Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TEKNIK INSTRUMENTASI PADA AN.

T DENGAN TINDAKAN CHORDECTOMY


ATAS INDIKASI CHORDEE WITHOUT HYPOSPADIA DI OK 5.3 (UROLOGI 2)
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

I. TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI REPRODUKSI PRIA
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui proses
miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan sperma. Uretra diperlengkapi
dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter
uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Secara anatomis uretra
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Uretra pars anterior, yaitu uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis, terdiri dari:
pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare, dan meatus uretra eksterna.
2. Uretra pars posterior, terdiri dari uretra pars prostatika, yaitu bagian uretra yang dilengkapi
oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.

Uretra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kencing ke lubang luar,
dilapisi membran mukosa yang bersambung dengan membran yang melapisi kandung kencing.
Meatus urinarius terdiri atas serabut otot lingkar yang membentuk sfingter uretra (Pearce, 2006).
Panjang uretra wanita 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan
panjang inilah yang sering menyebabkan hambatan pengeluaran urine pada pria (Basuki P.
Purnomo, Edisi 2, 2007). Ada tiga bagian uretra (Sloane, 2003), yaitu:

1. Uretra prostatic
Dikelilingi oleh kalenjar prostat. Uretra ini menerima dua duktus ejakulator yang
masing-masing terbentuk dari penyatuan duktus deferen dan duktus kalenjar vesikel seminal,
serta menjadi tempat bermuaranya sejumlah duktus dari kalenjar prostat.
2. Uretra membranosa
Bagian yang terpendek (1 cm sampai 2 cm). Bagian ini berdinding tipis dan
dikelilingi oleh otot rangka sfingter uretra eksternal.
3. Uretra kavernous (penile, bersepons)
Merupakan bagian yang terpanjang. Bagian ini menerima duktus kalenjar bulbouretra
dan merentang sampai orifisium uretra eksternal pada ujung penis. Tepat sebelum mulut
penis, uretra membesar untuk membentuk suatu dilatasi kecil, fosa navicularis. Uretra
kavernous dikelilingi korpus spongiosum, yaitu suatu kerangka ruang vena yang besar.
Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis.
Glandula uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk
menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah
lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis. Ada beberapa
derajat kelainan pada glandular (letak meatus yang salah pada glands), korona (pada sulkus
korona), penis (di sepanjang batang penis), penoskrotal (pada pertemuan ventral penis dan
skrotum), dan perineal (pada perineum).

Gambar 2.2 Anatomi Reproduksi Pria

B. DEFINISI HIPOSPADIA
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“
yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana
meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya
yang normal (ujung glans penis) (Arif Mansjoer, 2000). Menurut referensi lain, hipospadia adalah
suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di bagian bawah dekat pangkal penis
(Ngastiyah, 2005). Hipospadia adalah kelainan congenital berupa muara uretra yang terletak di
sebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis. Letak meatus uretra bisa terletak pada
glandular hingga perineal (Purnomo. B. Basuki, 2003).
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah,
bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan kelamin bawaan sej ak lahir.
Hipospadia sering disertai kelainan bawaan yang lain, misalnya pada skrotum dapat berupa
undescensus testis, monorchidism, disgenesis testis dan hidrokele. Pada penis berupa propenil
skrotum, mikrophallus dan torsi penile, sedang kelainan ginjal dan ureter berupa fused kidney,
malrotasi renal, duplex dan refluk ureter.

Gambar 2.3 Hipospadia

C. ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui
penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :
a. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis
kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh
yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk
cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek
yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak
mencukupi pun akan berdampak sama.
b. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada
gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
Mekanisme genetik yang tepat mungkin rumit dan variabel. Penelitian lain adalah turunan
autosomal resesif dengan manifestasi tidak lengkap. Kelainan kromosom ditemukan secara
sporadis pada pasien dengan hipospadia.
c. Prematuritas
Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang lahir dari ibu dengan
terapi estrogen selama kehamilan. Prematuritas juga lebih sering dikaitkan dengan hipospadia.
d. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

D. PATOFISIOLOGI
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra
terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang
ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya
di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal
dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan
kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Hipospadia terjadi dari pengembangan tidak lengkap uretra dalam rahim. Penyebab pasti
cacat diperkirakan terkait dengan pengaruh lingkungan dan hormonal genetik (Sugar, 1995).
Perpindahan dari meatus uretra biasanya tidak mengganggu kontinensia kemih. Namun, stenosis
pembukaan dapat terjadi, yang akan menimbulkan obstruksi parsial outflowing urin. Hal ini dapat
mengakibatkan ISK atau hidronefrosis (Kumor, 1992). Selanjutnya, penempatan ventral
pembukaan urethral bisa mengganggu kesuburan pada pria dewasa, jika dibiarkan tidak terkoreksi
(Jean Weiler Ashwill, 1997).
E. PATHWAY

rasa nyaman
Resiko tinggi
infeksi

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipospadia terdiri dari:
a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
c. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
d. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
e. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
f. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
g. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
h. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
i. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
j. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah, menyebar, mengalir
melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada saat BAK.
k. Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan mengangkat
penis keatas.
l. Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok.
Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.

G. DIAGNOSTIK TEST
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan berikut
untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan pada ginjal sebagai komplikasi maupun kelainan
bawaan yang menyertai hipospadia:
a. Rontgen
b. USG sistem kemih kelamin.
c. BNO-IVP

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Untuk penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak biasanya dilakukan dengan
prosedur pembedahan. Tujuaan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi penis menjadi
lurus dengan meatus uretra di tempat yang normal atau dekat normal sehingga pancaran kencing
arahnya kedepan. Keberhasilan pembedahan atau operasi dipengaruhi oleh tipe hipospadia dan
besar penis. Semakin kecil penis dan semakin ke proksimal tipe hipospadia semakin sukar tehnik
dan keberhasilan operasinya.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah teknik tunneling Sidiq-Chaula dan teknik
Horton dan Devine.
a. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel
pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus
masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium
bagian dorsal dan kulit penis
2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari
kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit
preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah.
Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama
telah matang.
b. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis
yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke
ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis
dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk
bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan
dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

II. LAPORAN KASUS


A. PERSIAPAN LINGKUNGAN
1. Mengatur suhu ruangan
2. Mengecek fungsi lampu operasi dan meja operasi
3. Menyiapkan dan mengecek fungsi mesin suction dan mesin electro surgery (ESU)
4. Menyiapkan mesin anestesi, meja instrument, troli waskom, meja mayo, standar infuse dan
tempat sampah
5. Memberi alas perlak, linen, dan underpad on steril pada meja operasi

B. PERSIAPAN ALAT
1. Basic Set
 Desinfeksi klem : 1
 Doek klem : 5
 Handle mess no. 3 : 1
 Pinset sirurgis bebek : 2
 Pinset anatomis bebek : 2
 Pinset anatomis : 1
 Gunting mayo : 1
 Gunting metzenbaum : 1
 Klem mosquito : 3
 Klem pean lurus sedang : 2
 Klem kocher lurus sedang : 2
 Nald voeder : 1
 Gunting Benang : 1
 Kanul suction : 1
2. Extra Set
 Nald voeder mini : 1
 Gunting metzenbaum mini : 1
 Busi No. 0-20 untuk anak-anak : 1 set
3. Instrumen Penunjang
 Handpiece bipolar : 1
 Selang suction : 1
 Nelaton cateter No. 10 : 1
 Bengkok : 1
 Kom : 1
 Cucing : 2
 Waskom : 1
4. Persiapan Linen
 Duk tebal : 4
 Duk kecil : 4
 Duk besar : 4
 Handuk steril : 5
 Sarung meja mayo : 1
 Scort (baju operasi) : 6

C. PERSIAPAN BAHAN HABIS PAKAI


1. Handscoen steril (no. disesuaikan) : sesuai kebutuhan
2. Underpad on steril : 1
3. Underpad steril : 2
4. Mess No. 15 : 1
5. Povidone Iodine 10% : ± 50 cc
6. Ky. Jelly : secukupnya
7. Kassa : 20 lembar
8. Deppers : 10 buah
9. Spidol marker : 1
10. NS 0,9% : 500 ml
11. Transofix : 1
12. Spuit 3 cc/ 10 cc : 1/1
13. Wing needle No. 23 : 1
14. Folley catheter cabang 2 No.8 : 1
15. Urobag : 1
16. Prolene 4-0 : 1
17. Monosyn 5-0/ 6-0 : 1/1
18. Tegaderm : 2
19. Salep mata : secukupnya
20. Sufratul : 1
21. Hypafix : sesuai kebutuhan

D. PERSIAPAN PASIEN
1. Pasien puasa 6-8 jam.
2. Pasien dalam kondisi bersih dan memakai pakaian khusus kamar operasi.
3. Memiliki kelengkapan data dan informed consent pembedahan dan anestesi
4. Menanggalkan semua perhiasan dan gigi palsu.
5. Vital sign dalam batas normal

E. PENATALAKSANAAN (TEKNIK INSTRUMENTASI)


1. Pasien datang dilakukan serah terima antar perawat premedikasi dengan perawat instrumen.
2. Sign in.
Meliputi :
a. Apakah pasien telah dikonfirmasikan identitas, area operasi, tindakan operasi dan lembar
persetujuan? “Sudah”
b. Apakah area operasi telah ditandai? “Sudah”
c. Apakah mesin anestesi dan obat-obatan telah diperiksa kesiapannya? “Sudah”
d. Apakah pulse oksimeter pada pasien telah berfungsi dengan baik? “Ya”
e. Apakah pasien mempunyai riwayat alergi? “Tidak”
f. Penyulit airway atau resiko aspirasi? “Ya, tapi telah tersedia peralatan untuk
mengatasinya”
g. Resiko kehilangan darah >500 ml atau 7 cc/kgBB (anak)? “Tidak”
3. Tim anestesi melakukan induksi general anestesi (GA), posisi pasien supine saat dilakukan
induksi.
4. Setelah induksi, membantu memposisikan pasien dengan posisi litotomi.
5. Perawat sirkuler memasang underpad on steril di bawah bokong pasien, memasang arde di
paha kiri pasien dan mencuci area operasi dengan air sabun.
6. Perawat instrumen melakukan surgical scrubbing, gowning, gloving dan membantu operator
dan asisten operator gowning dan gloving.
7. Perawat instrumen memberikan desinfeksi klem dan cucing berisi deppers dan povidone
iodine pada operator untuk desinfeksi area operasi.
8. Drapping area operasi :
 Area kaki ke bawah ditutupi duk tebal
 Area perut ke atas ditutupi duk tebal
 Area samping kiri dan kanan ditutupi duk besar
 Fiksasi dengan duk klem
9. Pasang kabel handpiece bipolar dan selang suction, fiksasi dengan duk klem.
10. Mendekatkan meja mayo, meja instrumen dan troli Waskom.
11. Time out
Time Out dipimpin oleh perawat sirkuler, Time Out meliputi :
a. Konfirmasi bahwa semua tim operasi telah memperkenalkan nama dan tugas masing-
masing. “Sudah”
b. Konfirmasi nama pasien, jenis tindakan dan area yang akan dioperasi. “Sudah”
c. Apakah antibiotic profilaksis telah diberikan paling tidak 60 menit sebelum operasi?
“Cefazoline 1 gr”
d. Antisipasi kejadian kritis
1) Operator
 Apakah ada tindakan darurat atau prosedur diluar standar operasi yang akan
dilakukan? “Tidak”
 Berapa lama operasi? “± 3 jam”
 Bagaimana antisipasi kehilangan darah? “Rawat perdarahan”
2) Anestesi
 Apakah ada perhatian khusus mengenai pembiusan pada pasien ini? “Ya.
Pediatrik”
3) Instrumen
 Apakah peralatan sudah disterilisasi? ”Sudah”
 Apakah ada perhatian khusus pada peralatan? “Benda tajam”
4) Apakah diperlukan instrumentasi radiologi? “Tidak”
12. Perawat instrumentator memberikan spidol marker pada operator untuk membuat garis insisi.
13. Memberikan busi dari nomor terkecil sampai terbesar yang telah diolesi ky. Jelly pada
operator untuk melebarkan uretra dan mengukur ukuran kateter.
14. Busi tidak dapat masuk, dilakukan sistoskopi untuk melihat keadaan uretra, ditemukan letak
uretra tidak pada ujung penis dan adanya saluran buntu.
15. Memberikan lagi busi dari no. 2-8 yang telah diolesi ky. Jelly pada operator.
16. Memberikan folley catheter no. 8 pada operator untuk dipasang.
17. Setealah kateter terpasang, memberikan nald voeder dan benang prolene 4-0 pada operator
untuk tegel glans penis.
18. Asisten operator membantu memegang kateter dan tegel kemudian difiksasi pada duk
menggunakan klem mosquito.
19. Memberikan handvat mess no.3 dan kassa pada operator untuk insisi area operasi.
20. Memberikan double pinset sirurgis bebek dan gunting metzenbaum pada operator dan asisten
operator untuk memotong kulit preputium secara melingkar.
21. Insisi dilakukan dari lapisan kulit preputium, corpura cavenosa dan terakhir tunica albuginea
yang merupakan jaringan ikat pada lapisan corpura cavenosa.
22. Memberikan operator nelaton cateter no. 10 untuk fiksasi penis dan klem kokher untuk
menjepit nelaton cateter. Lakukan tes ereksi dengan cara memberikan wing needle 23 dan
spuit 10 cc berisi NS 0,9 % pada operator, lalu disemprotkan untuk melihat chordee uretra
sejauh apakah posisi tegak lurus penis setelah insisi.
23. Setelah chordee bersih dan ereksi maksimal, operator membentuk dorsal inlae lateral dan
medial dengan dijahit benang monosyn 5-0, kemudian di tie over.
24. Sign out.
Perawat sirkuler membacakan :
a. Jenis tindakan (chordectomy)
b. Kecocokan jumlah instrument, kassa, tampon sebelum dan sesudah operasi. (Cocok dan
lengkap)
c. Label pada specimen (membacakan identitas pasien, jenis specimen, register, ruangan
yang tertera pada label). (Tidak ada)
d. Apakah ada permasalahan pada alat-alat yang digunakan. (Tidak ada masalah).
e. Pada Intrumen+anestesi+operator ditanyakan
Apa yang menjadi perhatian khusus pada saat masa pemulihan recovery room : Pain,
observasi vital sign
25. Memberikan nald voeder, benang monosyn 6-0, double pinset sirurgis dan gunting benang
pada operator dan asisten operator untuk menjahit tunica albuginea dan lapisan corpura
cavenosa hingga membentuk uretra.
26. Kulit preputium dijahit menggunakan benang monosyn 5-0.
27. Membersihkan area operasi dengan kassa basah lalu dikeringkan dengan kassa kering.
28. Memberi sufratul pada luka kemudian olesi salep mata.
29. Menutup luka dengan kassa dan plester seperti sandwich dengan tegaderm.
30. Fiksasi kateter pada paha dengan hypafix.
31. Operasi selesai. Pasien dirapikan dan dipindahkan ke recovery room menggunakan brankart.

F. TAHAP PENYELESAIAN
1. Siapkan 2 buah baskom
2. Isi baskom pertama dengan larutan dekontaminasi dan baskom kedua dengan air bersih
3. Buat larutan dekontaminasi dengan cara larutkan 1 sachet detergen enzimatik bubuk kedalam
5 liter air bersih
4. Rendam instrument ke dalam larutan dekontaminasi selama ± 15 menit
5. Cuci instrument di dalam larutan dekontaminasi
6. Masukkan instrument yang sudah dicuci ke dalam baskom berisi air bersih
7. Bilas semua instrument yang sudah dicuci dengan air mengalir
8. Keringkan instrument dengan handuk bersih
9. Inventaris jumlah set instrument
10. Packing instrument menggunakan 2 lapis kain pembungkus instrument
11. Beri label nama set instrument dan berikan indikator pada pembungkus instrument
12. Letakkan set instrument di tempat yang disediakan untuk dikirim ke ILSS
13. Buang air bekas cucian yang ada pada baskom pertama dan kedua
14. Rapikan tempat mencuci instrumen.
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, Benheman & Kliegma. 2000. Ilmu kesehatan anak Nelson Volume 3 Edisi 15. Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

http://andisusanto.web.unej.ac.id/2015/05/06/asuhan-keperawatan-pada-pasien-hipospadia/

http://www.medicastore.com

Johnson M, dkk. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Mary, E. 2005. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Mary, E. 2005. Panduan belajar: Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.

Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. Pathofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC.

Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

www.parenting.co.id/bayi/apa+itu+hipospadia%3F
LAPORAN TEKNIK INSTRUMENTASI PADA NY. K
DENGAN TINDAKAN TIMPANOMASTOIDEKTOMI SINISTRA
ATAS INDIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK SINISTRA + MEMBRAN TIMPANI
ADHESI DEXTRA + TUBOTIMPANIK DI OK5.6 (THT) RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

I. TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TELINGA

B. DEFINISI
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3
bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah (Helmi 2005).
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis
dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi) dan
ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Istilah kronik digunakan apabila
penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau lebih (Djaafar, 1997).

C. ETIOLOGI
Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,dimana kelompok
sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal
yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel -sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan
kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram - negatif,
flora tipe - usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga
tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin - toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belumdiketahui. Pada
telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba
eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan
tekanan negatif menjadi normal.
 Infeksi Bakteri
 Genetik
D. PATOFISIOLOGI  Otitis media sebelumnya
 Infeksi saluran nafas ata
 Autoimun
 Alergi
 Hygine kurang
 Gangguan tuba eustacius

Infeksi Telinga
Tengah

Otitis Media Otitis Media Supuratif


Akut (OMA) Kronik (OMSK)

 Demam Tidak Bahaya Bahaya


 Nyeri (Non Maligna) (Maligna)

 Obat tetes Proses Tekanan udara Peningkatan


telinga Peradangan telinga tengah (-) produksi cairan
 Antibiotic dan serosa
per oral
Nyeri Pendengaran
menurun

Muncul Kolesteatom Keluar cairan dari


dan Granulasi telinga
Mastoiditis Tulang mastoid
terinfeksi

Mastoidektomi
sederhana
Tindakan
Pembedahan
Mastoidektomi
radikal

Mastoidektomi radikal
dengan modifikasi

Tympano Mastoidektomi

Pre Op Intra Op Post Op


 Ganguan citra  Resiko Injuri  Resiko Infeksi
tubuh  Resiko jatuh berulang
 Gangguan  Nyeri
persepsi nyeri
 Resiko Jatuh
E. TANDA GEJALA
1. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada
OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering
kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan
infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak
dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat.
3. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri
dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan
vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa
terjadi akibat komplikasi serebelum.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen konvensional posisi Waters dan Stenvers
2. CT scan
3. MRI

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi OMSK
Tidak jarang memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar
tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain di sebabkan oleh
satu atau beberapa keadaan, yaitu :
 Adanya perforasi membran timpani yang permanen sehingga telinga tengah
berhubungan dengan dunia luar.
 Terdapat sumber infeksi di laring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
 Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
 Gizi dan higiene yang kurang.
2. Tindakan Pembedahan
a. Mastoidektomi sederhana
Operasi dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid
dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak
berair lagi pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
b. Mastordektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang
sudah meluas. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologis dan mencegah komplikasi ke intrakranial.
c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi
belum merusak kavum timpani. Tujuan operasi ialah untuk membuang semua
jaringan patologik dari rongga mastoid, dan mempertahankan pendengaran yang
masih ada.
d. Miringoplasti
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga
dengan nama timpanoplasti tipe I, rekonstruksi hanya dilakukan pada membran
timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah
pada OMSK tipe benigna dengan perforasi yang menetap.
e. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih
berat atau OMSK tipe benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan
medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran.

II. LAPORAN KASUS


A. PERSIAPAN LINGKUNGAN
1. Mengatur suhu ruangan
2. Mengecek fungsi lampu operasi, meja operasi dan viewer
3. Menyiapkan dan mengecek fungsi mesin suction dan mesin electro surgery (ESU),
mikroskop + monitor dan mesin bor
4. Menyiapkan mesin anestesi, meja instrument, troli waskom, meja mayo, standar infuse dan
tempat sampah
5. Memberi alas perlak, linen, dan underpad on steril pada meja operasi

B. PERSIAPAN ALAT
1. Basic Set
 Desinfeksi klem : 1
 Doek klem : 5
 Handle mess no. 3 : 1
 Pinset sirurgis bebek : 1
 Pinset sirurgis manis : 1
 Pinset anatomis manis : 2
 Gunting mayo : 1
 Gunting metzenbaum kecil : 1
 Klem mosquito : 1
 Nald voeder : 1
 Gunting Benang : 1
 Kanul suction plastik : 1
 Kanul suction kecil : 3
 Kanul suction sedang : 1
 Sambungan kanul suction : 1
2. Extra Set
 Sprider lurus : 1
 Sprider bengkok : 1
 Hak kombinasi (senmiller) : 2
 Raspatorium kecil : 1
 Raspatorium besar : 1
 Swing tajam : 1
 Swing tumpul : 1
 Pak tang kanan : 1
 Graf presser + plate graf : 1
 Ketut (sonde) : 1
 Scuple (promnice) : 1
 Mata bor diamond : 3
 Mata bor cutting : 1
3. Instrumen Penunjang
 Handpiece bipolar : 1
 Handpiece monopolar : 1
 Selang suction : 1
 Bengkok : 3
 Kom : 1
 Cucing : 2
 Waskom : 1
 Mikroskop : 1
 Penggerak bor elektrik : 1
4. Persiapan Linen
 Duk tebal : 4
 Duk kecil : 4
 Duk besar : 4
 Handuk steril : 5
 Sarung meja mayo : 1
 Scort (baju operasi) : 6

C. PERSIAPAN BAHAN HABIS PAKAI


1. Handscoen steril (no. disesuaikan) : sesuai kebutuhan
2. Underpad on steril : 1
3. Underpad steril : 2
4. Folley catheter cabang 2 No. 16 : 1
5. Urobag : 1
6. Spuit 3 cc/ 10 cc : 1/2
7. Ky. Jelly : secukupnya
8. Kassa : 15 lembar
9. Deppers : 5 buah
10. Povidone Iodine 10% : ± 100 cc
11. Alkohol : ± 100 cc
12. WFi : 2 cc
13. Mess No. 15 : 1
14. Mess No. 11 : 1
15. NS 0,9% : 1000 ml
16. Aquadest : 1000 ml
17. Transofix : 1
18. Pehacain : 2 amp
19. Spongostan : sesuai kebutuhan
20. Kapas/ rol tampon : sesuai kebutuhan
21. Cotton bud steril : 1
22. Antibiotic Ofloxacin : secukupnya
23. Vicryl 3-0 rapid : 1
24. Sufratul : 1
25. Towel : 1
26. Hypafix : sesuai kebutuhan

D. PERSIAPAN PASIEN
1. Pasien puasa 6-8 jam.
2. Pasien dalam kondisi bersih dan memakai pakaian khusus kamar operasi.
3. Memiliki kelengkapan data dan informed consent pembedahan dan anestesi.
4. Site marking area operasi.
5. Menanggalkan semua perhiasan dan gigi palsu.
6. Vital sign dalam batas normal.
7. Rambut sebelah kiri telah dicukur.

E. PENATALAKSANAAN (TEKNIK INSTRUMENTASI)


1. Pasien datang dilakukan serah terima antar perawat premedikasi dengan perawat instrumen.
2. Sign in.
Meliputi :
a. Apakah pasien telah dikonfirmasikan identitas, area operasi, tindakan operasi dan lembar
persetujuan? “Sudah”
b. Apakah area operasi telah ditandai? “Sudah”
c. Apakah mesin anestesi dan obat-obatan telah diperiksa kesiapannya? “Sudah”
d. Apakah pulse oksimeter pada pasien telah berfungsi dengan baik? “Ya”
e. Apakah pasien mempunyai riwayat alergi? “Tidak”
f. Penyulit airway atau resiko aspirasi? “Ya, tapi telah tersedia peralatan untuk
mengatasinya”
g. Resiko kehilangan darah >500 ml atau 7 cc/kgBB (anak)? “Tidak”
3. Tim anestesi melakukan induksi general anestesi (GA), posisi pasien supine saat dilakukan
induksi. Perawat sirkuler memasang kateter no. 16 dan underpad on steril di bawah kepala
pasien
4. Mengatur meja operasi head up, posisi pasien supine, kepala miring ke kanan dan sedikit
ekstensi.
5. Perawat sirkuler memasang underpad on steril di bawah bokong pasien, memasang arde di
paha kiri pasien dan mencuci area operasi dengan air sabun.
6. Perawat instrumen melakukan surgical scrubbing, gowning, gloving dan membantu operator
dan asisten operator gowning dan gloving.
7. Perawat instrumen memberikan desinfeksi klem dan cucing berisi deppers dan povidone
iodine 10 % pada operator, dilanjutkan bengkok berisi alcohol dan kassa untuk desinfeksi
area operasi.
8. Drapping area operasi :
 Duk tebal di bawah kepala
 Duk besar menutupi area leher ke bawah
 Duk tebal menutupi area atas telinga
 Duk kecil menutupi samping kiri dan kanan
 Fiksasi dengan duk klem
9. Pasang kabel handpiece bipolar, selang suction dan kabel penggerak bor listrik, fiksasi
dengan duk klem.
10. Mendekatkan mikroskop, meja mayo, meja instrumen dan troli Waskom.
11. Time out
Time Out dipimpin oleh perawat sirkuler, Time Out meliputi :
a. Konfirmasi bahwa semua tim operasi telah memperkenalkan nama dan tugas masing-
masing. “Sudah”
b. Konfirmasi nama pasien, jenis tindakan dan area yang akan dioperasi. “Sudah”
c. Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan paling tidak 60 menit sebelum operasi?
d. Antisipasi kejadian kritis
1) Operator
 Apakah ada tindakan darurat atau prosedur diluar standar operasi yang akan
dilakukan? “Tidak”
 Berapa lama operasi? “± 4 jam”
 Bagaimana antisipasi kehilangan darah? “Rawat perdarahan”
2) Anestesi
 Apakah ada perhatian khusus mengenai pembiusan pada pasien ini? “Ya.
Airway”
3) Instrumen
 Apakah peralatan sudah disterilisasi? ”Sudah”
 Apakah ada perhatian khusus pada peralatan? “Benda tajam”
4) Apakah diperlukan instrumentasi radiologi? “Tidak”
12. Memberikan kassa kering pada operator untuk mengeringkan area operasi.
13. Memberikan handvat mess no. 3 pada operator untuk membuat garis insisi.
14. Memberikan spuit 3 cc berisi oplosan pehacain + WFi (1:1) pada operator untuk infiltrasi.
15. Memberikan handvat mess no. 3 pada operator untuk insisi di area mastoid dan memberikan
asisten operator pinset sirurgis serta kassa untuk rawat perdarahan.
16. Insisi sampai fat, kemudian koagulasi dengan handpieca monopolar, perdalam sampai tampak
fasia.
17. Memberikan gunting metzenbaum kecil pada operator untuk membebaskan fasia dari
jaringan sekitar sebagai bahan graf.
18. Fasia diambil menggunakan pinset anatomis kemudian diletakkan pada graf press untuk
dipipihkan.
19. Fasia yang telah dipipihkan diletakkan pada plate garaf dan dibiarkan hingga kering dan
kaku.
20. Memberikan handvat mess no. 3 pada operator untuk memperdalam insisi sampai tampak
tulang mastoid.
21. Perlebar lapang operasi menggunakan sprider lurus dan bengkok.
22. Memberikan raspatorium pada operator untuk membebaskan tulang dari periosteum.
23. Memberikan penggerak bor listrik yang telah dipasang mata bor diamond pada operator
untuk melubangi tulang mastoid. Rawat perdarahan dengan surgical dan bipolar.
24. Operator mengidentifikasi antrum mastoid, memberikan ketut (sonde).
25. Setelah antrum mastoid teridentifikasi, operator melanjutkan pengeboran samapai tulang
telinga tengah dengan mata bor cutting, kemudian diperlebar dengan mata bor diamond.
Rawat perdarahan dengan spongostan.
26. Tulang mastoid terbuka, operator mengidentifikasi granulasi pada telinga tengah
menggunakan mikroskop dan scuple (promnice).
27. Memberikan cotton bud steril untuk dilakukan swab jaringan untuk pemeriksaan kultur
jaringan.
28. Memberikan swing tajam dan tumpul pada operator untuk membersihkan sisa membrane
timpani, kemudian berikan pak tang untuk mengambilnya.
29. Rawat perdarahan dengan kapas yang telah dibasahai pahacain.
30. Spulling rongga mastoid dengan cairan NS 0,9 % sambil identifikasi adanya perdarahan. Bila
ada perdarahan, rawat perdarahan dengan spongostan.
31. Memberikan gunting metzenbaum kecil dan graf fasia untuk membuat cangkokan membrane
timpani.
32. Memberikan pak tang dan swing tajam pada operator untuk memasang cangkokan membrane
timpani.
33. Memberikan ketut (sonde), pinset anatomis dan spongostan dibalut sufratul yang telah
dibasahi antibiotic Ofloxacin pada operator untuk menutup tuba eustasius.

34. Sign out.


Perawat sirkuler membacakan :
a. Jenis tindakan (timpanomastoidektomi)
b. Kecocokan jumlah instrument, kassa, tampon sebelum dan sesudah operasi. (Cocok dan
lengkap)
c. Label pada specimen (membacakan identitas pasien, jenis specimen, register, ruangan
yang tertera pada label). (Ada)
d. Apakah ada permasalahan pada alat-alat yang digunakan. (Tidak ada masalah).
e. Pada Intrumen+anestesi+operator ditanyakan
Apa yang menjadi perhatian khusus pada saat masa pemulihan recovery room : Pain,
observasi vital sign
35. Memberikan nald voeder, benang vicryl 3-0 rapid, double pinset sirurgis dan gunting benang
pada operator dan asisten operator untuk menjahit otot sampai lemak.
36. Membersihkan area operasi dengan kassa basah lalu dikeringkan dengan kassa kering.
37. Menutup luka dan lubang telinga dengan deppers kecil, kassa danhypafix.
38. Operasi selesai. Pasien dirapikan dan dipindahkan ke recovery room menggunakan brankart.

F. TAHAP PENYELESAIAN
1. Siapkan 2 buah baskom
2. Isi baskom pertama dengan larutan dekontaminasi dan baskom kedua dengan air bersih
3. Buat larutan dekontaminasi dengan cara larutkan 1 sachet detergen enzimatik bubuk kedalam
5 liter air bersih
4. Rendam instrument ke dalam larutan dekontaminasi selama ± 15 menit
5. Cuci instrument di dalam larutan dekontaminasi
6. Masukkan instrument yang sudah dicuci ke dalam baskom berisi air bersih
7. Bilas semua instrument yang sudah dicuci dengan air mengalir
8. Keringkan instrument dengan handuk bersih
9. Inventaris jumlah set instrument
10. Packing instrument menggunakan 2 lapis kain pembungkus instrument
11. Beri label nama set instrument dan berikan indikator pada pembungkus instrument
12. Letakkan set instrument di tempat yang disediakan untuk dikirim ke ILSS
13. Buang air bekas cucian yang ada pada baskom pertama dan kedua
14. Rapikan tempat mencuci instrumen.
DAFTAR PUSTAKA

Nunes. 2010. Buku Ajar THT, EGC, Jakarta.


Helmi. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorokan, FKUI,
Jakarta.
Djaafar. 1997. Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, EGC, Jakarta.
http://nurse-kid.blogspot.com/2012/08/asuhan-keperawatan-otitis-media_1.html,
(diakses tanggal 4 Maret 2017).
http://firwanintianur93.blogspot.co.id/2013/04/laporan-pendahuluan-otitis-
media_21.html?m=1 (diakses tanggal 4 Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai