Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Praktek Kerja Lapangan adalah salah satu kegiatan akademik yang wajib
dilaksanakan oleh mahasiswa di Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknik, Universitas Nusa Cendana yang bertujuan untuk mempersiapkan
mahasiswa secara mandiri dalam penyelesaian tugas serta mengembangkan
cakrawala berpikir mahasiswa dalam pengayaan wawasan ilmiah praktis di
lapangan. Alasan memilih tempat PKL di Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam (BBKSDA) NTT karena Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
(BBKSDA) merupakan salah satu instansi teknis yang relevan dengan Program
Studi Biologi.
Balai besar konservasi sumber daya alam (BBKSDA) NTT merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknisi (UPT) di bidang konervasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementrian
Kehutanan. Balai Besar KSDA NTT mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan
Taman Buru serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan luar
kawasan.
Ada berbagai tumbuhan dan satwa yang dapat di temui di TWA Pulau
Menipo yakni tipe vegetasi hutan kering, savana yang di dominasi jenis-jenis
Lontar (Borrassus flabelifer), hutan pantai yang ditumbuhi Cemara Laut
(Casuarina equisetifolia) dan hutan Mangrove yang di dominasi oleh jenis
Rhizophora mucronata dan Bruguiera sp. Ada juga potensi Fauna yang terdapat
di TWA Pulau Menipo adalah Rusa Timor (Cervus timorensis), Kakatua jambul
kuning (Cacatua sulphurea), Penyu Lekang (Lepidochelys olivachea), Penyu

1
Tempayan (Caretta carreta Linnaeus), Buaya muara (Crocodylus porosus),
Kalong (Pteropus vampyrus) dan lain-lain.
TWA Menipo tergolong tipe hutan pantai. Jenis vegetasi yang
mendominasi adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia). Beberapa sarang
yang ditemukan cenderung berada di bawah naungan cemara. Kondisi ini
berpengaruh positif terhadap aktifitas peneluran penyu yang sangat menyukai
vegetasi cemara sebagai vegetasi naungannya untuk bersarang. Berdasarkan
karakter fisik tersebut, terlihat bahwa Pulau menipo potensial bagi penyu untuk
membuat sarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nuitja (1992), bahwa penyu
cenderung memilih tempat bertelur dengan kemiringan ≤ 300. Kawasan pantai di
TWA Menipo memiliki kondisi pantai yang sangat baik untuk tempat penyu
meletakkan telur, selain memiliki panjang garis pantai sekitar 8,3 km, pantai ini
aman dari gangguan aktivitas masyarakat umum karena akses ke lokasi pantainya
yang cukup sulit. Penyu yang terdapat di Taman Wisata Alam Menipo yaitu
Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), dan Penyu Tempayan (Caretta carreta
Linnaeus).
Proses peneluran, yaitu penyu naik dan muncul dari hempasan ombak,
kemudian naik ke pantai lalu berdiam sebentar dan melihat sekelilingnya, penyu
akan bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak
cocok, penyu tersebut akan mencari tempat lain. Setelah mendapat tempat
bertelur yang cocok, penyu menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body
fit), penyu akan memulai proses penggalian lubang sarang dengan menggunakan
flipper belakang secara bergantian. Umumnya penyu membutuhkan waktu 45
menit untuk menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya. Sarang
telur ditimbun dengan pasir menggunakan tubuh dan keempat flipper (Syamsuni,
2016). Penyu akan membuat jejak penyamaran untuk menghilangkan lokasi
bertelurnya. Kemudian penyu kembali ke laut menuju hamparan ombak dan
menghilang diantara gelombang.

2
Penyu lekang bertelur 2-3 kali dalam setahun dengan interval waktu 10
sampai 14 hari. Penyu kemudian kembali bertelur di pantai semula setelah 3-4
tahun (Anonim,2009). Musim bertelur penyu pada daerah tropis lebih awal
datangnya yaitu antara bulan Desember sampai April dan mungkin dilakukan
oleh penyu sampai beberapa kali (Marcovaldi, 2001). Berdasarkan uraian di atas,
maka penulis mengambil judul “Tingkah laku bertelur penyu lekang
(Lepidochelys olivaceae) di Taman Wisata Alam Menipo Desa Enoraen
Kecamatan Amarasi Timur Kabupaten Kupang”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dilakukannya PKL adalah bagaimana perilaku
bertelur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) di Taman Wisata Alam Menipo
Desa Enoraen Kecamatan Amarasi Timur Kabupaten Kupang.

C. Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya PKL adalah mengetahui dan mempelajari
perilaku bertelur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) di Taman Wisata Alam
Menipo Desa Enoraen Kecamatan Amarasi Timur Kabupaten Kupang.

D. Manfaat
Manfaat dilaksanakannya PKL adalah sebagai berikut :
1) Sebagai acuan untuk pengenalan lapangan dalam rangka proses penyusunan
tugas akhir.
2) Sebagrai informasi untuk pengambilan kebijakan ke depan ditingkat
BBKSDA NTT.

3
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

A. Siklus Hidup
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu mempunyai
pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan 20-25 tahun untuk mendapai
usia dewasa (siap bertelur). Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat
sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menepuh jarak yang jauh, yaitu bisa
mencapai 3.000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran. pada umur sekitar 20-
50 tahun, penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar
daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di laut lepas, satu atau
dua bulan sebelum peneluran pertama di musim bertelur (Anonim, 2009).
Penyu betina melakukan perkawinan lebih dari satu jantan dan menyimpan
sperma di dalam spermatheca dan dapat dipergunakan saat ovulasi. Penyu jantan
biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan
kegiatan bertelur setiap dua minggu di pantai. Penyu betina akan keluar dari laut
jika telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret
tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat lubang badan dengan sirip
depan, lalu menggali lubang sarang dengan kedalaman 30-60 cm menggunakan
sirip belakang. Jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, penyu
akan berpidah ke lokasi lain. Kebanyakan penyu memerlukan waktu sekitar 45
menit untuk menggali sarang dan sekitar 10-20 menit untuk bertelur. Setelah
meletakkan telurnnya, penyu menutup lubang sarang dengan pasir menggunakan
sirip belakangnya.
Penyu betina juga setia kembali pada tempat bertelurnya serta dapat
bermigrasi antara tempat mencari makan dengan lokasi reproduksi. Namun, ada
beberapa faktor yang merubah pola migrasi seperti perubahan iklim, kelangkaan
pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi

4
bencana alam yang hebat di daerah peneluran, misalnya tsunami. Suhu sarang
saat inkubasi sangat menentukan jenis kelamin tukik (Anonim,2009).
Beberapa spesies penyu laut, setelah ditetaskan kemungkinan yang terjadi
adalah penyu akan hanyut di laut terbuka untuk beberapa tahun, dan saat dewasa
penyu akan melakukan migrasi secara periodic hingga 2.700 km antara tempat
mencari makan dan tempat kawin. Studi aral tagging menunjukkan bahwa betina
yang akan bertelur kembali ke sarang pada pantai tertentu untuk musim
berikutnya. Siklus hidup penyu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Penyu (Anonim, tahun 2009)


B. Perilaku
Perilaku yaitu tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara
organisme dengan lingkungannya. Perilaku tersebut dapat di pengaruhi oleh
faktor dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen). Faktor dalam disebabkan oleh
aktifitas hormon atau saraf, sedangkan faktor luar disebabkan oleh predator atau
iklim. (Kimball, 1983). Perilaku berdasarkan asalnya dapat di bagi menjadi dua
yaitu :

5
1. Perilaku bawaan yaitu perilaku yang dibawa sejak lahir atau diwariskan dari
nenek moyangnya (misalnya perilaku lebah dalam membuat sarang)
2. Perilaku terajar yaitu perilaku yang menjadi berubah akibat pengalaman
individu organisme itu sendiri (misalnya melatih gajah untuk duduk)

Mengamati atau meneliti perilaku suatu satwa, terlebih dahulu kita harus
menentukan deskripsi tipe perilaku yang akan dipelajari. Lenher (1979) membagi
deskripsi perilaku menjadi dua :
 Deskripsi empiris, yakni penggambaran perilaku dalam bentuk gerakan tubuh
atau bagian-bagian tubuh (misalnya gerakan memperlihatkan gigi)
 Deskripsi fungsional, yakni penggambaran perilaku berdasar fungsi perilaku
(misalnya ancaman dengan memperlihatkan gigi)

Selanjutnya setelah deskripsi perilaku ditetapkan, maka menurut Lehner


(1979) perilaku tersebut dapat dikategorikan berdasarkan lama waktunya yaitu :

 State adalah perilaku satwa yang sedang terjadi, dapat dihitung dalam waktu
lamanya berperilaku, misalnya perilaku bertelur penyu
 Even adalah perilaku satwa atau state kejadiannya berlangsung dengan cepat,
hanya dapat dihitung kejadiannya, misalnya perubahan perilaku makan ke
istirahat.
Perilaku satwa merupakan ekspresi satwa sebagai akibat dari rangsangan
(stimulus) yang datang dari dalam maupun luar tubuhnya (Suramto, 1979). Pada
hakekatnya rangsangan akan menimbulkan suatu perubahan baik didalam atau
diluar tubuh satwa.
C. Pengaruh Faktor Lingkungan Pada Pembuatan Sarang Penyu
a. Suhu
Suhu pasir sangat berpengaruh pada proses peneluran dan penetasan
penyu, suhu pasir yang terlalu tinggi (>35⁰C) akan menyulitkan penyu

6
untuk membuat sarang, sedangkan suhu terlalu rendah (<25⁰C) akan
berpengaruh pada massa inkubasi dan tingkat keberhasilan penetasan
penyu (Dharmadi san Wiadnyana 2008). Pertumbuhan embrio penyu
sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran
suhu 24-33⁰C dan akan mati apabila diluar kisaran suhu tertentu (Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009). Semakin tinggi suhu pasir,
maka telur akan cepat menetas. Penelitian pada telur penyu hijau yang
ditempatkan pada suhu pasir yang berbeda menunjukkan bahwa telur yang
diinkubasi pada suhu 32⁰C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur
yang diinkubasi pada suhu pasir 24⁰C menetas dalam waktu lebih dari 80
hari (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009).
b. Vegetasi
Penyu hijau memiliki kecenderungan untuk memilih tempat bertelur di
daerah pantai yang berlatar belakang vegetasi pohon pandan (Pandanus
tectorius) yang lebat, seperti terdapat di Pulau Berhala dan Kepulauan
Heron di Australia (Bustard 1972). Penyu hijau cenderung membuat
sarang dibawah naungan pohon pandan laut, karena system perakaran
pandan laut memungkinkan kelembaban pasir, membersihkan kestabilan
suhu pada pasir dan member rasa aman pada penyu saat melakukan
penggalian sarang. Tekstur pasir yang relative halus, vegetasi pantai yang
didominasi oleh jenis tanaman kangkung laut (Ipomea pescaprae) yang
merambat, pandan laut (Pandanus tectorius), serta waru (Thespesia
populnea) merupakan habitat yang disukai oleh penyu hijau sebagai lokasi
peneluran (Nuitja,1992). Selanjutnya dijelaskan, kehadiran hutan yang
lebat memberikan pengaruh yang baik pada kestabilan populasi penyu
yang bertelur. Jika pohon-pohon tumbuh dengan lebat, maka daun-daun
yang jatuh lama-kelamaan mengalami proses dekomposisi menjadi
partikel-partikel mineral dan langsung hanyut terbawa air ke laut. Proses
tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga kesuburan perairan

7
dapat tetap terjamin. Kesuburan perairan manjadi kebutuhan biota yang
hidup di daerah tersebut, seperti tumbuhnya rumputan laut dan tersedianya
invertebrate laut berypa zooplankton, dimana invertrbrata laut merupakan
makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu hijau yang masih juvenil
(tukik).

c. Cuaca
Cuaca adalah keadaan udara pada suatu daerah yang sempit dalam
waktu yang relativ singkat. Unsur-unsur dari cuaca meliputi suhu udara,
radiasi, tekanan udara, kelembapan udara, keadaan awan, dan curah hujan.
Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena perubahan cuaca dapat
mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menetukan terjadinya
gemlombang dan arus di permukaan laut, sedangkan curah hujan dapat
menentukan salinitas air laut. Sebaliknya, proses fisik air laut seperti
terjadinya air naik (upwelling) dapat memengaruhi keadaan cuaca
setempat (Nuitja, 1987). Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan
dengan faktor cuaca. Di Pantai Pangumbahan, penyu hijau akan muncul
dari hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama pada saat
bulan purnama. Pada musim barat, angin bertiup kencang dan kadangkala
disertai dengan badai yang sangat besar. Angin yang kencang
menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran
pasir dan benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai.
Dalam periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan lebih sulit
untuk digali akibat cuaca hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan
hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu
untuk menunda proses bertelurnya. Dapat disimpulkan bahwa unsur cuaca
yang paling berpengaruh pada pendaratan penyu adalah curah hujan yang
turun di sekitar pantai peneluran penyu (Nuitja,1992).

8
D. Biologi Penyu Lekang
a. Taksonomi Penyu Lekang
Menurut Jatu (2007), klasifikasi penyu lekang adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Sauropsida
Order : Testudinata
Family : Cheloniidae
Genus : Lepidochelys
Species : Lepidochelys olivacea
Nama local : Penyu lekang

b. Ciri-ciri Morfologi
Spesies ini mudah dikenali dengan tubuhnya yang agak datar,
kepalanya besar dengan dua pasang sisik prefontal (sisik yang ada di kanan
dan kiri mata). Warna tubuh bagian atas pada penyu muda (immature)
adalah abu-abu, sedangkan pada penyu dewasa (addult) berwarna hijau
olive.
Bagian bawah berwarna putih pada penyu muda, dan penyu dewasa
mendekati kuning (Pritchard et. Al, 1983). Sisik lateral dikatakan
berjumlah 5-9 pasang, namun biasanya berjumlah 6-8 pasang (Carr, 1952).
Sekilas hampir tidak ada perbedaan dengan kerabatnya dari genus yang
sama, yaitu Lepidochelys kempii, namun apabila diamati lebih mendalam
akan terlihat perbedaannya. Marquez (1990) menyatakan bahwa penyu
lekang lebih ramping dan ringan dibanding Lepidochelys kempii.
Reptil ini mempunyai rumah yang mebungkus tubuhnya. Rumah
terdiri dari 2 bagian, bagian atas disebut dengan karapas atau batok
punggung sedang bagian bawah atau perut disebut plastron. Karapas
tersusun atas 2 lapisan, yakni lapisan dalam dan lapisan luar. Lapisan luar

9
merupakan lapisan epidermal yang berbentuk sisik-sisik yang keras.
Lapisan dalam merupakan tempat menempelnya tulang belakang, kecuali
tulang leher dan tulang ekor sehingga kedua tulang tersebut dapat bergerak
bebas (Frazer, 1983). Bentuk karapas pada penyu dewasa bila dilihat dari
atas hampir bulat (Marquez, 1990). Pada sisi lateral naik membengkok
keatas dan mendatar pada permukaannya. Lebar karapas lurus (Straught
Carapace Width, SCW) 90% panjang karapas lurus (Straight Carapace
Lenghth, SCL).

Gambar 2. Penyu lekang. Sumber : Marques,1990

Karapas berpori dengan 5-9 pasang sisik punggung (costal scuter)


yang tidak saling tumpang tindih. Kadang-kadang jumlah antara jumlah
sisik kiri dan kanan berbeda (Anonimous, 1988). Mempunyai cakar pada
setiap lengan, punggung berwarna abu-abu dan pada bagian perut berwarna
putih kekuningan (Fischer, 1978).

Kepala kecil berukuran sekitar 22% dari ukuran karapas. Mempunyai


moncong yang keras tertutup oleh 2 pasang perisai depan yang merupakan
ciri khusus spesies ini (Anonimous, 1988). Mulut tidak bergigi karena
peranan gigi digantikan oleh adanya sepasang rahang yang kuat dan
mampu melumatkan, mengigit bahkan mencabik mangsanya. Untuk

10
membedakan jenis kelaminnya pada penyu jantan mempunyai ekor yang
panjang dan satu cakar lengkung pada setiap sirip depan (Halliday, 1982)

Nuitja (1992) menyatakan bahwa ditemukan penyu lekang berukuran


150 cm di West Indies. Pendapat lain yang menyatakan ukuran panjang
rata-rata penyu ini adalah 75 cm (Halliday et. Al, 1982)

c. Reproduksi Penyu Lekang


Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu
dewasa jantan dan betina melalui tahap perkawinan, peneluran sanmpai
menghasilkan generasi baru(tukik). Semua jenis penyu laut bertelur lebih
dari satu kali, dalam satu periode musim. Bioreproduksi menurut Nuitja
(1992), yaitu penyu laut yang bertelur di daerah empat musim terutama di
bagian ekuator. Proses peneluran, yaitu penyu naik dan muncul dari
hempasan ombak, kemudian naik ke pantai lalu berdiam sebentar dan
melihat sekelilingnya, setelah itu penyu bergerak melacak pasir yang cocok
untuk membuat sarang. Jika tidak cocok, penyu tersebut akan mencari
tempat lain. Setelah mendapat tempat bertelur yang cocok, penyu menggali
kubamgan untuk tumpuan tubuhnya (body fit), lalu dilanjutkan dengan
menggali sarang telur. Umumnya penyu membutuhkan waktu 45 menit
untuk menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya. Sarang
telur ditimbun dengan pasir menggunakan ke empat kakinya (Syamsuni,
2016).
Setelah itu penyu membuat jejak penyamaran untun menghilangkan
lokasi bertelurnya. Penyu kembali ke laut menuju hamparan ombak dan
menghilang diantara gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut,
ada yang bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok. Penyu lekang di
suriname dilaporkan bertelur 2-3 kali dalam setahun dengan interval waktu
10 sampai 14 hari. Setelah 3-4 tahun kemudian, penyu tersebut kembali
bertelur di pantai semula. Penyu lekang mempunyai keunikan pada massa

11
bersarang tahunan (Arribada) di Orissa (India), yaitu beberapa ribu ekor
penyu berimigrasi menuju tempat reproduksi (breeding ground) untuk
kawin dan bersarang secara bersamaan (Anonim,2009).
Lamanya periode inklubasi telur secara berturut-turut, yaitu penyu
sisik (Eretmochelys imbricata) 43-80 hari, penyu lekang (Lepidochelys
olivacea) 46-91 hari, penyu hijau (Chelonia mydas) 43-70 hari,
penyupenyu kempi (Dermochelys imbricata) 45-58 hari. Peyu tempayan
(Carreta carreta) 46-69 hari, dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
50-70 hari. Jenis kelamin penyu ditentukan oleh besarnya suhu lingkungan
atau suhu sarang. Suhu tinggi akan menghasilkan individu betina,
sedangkan pada suhu rendah akan menghasilkan individu jantan. Suhu
penentuan jenis kelamin pada penyu sisik dan penyu belimbing, yaitu 29-
30⁰C. Penyu tempayan juga berada pada suhu 30⁰C. Besarnya suhu yang
seperti ini akan menghasilkan individu betina. Sebaliknya, dibawah suhu
inkubasi 29⁰C - 30⁰C akan menghasilkan individu jantan. Sedangkan pada
penyu lekang, yaitu suhu inkubasi 28⁰C akan menghasilkan individu jantan
(Anonim,2009).

d. Perilaku Bertelur
Penyu lekang bertelur setiap tahun, tidak seperti jenis lainnya bertelur
setiap 3-4 tahun sekali (Anonimous, 1988). Selain itu jenis ini mempunyai
karakteristik yang unik yakni pola bertelur dalam jumlah yang besar yang
disebut Arribada atau Aribazones. Koloni peneluran tersebar pernah
dijumpai adalah di Timur Pasifik, dimana 5.000 ekor lebih penyu lekang
bertelur sepanjang pantai Mexico dan Costa Rica (Carr, 1986).
Penyu lekang melakukan Arribada di pantai Playa Nastica Costa Rica
pada tanggal 11 Agustus 1990, mulai pukul 04:30 satu jam sebelum pasang
tertinggi sampai pukul 09.30 waktu setempat. Total penyu yang mendarat
sekitar 100 ekor dan masih sekitar 600-700 ekor lainnya berenang di

12
sepanjang ombak. Pada kedalaman 3-6 m dibawah permukaan laut pada
saat surut, penyu tampak dalam keadaan tidur. Kemudian pada pukul 17:15
WIB mereka mulai bergerak naik menuju daratan hingga pukul 03:00 WIB
untuk bertelur. Saat itu penyu yang naik untuk bertelur berjumlah 3.000-
4.000 ekor (Cornelius, 1990).
Penyu lekang sangat peka pada suhu, sehingga tidak pernah di temui
penyu yang bertelur pada siang hari. Sore hari ketika pasir sudah menjadi
dingin, penyu-penyu akan menuju pantai dan akan semakin banyak ketika
hari semakin malam, dan menjelang pagi bersiap meninggalkan pantai
(Marquez, 1990).
Penyu lekang bertelur di malam hari, mempunyai kesukaan pantai
pendaratan yang landai dengan kemiringan 30°C- 40°C, bebasa dari
gelombang pasang dengan pasir yang halur berwarna putih (Anonimous,
1993). Mereka muncul dari lautan dikegelapan malam menoleh ke kiri dan
ke kanan sebelum menuju tempat peneluran dengan paling banyak 2 kali
berhenti untuk mengetahui situasi pasir yang akan dibuat sarang telurnya.
Kemudian akan mulai menggali lubang tubuh (Body pit) menggunakan
sepasang kaki depan sebanyak 25-30 kali. Seusai penggalian lubang tubuh
penyu akan melangkah kedepan dan dengan sepasang kaki belakangnya
membuat tempat peletakan telur-telurnya (egg ehamber), kemudian penyu
akan bertelur selama kurang lebih 25 menit. Kegiatan selanjutnya adalah
penutupan sarang dengan pasir diakhiri dengan penandaan pasir yang
menutupi sarang dengan cara mengoyang-goyangkan tubuh di atas sarang.
Setelah semua proses berakhir induk penyu akan kembali menuju lautan.
Ada perbedaan perilaku bertelur antara penyu lekang dengan penyu
hijau, yaitu penyu lekang hanya sedikit menggali lubang tubuhnya
dibanding penyu hijau. Jejak penyu lekang yang dibuat pada pasir sebelum
bertelur mempuyai lebar kurang lebih 80 cm dengan lintasan yang dangkal,
tanda diagonal yang di buat oleh kaki depan tidak simetris. Sarang yang

13
dibuat oleh penyu lekang mempunyai kedalaman 40 cm dengan diameter
17 cm pada permukaan dengan permukaan lebih besar beberapa cm meter
lagi dibagian bawah (Anonimous, 1993).
Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk penyu lekang lebih
sedikit dari jumlah telur yang dihasilkan oleh jenis lainnya. Telur yang
dihasilkan berwarna putih dengan berat 29-36 gr, pada sarang bagian
bawah berat telurnya adalah 29-32 gr (Nuitja, 1992). Kemudian kurang
lebih 14 hari induk penyu akan kembali datang untuk bertelur disekitar
tempat penelurannya yang pertama, hal ini akan berulang 4-5 kali dalam
setahun.

e. Habitat Bertelur
Penyu lekang umumnya berimingrasi sepanjang paparan benua dan
mencari makan di perairan yang hangat, cenderung sudah ditemuakn pada
musim panas dan bertelur dimusim bertelur pada pantai yang landai yang
halus sampai sedang atau sedikit kasar. Lokasi pantai peneluran biasanya
terisolasi, kadan-kadang juga ditemukan terpisah dari tempat peneluran
utama seperti di daerah pesisir laguna. Pencarian tempat bertelur menuju
tempat peneluran secara bergerombol (arribazones) ada hubungan dengan
menghindari predator untuk melindungi generasi mereka.
Menurut Carr (1952) dalam Darmawan (1995) induk penyu akan
bertelur pada pantai yang tidak jauh dari daerah sumber makanan ,
sedangkan Ehrenfold (1979) dalam Darmawan (1995) menyatakan bahwa
pemilihan lokasi bertelur di tandai dengan tipe pantai. Beberpa individu
memiliki lokasi peneluran yang sama dengan lokasi peneluran tahun
sebelumnya.
Berdasar penelitian Marten dalam Hutabarat (1996) dikemukakan
bahwa penyu memiliki kemoreseptor yang dapat mengenali zat kimia
tertentu yang pernah dicium sebelumnya. Dengan kemoreseptor tersebut

14
penyu lekang yang berada disekitar pantai dapat mengenali bau feromon.
Bau feromon kemudian merangsang penyu untuk bertelur bersama-sama.
Formasi vegetasi hutan pantai juga mempengaruhi lokasi peneluran.
Carr (1952) menyatakan penyu di pantai Costa Rica umumnya membuat
sarang di pantai yang hampir tidak ada vegetasinya bebas dari sampah dan
tidak jauh dari batas pasang surut tertinggi. Menurut Komara (1981) dalam
Suharso (1995) semua jenis penyu laut, baik yang hidup di perairan
Atlantik maupun Pasifik pada umunya gemar berada di laut yang dangkal
dan bervegetasi.

15
BAB III

METODE PELAKSANAAN PKL

A. Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Kegiatan


Praktek Kerja Lapangan berlangsung selama 1 bulan, yakni dari tanggal 3
Agustus 2017 sampai 3 September 2018 di Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam (BBKSDA) NTT.

B. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam pengamatan adalah alat tulis, ember, senter,
meteran dan kamera.

C. Metode Pelaksanaan PKL


Adapun metode yang dilakukan yaitu pengamatan langsung dan observasi
lapangan. Pengambilan data yang diambil/diperoleh secara langsung di lapangan
melalui wawancara dengan kepala resort dan petugas lapangan. Pengamatan
langsung di lapangan mengenai perilaku bertelur penyu lekang di TWA Menipo.
Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan materi dari petugas lapangan mengenai
simaksi dan satwa prioritas NTT.

D. Prosedur Pengamatan di Lapangan


1. Alat dan bahan yang akan digunakan saat pengamatan di lapangan disiapkan
yaitu berupa alat tulis, ember, senter, meteran dan kamera.
2. Mengamati penyu yang naik ke darat untuk mencari tempat bertelur. Penyu
yang naik ke darat dan telah mendapatkan tempat untuk bertelur, terlebih
dahulu akan membersihkan sarang tempatnya untuk bertelur.
3. Setelah penyu merasa aman, penyu akan mulai menggali lubang dengan
menggunakan kaki belakang untuk bertelur.

16
4. Penyu mulai bertelur, setelah selesai bertelur penyu menutup lubang sarang
dengan memukul-mukul permukaan sarang dengan tubuh dan keempat
flipper.
5. Penyu yang telah selesai bertelur akan bergerak kembali ke laut. Setelah
penyu bertelur dan kembali ke laut.

E. Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif.

17
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perilaku Bertelur Penyu Lekang di TWA Menipo

Hasil dari Praktek Kerja Lapangan antara lain, mempelajari kegiatan


administrasi di kantor dan dapat terlibat langsung dalam kegiatan di lapangan
yakni mempelajari dan mengetahui jenis satwa yang terdapat di Kawasan TWA
Menipo khusunya mengenai tingkah laku bertelur penyu dan karakteristik sarang
alami Penyu Lekang (Lepidochelys olivachea) di TWA Menipo. Mahasiswa juga
mendapatkan materi tentang simaksi (Surat Masuk Kawasan Konservasi)
merupakan izin yang diberikan oleh petugas yang berwenang kepada pemohon
untuk masuk kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan
Taman Buru.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, ditemukan 1 ekor penyu


lekang yang mendarat dan bertelur pada tanggal 27 Agustus 2018 pukul 22:01
WITA. Penyu mulai muncul dari gelombang laut lalu menoleh ke arah kiri dan
kanan dengan dua kali berhenti untuk mengetahui kondisi pasir dan vegetasi
yang akan dijadikan tempat pembuatan sarang. Vegetasi berperan penting dalam
melindungi sarang penyu dari pengaruh matahari dan perubahan suhu yang tajam
di sekitar sarang serta menghindarinya dari predator. Vegetasi yang terdapat di
sekitar TWA Menipo tergolong tipe hutan pantai. Jenis vegetasi yang
mendominasi adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia) . Beberapa sarang
yang ditemukan cenderung berada di bawah naungan cemara. Kondisi ini
berpengaruh positif terhadap aktifitas peneluran penyu yang sangat menyukai
vegetasi cemara sebagai vegetasi naungannya untuk bersarang. Berdasarkan
karakter fisik tersebut, terlihat bahwa Pulau menipo potensial bagi penyu untuk
membuat sarang.

18
Waktu penyu lekang menuju tempat yang cocok untuk pembuatan sarang
adalah pada pukul 22:23 WITA. Penyu lebih menyukai tempat yang sepi untuk
bertelur dikarenakan penyu termasuk hewan yang sangat peka terhadap gangguan
pergerakan maupun penyinaran, jika terancam penyu akan segera kembali ke
laut. Oleh sebab itu penyu memilih bertelur pada tengah malam. Penyu
mebersihkan tempatnya sebelum bertelur. Setelah penyu merasa aman penyu
tersebut mulai menggali lubang menggunakan kaki belakang dengan kedalaman
sarang berkisar antara 30-40 cm dan rata-rata diameter sarangnya 30 cm. Seusai
penggalian, penyu mulai bertelur, penyu mengeluarkan telur satu per satu,
kadangkala serentak dua sampai tiga telur. Jumlah telur yang dihasilkan penyu
50 butir. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pegawai bahwa, penyu
hanya dapat menghasilkan 50 butir telur dikarenakan penyu baru pertama kali
mendarat dan bertelur sehingga jumlah telur yang dihasilkannya sedikit.
Berdasarkan sumber yang diperoleh jumlah telur dari jenis penyu lekang setiap
sarang antara 30-147 telur. (Nuitja, 1992).

Pada saat proses bertelur berlangsung, penyu terlihat mengeluaran air mata
yang merupakan salah satu proses mengeluarkan kelebihan kadar garam dalam
tubuhnya (Osmoregulasi) (Nuitja, 1992). Penyu akan menimbun sarang dengan
pasir menggunakan flipper belakang setelah selesai bertelur, lalu memadatkan
pasir pada permukaan sarang dengan cara memukul-mukul permukaan sarang
dengan tubuhnya dan keempat flipper. Hal ini dilakukan penyu agar telur penyu
terlindungi dari predator. Selain itu, penyu juga membuat sarang semu
(penyamaran) untuk mengelabui predator. Waktu penutupan lubang adalah pada
pukul 23:00 WITA. Penyu bergerak kembali ke laut setelah melakukan aktifitas
peneluran pada waktu 23;12 WITA. Adapun proses pembuatan sarang dan
peneluran yang diamati tertera pada gambar 1.

19
a b

c d
Gambar 1. a) Proses pembuatan sarang; b) Penyu lekang saat bertelur; c) Penyu
lekang menimbun sarang; d) Jejak penyu lekang betina di TWA
Menipo

Sarang penyu mencapai kedalaman sekitar 40-80 cm dengan diameter


lubang bagian atas antara 20-30 cm. Kedalaman sarang erat kaitannya dengan
suhu dan keberhasilan penetasan. Semakin dalam sarang, maka suhu semakin
tetap bila dibandingkan dengan suhu permukaan sarang, dan suhu pada bagian
tengah sarang lebih tinggi dibandingkan suhu pada bagian permukaan dan
samping sarang (Nuitja, 1992). Semakin dalam sarang semakin besar pula energi
yang dibutuhkan tukik yang menetas untuk merangkak dan sampai dipermukaan
sarang, sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan kemunculan tukik tersebut.

Hasil pengamatan yang dilakukan, mahasiswa tidak melakukan pengukuran


terhadap suhu pasir karena keterbatasan alat. Berdasarkan sumber yang
diperoleh, pertumbuhan embrio penyu sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu
mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu, jika suhu terlalu rendah di

20
bawah 24ºC dapat mengakibatkan lamanya masa inkubasi telur sedangkan jika
suhu terlalu tinggi di atas 33ºC dapat mengakibatkan tukik mati (Yusuf,2000)
Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 24-33°C (Anonim 2009).
Berdasarkan hasil wawancara dan sumber yang didapat rata-rata suhu pasir di
kawasan pantai TWA Menipo berkisar antara 25⁰c34⁰c

Penyu Lekang yang ada di TWA Pulau Menipo biasanya bertelur di pantai
berpasir gelap yang mudah digali dan dianggap aman untuk bertelur.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, penyu Lekang
(Lepidochelys olivachea) yang terdapat di kawasan TWA Pulau Menipo akan
memilih lokasi pendaratan dengan jenis pasir halus dengan hamparan yang luas
dan landai serta substrat pasir yang berwarna gelap. Seperti halnya kondisi
habitat peneluran penyu, kawasan TWA Pulau Menipo termasuk daerah pesisir,
umumnya berupa pasir putih halus. Penyu bertelur di pantai yang berpasir halus,
karena pasir halus lebih mudah digali dari pada pasir kasar dan kerikil
(Nybakken, 1988). Tekstur pasir pantai juga mempengaruhi penyerapan air dan
keberhasilan penetasan. Pasir kasar lebih sedikit menyimpan air daripada pasir
halus, karena pasir kasar mempunyai pori yang lebih besar (Ackerman, 1997).

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas, selain vegetasi dan tekstur


pasir ada juga faktor lain yang berpengaruh pada pemilihan lokasi bertelur penyu
lekang antara lain kemiringan pantai dan keberadaan pemangsa. TWA Menipo
memiliki kisaran kemiringan antara 28˚-32˚. Hal ini menunjukan bahwa pantai
tersebut termasuk pantai yang landai sehingga memudahkan penyu menuju
daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai tempat peneluran.
Pemangsa telur penyu, adalah babi hutan (Sus serofa), ajing hutan (Cuon
alpinus), dan biawak air (Varanus salvator) (Nuitja, 1992).

21
BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

Tingkah laku bertelur penyu lekang di TWA Menipo sebagai berikut ;


Waktu penyu lekang menuju tempat yang cocok untuk pembuatan sarang adalah
pada pukul 22:23 WITA. Penyu mebersihkan tempatnya sebelum bertelur. Setelah
penyu merasa aman penyu tersebut mulai menggali lubang menggunakan kaki
belakang dengan kedalaman sarang berkirar antara 30-40 cm dan rata-rata
diameter sarangnya 30 cm. Seusai penggalian, penyu mulai bertelur, penyu
mengeluarkan telur satu per satu, kadangkala serentak dua sampai tiga telur.
Jumlah telur yang dihasilkan penyu 50 butir.

Penyu akan menimbun sarang dengan pasir menggunakan flipper belakang


setelah selesai bertelur, lalu memadatkan pasir pada permukaan sarang dengan
cara memukul-mukul permukaan sarang dengan tubuhnya dan keempat flipper,
waktu penutupan lubang adalah pada pukul 23:00 WITA. Penyu bergerak kembali
ke laut setelah melakukan aktifitas peneluran pada waktu 23;12 WITA

B. Saran
1) Diharapkan adanya pembuatan sarang semi alami yang lebih memadai
sehingga telur-telur penyu yang disimpan di sarang semi alami lebih aman.
2) Diharapkan adanya penginapan yang lebih memadai di TWA Menipo
sehingga para petugas bisa lebih nyaman ketika bermalam di Menipo.
3) Diperlukan perhatian khusus utuk konservasi penyu di TWA Menipo
sehingga kelestarian penyu lekang tetap terjaga

22

Anda mungkin juga menyukai