ) berlebihan.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi
bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak

31
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia,
yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik.
Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya
dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi
epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit
mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2.Hipertensi
Hipertensi merupakan . Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi epilepsi dan
peningkatan tekanan darah.

32
BAB III
KESIMPULAN

Stroke adalah gangguan atau disfungsi otak, yang terjadi secara mendadak, baik fokal
atau global, dikarenakan adanya suatu kelainan pembuluh darah otak dengan defisit
neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.
Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang
menyertai harus diobati misalnya pada pasein stroke dengan gagal jantung, irama jantung
yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru paru. Penegakan diagnosis stroke
haruslah cepat dan tepat, diagnosis stroke dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pengunaan CT-Scan untuk membedakan tipe
hemoragik maupun penyumbatan

33
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi. Perhimpunan Dokter


Saraf 2007.
2. S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW Chadwick. From Cell
to Community-A practical guide to epilepsy. National Society for Epilepsy. 2007. pp
127-132.
3. GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American Psychiatric
Publication. 2005. pp. 309–321
4. J Mani,E Barry. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy: Principles and
Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp. 521–524
5. Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of the
oralcontraceptive? Epilepsia. 1979;20:519-25.
6. Shorvon SD, Tallis RC, Wallace HK. Antiepileptic drugs: coprescription of
proconvulsant drugs and oral contraceptives: a national study of antiepileptic drug
prescribing practice. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry. 2002;72:114-
5.
7. Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH, et al.
Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major congenital malformations: a
joint european prospective study of human teratogenesis associated with maternal
epilepsy. Epilepsia. 1997;38:981-90.
8. Kaneko S, Battino D, Andermann E, Wada K, Kan R, Takeda A, et al. Congenital
malformations due to antiepileptic drugs. Epilepsy Research. 1999;33:145-58.
9. Scottish Intercollegiates Guidelines Network. Diagnosis and Management of Epilepsies
in Adults. April 2003. Retrieved 18 April 2013.

34

Anda mungkin juga menyukai