Anda di halaman 1dari 218

G.

Geulis
G. Geulis
G. Geulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di


Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota
pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai dengan
konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan
tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan
bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota
yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre)
yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat
pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk
mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan
tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa
Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan
empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi
Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti
(UNWIM).
Selanjutnyan “Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang
sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten
Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta
Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan
Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian
nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan
pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan
menjadi 26 kecamatan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 1


Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK)
Perguruan Tinggi Jatinangor Tahun 2000 – 2010, kawasan pendidikan tinggi
Jatinangor adalah kawasan yang meliputi delapan desa dari duabelas desa yang
termasuk Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang yaitu:
1. Desa Cikeruh 5. Desa Sayang
2. Desa Hegarmanah 6. Desa Cipacing
3. Desa Cilayung 7. Desa Jatiroke
4. Desa Cibeusi 8. Desa Cileles,
serta dua desa yang termasuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, yaitu:
1. Desa Cileunyi Wetan
2. Desa Cileunyi Kulon.
Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi
mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas
akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa.
Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh
pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih
beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula
industri dan kerajinan rumah tangga.

Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun
1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan
kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung
cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut
yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun
1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut
dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan
Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai
kawasan relokasi perguruan tinggi di atas.

Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan
mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan.
Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di
sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi
mahasiswa.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 2


Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah,
karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga
pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi
lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota. Hal ini
menyebabkan belum diterapkannya konsep tata ruang kota yang ada secara
konsisten, meskipun kawasan Jatinangor telah memiliki beberapa rencana tata
ruang sejak tahun 1987. Kebijakan Penataan ruang terbaru adalah Rencana
Detail Tata Ruang Pusat Kecamatan Cikeruh 1995-2005, kemudian Rencana
Umum Tata Ruang Kawasan Pendidikan Jatinangor 1999- 2010.

Menurut Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Jatinangor


(2002), rencana-rencana tata ruang yang ada mempunyai kesamaan dalam
fungsi utama yaitu sebagai lokasi perguruan tinggi dan pusat rekreasi. Untuk
fungsi umum, ada sedikit perbedaan yaitu dalam pelayanan sosial, terminal, jasa
dan distribusi, pusat pemasaran barang dan jasa, pusat pelayanan kesehatan,
kegiatan industri, permukiman dan perkantoran. Disamping itu terdapat
beberapa perbedaan prinsip seperti penetapan jalan tol, TPA, sumber air baku,
pemakaian air tanah, sumber pelayanan listrik, telepon dan lain-lain.

Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi


akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari
pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat,
ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet,
penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan
mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta
udara terasa panas. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air
karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak.

Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas


akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat.
Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin
menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara
sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh
interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 3


terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal
(Bapeda, 2002).

Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis
lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206
penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan
langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda
kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta
Cikeruh.

Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang


terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,
pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah
warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)
tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap
Jatinangor.

Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang


signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian
(petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya
sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti
buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk
dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta
adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi
12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah
penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari
struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya
4,1% lulusan perguruan tinggi.

Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan


ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang
lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan
pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota
Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non
pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan
toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 4
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju
mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.

Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap


kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa
keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata
pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan.
Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual
dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk
mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah
tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi
mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar.

Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang


perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada
penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat
mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh
manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang.
Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa,
menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para
pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan
perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan
bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan
kualitas tenaga kerja yang rendah.
Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan
selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non
pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh
munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Besar tumpukan sampah di Kecamatan Jatinangor yang bersumber dari
perumahan, industri, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran dan fasilitas
pendidikan yang mencakup sekolah-sekolah dan dan perguruan tinggi mencapai
96 m3/hari. Menurut proyeksi pada tahun 2005 meningkat menjadi 116,31
m3/hari, tahun 2010 sebesar 135,52 m3/hari, tahun 2015 menjadi 157,78
m3/hari, serta pada tahun 2020 mencapai 182,76 m3/hari.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 5


Ketersediaan air di Kawasan Jatinangor memiliki karakteristik yang
berbeda antara air tanah tengah dan air tanah dangkal. Potensi air tanah dangkal
di Jatinagor sebesar 18.890.649 m3/tahun, pengambilannya sebesar 2.619.933,5
m3tahuni Untuk air tanah tengah sebesar 2.000.000 m3/tahun, sedangkan
pengambilannya sebesar 4.600.000 m3/tahun. Dari data tersebut terjadi
ketidakseimbangan dalam pengambilan air tanah tengan yang dilakukan oleh
kegiatan industri pada kedalaman 40 s.d 150 meter di dalam tanah. Pengambilan
air tahan tengah secara berlebihan mengakibatkan penurunan muka air tanah di
Jatinangor sebesar 3.5 meter per tahun (Diponegoro, 2004). Hal ini didukung
oleh pencatatan hidrografi di PT Coca Cola yang menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan muka air tanah sebesar 20 meter selama enam bulan terakhir
(www.pikiranrakyat.com)
Dari aspek transportasi, Jalan Raya Jatinangor merupakan jalan arteri
primer yang memiliki intensitas kegiatan di sepanjang jalan yang banyak
membangkitkan pergerakan. Karakterisrik pergerakan ideal di Jalan Raya
Jatinangor adalah pergerakan kendaraan yang relatif cepat dan bebas hambatan.
Namur sepanjang jalan dari Kampus IPDN s.d UNPAD banyak pejalan kaki,
serta banyaknya angkutan umum yang menunggu dan menaik-turunkan
penumpang sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas.
Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Secara sosiologis maupun geografis, kawasan Jatingangor merupakan
kawasan pinggiran (periphery), yaitu kawasan yang dilihat aspek jaraknya jauh
dari pusat kota bahkan ada di perbatasan dengan wilayah juridiksi kabupaten
lain. Sementara itu, dari aspek hubungan politik personal ataupun kelompok,
kawasan ini cukup jauh dari kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Oleh
karena itu, sejumlah permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan
bahwa Jatinangor seolah-olah tidak bertuan karena memang secara sadar
ataupun tidak, kawasan ini terkategorikan kawasan pinggiran.

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi


masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 6


perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola
kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian,
berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup
punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai
penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan
politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan
dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang
secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak
mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan.

Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciri-


ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan
kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan
mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan
baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan.

1.2 Perumusan Masalah


Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor secara planologis telah
berubah menjadi kawasan terbangun (urbanized area), mengalami
perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum
berstatus sebagai kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.
Untuk menetapkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan tidak cukup hanya
dengan menetapkan dari aspek fisik saja tetapi diperlukan kajian bagaimana
kelayakan kawasan Jatinangor dari aspek lain seperti kependudukan, ekonomi,
kelembagaan/ pemerintahan, lingkungan serta aspek tata ruang dan
pengembangan wilayahnya.

1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran

Maksud dilakukannya studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan


menganalisis tingkat kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan,
sedangkan tujuannya adalah :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 7
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan Jatinangor sebagai kawasan
perkotaan dari aspek aspek sosia ekonomi, kelembagaan, lingkungan, serta
aspek tata ruang..
2. Memberikan rekomendasi secara umum tenteng kebutuhan-kebutuhan
kawasan Jatinangor untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai kawasan
perkotaan.
3. Merumuskan saran-saran studi lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka
persiapan untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan.
Adapun sasaran dari kegiatan studi ini yaitu :
1. Terdeliniasi kawasan perkotaan dengan perumusan fungsi kawasan sesuai
dalam karakteristik dan arahan kebijakan yang telah ditetapkan pada
perencanaan yang lebih .
2. Terumuskannya tipologi kota dan memetakan standar kebutuhan kota
sesuai tipologinya.
3. Terumuskannya suatu strategi untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang
mampu mendorong pengembangan kawasan perkotaan yang diharapkan.
4. Terumuskannya model lembaga pengelola perkotaan yang sesuai dengan
kebutuhan.

1.4 Keluaran
Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka
keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan
Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility
study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi,
kelembagaan, lingkungan serta tata ruang.

1.5 Manfaat Studi


Manfaat dari studi ini adalah:
 Pemerintah Kabupaten Sumedang memiliki bahan masukan untuk
menetapkan strategi dan kebijakan perencanaan dan pengembangan
Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung.
 Pemerintah Kabupaten Sumedang mempunyai bahan acuan guna penetapan
program pengembangan kawasan perkotaan di Kawasan Jatinangor.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 8


1.6 Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Kawasan Perkotaan;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten
Sumedang Tahun 2005-2025;
6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Sumedang Tahun 2009-2013;

1.7 Sistematika Pembahasan


Adapun sistematika dari laporan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor
sebagai Kawasan Perkotaan ini adalah sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, maksud, tujuan,
serta sasaran. Selain itu, juga berisi keluaran, manfaat studi serta
sistematika pembahasan.
Bab 2 Kajian Teori dan Normatif
Bab ini berisi teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
studi kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor. Aspek normatif yang
diacu antara lain terdiri dari PP No 34 Tahun 2009, Permendagri No 1
Tahun 2008 serta Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 tentang
standar pelayanan minimal perkotaan.
Bab 3 Metode Penelitian
Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam kajian, ruang
lingkup studi, sumber data serta operasionalisasi indicator yang
digunakan dalam menilai kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor,
Teknik pengumpulan dan Analisis Data, organisasi pelaksana dan
jangka waktu penelitian
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 9
Bab 4 Arahan Kebijakan Kawasan Perkotaan
Bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan
Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten
Sumedang 2005-2025, Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan
Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang

Bab 5 Analisis Kelayakan Kawasan Perkotaan


Bab ini menjelaskan tentang Karakteriktik dan Potensi Kawasan
Perkotaan Jatinangor-Cimanggung, Pengukuran Indikator Kawasan
Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan,
Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan, Arahan Pengembangan
Kawasan Perkotaan
.Bab 6 Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
Bab ini menjelaskan tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Model-
model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di
Kabupaten Sumedang, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
“Jatinangor”
Bab 7 Kebijakan Dan Strategi Kawasan Perkotaan
Bab ini menjabarkan kebijakan dan strategi dalam pengembangan
kawasan perkotaan pada kawasan perkotaan Jatinangor setelah
ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.
Bab 8 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Perkotaan
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil
kajian dan rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam
menindaklanjuti penetapan kawasan perkotaan Jatinangor

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 10


BAB II
KAJIAN TEORI DAN NORMATIF

2.1 Konsep Perkotaan


Hoselitz (dikutip oleh Widiarto: 1995) berpendapat bahwa pertumbuhan kota yang
senantiasa diharapkan adalah pertumbuhan yang “generative” dan bukan “parasitic’.
Sebagai pertumbuhan yang generatif, kegiatan di kota tersebut harus dapat memberi
kesempatan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya, dan mampu menarik kawasan
sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh berkembang bersama-sama.
Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, tampaknya Jatinangor belum dapat
berperan seperti apa yang digambarkan Hoselitz tersebut, padahal jika kota tumbuh sebagai
parasit akan berakibat terjadinya disorganisasi sosial. Fenemena yang terjadi di kawasan ini
nampaknya menjadi indikasi penguatan apa yang dikatakan dalam teori ini. Terjadi
gentrifikasi sosial, yakni tergesernya penduduk asli oleh pendatang merupakan indikasi
bahwa kota tidak tumbuh secara generatif, dimana kesempatan usaha dan kerja yang ada
banyak dinikmati oleh orang luar.
Sementara itu disorganisasi sosial pada kawasan ini diindikasikan dengan
melonggarnya norma-norma sosial. Kajian sosial oleh Bappeda (2002) memperlihatkan
bahwa secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh
interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama,
degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal.
Jatinangor walaupun dalam konsep Tata Ruang Bandung Raya
(MBUDP/Metropolitan Bandung Urban Development Project) telah ditetapkan sebagai
kota “counter magnet” yang kegiatannya didominasi oleh perguruan tinggi, namun
kenyataannya tetap sebagai daerah pinggiran/ Periphery.
Terhadap kenyataan ini John Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata
ruang, lokasi serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 1


Di daerah perencanaan biasanya terdapat daerah inti (centre) dan daerah pinggiran atau
periphery regions. Daerah pinggiran sering disebut daerah pedalaman atau daerah
sekitarnya. Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar metropolis atau
megapolis, dikategorikan sebagai daerah daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis
sisanya merupakan sub sistem-sub sistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh
lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam
satu hubungan ketergantungan substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-
sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Daerah inti pada umumnya dikategorikan sebagai daerah metropolitan
(metropolitan region), dan poros pembangunan (development axes). Sedangkan daerah
pinggiran dapat dikategorikan sebagai daerah perbatasan (frontier region), dan daerah
tertekan (depresed region).
Jadi jika dilihat dari kacamata analisis Friedman di atas, Jatinangor merupakan
daerah pinggiran yang kekuatannya hanya kecil karena hanya merupakan sub-sistem
pemerintahan dan ekonomi, yang pusatnya berada di Kota Bandung. Oleh karena itu
walaupun masalah sudah begitu kompleks, namun lembaga-lembaga formal yang ada tidak
mempunyai kekuatan sendiri untuk menata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Akses terhadap sumber-sumber kekuatan dan kekuasaan juga relatif kecil.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2009, jika dua daerah mempunyai masalah
yang tidak dapat diselesaikan keduabelah pihak, maka pemerintah yang ada di atasnya
harus dapat menjadi mediator. Dalam banyak kasus, akhirnya pihak-pihak yang
berkepentingan membentuk lembaga pengelola atau disebut juga sekretariat bersama
(sekber) yang bertugas untuk merumuskan penyelesaian masalah. Namun eksekusinya
biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak, kecuali jika ada proyek khusus yang
menangani masalah yang bersangkutan, misalnya MBUDP yang memberikan bantuan
infrastruktur dasar seperti drainase induk, sanitasi (sewerage), jalan, dsb.
Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh
Puslitbang Permukiman Dep. PU (2007) menunjukkan ke arah fenomena tersebut.
Pembangunan Regional Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi),
Kartamantul (Jogyakarta, Sleman, Bantul), Gerbangkartasusila (Gersik, Jombang,

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 2


Majakerta, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan sebagainya pada dasarnya bertujuan untuk
mereduksi konflik-konflik perbatasan. Dalam kasus tersebut selalu dibentuk lembaga atau
sekretaiat bersama yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari daerah yang berkonflik.
Kajian Puslitbang Permukiman (2006) tentang Pengembangan Lembaga Lokal
dalam Pembangunan Perumahan menunjukkan bahwa ada Lembaga Pemerintahan Desa
(Kabupaten Sleman dan Kabupaten bandung) yang diberi kewenangan untuk memberikan
izin konversi lahan untuk perumahan dengan skala yang kecil (di bawah 10 rumah). Hal ini
disebabkan tidak mampunya lembaga yang berkompeten untuk menangani seluruh
permasalahan yang dihadapi, sehingga dipandang perlu untuk memberdayakan lembaga
pemerintahan desa. Fenomena ini mengindikasikan dimungkinkannya suatu lembaga
diberikan kewenangan yang lebih untuk mengurusi masalah-masalah yang dipandang urgen
untuk dicarikan secara cepat solusinya.
Alternatif lain yang hampir sama antara lain mengangkat camat di daerah
perkotaan sebagai manajer kota (city manager). Kebijakan (“what”) tentang arah
pengembangan kota tingkat kecamatan tetap diatur dan diputuskan pada tingkat kabupaten
dalam bentuk Peraturan Daerah dan atau Peraturan Bupati, sedangkan camat sebagai
manajer kota lebih banyak menjalankan (“how”), dari kebijakan yang telah ditetapkan pada
tingkat kabupaten. (Sadu Wasistiono, 2007).
Bentuk lain dari penyelesaian konflik antar wilayah, tetapi ke arah pengembangan
ekonomi adalah konsep Local Economic Development (LED) dan Pengembangan Lembah
Silikon (Silicon Valley) di Amerika Serikat. LED yang mengedepankan kekuatan lembaga
yang ada (lembaga-lembaga ilmiah, pemerintahan, swasta), dan memanfaatkan potensi
lokal yang ada untuk mengembangkan ekonomi rakyat dapat menjadi lembaga yang
berpengaruh untuk dapat menekan kekuatan inti yang ada di Pusat. LED dapat
memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk dikembangkan demi kesejahteraan
masyarakat sekitarnya, sekaligus menyelesaikan konflik lintas wilayah. Hal ini pula
sebenarnya pemikiran yang mengilhami berkembangnya Lembah Silikon di Amerika,
dimana masyarakat sekitar lembah memanfaatkan secara bersama-sama hasil penelitian
lembaga riset dan perusahaan swasta yang ada di lembah, dengan cara yang legal dan
terorganisasi dengan baik.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 3


Dari telaah pustaka di atas, kiranya perlu dikaji lebih dalam bahwa penangan
kawasan Jatinangor memerlukan sebuah lembaga. Saat ini sudah ada lembaga yang
memikirkan masalah tersebut, namun tidak mempunyai kekuatan politik dan finansial
untuk melakukan tindakan operasional. Di sisi lain terdapat lembaga pendidikan tinggi
yang mempunyai kekuatan moril dan ilmiah pada kawasan ini, namun tidak mempunyai
domain mengurusi masalah perkotaan. Terdapat lembaga yang legal mengurusi masalah
perkotaan, namun hanya sebatas administrasi dan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan
kombinasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk lembaga yang berpengaruh.
Model-model pembangunan regional antar kota, lembah silikon, LED, atau kajian lembaga
lokal untuk pembangunan perumahan di atas dapat menjadi referensi kajian ini.
Mengikuti amanat Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, dan Permendagri
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwa dalam
pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan:
 hasil studi kelayakan
 rencana induk pembangunan perkotaan baru
 rencana pembebasan lahan
Untuk itu pada studi ini akan dilakukan kajian yang dipersyaratkan oleh kedua
peraturan di atas, yakni studi kelayakan yang ditinjau dari beberapa aspek. Kajian lebih
lanjut pada bagian ini akan menelaah difinisi dan kriteria kelayakan untuk menilai tingkat
kekotaan suatu kawasan
Di dalam Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah
merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu:
geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu
lingkungan dan sebagainya. Dalam pengembangan wilayah termasuk pengembangan
kawasan perkotaan setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu
(http://staff.blog.unnes.ac.id/oktavilia atau http://www.slideshare.net/oktavilia):
(1) analisis biogeofisik;
(2) analisis ekonomi;
(3) analisis sosiobudaya;
(4) analisis kelembagaan;
(5) analisis lokasi;

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 4


(6) analisis lingkungan
Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan bahwa perencanaan
kawasan perkotaan baru diprioritaskan untuk:
 memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi
 menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan
 menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan.
Persyaratan penetapan lokasi perencanaan kawasan perkotaan baru meliputi:
 sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten
 termuat dalam RPJMD
 memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi
perkotaan dan bukan kawasan yang rawan bencana alam
 terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis
maupun yang direncanakan beririgasi teknis
 memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan;
 tidak mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak terkendali. dengan kawasan
perkotaan disekitarnya
 mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya
 mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar dan merupakan satu
kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan
perkotaan dalam satu daerah kabupaten.
Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah
dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru. Kawasan
perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih kabupaten yang berbatasan
langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan kerjasama antar daerah dapat dibentuk Badan Pengelola
Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing
bupati. Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sesuai dengan
jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru. Keanggotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 5


Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah
Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan
unsur pengembang.
Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan
Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keanggotaan, struktur organisasi,
tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi
di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan
Bersama Bupati.
Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru melaporkan
pelaksanaan tugasnya secara berkala dan atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bupati
dan terbuka bagi masyarakat.Bupati melaksanakan evaluasi, pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan baru.

2.2 Visi dan Misi Perkotaan


A. Visi Dan Misi Pengembangan Perkotaan
Visi dan misi pengembangan perkotaan didasarkan pada Peraturan Menteri PU
no. 494/PRT/M/2005. Secara rinci visi dan misi pengembangan perkotaan adalah sebagai
berikut:

Visi
Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu
dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa
depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman
bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum
kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu :
1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat
berjalan-jalan, dan bermain-main bersama;
2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul
dalam lingkungan bertetangga;

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 6


3. Tempat dimana kita tidak hanya melindungi kawasan bersejarah, tetapi juga ruang
terbuka hijau dan hutanhutan kota memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan
dan keindahan permukiman;
4. Tempat dimana tingginya kualitas hidup dapat menarik kegiatan usaha dan tenaga kerja
yang berbakat dan dengan demikian menghidupkan perekonomian kota;
5. Tempat dimana kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bagi keluarga dan bukan
memboroskannya karena terjebak dalam kemacetan lalu-lintas;
6. Tempat dimana seluruh masyarakatnya dapat menyelenggarakan aktivitasnya sehari-
hari dengan aman dan tenang, yang terbebas dari kriminalitas serta kerusahan-
kerusahan sosial, dan ancaman terorisme.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka visi pengembangan pembangunan
perkotaan nasional dapat dijabarkan sebagai berikut:
”Terwujudnya kawasan perkotaan yang layak huni,berkeadilan sosial sejahtera,
berbudaya, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan serta saling memperkuat,
dilaksanakan oleh para petaruh (stakeholders) secara partisipatif, responsif, transparan
dan akuntabel dalam mewujudkan pengembangan wilayah”.
Perwujudan visi akan lebih optimal apabila terdapat kerjasama yang sinergis antar
stakeholders dari seluruh kegiata-kegiatan.
Dalam kerjasama ini pemerintah bertindak sebagai enabler dan masyarakat sebagai
doer. Untuk itu dibutuhkan perumusan misi sebagai terjemahan dari visi atau kondisi yang
diharapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh.

Misi
Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini :
1. Mengembangkan Kota yang layak huni
a. Lingkungan kota yang nyaman
 Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan
daya dukung kota)
 Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai.
 Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai.
 Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 7


 Lingkungan sosial budaya yang mendukung keharmonisan kehidupan masyarakat.
b. Lingkungan Kota yang aman
 Tingkat polusi udara yang rendah dan terkontrol;
 Tingkat pencemaran air dan tanah yang rendah dan terkontrol;
 Keamanan (tingkat kriminalitas yang rendah) dan ketertiban kota yang terjaga;
 Tingkat pelayanan dan fasilitas kebakaran yang baik (berfungsi dan mencukupi);
 Stabilitas sosial, ekonomi, politik.
2. Mengembangkan kota yang sejahtera
 Tersedianya segala kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan dan permukiman)
yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan
masing- masing (orang tua, anak-anak, diffable people, dst);
 Tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh lapisan masyarakat.
 Tidak adanya kesejangan pendapatan yang besar antar seluruh lapisan
masyarakat.
3. Mengembangkan lingkungan yang berkeadilan sosial, sejahtera dan berbudaya.
 Kesamaan dan keadilan dalam pelindungan hukum;
 Setiap individu, kelompok masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap
kesempatan berperan serta dan mengaktualisasikan aspirasinya dalam kehiduan
kota;
 Setiap individu atau kelompok masyarakat memilki akses yang sama terhadap
kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha;
 Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan
budaya lokal.
4. Mengembangkan pembangunan kota yang berkelanjutan
Pengembangan kota yang berkelanjutan secara umum terwujud apabila ekonomi
kota berkembang, berdaya saing global, pendapatan mayarakat dan pemeritah
bertambah dan tetap dapat mempertahankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan.
Hal ini antara lain mencakup;
a. Aspek ekonomi
 Daya saing kota; faktor – faktor penentu daya saing adalah keunggulan sumber
daya dan kemampuan pengelolaan kota. Dalam hal ini pengefektifan keterkaitan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 8
kota dan desa menjadi sangat penting alam upaya meningkatkan daya saing kota
dan mencegah menurunnya ekonomi perdesaan;
 Pengembangan ekonomi kota;
1. Pengembangan produk unggulan kota melalui pengembangan iklim usaha
yang kondusif;
2. Menggali potensi kota melalui pelibatan seluruh stakeholder dalam
pembangunan
3. Mengembangkan inovasi untuk mempertahankan kualitas produk dan jasa;
4. Pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor
informal ;
5. Pemecahan masalah pengangguran dan semi pengangguran;
 Kemampuan kota unutk siaga dan siap mengatasi bencana dan bankit dari
bencana.
b. Aspek sosial budaya
Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya sedemikian rupa sehingga
dapat meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial , dan juga mengurangi
gangguan- gangguan sosial. Upaya mencapai masyarakat madani dilaksanakan
melalui;
 Pemeliharaan keanekaragaman budaya Kesamaan hak bagi setiap individu
ataupun kelompok masyarakat untuk memenuhi aspirasi budayanya;
 Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan perkotaan;
 Penyelesaian masalah ’dislokasi’ penduduk perkotaan berkaitan dengan masalah
lahan.
c. Aspek lingkungan
 Pengelolaan sumber daya secara efsien dan berkelanjutan;
 Pembangunan kota dilakukan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
 Pengendalian dampak lingkungan dengan tetap menjaga kulaitas lingkungan.
 Pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan
 Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 9


5. Mengembangkan pola pengelolaan kota berdasar tata pemerintah yang baik.
a. Pengembangan serta peningkatan mekanisme pelibatan masyarakat dan dunia
usaha; antara lain melalui forum diskusi dan koordinasi, pengembangan pola- pola
kemitraan , dan sebagainya.
b. Pengembangan struktur kelembagaan pengelolaan kota; penyesuaian struktur dan
kewenangan kelembagaan dalam rangka paradigma pembangunan perkotaan yang
baru yaitu transparan, partisipatif, terdesentralisir serta efsien dan efektif.
c. Pengembangan sistem informasi; untuk medukung pola pengelolaan perkotaan
dengan penerapan tata pemerintaha yang baik maka diperlukan sistem informasi
yang interaktif dari pemerintah,masyarakat dan dunia usaha yang mudah diakses
dan dimengerti semua pihak terkait;
d. Pengembangan potensi pendanaan; upaya- upaya peningkatan kemampuan kota
unutk memperoleh dana bagi pengelolaan dan pembangunannya antara lain melalui
peningkatan daya tarik bagi investor, pengeloalaan atau manajemen perusahaan
daerah serta peningkatan penerapan konsep kewirausahaan dalam pengelolaan
pembangunan kota.
6. Mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa.
a. Keterkaitan desa- kota
 Pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan
soaial ekonomi antara kota dan desa ( Wilayah hinterlandnya) agar saling
menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan;
 Pembangunan kota hendakya dipadukan dengan perkembangan daerah
perdesaan di pinggirnya, karena daerah pinggiran tersebut juga terkena dampak
pembangunan dan urbanisasi.
 Peningkatan kemampuan perdesaan dalam pembangunan.
b. Keterkaitan antar kota
 Pengembangan sistem perkotaan dengan memperhatikan pemantaan fungsi,
peran dan hirarki kota sesuai dengan potensi dan kedudukannya dalam
pengembangan wilayah;
 Pengembangan kebijakan perkotaan sebagai upaya mencegah terjadinya
ketimpangan antar wilayah dan antar kota, terutama antara kota-kota besar yang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 10


sangat potensial terintegrasi dalam sistem perekonomian global, dengan kota-
kota menengah dan kecil lainnya.

2.3 Landasan Kebijakan Pengembangan Perkotaan


Landasan kebijakan ini adalah suatu kondisi dasar yang ingin dicapai (policy
driver) dalam pembangunan perkotaan. Landasan kebijakan tersebut adalah :
1) Terlaksananya desentralisasi secara efektif dan efisien, dilandasi dengan penerapan tata
pemerintahan yang baik (good governance).
2) Terciptanya pola pembangunan yang berkelanjutan termasuk pola pemanfaatan,
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam.
3) Terwujudnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan meliputi penyedian lapangan kerja,
akses pada perumahan dan modal/ sumber-sumber keuangan, serta akses pelayanan
dasar yang adil dan merata.
4) Terwujudnya kesadaran dan upaya-upaya penanganan masalah sosial budaya.
5) Terwujudnya bentuk-bentuk dukungan kota pada pembangunan nasional.
Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan pada dasarnya
diarahkan kepada sasaran pelaksanaan Pembangunan Perkotaan agar dapat :
a. Mengevaluasi pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan yang selama ini
dilakukan;
b. Mengkaji dan menganalisis program Pembangunan Perkotaan yang lalu dan yang akan
datang;
c. Menyesuaikan antara pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan di pusat dan
daerah;
d. Sehingga dapat menilai efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
dengan cermat sesuai ketentuan yang berlaku, agar memberikan hasil yang optimal bagi
negara dan masyarakat.
Dengan tersedianya kriteria dan ukuran-ukuran atau indikator-indikator
kinerja pembangunan perkotaan dalam pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan,
akan dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
secara efesien dan efektif, dan peningkatan produktifitas secara umum bagi
terwujudnya Pembinaan dan Pengendalian Prasarana dan Sarana Dasar Perkotaan yang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 11


produktif, handal dan bermanfaat, dalam pengembangan wilayah dan ekonomi dalam
Pembangunan Perkotaan.
Namun demikian, Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan
dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), apabila adanya kerjasama antara
Departemen Pekerjaan Umum dengan Dinas Pekerjaan Umum di Propinsipropinsi
wilayah kajian baik dipusat maupun didaerah. Peran serta masyarakat untuk ikut dalam
Pengembangan Indikator kinerja Pembangunan Perkotaan pelaksanaan program
Pembangunan Perkotaan secara lebih transparan sesuai kriteria dan ukuran-ukuran
dalam menilai dan mengevaluasi serta mengetahui untuk mengetahui kinerja
penyedian, pengelolaan, dan penyampaian pelayanan prasarana dan sarana suatu kota
sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan :
a. Perubahan Paradigma Pembangunan
 Otonomi daerah : menggeser kekuasaan regulasi, program, anggaran dan
kewenangan untuk kebijakan dari Departemen Sektoral di Pusat ke
Pemerintahan Kabupaten/Kota
 Pembangunan dari pendekatan sektoral ke pendekatan kewilayahan dengan
pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatoris.
b. Semangat dan Orientasi Pembangunan
 Masyarakat madani, manajemen modern dan terbuka
 Ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, unggul dan adaptif terhadap
globalisasi
c. Semangat Privatisasi
Ada trend yang menuntut bahwa pengusahaan dan pembangunan tidak lagi
dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi lebih banyak dilakukan atas dasar korporasi
di daerah, dengan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai “Enabler” dan
masyarakat dan swasta sebagai pelaku utama.
d. Paradigma Baru Pembangunan
1. Paradigma Lama Pembangunan (Dahulu)
 Top Down (Sentralistik)
 Pemerintah menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan dan
Pemerintah/Kota pasif.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 12


Kebijakan pembangunan tertutup, diketahui sekelompok orang dan
Pemerintah/Kota pasif . Tidak melalui mekanisme yang seharusnya
partisipasif
2. Paradigma Baru
 Bottom Up (Desentralistik)
 Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat menyiapkan, melaksanakan
dan mengendalikan/mengevaluasi
 Kebijakan pembangunan transparan, rasional dan evaluatif serta
partisipatif
 Sesuai dengan mekanisme penyusunan berpartisipatif
3. Dampak Otonomi Daerah (OTDA) pada pengembangan indikator efektifitas
pelaksanaan program pembangunan perkotan. Adanya OTDAmenjadikan
pengambil keputusan di daerah harus:
 Lebih proaktif dalam meberi arah dan peluang bagi dunia usaha untuk
kiprah (lokal action)
 Menentukan pendekatan pegembangan indikator efektivitas pelaksanaan
program pembangunan perkotaan sebagai suatu incorporated dimana
masing-masing stakeholder peduli
4. Sosialisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan
Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan.
a. Sosialisasi
 Mengupayakan agar prinsip keterbukaan dalam pengembangan
Indikator pembangunan
 Secara aktif mengupayakan agar proses Pengembangan Indikator
Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat sampai kepada yang
berkepentingan (stakeholder)
 Mengupayakan agar proses keikutsertaan masyarakat dalam semua
tingkat proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan
Perkotaan makin lama makin terwujud, sehingga dalam tahap
implementasinya sudah dipahami alasan-alasan dilakukannya
kegiatan-kegiatan yang ada.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 13


b. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja
Pembangunan Perkotaan
 Pemanfaatan
(1) Bantuan pemikiran/pertimbangan
(2) Penyelenggaraan kegiatan pelaksanaan program Pembangunan
Perkotaan
(3) Bantuan teknis
 Pengendalian
(1) Pengawasan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
(2) Pemberian informasi / pelaksanaan program Pembangunan
Perkotaan menjelaskan atas hak masyarakat
(3) Menjaga konsistensi dengan daerah secara komprehensif
(4) Peningkatan peran serta masyarakat menjadi salah satu prioritas.
Fungsi dan peranan pemerintah sudah harus bergeser dari peranan sebagai
”provider” dengan tingkat otoritas yang besar ke arah peranan sebagai ”enabler” sebagai
pendorong bagi tumbuhnya peran serta masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian
program Pembangunan Perkotaan yang direncanakan akan dapat tepat pada sasaran, lebih
efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya serta lebih sustainable bagi kepentingan
masyarakat dan negara, serta, Departemen Pekerjaan Umum Khususnya.
Pengalaman selama ini masih menunjukan bahwa antara program Pembangunan
Perkotaan dipusat dan di daerah yang ada dirasa belum optimal dan tepat sasaran. Sering
terjadi ketidaksinkronan dalam kebijakan Pembangunan Perkotaan itu sendiri.
Untuk itulah pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program
Pembangunan Perkotaan perlu dilakukan, untuk selanjutnya dapat memberikan bahan
masukan teknis bagi perumusan indikator untuk keperluan penentuan kinerja
Pembangunan Perkotaan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 14


2.3 Tipologi Kota
Penetapan tipologi didasarkan pada:
a. Asumsi bahwa tingkat perkembangan suatu kota dapat dicerminkan oleh jumlah
penduduk yang tinggal di kota tersebut (berdasarkan kondisi empiris, semakin tinggi
jumlah penduduk suatu kota, ketersediaan prasaranaperkotaan, semakin kental sifat
kekotaan dari kota tersebut);
b. Fungsi utama kota ditentukan berdasarkan kelengkapan prasarana yang dimiliki suatu
kota yang dapat berfungsi sebagai outlet aliran barang atau orang, dan fungsi kota yang
telah ditetapkan dalam PP 47 tahun 1997.
c. Dominasi kegiatan wilayah kota ditentukan menurut peranan subsektor yang ada dalam
perhitungan PDRB kabupaten/kota terhadap kontribusinya dalam pembentukan nilai
PDRB regional (Provinsi).
Pengelompokan kota berdasarkan kesamaan dapat diartikan menyatukan tipe- tipe
kota dalam tipologi. Penentuan tipologi kota dapat dilakukan sesuai dengan skala kota
(magnitute) karakter kota, maupun fungsi kota. Pengelompokan kota berdasarkan skala
(magtitute) dapat dilihat dari berbagai segi, antar lain dari luas kota atau jumlah penduduk,
besar kawasan pusat kota, dan sebagainya. Sedangkan pengelompokan berdasar karakter
kota dapat didasarkan pada sifat kota sebagai daerah pesisir, daerah daratan ( secara letak
geografis), atau didasarkan pada fungsi (sesuai PP 47/1997), dimana kota dilihat dari
kelengkapan prasarana dalam upaya mendukung pergerakan ekonomi wilayah, dimana kota
dapat diklasifikasikan sebagai PKW, PKL, PKN.
Dalam penentuan dan pengukuran kinerja pembangunan perkotaan, salah satu aspek
yang dinilai harus dapat dilakukan dalam kelas yang sama. Dalam artian, bahwa penilaian
terhadap skala kota tidak dapat dibedakan kota dengan skala pelayanan nasional dengan
kota skala pelayanan lokal, demikian sebaliknya. Oleh karena itu dalam mengukur indikator
yang digunakan akan tergantung dengan skala kota (baik ditinjau dari fungsi dan karakter).
Penentuan tipologi kota dalam penilaian kota skala yang paling signifikan apabila
diuji adalah skala kota terhadap penduduk yang dilayaninya. Kota ditinjau dari skalanya
dapat dibedakan menjadi;
 Kota Metro;
 Kota Besar;

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 15


 Kota Sedang;
 Kota Kecil.
Pada UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pasal …. dan penjelasannya
Tipologi kota berdasarkan jumlah penduduk, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Kawasan Perkotaan Kecil yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani sebesar 20.000 hingga 100.000 jiwa;
2. Kawasan Perkotaan Sedang yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
3. Kawasan Perkotaan Besar yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;
4. Kawasan Perkotaan Metropolitan yaitu Kawasan Perkotaan atau kota dengan penduduk >
1.000.000 jiwa.

2.4 Indikator Perkotaan


2.4.1 Konsep Dasar Indikator Perkotaan
A. Pengertian dan Fungsi Indikator perkotaan
Indikator perkotaan adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran pengembangan perkotaan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung
dan diukur serta dipergunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja
pengembangan perkotaan. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan
bahwa kinerja hari demi hari dari sebuah kota dapat menunjukan perubahan, terutama
untuk menuju sasaran yang telah ditentukan.
Secara umum indikator perkotaan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Memperjelas tentang aspek yang akan diukur
b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak tertentu untuk menghindari
kesalahan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan serta dapat pengukur kinerja secara
menyeluruh.
c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi guna peningkatkan
efektivitas dan effisiensi di masa datang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 16


B. Penetapan kriteria indikator perkotaan
Penetapan kriteria indikator perkotaan (urban indicator) dengan mempertimbangkan:
a) Comprehensiveness berbagai faset kinerja perkotaan. Indikator harus mampu
digunakan sebagai alat analisis yang lengkap dan menyeluruh diberbagai aspek
pelayanan kota.
b) Applicability dan simplicity kriteria. Kriteria indikator harus bisa diterapkan
disemua wilayah Indonesia oleh semua pelaku. Oleh karena itu pertimbangan
kesederhanaan pada alat ukur sangat perlu dikedepankan.
c) Universalitas kriteria. Mengingat keragaman wilayah Indonesia maka kriteria
indikator harus bisa diterapkan disemua wilayah secara umum tanpa kecuali.
d) Fleksibilitas dan kemungkinan untuk disesuaikan dari waktu ke waktu termasuk
penyesuaian prioritas kajian.
C. Syarat-syarat Indikator Perkotaan
Penentuan indikator kinerja harus mempertimbangkan beberapa sendi sendi,
agar indikator yang ada dapat diaplikasikan secara tepat dan bermanfaat. Syarat-
syarat indikator kinerja antara lain:
a) Jelas. Artinya dapat dipahami oleh banyak aktor
b) Spesifik. Artinya untuk memperoleh penilaian yang tidak menimbulkan salah
persepsi
c) Dapat diukur. Artinya indikator harus dapat diukur baik secara kuantitaif
maupun secara kualitatif
d) Relevan. Artinya indikator dapat menangani dan menilai segala hal yang
berhubungan dengan kinerja
e) Fleksibel. Artinya indikator yang ditentukan harus cukup mampu
mengakomodasikan perubahan yang terjadi didalam penilaiaian dan tuntutan
lingkungan sekitar
f) Sensitif. Artinya dapat mengakomodasikan perubahan yang ada, sehingga tidak
menimbulkan kesalahan penilaian berkaitan dengan perubahan lingkungan
g) Obyektif. Artinya indikator harus dapat diukur oleh berbagai pihak dan
menghasilkan nilai yang relatif sama

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 17


h) Efektif. Hal ini terutama berkaitan dengan data dan informasi yang dibutuhkan
dalam penilaian kinerja AB III - 3
Selain itu dalam pengukuran kinerja harus dilakukan dalam waktu yang singkat
dan tepat waktu, mudah diimplementasikan, serta dapat didefinisikan dengan jelas.
Kecepatan merupakan hal penting dalam pengumpulan dan pendistribusian data. Tugas
pengumpalan data pada penilaian kinerja merupakan kegiatan utama. Seringkali penilaian
kinerja dianggap sederhana, sehingga pada tahap pengumpulan data, banyak terjadi
kesalahan dan kurangnya validitas data. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan dan
meningkatkan validitas pengukuran perlu dilakukan bersama dengan stakeholder kota
yang menjadi obyek penilaian kinerja.

2.4.2 Lingkup Obyek Penilaian Indikator Perkotaan


Pada dasarnya penilaian kinerja pengembangan perkotaan ini menilai bagaimana
operasional pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan penyediaan/pembangunan
perkotaan kepada masyarakat yang berada pada wilayah administratif dari kota tersebut.
Secara umum pendekatan ini memang menjadi salah satu pembatasan dalam penilaian
kinerja pemerintahan,
dikarenakan secara umum pertumbuhan kota sudah barang tentu akan berdampak
pada area disekitar kota (urban periphery). Pendekatan ini dilakukan dengan dasar bahwa
pelayanan minimal yang harus disampaikan oleh pemerintah Kota minimal dapat
mencakup seluruh wilayah administrasi. Penilaian kinerja kota di dalam kegiatan ini lebih
ditekankan pada lingkup batas administrasi.

2. 4.3. Kriteria Penilaian Indikator Pengembangan Perkotaan Yang Ada.


A. Indikator Perkotaan (Urban Indikator) menurut UNHCS
Selain indikator good urban governance, UNHCS juga mengembangkan sistem
indikator yang terdiri atas 23 indikator kunci dan 9 daftar data kulitatif. Pengembangn
indikator ini didasarkan pada Habitat agenda dan Resolution 15/6 and 17/1 UNHCS.
Indikator dan data tersebut merupakan data minimum yang diperlukan untuk mengukur
sejauh mana komitmen dan konsistensi dalam pengembangan kota dan pemukiman.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 18


Indikator yang dimaksud diklasifikasi ke dalam 5 bab dan disubklasifikasikan
menjadi 20 area kunci dari Istanbul +5 Universal Reporting Format. Selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 2.1. berikut :

Tabel 2.1
Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap
20 Habitat genda Key Areas Of Commitment

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 19


Indikator-indikator dalam Urban Indicator versi UNHCS ini memerlukan data
yang cukup banyak dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Data tersebut
dibagi dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil
konsultasi dengan kelompok pakar dalam skala kecil untuk memberikan penilaian yang
merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan :
(a) Pakar dengan kualifikasi tinggi di masing-masing Negara yang menjadi narasumber
untuk melakukan penilaian mengenai indikator-indikator tersebut.
(b) Pakar tersebut harus berkomunikasi langsung dengan UNHCS dan pekerjaannya harus
dikaji dan dikomentari melalui beberapa tahapan.
Dalam hal ini, kompleksitas perolehan data yang memenuhi persyaratan sangat
tinggi. Untuk semua data, prinsip utamanya adalah bahwa data tersebut adalah data terbaik
yang ada, termutakhir dan sepenuhnya terdokumentasi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa penialian terhadap indikatorindikator tersebut tidak dilakukan secara
terfragmentasi mengingat adanya hubungan sistematik antar indikator untuk memperoleh
gambaran total mengenai setiap sektor dan setiap kota yang dinilai kinerjanya.
Permasalahan yang dihadapi di sini adalah bahwa data-data tersebut dimiliki oleh
dinas-dinas pemerintah yang berbeda-beda khususnya per sektor. Untuk mengantisipasi
adanya inkonsistensi pendataan, perlu koordinasi in timely manner. Untuk data pada
aspek-aspek yang relatif stabil dalam arti tidak mengalami perubahan yang signifikan dari
tahin ke tahun, data lama dapat digunakan dengan dilengkapi proses ekstrapolasi.
Sementara data yang menyangkut aspek yang berubah secara cepat, diharuskan
menggunakan data yang terbaru.

Indikator Perkotaan untuk manajemen Lingkungan Menurut UNHCS


Dalam skala internasional, UNHCS bekerja sama dengan World Bank,
mengembangkan satu perangkat indikator perkotaan untuk membantu negara-negara
menghadapi Konferensi Habitat II tahun 1996. indikator-indikator yang dimaksud,
dirangkum pada Tabel 2.2.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 20


Tabel 2.2
Indikator Perkotaan Untuk Manajemen Lingkungan menurut UNHCS

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 21


B. Indikator perkotaan (urban indikators) menurut Asian Development Bank
Lebih spesifik daripada UNHCS, yang indikatornya berlaku untuk kota-kota
dalam skala internasional, Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 meluncurkan
sekaligus melakukan pengukuran kinerja 18 kota di Asia. Pengukuran kinerja ini dilakukan
dengan mengangkat isu kemiskinan perkotan di negara-negara di Asia sebagai isu utama.
ADB menekankan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya diindikasikan oleh
pendaatan yang rendah semata, melainkan juga menyangkut aspek human capital
development, gender equity, social protection, good governance, lack of discrimination
dan geograic location.
Pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada 140 indikator kota yang
dikelompokkan ke dalam 13 divisi utama, yaitu :
(a) Populasi, migrasi dan urbanisasi :
Menggambarkan karakteristik kependudukan suatu kota melalui indikator-indikator
seperti jumlah penduduk (bertempat tinggal dan bekerja), angka migrasi, komposisi
penduduk menurut umur, jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga rata-rata dan
jumlah rumah tangga yang tingal di pemukiman ilegal.
(b) Kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan :
Menggambarkan kondisi perekonomian suatu kota melalui indikator-indikator seperti
distribusi pendapatan, kemiskinan, tenaga kerja anak, tenaga kerja informal, dan
penganguran
(c) Kesehatan dan pendidikan
Menggambarkan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu kota dilihat dari
indikator seperti jumlah orang per tempat tidur rumah sakit, angka kematian bayi. Hasil
pengukuran dirangkum dalam Cities Data Book for Asian and Pasific Region.
Sementara ringkasannya dipaparkan oleh Peter Hall dalam Urban Indicators for Asia’s
Cities : From Theory to Practise, 2000 angka harapan hidup, angka kematian
diakibatkan oleh penyakit menular, tingkat keluarga berencana, angka buta huruf untuk
orang dewasa, tingkat pnerimaan murid sekolah, jumlah siswa yang lulus perguruan
tinggi, rata-rata tingkat pendidikan akhir dan jumlah murid per kelas.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 22


(d) Produktivitas dan daya saing kota :
Menggambarkan perkembangan perekonomian kota melalui penilaian terhadap
indikator-indikator seperti PDRB per kapita, struktur mata pencaharian, pengeluaran
rumah tangga pada item utama, tingkat investasi menurut sector (infrastruktur,
perumahan dan layanan publik lainnnya), tingkat pariwisata, daftar investasi utama,
biaya hidup sehari dan jumlah corporate headquarters.
(e) Teknologi dan Connectivity :
Masih berkaitan dengan perkembangan perekonomian perkotaan yang dinilai dari
tingkat pengeluaran pemerintah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, tingkat
penggunaan telepon (lokal, interlokal, internasional dan mobile) serta tingkat koneksi
internet (jumlah dan pertumbuhan).
(f) Perumahan :
Merepresentasikan pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Namun
dalam hal ini, ukuran dan kualitas rumah tidak perlu dipentingkan, melainkan lebih
menekankan pada guna lahan dan harga lahan. Oleh karena itu, indikator-indikator yang
digunakan antara lain tipe hunian, tipe kepemmilikan, harga jual dan sewa rumah,
pembiayaan kepemilikan rumah, tingkat produksi perumahan, perlakuan terhadap
pemukiman liar, pengeluaran pemerintah dan jumlah penduduk yang tidak memiliki
rumah.
(g) Lahan kota :
Menggambarkan sejauh mana tingkat penggunaan lahan perkotaan, apakah banyak lahan
tidur atau tidak serta apakah hal itu berkaitan dengan tingkat permintaan terhadap lahan
atau tidak, dan seterusnya.
(h) Pelayanan Umum :
Terdiri atas air, listrik, saluran air kotor/limbah, telepon dan sarana pengumpulan
sampah (TPA/TPS). Indikator yang digunakan antara lain jumlah koneksi, investasi per
kapita, pengeluaran untuk operasional dan pemeliharaan, cost recovery, tingkat
produtivitas karyawan dalam melayani publik, penyedia, tingkat kekurangan dan
gangguan dalam pelayanan, tingkat konsumsi serta tarif berlaku.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 23


(i) Lingkungan Perkotaan :
Dinilai dengfan indikator seperti volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan sampah,
pengolahan limbah/air kotor, tingkat polusi udara, tingkat penggunaan energi, tingkat
kebisingan dan tingkat kerusakan akibat bencana alam.
(j) Transportasi Perkotaan :
Kelompok indikator ini pada dasarnya mengukur lalu lintas barang dan jasa. Termasuk di
dalamnya, indicator-indikator seperti moda yang digunakan dari rumah ke tempat kerja,
waktu melakukan perjalan (median), tingkat kepemilikan kendaraan, tingkat aktivitas
pelabuhan dan udara, serta jumlah barang yang diangkut menurut jenis kendaraan. Selain
itu, pengukuran ini dilakukan pula terhadap aspek kebijakan seperti tingkat pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan jalan, tingkat kemacetan, cost recoovery from fees dan
tingkat kecelakaan lalu lintas.
(k) Budaya :
Hanya diukur dari jumlah pengunjung pada setiap atraksi utama yang diselenggarakan
oleh kota.
(l) Keuangan Pemerintah Daerah :
Kelompok ini mengukur berbagai jenis indikator input dan output, antara lain sumber
pendapatan daerah, pengeluaran rutin pemerintah daerah, tingkat efisiensi penarikan
pajak, debt service charge, employment, tingkat upah dan sejauh mana komputerisasi
dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
(m) Pemerintahan dan Manajemen Perkotaan :
Kelompok yang terakhir ini relatif besar dan sangat heterogen, yaitu termasuk data-data
mengenai fungsi pemerintah daerah, tingkat partisipasi, kebebasan dari pemerintah pusat,
anggota dewan, representasi, aplikasi perencanaan, berbagai indeks yang secara langsung
berkaitan dengan kualitas hidup (kepuasan pelanggan, persepsi kota sebagai tempat
hidup, tingkat kejahatan) serta indeks-indeks mengenai akses terhadap informs perkotaan,
hubungan antara administrasi kota dengan masyarakat dan eksistensi unit distrik yang
terdesentralisasi. Sayangnya, dalam pengukuran di lapangan, indikator mengenai kulaitas
hidup sulit diperoleh dan tidak memungkinkan untuk melakukan survei terhadap persepsi
secara langsung.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 24


Metoda pengukuran ADB secara umum jauh lebih mudah dan feasible dalam hal
perolehan data daripada metoda pengukuran yang dikemukakan oleh UNDP dan
UNHCS sebelumnya. Dalam hal ini, ADB lebih banyak menggunakan data kuantitatif
dan menekankan pada proses pengolahan data statistik yang pada umumnya dimiliki oleh
instansi-instansi di negara-negara di Asia.

Formulasi Lingkup dan Kriteria Penilaian per-Kotaan


Indikator penilaian kinerja pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks,
yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu:
1. Aspek Penduduk
Indikator yang digunakan:
- Tingkat pertumbuhan penduduk;
- Tingkat migrasi; dan
- Tingkat kepadatan penduduk.
2. Aspek Produktifitas Perkotaan
Indikator yang digunakan:
 Tingkat kemiskinan;
 Tingkat pengangguran;
 Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;
 Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;
 Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan
 Tingkat ketergantungan penduduk.
3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan
Indikator yang digunakan:
 Tingkat kematian ibu;
 Tingkat kematian bayi;
 Angka Prevelensi Penyakit Diare;
 Rata-rata usia harapan hidup warga;
 Ketersediaan fasilitas Puskesmas;
 Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan
 Ketersediaan apotek;
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 25
 Angka melek huruf;
 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);
 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan
 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).
4. Aspek Permukiman dan Lingkungan
Indikator yang digunakan:
 Rasio penduduk kumuh per penduduk total;
 Persentase permukiman kumuh;
 Luasan permukiman kumuh;
 Rasio Ruang Terbuka Hijau;
 Pengaduan polusi/pencemaran;
 Jumla kejadian kebakaran; dan
 Tindak kejahatan per 1000 penduduk.
5. Aspek Ekonomi
Indikator yang digunakan:
 Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)
 Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB
 Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir
 Analisis ICOR
 Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
 Rata-rata pendapatan penduduk perkapita
 Disparitas Pendapatan Antarsektor
 Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)
 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
 Elastisitas kesempatan Kerja
 Tingkat Kemiskinan
6. Aspek Budaya
Indikator yang digunakan:
 Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs,
benda arkeologis dan kawasan bersejarah)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 26


 Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan
budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)
 Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang
melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)
7. Aspek Sosial
Kependudukan, Indikator yang digunakan:
 Kepadatan Penduduk Kota
 Kepadatan Penduduk Kelurahan
 Angka Migrasi
 Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk
 Tingkat kematian bayi
 Rata-rata usia harapan hidup warga
 Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)
 Ketersediaan jumlah tenaga medis
 Ketersediaan Apotek
8. Aspek Spasial
Indikator yang digunakan:
 Konversi Lahan
 Ketersediaan Ruang Publik
 Keberadaan lingkungan kumuh
9. Aspek Prasarana
1) Sektor Air Bersih
Aset, meliputi :
a. Sumber Air
b. Kualitas Air
c. Kebocoran Air
d. Pelayanan
 Cakupan Pelayanan
 Cakupan Pelanggan
 Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 27


 Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik)
 Tingkat penggunaan air
 Tarif Air
2). Sektor Transportasi
Aset, meliputi :
a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi
b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan
c. Kondisi Jalan
d. Terminal Angkutan Darat
e. Terminal Udara
3). Sektor Sanitasi
Aset, meliputi :
a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system)
b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system)
4). Sektor Persampahan
Aset, meliputi :
a. Pengumpulan
b. Pengangkutan
c. Kapasitas Pembuangan
d. Metoda Pembuangan
e. Kepemilikan Lahan TPA
f. Pelayanan, meliputi :
- Cakupan Pelayanan
- Retribusi Sampah
- Kerjasama dengan Masyarakat
10. Aspek Pengelolaan Pemerintah
a. Pewujudan Rencana Tindakan
b. Ketergantungan Dengan Pemerintah Pusat
c. Kepuasan Masyarakat
d. Akses Informasi Publik
e. Aspek Pengelolaan Prasarana air bersih

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 28


f. Aspek Pengelolaan Prasarana Persampahan
g. Aspek Pengelolaan Prasarana Air Limbah
h. Aspek Pengelolaan Prasarana Drainase
i. Aspek Pengelolaan Prasarana Jalan dan Transportasi

C. Standar Pelayanan Minimal (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana


Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001
Didalam upaya untuk menilai kualitas pelayanan suatu prasarana dan sarana
perkotaan ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu tentang pelayanan yang minimal
harus diberikan oleh prasarana dan sarana perkotaan tersebut.
Di negara kita, khususnya di lingkungan kimpraswil, kajian tentang standar
pelayanan minimal yang harus diberikan untuk masing-masing sektor prasrana dan
sarana perkotaan telah ditetapkan standarnya.
Kajian tentang Standar Pelayanan Minimal Prasarana dan Sarana Perkotaan ini
didasarkan pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan
Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001.
Di bawah ini akan dikaji Standar Pelayanan Minimal untuk sektor Air Bersih,
Drainase, Air Kotor, Persampahan dan Jalan dan Angkutan Kota, yaitu;
A. Sektor Air Bersih
Standar Pelayanan Minimal Air Bersih yang diatur dalam Kepmen Kompraswil
No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :
1. Indikator Pelayanan: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan/orang dan tingkat
kualitas air minum
2. Cakupan Pelayanan: 55-75% penduduk terlayani
3. Tingkat Pelayanan: 60-220 lt/org/hari, untuk permukiman dikawasan perkotaan, 30-
50 lt/org/hari, untuk lingkungan perumahan pedesaan
4. Kualitas Pelayanan: Memenuhi standar air bersih Beberapa ukuran penilaian
kualitas pelayanan dari sumber yang lain adalah:
 Kadar garam dalam air bersih:
1000-3000 ppm slightly saline

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 29


3000-10000 ppm moderately saline
10000-35000 ppm very saline
lebih dari 35000 ppm brine
 Ph Air Bersih normal: 6 – 8
 Kekerasan air karena mengandung calcium dan magnesium:
0 – 60 ppm soft
61 – 120 ppm moderately hard
121 – 180 ppm hard
lebih dari 180 ppm very hard
 Faktor biologis yang terkait dengan kualitas air : BOD (Biochemical Oxygen
Demand)
 Kualitas umum air : tidak berbau, berasa, berwarna dan tidak mengandung
sesuatu yang menyebabkan menurunnya kualitas air.
 Kemenerusan pelayanan (jam pelayanan): jam/hari
B. Drainase
Standar Pelayanan Minimal Drainase yang diatur dalam Kepmen Kompraswil
No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :
1. Indikator Pelayanan : Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan
kualitas penangangan
2. Cakupan Pelayanan : Tidak ada genangan banjir di daerah kota / perkotaan > 10 Ha
3. Tingkat Pelayanan: Di lokasi genangan dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm;
lama genangan > 2 jam; frekuensi kejadian banjir > 2 kali setahun
4. Kualitas Pelayanan: Tidak terjadi lagi genangan banjir, bila terjadi genangan; tinggi
genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam; frekuensi kejadian banjir < 2
kali setahun.
Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk drainase juga menyediakan
informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni :
 Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro
 Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro
Kriteria Disain/Perencanaan meliputi:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 30


 Saluran Primer/ Makro drainase untuk kawasan strategis, perdagangan, industri,
permukiman untuk penanganan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
 Saluran sekunder untuk penanganan genangan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
 Saluran Tersier, untuk penanganan genangan < 10 Ha, PUH 2-5 tahun
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:
 Penanganan kualitas limbah, apabila saluran drainase terpadu dengan saluran limbah
rumah tangga. Dalam hal ini pengenceran air limbah kotor diperlukan untuk dapat
dibuang secara langsung ataupun dengan diolah terlebih dahulu.
 Debit saluran pengglontor yang direncanakan harus mampu mendorong limbah air kotor
yang ada di jaringan bersangkutan.
C. Air Kotor/ Limbah
Standar Pelayanan Minimal Air Kotor/ Limbah yang diatur dalam Kepmen
Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:
1. Indikator Pelayanan: Tingkat penyediaan sarana sanitasi terhadap jumlah penduduk kota/
perkotaan dan kualitas penanganan
2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan
3. Tingkat Pelayanan:
 Sarana sanitasi individual dan komunal (sistem onsite): Toilet RT/ Jambang/MCK,
Septik Tank, Truk tinja, IPLT
 Sistem off-site: Modular/full Sewerage System terdiri dari jaringan sewer dan IPAL
4. Kualitas Pelayanan:
 Sistem On-site:
- Separasi antara grey water (mandi, cucian) terhadap black water (kakus)
- Penyaluran black water yang baik ke septik tank, tanpa ada kebocoran dan baru
- Tidak ada rembesan langsung/ pencemaran air tinja dari septik tank ke air tanah
- Efisien removal BOD dan SS > = 85%
- Tidak ada komplain terhadap permintaan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja,
pengolahan lumpur tinja selanjutnya di IPLT
 Sistem Off-site:
- Tidak ada separasi antara grey water terhadap black water, tetapi disain sewerage
dapat bersatu dengan storm sewer

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 31


- Tidak ada blokade dan/ atau kebocoran sewerage
- Efisiensi removal BOD, SS IPAL > 90% dan E-Coli > = 99%

Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/limbah juga menyediakan


informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni:
 Indikasi Penanganan
- System on-site lebih diarahkan untuk kota sedang kecil dengan kepadatan rata-rata = 200
jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah > 2 m dan potensi cost recovery yang belum
mendukung untuk full sewerage system
- Sistem off-site lebih diarahkan untuk kota metro besar dengan kepadatan rata-rata > = 200
jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah < 2m, dan potensi cost-recovery yang mendukung
untuk full sewerage system.
 Kriteria Desain/ Perencanaan
- Debit air buangan= 70 - 80% konsumsi air bersih
- Pengendapan lumpur tinja 0,2-0,3 lr/or/hari
- Sarana sanitasi individual untuk satu KK
- Sarana sanitasi komunal untuk lebih dari satu KK
- MCK ditempat umum u/100-250 ribu orang
- Truk tinja @3 m3 u/10.000 KK
- Modul IPLT disiapkan untuk 100.000 jiwa: kolam lumpur, oxydation dite / ponds, sludge
thickener, digester dan sludge drying bed; keb lahan = 2ha / 100.000 jiwa
- Sistem off-site sesuai dengan rekomendasi FS dan hasil DED, perhitungan debit air,
jaringan dan dimensi sewer, dan sistem IPAL.
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:
 Debit yang dihasilkan serta kualitas limbahnya.
Indikator debit yang dihasilkan berpengaruh langsung terhadap usaha pengadaan saluran
pengglontor. Indikator kualitas limbah berkaitan dengan tingkat pengenceran limbah air
kotor yang diperlukan untuk dapat dibuang langsung atau harus diolah terlebih dahulu.
 Indikator limbah rumah tangga meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen
demand (COB) dan bahan ikutan yang berupa padatan. Sedang indikator limbah industri

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 32


meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB), logam berat dan
bahan ikutan yang berupa padatan.

D. Persampahan
Standar Pelayanan Minimal Persampahan yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No
534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:
1. Indikator Pelayanan: Tingkat penangganan bangkitan sampah terhadap jumlah penduduk
kota/perkotaan dan kualitas penanganan
2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan dilayani oleh Sistem
DK/PDK dan sisanya 20% dapat ditangani secara saniter (on-site system)
3. Tingkat Pelayanan: Prioritas penanganan system persampahan:
 100% untuk kawasan pusat kota / CBD dan pasar
 100% untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 jiwa/ha
 Rata-rata 80% untuk kawasan permukiman perkotaan
 100% untuk penanganan limbah industri
 100% untuk penanganan limbah B3/ medical waste
4. Kualitas Pelayanan:
- Penanganan sampah on-site dilakukan secara saniter: individual cora-posting, separasi
sampah
- untuk diambil pemulung
- Penanganan sampah oleh sistem DK/PDK dilakukan secara terintegrasi (Pewadahan-
Pengumpulan-Pengangkutan/Transfer-Penanganan Akhir).
- Tempat/kapasitas pewadahan tersedia
- Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan secara reguler
- Tidak ada penanganan akhir sampah secara open dumping
- Tidak ada pembuangan sampah secara liar
- Tingkat composting dan daur ulang sampah minimal 10%
- Penanganan akhir sampah setidaknya dengan controlled landfill
- Konsep 3R sudah diterapkan di industri
- Medical waste ditangani secara swakelola oleh RS

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 33


Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/ Limbah juga menyediakan
informasi tentang indikasi penanganan dan criteria desain yakni:
 Indikasi Penanganan: Pembakaran sampah on-site harus dihindari.
 Kriteria Desain/ Perencanaan:
- Bangkitan sampah 2,5-3 lt atau 0,5-0,6 kg/org/hari, Bin sampah 50 lt/ 200 m sidewalk
- jalan protokol atau 50 lt/ 100 m ditempat keramaian umum.
- Gerobak 1 m3/200 KK
- Kontainer 1 m3/200 KK
- Transfer Depo 25-200 m2 untuk 400-4000 KK
- Truk sampah 6 m3/700 KK 8 m3/1000 KK
- Arm Roll Truck + kontainer 8 m3/1000 KK
- Compactor truck 8 m3/ 1200 KK
- Steet Sweeper
- Ritasi pengankutan 2-5 rit/hari
- 1 TPA/ 100.000 penduduk, membutuhkan peralatan berat: 1 buldozer, 1 wheel loader,
dan 1 excavator
- Composting: individual, vermi kompos, UDPK
- Daur ulang diarahkan untuk perkuatan jaringan konsumen, pemulung, lapak dan industri
daur ulang
- Opsi penanganan medical waste incinerator

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan persampahan
adalah:
- pengangkutan dan penanganan limbah akhir limbah B3 (berbau, beracun dan berbahaya)
dilakukan secara terpisah
- pembuangan sampah dari rumah tangga atau tempat lain sudah dipisahkan minimal
dalam dua kategori: bisa diolah lagi dan tidak bisa diolah lagi.

E. Jaringan Jalan dan Angkutan Kota


Standar Pelayanan Minimal Jalan dan Angkutan Kota yang diatur dalam Kepmen
Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 34


 Jalan Kota:
1. Indikator Pelayanan: Panjang jalan/ jumlah penduduk;
2. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh);
3. Luas jalan/luas kota, Cakupan Pelayanan: Panjang jalan 0,6 km/1.000 penduduk;
4. Ratio luas jalan 5% dari luas wilayah
5. Tingkat Pelayanan: Kecepatan rata-rata 15 s.d 20 km/jam
6. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan mudah
 Jalan Lingkungan
1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah
2. Cakupan Pelayanan: Panjang 40-60 m/Ha dengan lebar 2-5 m
 Jalan Setapak
1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah
2. Cakupan Pelayanan: Panjang 50-11 m/Ha dengan lebar 0,8-2 m
Dalam perkembangan pembangunan kota menuju kota yang sehat, jalan untuk sepeda
merupakan suatu kebutuhan penting, mengingat bercampurnya sepeda dan kendaran
bermotor lainnya dapat membahayakan keselamatan pengguna sepeda. Oleh karena itu
indikator untuk jalan kota dapat ditambahkan sebagai berikut:
 Total panjang jalan untuk sepeda / luas kota (km/km2)
 Pedoman Standar Pelayanan Minimal di atas tidaklah mencakup Pelayanan untuk Angkutan
Kota.
Di bawah ini disajikan Standard Pelayanan Minimal untuk Angkutan Kota yang disarikan dari
berbagai sumber.
1. Indikator Pelayanan:
 Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum per 1000 penduduk
 Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas yang ada (kongesti)
 Rasio panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota dengan panjang jalan kota
2. Cakupan Pelayanan:
 Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum/penduduk kota X 1000
 Panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota/panjang jalan kota
3. Tingkat Pelayanan: Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas jalan tidak melebihi dari 0.80

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 35


4. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan menggunakan angkutan umum
relatif mudah
Badan Pusat Statistik memberikan kriteria penilaian suatu kawasan menjadi kota
sebagai berikut:
a. Kegiatan utama bukan pertanian : rumah tangga pertanian kurang dari 25%
b. Kepadatan penduduk > 5000/jiwa/km2
c. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas berikut:

1. SD dan sederajad 9. Pesawat Telepon/Kantor


Pos/Kantor Pos Pembantu
2. SLTP dan sederajad 10. Pasar dengan bangunan
3. SLTA dan sederajad 11. Kelompok Pertokoan (Pusat
Perdagangan)
4. Gedung Bioskop 12. Bank
5. Rumah Sakit 13. Pabrik
6. Rumah Sakit Bersalin 14. Restoran/Rumah Makan
7. Puskesmas/Klinik/Balai 15. Listrik Umum (PLN/Non PLN)
Pengobatan
8. Jalan yang dapat dilalui kendaraan 16. Unit penyewaan alat-alat untuk
bermotor roda tiga dan empat keperluan pesta, dll.

Kriteria lain diberikan oleh National Urban Development Study (NUDS II), yaitu bahwa
kawasan perkotaan harus memperhatian aspek-aspek adalah sebagai berikut:

1. Luas wilayah 9. Poliklinik


2. Jumlah penduduk 10. Puskesmas
3. Sumber mata pencaharian 11. Kantor Pos
penduduk
4. Subsektor sumber mata 12. Bangunan
pencaharian penduduk 13. Pertanian (ekonomi
5. SMP 14. Jumlah rumah tangga
6. SMA 15. Pasar permanen

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 36


7. Akademi/Universitas 16. Pasar non permanen
8. Rumah Sakit 17. Pertokoan

Berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/2002, kawasan perkotaan


diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa.
2. Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa.
3. Kawasan Perkotaan Besar, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
lebih besar dari 500.000 jiwa.
4. Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 37


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Untuk mengevaluasi kelayakan Kawasan Jatinganor sebagai kawasan perkotaan


maka digunakan metode penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Kidder (dalam Riduwan, 2005):
Penelitian evaluasi dapat dinyatakan juga sebagai evaluasi, tetapi dalam hal lain juga
dapat dinyatakan sebagai penelitian. Sebagai evaluasi dalam hal ini merupakan
bagian dari proses pembuatan keputusan, yaitu membandingkan suatu kejadian,
kegiatan, produk dengan standar dan program yang telah ditetapkan. Evaluasi
sebagai penelitian berarti akan berfungsi untuk menjelaskan fenomena.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk


meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) peneliti
merupakan instrumen kunci dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada
generalisasi. (Sugiono, 2005).
Sedangkan menurut Cronbach yang dikutip Rahayaan (2005) :
Pendekatan metode penelitian kualitatif dapat menggambarkan secara menyeluruh
mengenai hasil evaluasi, serta pemahaman terhadap program dengan situasi
lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fleksibel, karena terfokus kepada
obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Selain itu pendekatan kualitatif
yang berdasar naturalistik memungkinkan peneliti berinteraksi dalam suasana yang
lebih humanis, dinamis dan intensif.

Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap,
lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 1


3.2 Ruang Lingkup Studi :
A. Lingkup Wilayah Studi
Lingkup wilayah studi adalah Kecamatan Jatinangor sebagai fokus utama adalah
Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung sebagai wilayah yang sebagian besar
desanya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor. Lingkup wilayah dapat
dikembangkan pada Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor
yang dimungkinkan sebagai pengembangan kawasan perkotaan ke depan (Kecamatan
Tanjungsari, Kecamatan Sukasari dan Kecamatan Pamulihan).

B. Lingkup Pelaksanaan Studi


Tahapan kegiatan dalam penyusunan studi kelayakan kawasan Jatinangor sebagai
kawasan perkotaan adalah :
1. Pengumpulan Data dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan dan analisa data baik primer maupun skunder yang sahih
yang dan dapat dipercaya untuk digunakan dalam tahap analisa data.
a. Tahap Persiapan
Pada tahap pendahuluan dilakukan persiapan pelaksanaan yang menyangkut
program kegiatan, penyusunan instrumen pendataan (kuesioner, peralatan, bahan,
dan tenaga)
b. Tahap pengumpulan dan kompilasi data
Pada prinsipnya kegiatan pada Pengumpulan dan kompilasi data adalah
sebagai berikut:
 Persiapan Survey
- Pembuatan cheklist pengumpulan data dan instrumen pengumpul data
(kuesioner, lembar wawancara, dll) yang memuat kebutuhan data yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.
- Pembuatan program kerja yang akan dilakukan dalam pelaksanaan
kegiatan survey.
- Penyiapan personil (surveyor)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 2


 Pelaksanaan Survey
Dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan utama,
yakni:
a. Survey instansional, merupakan pengumpulan data skunder yang biasanya
data-data sudah diolah dalam bentuk deskripsi, tabel, peta dan diagram.
b. Survey lapangan, merupan pengumpulan data langsung di lapangan
(kawasan studi) dalam rangka menemukenali dan mengidentifikasi
karakteristik kawasan studi. Kegiatan ini dapat berupa observasi lapangan,
wawancara langsung dengan masyarakat atau tokoh masyarakat,
penyebaran kuesioner, dan lain sebagainya.
c. Data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan penyusunan studi kelayakan
ini secara garis besar meliputi :
1. Data kondisi fisik dasar.
2. Data kondisi sosial-budaya.
3. Data kondisi ekonomi.
4. Data kondisi lingkungan.
5. Data kondisi kelembagaan.
6. Data kondisi tata ruang.
c. Tahap analisa dan justifikasi potensi dan permasalahan
Dalam penyusunan studi kelayakan kawasan perkotaan ini, analisa yang
dilakukan meliputi :
1. Analisis kelayakan sosial budaya
2. Analisis kelayakan ekonomi
3. Analisis kelayakan kelembagaan
4. Analisis kelayakan lingkungan
5. Analisis kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah
d. Tahap penyusunan skenario (alternatif konsep), kesimpulan dan rekomendasi
Sebagai hasil akhir dari studi ini adalah tersusunnya skenario (alternatif
konsep) kawasan perkotaan jatingaor yangtermuat dalam suatu laporan yang
sekurang-kurangnya memuat :
 Konsep kawasan perkotaan Jatinangor

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 3


 Kesimpulan dan rekomendasi terhadap kelayakan kawasan perkotaan
Jatinangor yang meliputi :
a. Kelayakan sosial budaya
b. Kelayakan ekonomi
c. Kelayakan lingkungan
d. Kelayakan kelembagaan
e. Kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah
2. Metode Analisa
Metode analisa merupakan penguraian secara rinci atas berbagai masalah dari
seluruh aspek yang dikaji, kemudian mencari alternatif solusinya secara terinci.
3. Metode Sintesa
Metode sintesa adalah mengaitkan (mensntesakan) problem dan solusi hasil
analisa yang ada untuk mendapatkan alternatif rancangan yang optimal, terpadu dan
komprehensif.

3.3 Sumber Data


Dalam penelitian kualitatif ini, sumber data dipilih secara purposive sampling dan
bersifat snowball sampling. Purposive sampling ialah teknik sampling yang digunakan
peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam
pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2005).
Menurut Sugiono (2005) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan Snowball sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama
menjadi besar.

3.4 Operasionalisasi Indikator perkotaan (urban indicators) yang digunakan (versi Asian
Development Bank dan Standar Pelayanan Perkotaan PU dan Kimpraswil)
Indikator perkotaan untuk mengukur sejauhmana kondisi Kawasan Perkotaan
Jatinangor memenuhi kriteria sebagai kawasan perkotaan. Indikator yang digunakan
indicator yang dikembangkan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 dan pada
beberapa aspek terutama sarana dan prasarana perkotaan digabungakan dengan didasarkan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 4


pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan
dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Indikator penilaian pembangunan
perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas
Hidup, serta beberapa aspek,yaitu:
1. Aspek Penduduk
Indikator yang digunakan:
 Tingkat pertumbuhan penduduk;
 Tingkat migrasi; dan
 Tingkat kepadatan penduduk.
2. Aspek Produktifitas Perkotaan
Indikator yang digunakan:
 Tingkat kemiskinan;
 Tingkat pengangguran;
 Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;
 Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;
 Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan
 Tingkat ketergantungan penduduk.
3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan
Indikator yang digunakan:
 Tingkat kematian ibu;
 Tingkat kematian bayi;
 Angka Prevelensi Penyakit Diare;
 Rata-rata usia harapan hidup warga;
 Ketersediaan fasilitas Puskesmas;
 Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan
 Ketersediaan apotek;
 Angka melek huruf;
 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);
 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 5


 Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).
4. Aspek Permukiman dan Lingkungan
Indikator yang digunakan:
 Rasio penduduk kumuh per penduduk total;
 Persentase permukiman kumuh;
 Luasan permukiman kumuh;
 Rasio Ruang Terbuka Hijau;
 Pengaduan polusi/pencemaran;
 Jumla kejadian kebakaran; dan
 Tindak kejahatan per 1000 penduduk.
5. Aspek Ekonomi
Indikator yang digunakan:
 Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)
 Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB
 Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir
 Analisis ICOR
 Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
 Rata-rata pendapatan penduduk perkapita
 Disparitas Pendapatan Antarsektor
 Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)
 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
 Elastisitas kesempatan Kerja
 Tingkat Kemiskinan
6. Aspek Budaya
Indikator yang digunakan:
 Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs,
benda arkeologis dan kawasan bersejarah)
 Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan
budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 6


 Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang
melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)
7. Aspek Sosial
Kependudukan, Indikator yang digunakan:
 Kepadatan Penduduk Kota
 Kepadatan Penduduk Kelurahan
 Angka Migrasi
 Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk
 Tingkat kematian bayi
 Rata-rata usia harapan hidup warga
 Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)
 Ketersediaan jumlah tenaga medis
 Ketersediaan Apotek
8. Aspek Spasial
Indikator yang digunakan:
 Konversi Lahan
 Ketersediaan Ruang Publik
 Keberadaan lingkungan kumuh
9. Aspek Prasarana
1) Sektor Air Bersih
Aset, meliputi :
a. Sumber Air
b. Kualitas Air
c. Kebocoran Air
d. Pelayanan
 Cakupan Pelayanan
 Cakupan Pelanggan
 Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)
 Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik)
 Tingkat penggunaan air

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 7


 Tarif Air
2. Sektor Transportasi
Aset, meliputi :
a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi
b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan
c. Kondisi Jalan
d. Terminal Angkutan Darat
e. Terminal Udara
3). Sektor Sanitasi
Aset, meliputi :
a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system)
b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system)
4). Sektor Persampahan
Aset, meliputi :
a. Pengumpulan
b. Pengangkutan
c. Kapasitas Pembuangan
d. Metoda Pembuangan
e. Kepemilikan Lahan TPA
f. Pelayanan, meliputi :
- Cakupan Pelayanan
- Retribusi Sampah
- Kerjasama dengan Masyarakat
Asumsi yang digunakan di dalam pembobotan adalah setiap variabel atau kriteria
mempunyai bobot yang berbeda sesuai peran dan urgensinya dalam pengelolaan kawasan
perkotaan.
Kategori penilaian berdasarkan skala tertentu dan ditetapkan menurut kategori
baik, sedang maupun kurang. Hal tersebut berdasarkan pada jumlah skor tertentu yang
representatif, yaitu kategori penilaian menjadi dasar pilihan tindakan untuk untuk
mengukur tingkat tingkat kelayakan kawasan perkotaan. Secara rinci gambaran indicator

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 8


dan bobot penilaian dapat dilihat pada tabel berikut (untuk Kawasan Perkotaan Jatinangor
sesuai dengan lingkup wilayah digunakan indikator Kota Sedang):

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 9


Tabel 3.1 Indikator Pengukuran Kelayakan Kawasan Perkotaan Sedang
Baik Sedang Buruk
No Aspek Indikator Bobot @
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
1 Penduduk Tingkat Pertumbuhan penduduk 3 <1% 3 1-2% 2 >2% 1
Tingkat Migrasi 10 2 > 1.5 % 3 1 - 1.5 % 2 <1% 1
Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) 5 > 75 jiwa/ha 3 50-75 jiwa/ha 2 < 50 jiwa/ha 1
2 Produktivitas Tingkat Kemiskinan (%) 2 < 20 % 3 20 - 30 % 2 > 30 % 1
Perkotaan Tingkat Pengangguran (%) 1 <5% 3 5 - 10 % 2 > 10 % 1
Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per
pertumbuhan nasional 2 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1
10
Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa 2 >4% 3 2-4% 2 <2% 1
Kontribusi sektor perdagangan dan jasa
terhadap PDRB 2 > 40 % 3 20 - 40 % 2 < 20 % 1
Tingkat ketergantungan penduduk 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
3 Kesehatan dan Tingkat kematian ibu 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
Pendidikan Tingkat kematian bayi 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
Angka Prevalensi Penyakit Diare 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) 0.5 > 55 Tahun 3 45 - 55 thn 2 < 45 Tahun 1
Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
ketersediaan fasilitas rumah sakit (unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
Ketersediaan apotik (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
10
Angka melek huruf 0.5 > 90 % 3 80 - 90 % 2 < 80 % 1
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD)
(unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP)
(unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU)
(unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
4 Permukiman Rasio penduduk kumuh per penduduk total 1.43 < 1% 3 1-2% 2 >2% 1
dan Lingkungan Persentase Permukiman Kumuh (unit) 1.43 <1% 3 1-2% 2 >2% 1
Luasan Permukiman Kumuh 1.43 <1% 3 1-2% 2 >2% 1
Rasio ruang terbuka hijau 10 1.43 > 40 % 3 40 - 30 % 2 < 30 % 1
Pengaduan polusi/pencemaran 1.43 Tidak 3 Ada 2 Ada 1
Jumlah kejadian kebakaran 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1
Tindak kejahatan per 1000 penduduk 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 10


Baik Sedang Buruk
No Aspek Indikator Bobot @
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
5 Pelayanan Kota
5.1 Air Kapasitas produksi (l/det) 1 > 150 3 130 - 150 2 < 130 1
Jenis sumber air 1 air tanah 3 air permukaan 2 air hujan 1
Rasio sambungan rumah 1 > 50 % 3 30 -50 % 2 < 30 % 1
Rasio kebutuhan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1
Tingkat kebocoran rata-rata per tahun 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1
Tingkat pelayanan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1
10
Konsumsi air per pelanggan (domestic) 1 > 80 % 3 75 - 80 % 2 < 75 % 1
Konsumsi air bersih konsumsi lain (non
domestik) 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1
Tinggkat penggunaan air 1 > 80 % 3 40 - 80 % 2 < 40 % 1
Sistem distribusi Gabungan dengan 3 Perpompaan 2 Gravitasi 1
1
reservoir
5.2 Sanitasi Kondisi pengolahan setempat(on site system)
1. Jumlah rumah yang menggunakan septic
tank (%) 5 > 60 % 3 40 - 60 % 2 <40 % 1
10
2. Jumlah penduduk terlayani fasilitas
komunal 5 < 30 % 3 30 - 50 % 2 > 50 % 1
(MCK umum) (%)
5.3 Sampah Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr) 1 > 75 % 3 50 - 75% 2 < 50 % 1
Cakupan penduduk terlayani 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1
Cakupan layanan (ha) 1 > 50 % 3 25 - 50 % 2 < 25 % 1
Sarana pengangkutan sampah
- Pick up sampah (unit) 1 > 20 3 15- 20 2 < 15 1
- Truk sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1
- Arm-roll sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1
10
- Compactor truck (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1
- Status tanah TPA 1 Milik Pemkot 3 2 sewa 1
- Jarak ke pembuangan terdekat 1 > 1 km 3 0.5 - 1 km 2 < 0.5 km 1
Metode open
Metode
Metoda pembuangan 1 Metode sanitary 3 2 Dumping 1
controlled
land fill
land fill

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 11


Baik Sedang Buruk
No Aspek Indikator Bobot @
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
5.4 Drainase Topografi kota 1 Dataran 3 2 Perbukitan 1
Rasio panjang saluran primer 1 > 30 % 3 20 -30 % 2 < 20 % 1
Tinggi genangan 1 < 0.25 m 3 0.25 - 0.5 m 2 > 0.5 m 1
Lama genangan 1 < 1 jam 3 1-2 jam 2 < 2 jam 1
10
Frekuensi genangan 1 Tidak ada 3 1-2/tahun 2 > 2x/tahun 1
Kerugian material genangan 1 Tidak ada 3 2 ada 1
Luas genangan dari area urban 2 <5% 3 5-15 % 2 > 20 % 1
Cakupan pelayanan 2 > 80 % 3 >60-80% 2 < 40 % 1
6 Listrik dan Cakupan pelanggan listrik 2.5 > 75 % 3 50 - 75 % 2 < 50 % 1
5
Telpon Cakupan pelanggan telpon 2.5 > 40 % 3 20 -40 % 2 < 20 % 1
7 Transportasi > 0.4/1000 0.2 - 0.4/1000 < 0.2/1000
Perkotaan Rasio panjang jalan per 100 penduduk 1.43 km/jiwa 3 km/jiwa 2 km/jiwa 1
V/C Ratio rata-rata 1.43
Panjang jalan sesuai kewenangan 1.43 > 20 % 3 10 -20 % 2 < 10 % 1
10
Kerusakan jalan 1.43 < 10 % 3 10 - 25 % 2 > 25 % 1
Kecepatan tempuh rata-rata 1.43 > 60 km/jam 3 30 - 60 km/jam 2 < 30 km/jam 1
Panjang jalan mantap 1.43 > 85 % 3 75 - 85 % 2 < 75 % 1
Integrasi antar kota 1.43 3 2 1
8 Pemerintahan Kontribusi pendapatan dari pajak 1.67 > 50 % 3 25-50 % 2 < 25 % 1
Kota kemandirian kota (keuangan
daerah/pendapatan 1.67 > 75 % 3 25 - 75 % 2 < 25 % 1
5
daerah)
ketersediaan dokumen perencanaan
pembangunan 1.67 Ada 3 2 Tidak 1

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 12


3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang
didasarkan atas kriteria kawasan perkotaan ditinjau dari kondisi demografi, arus migrasi,
aktifitas penduduk, fasilitas perkotaan, pemerintahan, lingkungan serta aspek lain yang
merupakan fokus pengamatan. Data yang diperoleh sebagian besar menggunakan data
dokumen dengan teknik dokumentasi yang berasal dari berbagai sumber. Untuk
memvalidasi data tersebut dilakukan teknik observasi dan wawancara dengan pejabat
struktural instansi terkait yang memahami yang dilaksanakan secara gabungan (triangulasi).
Data yang diperlukan dalam studi ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang
didasarkan atas yang dibedakan atas :
a. Data Primer, diperoleh dengan penelitian lapangan, dilakukan dengan jalan melihat,
mengamati, mencatat serta mewawancarai secara langsung pejabat politik, aparatur
daerah, kecamatan, kelurahan serta desa, masyarakat dan kelompok sasaran lainnya.
b. Data Sekunder, dikumpulkan untuk melengkapi data primer, baik yang tersedia di BPS
setempat, Sekretariat Daerah, Bappeda, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten,
Monografi Kecamatan, Desa/Kelurahan dan instansi lain yang mempunyai
informasinya berkaitan dengan topik penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh dengan
penelitian terhadap dokumen, laporan, brosur, surat kabar dan bahan kepustakaan
lainnya.
Adapun teknik pengumpulan data yang dipilih dalam riset lapangan adalah:
a. Observasi, suatu teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa
dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian.
b. Wawancara, mengumpulkan data dengan komunikasi langsung berdasarkan kerangka
atau pedoman yang telah disusun sebelumnya dengan pihak yang berkompeten dan
berwenang terhadap masalah yang diteliti
c. Kuesioner, penyebaran angket atau daftar pertanyaan yang telah tersedia yang relevan
dengan masalah yang diteliti. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang
obyektif dan merupakan salah satu pengumpulan data yang diketahui dan dipahami
oleh responden sehingga hasilnya obyektif

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 13


d. Studi Literatur, mengumpulkan data dengan mempelajari, menelaah dan menganalisa
literatur, dokumen, peraturan serta menelaah dan menganalisa literatur, dokumen,
peraturan serta referensi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3.6 Pengolah dan Analisis Data


Data kualitatif akan dianalisa melalui pendekatan isi dan kedalaman menterjemahkan
suatu fenomena dalam menganalisa kriteria kawasan perkotaan Jatinangor yang dapat
membantu pihak-pihak terkait dalam menangani kawasan Jatinangor serta dapat membantu
masyarakat berperan dalam pengelolaan kawasan Jatinangor
Dari daftar struktur pertanyaan terbuka, kemudian dilengkapi dengan kompilasi
hasil wawancara secara mendalam, kemudian dengan pengamatan di lapangan kemudian
variabel itu akan dikompilasi melalui file terstruktur. Sedangkan data kuantitatif akan
dikategorikan, diklasifikasikan dan diolah sebagai dasar pengukuran dan analisis untuk
memberikan penjelasan dan penilaian terhadap tingkat kelayakan

3.7 Organisasi Pelaksana


Studi dilakukan oleh 4 (empat) orang tenaga ahli dengan rincian sebagai berikut :
1) 1 orang tenaga ahli di bidang Bidang Otonomi Daerah (Guru besar) sebagai Ketua Tim.
2) 1 orang ahli dalam bidang sosial ekonomi sebagai Sekretaris Tim
3) 1 orang ahli dalam bidang tata ruang, sebagai Anggota Tim.
4) 1 orang ahli dalam bidang lingkungan hidup, sebagai Anggota Tim.

3.8 Jangka Waktu Penelitian


Penelitian ini memerlukan waktu selama (tiga) bulan atau 12 (dua belas)
minggu, terhitung sejak ditandatanganinya naskah kerjasama penelitian. Alokasi
penggunaan waktu, sebagai berikut :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 14


KEGIATAN PELAKSANAAN
NO. KET
Sept Okt Nop Des
1. Ekspose
2. Penyusunan design penelitian
3. Pengumpulan & Pengolahan
data & informasi
4. Penelitian & Penulisan laporan
sementara
5. Lokakarya Laporan Sementara
6. Penulisan Laporan Akhir

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 15


BAB IV
ARAHAN KEBIJAKAN
KAWASAN PERKOTAAN

4.1 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025
Berdasarkan PP No 34 tahun 2009 tentang Pedomana Pengelolaan Kawasan
Perkotaan, Pasal 16 menyebutkan bahwa : Substansi rencana pembangunan Kawasan
Perkotaan tertuang dalam dokumen :
a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten/kota;
b. rencana tata ruang Kawasan Perkotaan;
c. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota; dan
d. rencana kerja pembangunan daerah kabupaten/kota.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025 yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008, substansi yang terkait dengan
kegiatan studi ini adalah meliputi :

A. Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang


Berdasarkan kondisi sampai dengan saat ini dan tantangan yang akan dihadapi dalam
20 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal dasar yang dimiliki dan
berbagai masukan dari berbagai pihak pada saat proses penyusunan RPJPD, maka visi
pembangunan Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025 adalah “KABUPATEN SUMEDANG
SEJAHTERA, AGAMIS DAN DEMOKRATIS PADA TAHUN 2025”. Visi tersebut dapat
diringkas menjadi “SUMEDANG SEHATI”, yang dapat diartikan sebagai kabupaten yang
makin kokoh dan berdaya juang tinggi dalam membangun daerahnya dengan dilandasi
orientasi masyarakat berupa :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 1


1. Perilaku yang berpegang pada prinsip sauyunan, sareundeuk saigel, sabobot sapihanean.
Maknanya adalah dalam lingkungan kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat,
senantiasa mengedepankan kepuasaan dalam layanan pemerintahan dan pembangunan
di berbagai bidang melalui pola kemitraan, permusyawarahan, transparansi, saling
percaya serta senantiasa proporsional dalam mendistribusikan hak dan kewajiban
diantara stakeholder pemerintahan guna mewujudkan kemajuan pembangunan daerah
yang dikehendaki masyarakat daerah.
2. Masyarakat yang telah mengedepankan nilai-nilai kesetiakawanan sosial dalam
mengelola permasalahan dan kebutuhan masyarakat daerah.
3. Masyarakat yang makin kokoh dalam mewujudkan tanggungjawab untuk
meredistribusikan kemakmuran daerah, antara kelompok ekonomi lemah (kaum dhuafa)
atau miskin secara materi namun potensial untuk menopang kemajuan kelompok
ekonomi kuat (kaum agnia) yang terus menunjukkan kesetiakawanan sosio-ekonominya
untuk mengarahkan kaum ekonomi lemah menjadi produktif.
4. Meningkatnya pelayanan publik.
Kabupaten Sumedang yang sejahtera ditandai dengan kondisi kehidupan masyarakat
Sumedang yang memenuhi standar kelayakan dalam pemenuhan kebutuhan di bidang
pendidikan, kesehatan dan bermatapencaharian layak serta jaminan keamanan dengan
senantiasa mempertimbangkan kelestarian daya dukung lingkungan yang berkelanjutan.
Kondisi ideal di bidang pendidikan ditunjukkan dari :
1. Meningkatnya tingkat pendidikan formal masyarakat yang dilihat dari target pendidikan
dasar telah tuntas dan memasuki tahapan pendidikan menengah.
2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pendidikan di daerah yang berkualitas dan
menjangkau seluruh masyarakat yang makim mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan.
3. Meningkatnya penguasaan keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan mampu
mengimplementasikan dalam perikehidupan masyarakat daerah yang makin produktif.
4. Terwujudnya pendidikan yang berdayaguna dan berhasilguna untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Kondisi ideal di bidang kesehatan ditunjukkan dari :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 2


1. Terciptanya kondisi lingkungan sehat sesuai standar kesehatan kehidupan individu,
keluarga dan masyarakat dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan sosial.
2. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang tinggi dengan tidak memilahkan lokasi
perdesaan dan perkotaan.
3. Terwujudnya sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang berkeadilan dan berdaya
saing.
4. Terwujudnya stabilitas kehidupan sosial yang mendukung terciptanya perikehidupan
masyarakat daerah yang makin tercermin dalam perilaku silih asah, silih asih dan silih
asuh.
5. Terwujudnya keluarga sebagai basis persemaian nilai-nilai budaya, pendidikan dan
kesehatan.
Kondisi ideal di bidang mata pencaharian layak dan berkesinambungan ditunjukkan dari :
1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier dalam
suatu sistem yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta keterkaitan
pembangunan ekonomi antar wilayah baik di kawasan perdesan maupun perkotaan.
2. Makin kokohnya perekonomian daerah yang berdaya saing secara regional, nasional dan
internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan komparatif,
kompetitif dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi agribisnis, pariwisata dan
industri.
3. Meningkatnya akses yang lebih berkeadilan terhadap sumberdaya ekonomi bagi seluruh
masyarakat Sumedang.
4. Terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat Sumedang dengan tingkat harga
yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
5. Meningkatnya perlindungan dan regulasi pemerintah terhadap pelaku sosio ekonomi
daerah dalam mendukung iklim investasi yang kondusif.
6. Meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat yang ditopang oleh makin
produktifnya pendayagunaan potensi agribisnis, pariwisata dan industri daerah.
7. Meningkatnya laju Pertuimbuhan Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto yang
berdampak terhadap penurunan kemiskinan.
8. Meningkatnya pendayagunaan dan pemanfaatan potensi agribisnis, pariwisata dan
industri daerah yang selaras dengan kearifan sosial.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 3


9. Meningkatnya ketersediaan dan kontribusi infrastruktur perekonomian daerah serta
infrastruktur transportasi, energi, komunikasi, sumberdaya air yang handal dan sejalan
dengan kebutuhan pembangunan skala regional dan nasional.
10. Meningkatnya kerjasama antar domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur
yang memadai.
11. Terwujudnya pembangunan pemeliharaan infrastruktur yang sejalan dengan
keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
12. Terwujudnya keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi dan berkelanjutan antara
kawasan lindung dan budidaya serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan.
13. Meningkatnya penyediaan lapangan pekerjaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang
berkualitas dan berdaya saing secara berkesinambungan berbasis pada keunggulan
potensi daerah guna mendukung pembangunan.
Kabupaten Sumedang yang agamis ditandai dengan kondisi lingkungan kehidupan
sosial yang makin dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa
sesuai keyakinan masyarakat yang diakui dalam sistem keagamaan nasional, kondisi ideal
kehidupan agamis ditunjukkan dari :
1. Meningkatkan jatidiri dan karakter masyarakat yang makin beriman dan bertakwa dalam
keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin kelangsungannya oleh
pemerintah.
2. Menguatnya kemitraan dan tanggungjawab dalam pembangunan pendidikan keagamaan
serta sarana dan prasarana keagamaan di daerah.
3. Menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh
silaturahmi antar dan inter umat beragama untuk menguatkan pengamalan agama dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kabupaten Sumedang yang demokratis ditandai dengan kondisi lingkungan
kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat yang makin dijiwai oleh supremasi dan
kesadaran hukum, tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik,
partisipasi masyarakat berlandaskan kesetaraan gender yang makin dewasa dalam proses
penetapan dan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah serta
pewarisan nilai nilai kejuangan bangsa dan kearifan lokal masyarakat. Kondisi ideal
kehidupan demokratis ditunjukkan dari :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 4


1. Terwujudnya penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan
otonomi daerah serta tugas pembantuan yang proporsional.
2. Meningkatnya aksesibilitas, transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan
kebijakan Pemerintah Daerah.
3. Meningkatnya penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif
dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah
Daerah.
4. Meningkatnya profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka
reformasi birokrasi yang makin mantap.
5. Terwujudnya kemitraan yang serasi antara legislatif dengan eksekutif.
6. Terselenggaranya otonomi desa yang makin efektif.
7. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik.
Dengan visi di atas, menjadikan corak masyarakat dan daerah Kabupaten Sumedang
yang ingin diwujudkan pada tahun 2025 mendatang adalah daerah yang dihuni oleh
masyarakat yang makin sejahtera, yang senantiasa bersikap arif dan berkemampuan
produktif dan mempertimbangkan kesinambungan lingkungan hidup daerahnya, serta makin
mengindahkan prasyarat terbangunannya tatanan masyarakat berkesadaran hukum tinggi
guna mewujudkan sistem sosial dan politik yang demokratis. Untuk memperkuat kondisi
sejahtera dan demokratis tersebut, maka diperlukan pula kelangsungan kehidupan agama
yang akan menyeimbangkan kebutuhan ragawi dan ukhrowi, yang dibangun oleh
penghormatan yang makin baik terhadap kesalehan sosial dan keragaman dalam keyakinan
beragama dalam satu kesatuan sistem keagamaan nasional yang dilindungi Undang Undang
Dasar 1945.
Guna mewujudkan visi pembangunan daerah Kabupaten Sumedang jangka panjang
diperlukan pemahaman terhadap pergeseran paradigma dalam tata kelola pemerintahan
daerah dalam mengelola fungsi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang
kian variatif. Peletakkan tanggungjawab yang sepenuhnya terhadap para penyelenggara
pemerintahan daerah, diyakini tidak mungkin lagi mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
agamis dan demokratis karena antar komponen tata kelola pemerintahan memiliki batas
batas potensi keperansertaan, kontribusi serta keterbatasan. Harus menjadi kecenderungan
positif bahwa mewujudkan masyarakat maju, yang ditandai kecerdasan (IQ, SQ, EQ),

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 5


demokratisasi dan ketaatan dalam keyakinan agama dan kepercayaan dalam kehidupan
sosial, akan mampu berjalan efektif manakala masyarakat dan potensi sosio ekonominya
menjadi pencipta kemakmuran dan pemerintah daerah menjadi fungsi pemicu, penyeimbang
serta pemberi jaminan kepastian hukum.
Dengan meletakan paradigrama pemerintahan berlandasan keseimbangan potensi
elemen dalam tata kelola pemerintahan, maka fungsi stabilisasi, fungsi pertumbuhan
ekonomi serta distribusi hasil pembangunan, akan menjadi segitiga agenda yang resiprokal
antara pemerintah, dunia usaha serta komponen masyarakat daerah di Kabupaten Sumedang
dengan tetap memperhatikan kelangsungan hidup di daerah.

B. Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang


Upaya perwujudan visi pembangunan jangka panjang Kabupaten Sumedang 2005-
2025 tersebut akan dicapai melalui 5 (lima) misi pembangunan sebagai berikut :
1. Misi Pertama, Mewujudkan masyarakat madani yang berpendidikan, berbudaya dan
berpola hidup sehat, adalah membangun masyarakat Sumedang yang berbudaya mulia
dan mandiri yang memiliki akses terhadap pendidikan formal yang berkualitas, dapat
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan mendorong kesetaraan gender,
memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi yang didasari ilmu pengetahuan dan
teknologi berdaya saing, mengutamakan pola hidup sehat sejahtera secara jasmani,
rohani dan sosial sehingga berada dalam kondisi stabil yang mendukung terciptanya
kehidupan masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, kesalehan sosial dengan
mencerminkan pola perilaku silih asah, silih asih, silih asuh sehingga tercipta keluarga
yang dapat menjadi tempat persemaian nilai budaya, pendidikan dan kesehatan.
2. Misi Kedua, Mewujudkan perekonomian daerah yang tangguh dan berkelanjutan yang
berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri, adalah mengembangkan dan
memperkuat keterkaitan antar sektor perekonomian daerah yang berdaya saing secara
regional dan internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan
komparatif, kompetitif, dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi sosio ekonomi
lokal terutama dalam agribisnis, pariwisata dan industri yang mengindahkan kearifan
budaya lokal dan keseimbangan lingkungan hidup. Perkembangan ekonomi daerah
didukung oleh kerjasama antara domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 6


yang memadai, pemeliharaan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan
keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, keseimbangan
pemanfaatan ruang yang serasi antara kawasan lindung dan budidaya serta antara
kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, penciptaan dan pendayagunaan tenaga kerja
yang berkualitas dan berdayasaing serta perlindungan regulasi pemerintahan terhadap
pelaku sosio ekonomi daerah guna mendukung penciptaan iklim investasi yang
kondusif.
3. Misi Ketiga, Mewujudkan masyarakat daerah yang berakhlak mulia, yang berlandaskan
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin toleran sesuai
dengan falsafah Pancasila, adalah meningkatnya jatidiri dan karakter masyarakat yang
makin beriman dalam keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin
kelangsungannya oleh pemerintah, memperkuat kemitraan dan tanggung jawab dalam
pembangunan pendidikan keagamaan dan sarana dan prasarana keagamaan di daerah,
menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh
silaturahmi antar umat beragama dan intern umat beragama untuk menguatkan
pengamalan agama dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4. Misi Keempat, Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, adalah mewujudkan
penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan otonomi
daerah serta tugas pembantuan yang proporsional, meningkatkan aksesibilitas,
transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah,
meningkatkan penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif
dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah
daerah, meningkatkan profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka
reformasi birokrasi yang makin mantap, merwujudkan kemitraan yang serasi antara
legislatif dengan eksekutif, menyelenggarakan otonomi desa yang makin efektif, serta
merwujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik.
5. Misi Kelima, Mewujudkan masyarakat yang demokratis dalam kesetaraan gender
berlandaskan hukum dan hak asasi manusia, adalah mewujudkan penyelenggaraan
kelembagaan demokrasi daerah, baik pada supra struktur maupun infrastruktur politik
serta meningkatkan budaya hukum dan HAM, meningkatkan peran dan partisipasi

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 7


masyarakat dalam penyusunan kebijakan, mewujudkan kemitraan dengan media dalam
bentuk penyampaian kepentingan masyarakat daerah serta meningkatkan penegakan
hukum secara adil dalam kesetaraan gender dan menghormati hak asasi manusia.

C. Arah Pembangunan Jangka Panjang


Pembangunan jangka panjang daerah membutuhkan tahapan dan skala prioritas
yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. Tahapan
dan skala prioritas yang ditetapkan merupakan pilihan yang paling memungkinkan
mendapatkan dukungan sumber daya daerah yang tersedia pada kurun waktu lima tahunan.
Namun demikian, untuk menstrukturkan penuangan fokus prioritas pada setiap sasaran
pokok pembangunan jangka panjang daerah, setiap misi yang telah dan ingin dicapai
ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan dengan keberlanjutan, penataan
peningkatan, pemantapan dan mempertahankan keunggulan program pembangunan pada
setiap tahapan dan tahapan berikutnya yang satu sama lain saling menguatkan dan dapat
berjalan secara simultan. Pada setiap pentahapan tersebut dijelaskan bagaimana kedudukan
kawasan pendidikan Jatinangor dan kawasan industri Cimanggung untuk jangka waktu
perencanaan 20 tahun yaitu dari tahun 2005–2025 yang meliputi RPJMD ke-1 (2005-2008),
ke-2 (2009-2013), ke-3 (2014-2018) dan ke-4 (2019-2025).
Secara umum, jika mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 01
tahun 2008 yang pada intinya menyatakan bahwa perencanaan pembangunan kawasan
perkotaan harus tercantum dalam RPJP sudah bisa diakomodasi RPJP 2005-2025 Kabupaten
Sumedang. Ini mengindikasikan bahwa pengembangan kawasan perkotaan untuk kawasan
Jatinangor dan Cimanggung sudah direncanakan secara sistematis, walaupun secara tegas
disebutkan dalam RPJP Kabupaten tersebut bahwa pengembangan kawasan Jatinangor
untuk kawasan Perguruan Tinggi, dan Cimanggung sebagai Kawasan Industri.
Selain itu pula, dalam RPJP 2005-2025 kawasan Jatinangor dikelompokkan ke
dalam wilayah pertumbuhan (WP) Tanjungsari. WP Tanjungsari ini terdiri dari Kecamatan
Tanjungsari, Jatinangor, Rancakalong, Pamulihan, Sukasari dan Cimanggung dengan
pusatnya di Tanjungsari.
Seperti termaktub dalam RTRW Jawa Barat, Penetapan kawasan (Jatinangor)
sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 8


• Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan
ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat
sesuai dengan yang telah direncanakan
• Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor
Dalam arah kebijakan pembangunan Kabupaten Sumedang juga disebukan bahwa
tujuan dari Pengembangan Kawasan adalah untu:
• Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia
• Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
• Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja
di dalam dan luar negeri.
Jika dirinci kedalam pentahapan periodisasi jangka menengah, arah
pengembangan kawasan Jatinangor bisa dijelaskan berikut ini:

I. RPJMD ke-1 (2005-2008)


Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJMD
Ke-1 diarahkan untuk melanjutkan hasil hasil pembangunan daerah di segala bidang yang
ditujukan untuk menciptakan Sumedang yang sejahtera, agamis dan demokratis yang
semakin terasakan dampaknya bagi masyarakat daerah serta terus memberikan kontribusi
terhadap kualitas pembangunan regional Jawa Barat dan nasional.
Sumedang yang sejahtera ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan
jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup yang semakin berkualitas serta
berkurangnya kesenjangan antar perdesaan dan perkotaan. Kondisi itu dicapai dengan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim investasi daerah yang kondusif,
termasuk membaiknya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur terus didorong melalui
peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan investasi daerah yang
transparan serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan perijinan investasi daerah
terutama untuk sektor transportasi, perdagangan, agribisnis, industri kecil serta
kepariwisataan. Pembangunan infrastruktur diarahkan bagi percepatan pertumbuhan
perekonomian daerah antara lain melalui penajaman upaya persiapan pembangunan jalan
Tol Cisumdawu, bendungan Jatigede, zona industri Jatinangor-Cimanggung dan Ujungjaya,

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 9


rencana induk pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang serta bandara internasional
Kertajati di Majalengka.
Dari tahapan dan prioritas pada RPJMD ke-1 ini, terdapat fokus yang menjadi
panduan untuk dapat dituntaskan pada kurun perencanaan tahap ini yang terkait dengan
kawasan Jatinangor yaitu yang terkait dengan misi: Mewujudkan perekonomian daerah yang
tangguh dan berkelanjutan yang berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri. Dalam
tahapan dan prioritas point ke-7 disebutkan: Peningkatan ketersediaan rencana tata ruang
kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, provinsi dan nasional (antara lain kawasan
perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan
koridor jalan tol Cisumdawu serta rencana induk pusat pemerintahan) termasuk kawasan
perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta
pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Selain itu, di point ke-14 di misi yang sama, juga disebutkan bahwa arah dan
prioritas yang dilakukan pada RPJMD-1 ini adalah Pengembangan industri yang sinergis
dan berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung potensi ekonomi
daerah.

II. RPJMD ke-2 (2009-2013)


Arah pembangunan jangka panjang tahap kedua ini terdiri dari upaya-upaya untuk
meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-1 yang dapat
memperkuat capaian RPJMD ke-2. Di dalamnya, terdapat upaya pemantapan infrastruktur
ekonomi dan sosial pada daerah daerah yang dijadikan sentra pengembangan industri
manufaktur dan perdagangan daerah serta sektor jasa lainnya. Selain itu, ditunjang pula
dengan upaya penguatan dalam fasilitasi kelembagaan-kelembagaan keuangan yang
menopang aktivitas usaha mikro dan kecil serta akses pelaku usaha terhadapnya.
Seperti di tahap pertama, juga dilakukan upaya untuk melanjutkan ketersediaan
rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional
(antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan
industri dan kawasan koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten
tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 10


yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan ini juga ditunjang
dengan upaya penguatan pengendalian tata ruang daerah yang makin sinergi dengan tata
ruang regional.
Upaya penataan moda transfortasi daerah untuk menopang pembangunan antar
wilayah juga diperkirakan akan terkait dengan upaya penataan kawasan Jatinangor sebagai
kawasan yang akan dikembangkan. dalam tahap ini, upaya pemantapan sinergisitas antara
Industi Besar dengan Industri Kecil Menengah (IKM) sehingga tercipta penguatan masing-
masing skala usaha juga akan terkait dengan daerah sekitar kawasan Jatinangor.
Upaya peningkatan kerja sama antar daerah dan peningkatan penegasan batas daerah
juga merupakan salah satu fokus pembangunan di tahap kedua ini. Langkah ini sangat
penting bagi proses pengembangan kawasan. Diharapkan dengan upaya ini, ke depannya
tidak terjadi perselisihan antar wilayah dikarenakan batas wilayah.

III. RPJMD ke-3 (2014-2018)


Sasaran pembangunan di tahap ketiga ini juga bertujuan untuk meneruskan fokus
pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-2 yang dapat memperkuat
capaian RPJMD ke-3. Secara spesifik terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor,
upaya pengembangan kemitraan dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan daerah
melalui corporate social responsibility (CSR) pada para pelaku usaha daerah akan terkait
dengan upaya pengembangan kawasan Jatinangor.
Penggunaan yang makin meluas pada ekonomi terbarukan yang semakin pro
kesinambungan lingkungan hidup juga akan terkait dengan upaya pengembangan kawasan
Jatinangor, yang mana dalam hal ini tertuju pada pengembangan kawasan sektor usaha di
sekitar Jatinangor. Selain itu, upaya penegakkan tata kelola ruang daerah dan pemberian
insentif sosial guna kelestarian lingkungan hidup di permukiman juga diharapkan mampu
memberikan keseimbangan pemeliharaan dan pelestrarian lingkungan.
Pengembangan infrastruktur lingkungan dan moda transformasi yang
menghubungkan semua pusat pusat perekonomian daerah yang makin terintegrasi dengan
moda transformasi regional dan nasional juga merupakan isu yang terkait erat dengan
pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor.
Sasaran berikutnya yaitu upaya lebih memantapkan keterpaduan antara Industri

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 11


Besar dengan IKM dalam pemanfaatan potensi ekonomi daerah dan keterkaitan antar rantai
bisnis juga merupakan isu terkait dengan pengembangan kawasan, yang nota bene kawasan
Jatinangor juga akan dikembangkan sebagai kawasan industri.
Di tahap ketiga ini, upaya untuk memantapkan ketersediaan rencana tata ruang
kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan
perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan
koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi
rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi sasaran pembangunan.
Upaya peningkatan layanan prime di daerah perbatasan dan penguatan SDM
aparatur daerah diwilayah perbatasan juga merupakan sasaran strategis di tahap ketiga ini.
Kedua hal diatas sangat terkait erat dengan pengembangan kawasan Jatinangor sebagai
daerah yang merupakan berada di sisi luar dan bersinggungan dengan kabupaten lain.

IV. RPJMD ke-4 (2019-2025)


Di tahap terakhir ini, tahap 4, sasaran pembangunan jangka panjang pada umumnya
adalah berisikan langka-langkah untuk meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum
tercapai pada RPJMD ke-3 yang dapat memperkuat capaian RPJMD ke-4.
Ada sasaran strategis yang akan dilakukan di tahap ini, yaitu pengembangan sistem
insentif daerah dalam penyelenggaraan kemitraan pembangunan di sektor swasta, terutama
pada bidang pendidikan, kesehatan. Ini tentu hal penting yang harus dipertimbangkan dalam
proses pengembangan kawasan Jatinangor. Selain itu, juga didukung dengan upaya
pengembangan tatanan sistem pemerintahan daerah yang menjadi supporting sistem bagi
aktivitas ekonomi kreatif.
Dalam tahap ini juga, upaya pemantapan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan
dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan
tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol)
termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang
telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia tetap menjadi fokus pembangunan jangka panjang tahap ke 4.
Di tahap ini, juga dilakukan upaya pematangan reformasi birokrasi yang menopang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 12


pelayanan berorientasi customer satisfaction. Ini sangat penting guna mendukung
karakteristik masyarakat perkotaan yang diharapkan terkait dengan upaya pengembangan
kawasan Jatinangor.

4.2 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sumedang
Dalam Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat ada beberapa kawasan yang akan
dikembangkan sebagai kawasan andalan. Secara umum, penetapan beberapa wilayah di
Propinsi Jawa Barat sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong :
• Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan
ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat
sesuai dengan yang telah direncanakan
• Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor
Dalam hal ini, sebagian dari kecamatan Kabupaten Sumedang termasuk dalam
kawasan andalan Cekungan Bandung, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan
Jatinangor. Terkait dengan ini, berikut dijelaskan posisi Kabupaten Sumedang dalam
pengembangan kawasan andalan di Propinsi Jawa Barat.

TABEL 4.1
Posisi Sumedang Dalam Kawasan Andalan Di Jawa Barat
(Sumber : RTRWP Jawa Barat 2010)

Kawasan Andalan Sektor Unggulan Arahan

Cekungan Bandung Industri, perdagangan, jasa Kawasan pusat pengem-


dsk (Sumedang) Pertanian hortikultura bangan SDM dlm rangka
Pariwisata, Perkebunan mendukung industri,
agribisnis, pariwisata, jasa
dan SDM.

Arahan pengembangan kawasan andalan Cekungan Bandung adalah sebagai pusat


pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung industri, agribisnis,
pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia
Tujuan pengembangan kawasan adalah :
• Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 13


• Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
• Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja
di dalam dan luar negeri.
Sasaran pengembangan kawasan :
• Termanfaatkannya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dengan melakukan
sinergisasi antar lembaga tersebut melalui pembentukan forum komunikasi lembaga
terkait.
• Meningkatnya kemampuan sumberdaya manusia daerah Cekungan Bandung dalam
pembuatan cenderamata khas daerah. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan
dengan mengadakan pelatihan-pelatihan.
• Meningkatnya prasarana komunikasi dan media dengan mendorong jasa telepon dan
internet dalam kegiatan bisnis dan menyediakan prasarana pendukung dan
komunikasi lainnya.

Rencana Tata Ruang Kawasan Andalan Perguruan Tinggi Jatinangor


Terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor, berikut adalah Rencana Tata
Ruang Kawasan Andalah Perguruan Tinggi Jatinangor.
• Wilayah perencanaan : Kecamatan Jatinangor 8 desa
• Konsep rencana/ Arahan Pengembangembangan:
• Meningkatkan akses dari dan ke luar Jatinangor
• Menghindari arus regional masuk bagian kawasan Perguruan Tinggi untuk
mendukung kawasan yang lebih terintegrasi
• Aktivitas yang ada diselaraskan dengan fungsi perguruan tinggi
Linieritas arah perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Sumedang dalam konteks
lingkup regional dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 14


TABEL 4.2
Arahan Pengembangan Wilayah Kabupaten Sumedang Dalam Lingkup Regional

Wilayah Konsep Rencana / Arahan Arahan Pengembangan Dalam


Rencana Evaluasi Implementasi
Perencanaan Pengembangan RTRW Kab. Sumedang 2012
1 2 3 4 5
RTRW Jawa Barat Propinsi Jawa Barat  PKN : Bandung dan Cirebon  Kota Sumedang telah  Kawsan lindung 45% melalui
 Kota Sumedang : PKL berfungsi sebagai PKL beberapa tahapan realisasi
 Kawasan lindung 45% dari luas  Luas kawasan lindung  Mempertahankan sawah irigasi
total Jawa Barat Kabupaten Sumedang sekitar teknis yang ada
 Mengendalikan alih fungsi lahan 23%  Peningkatan infrastruktur
sawah irigasi teknis  Terjadi alihfungsi kawasan penghubung dengan kabupaten
 Kabupaten Sumedang termasuk lindung menjadi kawasan lain
dalam Kawasan Andalan budidaya (-1,64%/ thn)  Pengembangan Buffer Zone di
Cekungan Bandung, dengan  Pada kawasan andalan sekitar kawasan lindung
salah satu tugasnya adalah Jatinangor telah berdiri  Penataan kawasan andalan
sebagai kawasan andalan Perguruan tinggi yang 4 yaitu Jatinangor sebagai salah satu
Perguruan Tinggi di Kecamatan STPDN, UNWIM, UNPAD kawasan tertentu di wilayah
Jatinangor. dan IKOPIN. Kawasan ini Sumedang
telah berkembangan menjadi
kawasan perguruan tinggi
dengan dilengkapi
permukiman mahasiswa dan
fasilitas penunjang pendidikan
tinggi berlokasi di sekitar
kampus dan koridor jalan
Negara

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 15


1 2 3 4 5
Kebijaksanaan Kota Bandung,  Wilayah Kabupaten Sumedang  Sejalan dengan ergabungnya 3  Perbedaan orientasi pergerakan
Pengembangan Kabupaten Bandung, yang termasuk dalam kawasan kecamatan dalam wilayah ke-3 kecamatan dengan
Wilayah Kabupaten BMA, yaitu Kecamatan Metropolitan Bandung, maka kecamatan lain dalam wilayah
Metropolitan Sumedang, Tanjungsari, Cimanggung dan kecenderungan perkembangan Kabupaten Sumedang perlu
Bandung Kabupaten Cinajur Jatinangor. Kota-kota kecamatan ke-3 kecamatan tersebut diakomodir serta diupayakan
dan Kabupaten ini direncanakan untuk menjadi menjadi kawasan perkotaan pemanfaatan peluang dari kondisi
Garut counter magnet dari lebih cepat dibandingkan tersebut. Misalkan ditangkapnya
perkembangan Kota Bandung kecamatan lainnya di peluang pengembangan akibat
dalam fungsi-fungsi tertentu. Sumedang limpahan kegiatan dari kota
 Kecamatan Jatinangor  Orientasi pergerakan penduduk Bandung.
dikembangkan untuk ke-3 kecamatan tersebut
menampung limpahan fungsi adalah menuju Kota dan
pendidikan tinggi Kabupaten Bandung
 Kecamatan Tanjungsari untuk
menampung kebutuhan
perumahan
 Kecamatan Cimanggung serta
sebagian Kecamatan Jatinangor
yang berdekatan direncanakan
untuk menampung kegiatan
industri dan perumahan.
 Skenario penyediaan air baku
dari Gua Waled yang ada di
Kecamatan Jatinangor juga
direncanakan dalam rencana ini.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 16


1 2 3 4 5
Kawasan Andalan Kecamatan  Meningkatkan akses dari dan ke  Perguruan tinggi yang 4 yaitu  Pemisahan jalur regional dan
Perguruan Tinggi Jatinangor 8 desa luar Jatinangor STPDN, UNWIM, UNPAD jalur lokal perguruan tinggi
Jatinangor  Menghindari arus regional dan IKOPIN dengan dibangun jalan elak
masuk bagian kawasan  Perkembangan permukiman  Pengembangan kecamatan
Perguruan Tinggi untuk mahasiswa dan fasilitas Jatinangor sebagai kawasan
mendukung kawasan yang lebih penunjang pendidikan tinggi di khusus
terintegrasi sekitar kampus dan koridor
 Aktivitas yang ada diselaraskan jalan negara
dengan fungsi perguruan tinggi  Pembangunan ke arah utara
dibatasi

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 17


Dalam RUTR Kabupaten Sumedang, ada beberapa kawasan yang akan
dikembangkan di Kabupaten Sumedang. Adapun kawasan yang dikembangkan
adalah sebagai berikut:
• Wilayah pengembangan Kota Jatinangor yang mana sebagai kawasan
tumbuh cepat
• Wilayah pengembangan kawasan pendidikan tinggi
• Wilayah pengembangan kawasan kegiatan pemerintahan Kabupaten
• Wilayah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan
• Wilayah pembangunan kawasan bendungan Jatigede
• Wilayah pengembangan kegiatan pertanian
Arahan kawasan perkotaan Jatinangor dan Cimanggung sebagai
kawasan perkotaan secara eksplisit di cantumkan pada arahan pengembangan
kawasan sebagaimana tercantum dalam revisi RTRW Kabupaten Sumedang dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 18


Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Gambar 4.1 Kawasan Perkotaan di Kabupaten Sumedang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 19


Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Gambar 4.2 Pusat Pertumbuhan wilayah di Kabupaten Sumedang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 20


Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Gambar 4.3. Kawasan Perkotaan yang direncanakan di Kabupaten Sumedang

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 21


BAB V
ANALISIS KELAYAKAN
KAWASAN PERKOTAAN

5.1 Karakteriktik dan Potensi Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung


Wilayah atau kawasan perkotaan dipahami sebagai daerah yang berkembang
sedemikian rupa menjadi daerah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri serta pelayanan
sosial (Nurmandi, 2006). Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung sebagaimana yang
cirri dan karakteristik di atas telah diarahkan sebagai kawasan perkotaan pada RTRW
Kabupaten Sumedang (2002-2012 ).
Kriteria Kawasan Perkotaan Berdasarkan PP No 34 Tahun 2009 Pasal 1 butir 3
menyebutkan bahwa : Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, sengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi. Sementara kriteria kawasan perkotaan berdasarkan Permendagri No 1 Tahun
2008 pasal 2 meliputi:
a. Memiliki karakteristik kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75 %
mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan, dan jasa; dan
b. Memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa
didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi dengan
pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
Mengacu pada kriteria di atas maka Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung
yang dapat dianggap layak dan memenuhi sebagaimana digambarkan pada Tabel 5.1 berikut

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 1


Tabel 5.1 Karakteristik dan Persentase Kegiatan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Penduduk terutama di Bidang
Bukan pertanian

Jenis Mata Pencaharian


Petani Non pertanian
No Desa Pertanian Non Pertanian Total
(%) (%)
Petani/buruh Tani PNS/TNI/POLRI Swasta Pedagang Buruh Pensiunan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 158 304 3036 595 1492 5585 2.83 97.17

2 Sayang 173 174 906 427 885 2565 6.74 93.26

3 Mekargalih 85 885 174 509 1415 3068 2.77 97.23

4 Cintamulya 130 61 833 232 1415 2671 4.87 95.13

5 Cisempur 304 53 553 171 2013 3094 9.83 90.17

6 Jatimukti 397 43 559 185 1027 2211 17.96 82.04

7 Jatiroke 373 81 775 213 743 2185 17.07 82.93

8 Hegarmanah 170 201 1916 331 553 3171 5.36 94.64

9 Cikeruh 117 317 1034 343 364 2175 5.38 94.62

10 Cibeusi 117 304 3036 331 553 4341 2.70 97.30

11 Cileles 325 76 313 160 756 1630 19.94 80.06


12 Cilayung 362 32 453 204 521 1572 23.03 76.97

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 2


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KECAMATAN CIMANGGUNG

1 Cimanggung 2381 11 64 36 162 2654 89.71 10.29


2 Mangunarga 277 45 75 206 709 1312 21.11 78.89

3 Sawahdadap 697 44 53 101 593 1488 46.84 53.16


4 Sukadana 201 60 22 38 1009 1330 15.11 84.89
5 Cihanjuang 594 75 3950 109 2817 7545 7.87 92.13
6 Sindangpakuon 133 51 125 76 1021 1406 9.46 90.54
7 Sindanggalih 1364 15 159 123 199 1860 73.33 26.67
8 Tegalmanggung 2133 6 293 75 51 2558 83.39 16.61
9 Sindulang 2462 7 43 35 25 2572 95.72 4.28
10 Cikahuripan 719 12 70 92 301 1194 60.22 39.78
11 Pasirnanjung 1615 12 9 251 62 1949 82.86 17.14
Sumber : Database Kecamatan (Jatinangor dan Cimanggung) Tahun 2008

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 3


Berdasarkan karakteristik mata pencaharian penduduk di atas, secara sederhana
desa-desa yang dikategorikan telah memiliki ciri perkotaan seluruhnya pada desa-desa di
Kecamatan Jatinangor. Sementara desa-desa di Kecamatan Cimanggung meliputi 4 desa
dan 1 desa potensial bercirikan perkotaan mengingat pada desa tersebut sebagian besar
mata pencaharian petani adalah sebagai buruh atau petani penggarap. Kepemilikan lahan
pertanian justru dimiliki penduduk pendatang yang tidak memiliki keahlian bertani,
sehingga kemungkinan alih fungsi lahan menjadi semakin besar. Pada desa-desa tersebut
merupakan bagian dari zona industri Jatinangor-Cimanggung karena berlokasinya beberapa
jenis industri
Desa-desa pada kecamatan tersebut merupakan kawasan yang diarahkan menjadi
kawasan perkotaan, sehingga diperlukan suatu pengembangan yang sinergi dan terarah
untuk menciptakan suatu kawasan yang memiliki interst untuk berkembang.
Pengembangan kawasan perkotaan ini diarahkan dengan mengacu dari peraturan dan
rencana yang sudah ada.
Dengan demikian, dapat direncanakan tata ruang dan pengembangan kawasan
perkotaan sesuai dengan yang diharapkan. Kawasan perkotaan terbentuk berdasarkan
fungsi-fungsi desa-desa yang membentuk kawasan perkotaan yang akan dikembangkan,
sehingga terdapat keterkaitan antar kawasan perkotaan yang mendukung kegiatan yang
terdapat di dalamnya. Keterkaitan antar desa tersebut terjalin dengan adanya interaksi dan
saling membutuhkan satu desa dengan desa lainnya lainnya.

5.2 Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang
dan Lingkungan
Indikator perkotaan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II dan Bab III
dilakukan berdasarkan tipologi kawasan perkotaan. Kawasan Perkotaan Jatinagor
Cimanggung berdasarkan tipologi perkotaan dikategorikan pada Kawasan Perkotaan
Sedang.
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 pasal 41 ayat (2) dan penjelasannya kawasan
perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 4


 Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani paling sedikit 50.000 (lima puluh ribu) jiwa dan paling banyak 100.000
(seratus ribu) jiwa.
 Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan perkotaan dengan jumlah
penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 (seratus ribu) jiwa dan kurang dari
500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
 Kawasan perkotaaan besar adalah perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
 Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan
perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan
di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan
sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
 Kawasan metropolitan yang saling memiliki hubungan fungsional dapat membentuk
kawasan megapolitan. Dengan demikian, kawasan megapolitan mengandung
pengertian kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan metropolitan yang
memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem
Berdasarkan kriteria tipologi kawasan perkotaan di atas maka kawasan perkotaan
Jatinangor dikategorikan pada tipologi kawasan perkotaan sedang sebagaimana dapat
dilihat pada tabel berikut :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 5


Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor

No Nama Desa Jumlah Penduduk


(Jiwa)
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 13919
2 Sayang 8312
3 Mekargalih 6344
4 Cintamulya 9394
5 Cisempur 5728
6 Jatimukti 4630
7 Jatiroke 5900
8 Hegarmanah 8354
9 Cikeruh 11123
10 Cibeusi 10505
11 Cileleus 5054
12 Cilayung 4800
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 5685
2 Sawahdadap 5494
3 Sukadana 5143
4 Cihanjuang 9872
5 Sindangpakuon 7817
Total 128074
Sumber : Database Kecamatan Jatinangor dan Cimaggung Tahun 2008

Berdasarkan gambaran di atas maka indikator penilaian kelayakan kawasan


perkotaan Jatinangor menggunakan indikator perkotaan kota sedang sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 6


Tabel 5.3 Pengukuran Kondisi Eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor berdasarkan Indikator Perkotaan Sedang

Baik Sedang Buruk Nilai


No Aspek Indikator Bobot @
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
1 Penduduk Tingkat Pertumbuhan penduduk 3 <1% 3 1-2% 2 >2% 1 1
Tingkat Migrasi 10 2 > 1.5 % 3 1 - 1.5 % 2 <1% 1
Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) 5 < 50 jiwa/ha 3 50-75 jiwa/ha 2 > 75 jiwa/ha 1 1.7
2 Produktivitas Tingkat Kemiskinan (%) 2 < 20 % 3 20 - 30 % 2 > 30 % 1 2
Perkotaan Tingkat Pengangguran (%) 1 <5% 3 5 - 10 % 2 > 10 % 1 0.3
Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per 2
pertumbuhan nasional 2 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1
Pertumbuhan sektor perdagangan dan 10 2
jasa 2 >4% 3 2-4% 2 <2% 1
Kontribusi sektor perdagangan dan jasa 1.3
terhadap PDRB 2 > 40 % 3 20 - 40 % 2 < 20 % 1
Tingkat ketergantungan penduduk 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1 0.7
3 Kesehatan dan Tingkat kematian ibu 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
Pendidikan Tingkat kematian bayi 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1
Angka Prevalensi Penyakit Diare 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1 0.7
Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) 0.5 > 55 Tahun 3 45 - 55 thn 2 < 45 Tahun 1 0.5
Ketersediaan fasilitas puskesmas 0.3
(unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
ketersediaan fasilitas rumah sakit 0.3
(unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
Ketersediaan apotik (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1 0.7
Angka melek huruf 10 0.5 > 90 % 3 80 - 90 % 2 < 80 % 1 0.5
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD) 1
(unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP) 1
(unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1 1


(unit/jiwa)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 7


Bobot @ Baik Sedang Buruk Nilai
No Aspek Indikator
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
4 Permukiman Rasio penduduk kumuh per penduduk
dan Lingkungan total 1.43 < 1% 3 1-2% 2 >2% 1
Persentase Permukiman Kumuh (unit) 1.43 <1% 3 1-2% 2 >2% 1
Luasan Permukiman Kumuh 1.43 <1% 3 1-2% 2 >2% 1
Rasio ruang terbuka hijau 10 1.43 > 40 % 3 40 - 30 % 2 < 30 % 1 0.5
Pengaduan polusi/pencemaran 1.43 Tidak 3 Ada 2 Ada 1 0.95
Jumlah kejadian kebakaran 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1 1.43
Tindak kejahatan per 1000 penduduk 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1 1.43
5 Pelayanan Kota
5.1 Air Kapasitas produksi (l/det) 1 > 150 3 130 - 150 2 < 130 1
Jenis sumber air 1 air tanah 3 air permukaan 2 air hujan 1 1
Rasio sambungan rumah 1 > 50 % 3 30 -50 % 2 < 30 % 1 0.3
Rasio kebutuhan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1
Tingkat kebocoran rata-rata per tahun 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1
Tingkat pelayanan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1
Konsumsi air per pelanggan (domestic) 10 1 > 80 % 3 75 - 80 % 2 < 75 % 1
Konsumsi air bersih konsumsi lain (non
domestik) 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1
Tinggkat penggunaan air 1 > 80 % 3 40 - 80 % 2 < 40 % 1
Sistem distribusi Gabungan de-
1 ngan reservoir 3 Perpompaan 2 Gravitasi 1

5.2 Sanitasi Kondisi pengolahan setempat(on site


system)
1. Jumlah rumah yang menggunakan
10
septic tank (%) 5 > 60 % 3 40 - 60 % 2 <40 % 1 5
2. Jumlah penduduk terlayani fasilitas
komunal (MCK umum) (%) 5 < 30 % 3 30 - 50 % 2 > 50 % 1
5.3 Sampah Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr) 1 > 75 % 3 50 - 75% 2 < 50 % 1 0.3
Cakupan penduduk terlayani 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1 0.3
Cakupan layanan (ha) 10 1 > 50 % 3 25 - 50 % 2 < 25 % 1 0.3
Sarana pengangkutan sampah
1 0.3
- Pick up sampah (unit) 1 > 20 3 15- 20 2 < 15

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 8


Bobot @ Baik Sedang Buruk Nilai
No Aspek Indikator
Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai
- Truk sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1 0.3
- Arm-roll sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1 0.3
- Compactor truck (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1 0.3
- Status tanah TPA 1 Milik Pemkot 3 2 sewa 1 0.3
- Jarak ke pembuangan terdekat 1 > 1 km 3 0.5 - 1 km 2 < 0.5 km 1 0.3
Metode Metode
0.3
Metoda pembuangan 1 sanitary 3 controlled 2 Metode open 1
land fill land fill dumping
5.4 Drainase Topografi kota 1 Dataran 3 Campuran 2 Perbukitan 1 0.3
Rasio panjang saluran primer 1 > 30 % 3 20 -30 % 2 < 20 % 1
Tinggi genangan 1 < 0.25 m 3 0.25 - 0.5 m 2 > 0.5 m 1 0.7
Lama genangan 1 < 1 jam 3 1-2 jam 2 < 2 jam 1 0.3
10
Frekuensi genangan 1 Tidak ada 3 1-2/tahun 2 > 2x/tahun 1 0.3
Kerugian material genangan 1 Tidak ada 3 2 ada 1 0.3
Luas genangan dari area urban 2 <5% 3 5-15 % 2 > 20 % 1 1.3
Cakupan pelayanan 2 > 80 % 3 >60-80% 2 < 40 % 1 1.3
6 Listrik dan Cakupan pelanggan listrik 2.5 > 75 % 3 50 - 75 % 2 < 50 % 1 2.5
5
Telpon Cakupan pelanggan telpon 2.5 > 40 % 3 20 -40 % 2 < 20 % 1 1.7
7 Transportasi > 0.4/1000 0.2 - 0.4/1000 < 0.2/1000 1.43
Perkotaan Rasio panjang jalan per 100 penduduk 1.43 km/jiwa 3 km/jiwa 2 km/jiwa 1
V/C Ratio rata-rata 1.43
Panjang jalan sesuai kewenangan 1.43 > 20 % 3 10 -20 % 2 < 10 % 1 1.0
Kerusakan jalan 1.43 < 10 % 3 10 - 25 % 2 > 25 % 1 0.5
Kecepatan tempuh rata-rata 1.43 > 60 km/jam 3 30 - 60 km/jam 2 < 30 km/jam 1 1.0
10
Panjang jalan mantap 1.43 > 85 % 3 75 - 85 % 2 < 75 % 1 1.0
Integrasi antar kota 1.43 3 2 1
Pemerintahan kemandirian kota (keuangan
8
Kota daerah/pendapatan daerah) 1.67 > 75 % 3 25 - 75 % 2 < 25 % 1
ketersediaan dokumen perencanaan Ada/Tidak
pembangunan 1.67 Ada 3 lengkap 2 Tidak 1

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 9


Berdasarkan hasil pengukuran maka dapat diringkas hasil penilaian sebagai berikut :
Tabel 5.4. Hasil Penilaian terhadap kondisi eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor
Nilai Hasil Ketersediaan % terhadap
No Aspek Kategori
Total Penilaian data (%) Nilai Total
I Sosial dan Ekonomi
1 Penduduk 10 2.7 66.7 27 Na
2 Produktivitas Perkotaan 10 8.3 100 83 Baik
3 Kesehatan dan Pendidikan 10 6 81.8 60 Sedang
II Spasial dan Lingkungan
4 Pemukiman dan Lingkungan 10 4.29 57.14 42.9 Sedang
III Pelayanan Kota/prasarana
5 Air 10 1.33 20 13.3 Buruk
6 Sanitasi 10 5 100 50 Sedang
7 Sampah 10 3.3 100 33 Buruk
8 Drainase 10 4.3 75 43 Sedang
9 Listrik dan Telpon 5 4.2 100 84 Baik
10 Transportasi Kota 10 4.8 71.4 48 Sedang
IV
11 Pemerintah Kota 5 0 0 0 Na
Sedang
Total 100 49.22 49.22 (Layak
Bersyarat)
Sumber : Hasil Analisis; Na = Not applicable (data tidak tersedia)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penilaian didasarkan terhadap 11 aspek yang
meliputi aspek penduduk, produktivitas perkotaan, kesehatan dan pendidikan, pemukiman
dan lingkungan, pelayanan kota/prasaranan (air bersih, sanitasi, sampah, drainase, listrik
dan telpon, transportasi kota dan pemerintah kota). Hasil penilaian dan pengukuran pada
aspek-aspek tersebut diperoleh hasil sebesar 49.22. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa
kawasan Jatinangor-Cimanggung layak bersyarat sebagai kawasan perkotaan terutama
dalam memenuhi aspek-aspek yang masih belum memenuhi kriteria dan standar yang
diharapkan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 10


A. Aspek Sosial Ekonomi
Pada bidang sosial dan ekonomi ada 3 aspek utama yang diukur meliputi aspek
penduduk, produktivitas perkotaan serta aspek kesehatan dan pendidikan. Pengukuran
tidak dapat dilakukan secara optimal mengingat ketersediaan data yang relatif rendah
(cenderung tidak tersedia) pada beberapa indikator dari masing-masing aspek tersebut.
Pada aspek penduduk tidak diperoleh data tingkat pertumbuhan migrasi.
Pertumbuhan migrasi yang cepat akan menimbulkan tekanan pada infrastruktur dan
suumberdaya. Pertumbuhan migrasi di kawasan Jatinagor-Cimanggung terutama kawasan
pendidikan tinggi dan industri relatif besar. Jumlah civitas akademika yang tinggal di
Jatinangor turut diperhitungkan sebagai penduduk kecamatan ini walaupun mereka hanya
merupakan penduduk sementara (terutama para mahasiswa apabila telah selesai masa
kuliahnya akan kembali ke tempat asalnya). Demikian pula pendatang yang bekerja di zona
industri Jatinangor-Cimanggung semakin meningkatkan jumlah penduduk yang bermukim
di kawasan perkotaan Jatinangor.
Indikator pertumbuhan kepadatan penduduk menjadi satu sub bagian aspek
penduduk yang cukup penting untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran tingkat kepadatan
adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas area permukiman.
Perkotaan sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi akan selalu menjadi faktor
penarik para pendatang untuk melakukan segala bentuk aktivitas ekonomi. Petumbuhan
kepadatan yang tinggi berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, tingginya tekanan
terhadap lahan dan rendahnya kesehatan.
Kawasan perkotaan Jatinangor memiliki kepadatan relatif tinggi dibanding dengan
kawasan lain di Kabupaten Sumedang. Kepadatan penduduk bersih menunjukkan
kemacetan dan tekanan segala pelayanan yang terkait dengan kelangsungan hidup
penduduk. Nilai yang terlalu tinggi-padat berimbas pada masalah kesehatan dan tekanan
terhadap transportasi dan jasa. Namun jika terlalu rendah, penyediaan jasa akan menjadi
mahal.
Permukiman lama yang berlokasi dekat pusat kegiatan ekonomi dan jaringan jalan
utama tumbuh dan berkembang sangat cepat dengan makin bertambahnya rumah-rumah
baru, terutama di desa Cibeusi, Cikeruh, Sayang, dan Hegarmanah pada koridor jalan utama.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 11


Pertumbuhan rumah baru ini menyebabkan kondisi permukiman menjadi padat dan
memiliki prasarana maupun sarana lingkungan yang sangat kurang.

Rumah sewa dan kos-kos tumbuh di lokasi-lokasi dekat kegiatan utama perguruan
tinggi dan kegiatan industri tersebar ada di jaringan jalan utama dengan radius dari jalan
utama 300 meter. Rumah kos-kos ini tumbuh sangat padat padat tidak teratur dan prasarana
maupun sarana lingkungan juga sangat kurang. Untuk kos-kosan mahasiwa menyebar di
Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeruh, dan Hegarmanah serta sebagian kecil di Desa Cileles.
Jumlah sampai tahun 2003 lebih dari 700 rumah kos-kosan dengan lebih dari 8.000 kamar.
Setiap tahun tidak kurang dari 3 rumah untuk kos-kosan dibangun.

Rumah sewa atau kos-kosan untuk para pekerja menyebar di Desa Mekargalih,
Cintamulya, Cipacing dan Cisempur di kecamatan Jatinangor serta pada beberapa desa di
zona industri Kecamatan Cimanggung seperti Sukadana, Cihanjuang, Sawahdadap,
Mangunarga dan Sindangpakuwon dengan pola pertumbuhan yang hampir sama dengan
kos-kosan untuk mahasiswa.
Sumbangan nilai terbesar pada bidang sosial ekonomi dari aspek produktivitas
perkotaan sebesar 8.3 atau sekitar 83 % dari nilai maksimal. Kondisi ini didukung oleh
tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif rendah, tingkat pertumbuhan PDRB
terhadap PDRB Kabupaten, pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa, serta kontribusi
perdagangan dan jasa terhadap PDRB relatif tinggi (perhitungan terlampir).
Pertumbuhan PDRB merupakan indikator yang mencerminkan produktivitas
perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi
menunjukkan kegagalan pembangunan ekonomi di perkotaan.
Perkotaan ditopang sektor ekonomi perdagangan sektor perdagangan dan jasa,
karena sektor ini dianggap memberikan nilai tambah (pendapatan) yang lebih tinggi
daripada sektor pertanian. Perkembangan perkotaan akan dibarengi dengan semakin
tingginya jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian.

B. Aspek Tata Spasial


Pada aspek spasial (ruang), difokuskan pada pembahasan tentang permasalah
pemukiman kumuh di perkotaan. Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan, terutama disebabkan oleh tingginya arus migrasi dan urbanisasi penduduk. Dengan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 12


adanya tingkat perpindahan penduduk yang cepat maka akan mempercepat laju pertumbuhan
penduduk perkotaan.
Besarnya arus urbanisasi ini dapat disebabkan oleh adanya faktor lain , yaitu daya
tarik perkotaan sebagai penyedia lapangan kerja, fasilitas dan utilitas publik (pull factor)
dan adanya tekanan kawasan perdesaan yang mempunyai keterbatasan lapangan kerja,
faslilitas dan utilitas publik (push factor) mengingat kawasan perkotaan selain sebagai
kawasan pendidikan tinggi juga merupakan zona industri.
Pada pengukuran aspek aspek spasial, indikator yang diukur meliputi : rasio
penduduk kumuh, persentase pemukiman kumuh serta luasan permukiman kumuh namun
data tidak tersedia secara lengkap.
Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi
di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh umumnya
dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh
dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan
minuman keras.
Di berbagai kawasan kumuh, penduduk tinggal di kawasan yang sangat berdekatan
sehingga sangat sulit untuk dilewati kendaraan seperti ambulans dan pemadam kebakaran.
Kurangnya pelayanan pembuangan sampah juga mengakibatkan sampah yang bertumpuk-
tumpuk. Peningkatan kawasan kumuh juga berkembang seiring dengan meningkatnya
populasi penduduk.
Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan
tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat : tingkat kepadatan
kawasan, kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada
dalam kawasan tersebut.

C. Aspek Lingkungan
Pembangunan perkotaan harus mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan
untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan. Pada aspek lingkungan, indikator yang
diukur meliputi : rasio ruang tebuka hijau, pengaduan polusi atau pencemaran, jumlah
kejadian kebakaran dan tindak kejahatan per 1000 penduduk.
Penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau ditujukan untuk fungsi-fungsi wilayah
tangkapan air atau memiliki nilai penyerapan air (run in) sebesar mungkin dengan nilai

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 13


koefisien lebih dari 0.5. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang diijinkan merupakan
kegiatan-kegiatan alam dengan pertimbangan nilai koefisien penyerapan air ke dalam tanah
sebesar mungkin.
Kepastian tentang kebutuhan yang disyaratkan untuk membangun Ruang Terbuka
Hijau belum ditetapkan secara definitif, Undang-undang tentang Tata Ruang menyebutkan
minimal 30% sementara peraturan menteri dalam negeri menyebutkan minimal 20%.
Namun untuk lebih jelasnya maka acuan dibawah ini dapat dipertimbangkan, yakni :
 Berdasarkan proses netralisasi CO2, RTH membutuhkan kurang lebih 36% dari luas
area kota.
 Berdasarkan kebutuhan air, RTH yang dibutuhkan setara dengan 24% ruang kota.
 Berdasarkan jumlah penduduk berkisar antara 1.200 orang/Ha sampai 50 orang/Ha.
 Berdasarkan luas kota, berkisar antara 10% - 30% tergantung dari lokasi.

Secara geografis wilayah untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau berada pada
ketinggian di atas 750 meter di atas permukaan laut(dpl) saat ini digunakan untuk kegiatan
Pertanian Palawija, Bumi Perkemahan, Padang Olah Raga Golf, perkampungan Cilayung,
Cileles, Jatiroke, Cisempur, dan Jatimukti dan Bantaran Sungai yang sebagian berupa
bangunan rumah dan pekarangan.

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk konservasi air diarahkan
dengan kebijakan :
1. Areal Wisata Kiara Payung tetap berfungsi sebagai wisata perkemahan dengan
mengembangkan areal menjadi lebih alami untuk menjalankan fungsi resapan air.
Areal Wisata Kiara Payung yang masuk dalam wilayah administratif Jatinangor
seluas 25 Ha.
2. Areal Rekerasi Golf tetap dipertahankan dengan melarang untuk menambah
bangunan-bangunan penunjang perhotelan, rekreasi golf dan apapun sehingga fungsi
resapan akan dapat dipertahankan atau sangat dianjurkan untuk menata kawasannya
dengan tanaman dan pepohonan yang meningkatkan fungsi resapan air. Areal rekreasi
golf Bandung Giri Gahana seluas 125 Ha.
3. Gunung Geulis dibatasi dengan ketinggian lebih dari 750 meter dpl dialih fungsikan
dari tanaman pertanian palawija menjadi tanaman tahunan yang lebih banyak
berfungsi sebagai areal resapan air seperti hutan bambu atau lainnya. Disamping itu
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 14
Gunung Geulis dengan fungsinya yang sekarang tetap diarahkan sebagai areal wisata
Gunung Geulis. Diperkirakan areal Gunung Geulis yang berfungsi sebagai resapan air
dan wisata seluas 315 Ha.
4. Areal sempadan sungai dari sungai-sungai yang ada di Jatinangor diarahkan sebagai
areal konservasi aliran sungai dengan lebar koridor ½ Lebar Sungai dari ukuran
terlebar ditambah 1 meter. Daftar lebar sungai dilihat pada data sungai di lembaga
berwenang. Pemanfaatan ruang koridor kiri – kanan sungai tetap untuk ruang terbuka
hijau dengan jalan inpeksi yang bahan material jalan yang tidak mengganggu fungsi
resapan air. Koridor kiri – kanan sungai seluas 88 Ha. Secara bertahap pemanfaatan
ruang di koridor sungai yang tidak sesuai harus dialihkan.
5. Taman Kota atau Hutan Kota adalah ruang publik yang berfungsi sebagai paru-paru
kota dan areal resapan air, direncanakan ada di tiap-tiap satuan lingkungan
permukiman. Luas tiap lingkungan permukiman disesuaikan, saat ini areal taman kota
masih digunakan sebagai areal pertanian atau permukiman lama. Secara bertahap
diarahkan untuk mengubah fungsi asal menjadi fungsi taman kota sebagai ruang
publik. Ruang publik taman kota diperkirakan luasnya 53 Ha, terbagi menjadi 14
Taman Kota. Pada pemanfaatan taman kota termasuk di dalamnya pemakaman.
Pada indikator pengaduan polusi/pencemaran menunjukkan tingkat kenyamanan
perkotaan terkait dengan kualitas lingkungan perkotaan. Pada kawasan perkotaan
Jatinangor, pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyiapkan zona industri di
Cimanggung dan beberapa desa di Jatinangor seperti mekargalih, Cintamulya dan Cisempur.
Hal ini tentu akan berdampak pada peluang untuk terjadi polusi atau pencemaran yang
berasal dari pabrik. Apabila pabrik tidak melakukan pengolah limbah sebagaimana
dipersyarakatkan tentu akan berdampak pada lingkungan sekitarnya yang dekat dengan
lingkungan pemukiman. Hal ini tentu akan menimbulkan komplain masyarakat.
Tindak kejahatan dan kejadian kebakaran di kawasan perkotaan menunjukkan
tingkat keamanan perkotaan. Pada kawasan perkotaan Jatinangor relatif rendah.

D. Pelayanan Perkotaan atau Prasarana Perkotaan


Baik buruknya wajah suatu kawasan perkotaan bisa dilihat dari ketersediaan dan
pengelolaan sarana dan prasarana (infrastruktur ) yang ada di kota tersebut, semakin

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 15


lengkap, tertata, terawat dan terpelihara menunjukan bahwa pengelolaan infrastruktur
dilakukan, secara baik, namun sebaliknya jika infrastruktur yang ada tidak tertata dan
terpelihara secara baik menunjukan bahwa pengelolaannya tidak dilakukan secara baik.
Pengukuran pada bidang ini difokuskan pada aspek prasarana perkotaan.
Dengan demikian dimungkinkan pemanfaatan keluaran dari penilaian ini untuk
bahan identifikasi fasilitasi dan tindakan dalam penyelenggaraan infrastruktur/prasarana
perkotaan.
Penilaian terhadap aspek pelayanan kota meliputi 6 aspek yaitu aspek air, sanitasi,
sampah, drainase dan transportasi serta listrik dan telpon. Hasil penilaian kelayakan pada
aspek ini cenderung masih belum baik.

1. Sampah
Kondisi yang masih memprihatinkan terutama pada pengelolaan atau pelayanan
sampah. Cakupan penduduk yang terlayani sistem persampahan masih sangat rendah.
Pelayanan publik pada sektor ini sangat terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana
pengelolaan sampah di Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah ketersediaan TPSS (tempat pembuangan sampah
sementara) dan TPAS (tempat pembuangan akhir sampah) ataupun berbagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat terkait dengan permasalahan sampah.
Pengelolaan sampah dan kebersihan pada umumnya dilakukan sendiri-sendiri baik di
lingkungan PT, industri maupun rumah tangga.
Desa-desa di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung (terutama yang masuk pada
kawasan perkotaan Jatinangor) menempatkan lokasi tempat pembuangan sampah sementara
(TPSS) belum sesuai dengan tata ruang yang ada. Hal ini diindikasikan dengan munculnya
tempat pembuangan sampah liar (illegal) yang biasanya berada di lahan-lahan kosong, lahan
tidur (tidak dimanfaatkan), bantaran sungai dll. Tempat pembuangan Akhir yang dimiliki oleh
Pemkab berada 60 Km dari Jatinangor sehingga pembuangan akhir oleh jasa pengangkut dibuang ke
TPAS milik Pemkab Bandung

Salah satu penyebab utama dari kondisi di atas adalah ketidakmampuan pemerintah
desa dan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan karena ketidakmampuan dalam
menyediakan TPS (tempat pembuangan sementara), kontainer dan keterbatasan armanda

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 16


pengangkut sampah dll, karena keterbatasan alokasi anggaran dalam APBD untuk
pengelolaan sampah.dengan segala keterbatasan tersebut tentu saja cakupan pelayanan
persampahan menjadi tidak maksimal.

2. Drainase
Permasalahan utama bidang drainase adalah masih tingginya genangan baik luasan
maupun frekuensinya di kawasan perkotaan Jatinangor serta minimnya sarana drainase.
Pada jalur utama kawasan perkotaan Crossing utilitas atau tumpang tindih
pemanfaatan saluran menjadi permasalahan tersendiri bagi sektor drainase antara lain
dengan utilitas lain seperti pipa air minum, pipa air limbah kabel telekomunikasi dll.
Hingga saat ini pada kawasan perkotaan Jatinangor belum mempunyai sistem
drainase yang memadai. Permukaan tanah yang rata pada beberapa bagian tertentu tidak
menjadi masalah tetapi pada bagian lain terjadi genangan.
Pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran yang ada serta pengawasan
pembangunan yang tidak ketat saluran drainase tidak terbentuk, rusak malah beberapa
disumbat atau dihilangkan. Sungai yang ada sebagai satu-satunya sistem drainase alami
juga tidak terpelihara sehingga sedimentasi dan pendangkalan, penyempitan saluran sampai
penghilangan sungai-sungai kecil terjadi terus-menerus. Kondisi ini terjadi pada sebagian
besar desa di Kecamatan Cimanggung yang akan menjadi bagian kawasan perkotaan
Jatinangor
Fungsi drainase yang dimaksud sebagai fasilitas pengatus jalan juga kadang berfungsi
ganda sebagai saluran irigasi yang pada akhirnya menimbulkan masalah tersendiri
perbedaan sistem, dimensi dan konstruksi.

3. Air Bersih
Permasalahan lain pada aspek pelayanan kota adalah penyediaan air bersih.
Masalah kualitas, kuantitas dan ketersedian air bersih di kawasan perkotaan Jatinangor
menjadi masalah yang menuntut perhatian yang ekstra karena terkait dengan pertumbuhan
penduduk dan proses urbanisasi dimana sampai dengan saat ini masih terdapat kesenjangan
antara kebutuhan dan tingkat pelayanan yang masih cukup besar.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 17


Sumber air baku yang semakin terbatas akibat konversi lahan yang terus meningkat
sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutama
air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri
dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas
dan kualitas.
Air minum perpipaan yang dikelola PDAM sebagai sistem pelayanan air minum
yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di
Kawasan Perkotaan Jatinangor.
Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah,
belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai
dengan syarat yang diharapkan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi. Bagi
penduduk yang bermukim di sekitar lokasi pabrik, memiliki ketergantungan air bersih yang
tinggi, karena sumber air bersih masih di pasok oleh pabrik.
Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, masih rendah karena pemerintah daerah
belum siap dalam bermitra dengan swasta, belum terdapat aturan yang cukup mantap dan
komprehensif bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum.

4. Sanitasi atau pengelolaan limbah


Pengelolaan air limbah setempat berpengaruh pada kualitas lingkungan yang ada.
Permasalahan pada aspek sanitasi disebabkan pengolahan masih didominasi on site sistem
pengolahan setempat). Fasilitas pembuangan air limbah yang berada di daerah persil
pelayanan nya (batas tanah yang dimiliki). Idealnya system penangan untuk kota sedang dan
kecil diterapkan melalui 2 cara yaitu “on-site” tanpa IPLT (Instalasi pengolahan limbah
terpadu) dan “On-Site” dengan IPLT. Kedua sistem ini menggunakan truk tinja untuk
penyedotan lumpur septik dari tangki septik.
Sistem On-Site tanpa IPLT diterapkan apabila :
a) Penduduk kota < 100.000 jiwa dan bukan merupakan ibukota kabupaten
b) Jumlah tangki septic < 5000 unit dimana lumpur septic dibuang ke IPLT
terdekat.
Sistem On-Site dengan IPLT diterapkan apabila :
c) Penduduk kota > 100.000
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 18
d) Jumlah tangki septic > 5000 unit dengan volume pengurasan lumpur 2-3
m3/hari.
e) Ibukota kabupaten/Kota
Pada kawasan perkotaan Jatinangor pembuangan air bekas cucian ke jaringan
drainase yang semestinya diperuntukan untuk pembuangan dan peresapan air hujan, karena
kapasitas jaringan drainasie tidak lagi sesuai dengan dimensi yang ada maka dampak yang
pada akhirnya muncul adalah luapan air dari dari jaringan drainase, genangan di badan jalan
dan berjangkitnya berbagai macam penyakit seperti diare, demam berdarah dll.
Pencemaran terkait dengan limbah domestik berpotensi tercemarnya air dengan
bakteri e-coly karena pesatnya perkembangan permukiman yang kadang sulit untuk
dikendalikan, Salah satu permasalahan air limbah di kawasan perkotaan Jatinangor adalah
pembangunan septiktank keluarga pada beberapa lokasi yang tidak lagi memenuhi syarat
teknis yang disyaratkan dalam rangka pengelolaan kesehatan lingkungan yang semestinya
berjarak minimal 10 m dari sumur tidak lagi bisa dipenuhi karena keterbatasan lahan
perkotaan.
Pencemaran limbah industri mempunyai dampak yang lebih buruk terhadap
lingkungan sekitar sehingga harus diolah secara sepesifik. Limbah cair industri dikelola oleh
masing-masing masing industri sesuai persyaratan yang ditetapkan peraturan lingkungan.
Beberapa kasus terjadi pihak industri membuang limbah cair yang tidak diolah atau hasil
olahannya tidak memenuhi syarat, pada tengah malam atau pada saat hujan besar dan pada
saat musim hujan dimana arus air sungai cukup besar. Atau pada saat hujan turun, limbasan
air hujan yang berasal dari tampungan limbah industri menggenangi atau membanjiri
pemukiman warga.

5. Transportasi
Pada aspek transportasi, pelayanan belum optimal. Dukungan pelayanan
transportasi yang relatif rendah diperparah banyaknya kondisi jalan lingkungan yang dalam
kondisi rusak. Kecepatan tempuh rata-rata relatif rendah juga disebabkan oleh kemacetan
yang sering terjadi pada kawasan-kawasan tertentu.
Jatinangor berada pada gerbang timur Kota Bandung yang menjadi titik
persimpangan pergerakan regional. Pengembangan sistem transportasi bukan hanya untuk
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 19
kepentingan Jatinangor tetapi mencakup pengembangan sistem pergerakan Bandung Timur
bahkan regional antar kota.
Konflik pada sistem transportasi menjadi pengganggu utama pada kinerja seluruh
aktivitas terutama perguruan tinggi dan lokasi disekitar pabrik. Prasarana transportasi
menyimpang dari penggunaan dan fungsi hirarki jalan. Disamping itu, kualitas dan kuantitas
jalan yang tidak memenuhi standar sesuai dengan fungsinya.
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membangun prasarana baru sangat kecil,
sehingga hanya bisa melakukan pemeliharaan dan peningkatan saja.

D. Aspek Kelembagaan
Pelayanan pemerintahan adalah pelayanan untuk kebutuhan catatan sipil dan
kependudukan bagi masyarakat selama ini dilakukan dan dibutuhkan masyarakat, berupa
pelayanan kebutuhan catatan sipil seperti Kartu Tanda Penduduk(KTP), Akte Kelahiran,
Sertifikat Kepemilikan Tanah, Ijin mendirikan Bangunan(IMB), Rekomendasi Kegiatan
Usaha, dan lain-lain. Pelayanan ini dilayani oleh Pemerintah sesuai dengan jenjang dan
pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah. Dalam rangkaian pelayanan yang
diberikan pemerintah tersebut terkait organisasi masyarakat yang dianggap pemerintah
seperti desa, dusun, RW, dan RT.
Di kawawan perkotaan Jatinangor sendiri kelembagaan yang melayani kebutuhan
masyarakat terdiri dari Kecamatan, Polisi Sektor, Komando Rayon Militer, dan Cabang
Dinas meskipun belum semua cabang dinas ada. Dalam pelayanan catatan sipil ini
dibutuhkan sarana pelayanan berupa kantor atau tempat pelayanan.
Pelayanan Pemerintahan yang disebutkan di atas tehadap kebutuhan catatan sipil
dan kependudukan terutama dilayani oleh pemerintah kecamatan, pemerintahan desa.,
Organisasi Rukun Warga, dan Organisasi Rukun Tetangga(RT), saat ini memiliki prasarana
kantor pelayanan masing-masing kecuali RT yang dilayani di rumah Ketua RT dan
pelayanan di luar jam kerja. Sedangkan pelayanan RW bervariasi ada yang memiliki kantor
pelayanan RW dan banyak yang tidak memiliki, pelayanan ini sama dengan pelayanan RT.
Pemerintahan Desa memberikan pelayanan seperti selayaknya organisasi pemerintah dan
semua Pemerintahan Desa memiliki kantor pelayanan Pemerintahan Desa, meskipun
beberapa desa tidak membuka pelayanannya setiap saat pada jam kerja.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 20


Pemerintah Kecamatan merupakan kepanjangan tangan Kepala Pemerintah Daerah
(Bupati) untuk pelayanan tingkat kecamatan, jenis pelayanan selama ini berjumlah sembilan
kewenangan pemerintah kecamatan yaitu : KTP, Akte Kelahiran, Sertifikat Tanah, IMB
dibawah 100 meter persegi dan di luar JaLan Negara, Perijinan Wisata/Keramaian, Perijinan
Gangguan(IG),
Kebijakan pelayanan catatan sipil dalam tata ruang ditujukan untuk membangun
kondisi kondusif terjadi kemudahan pelayanan oleh lembaga pelayanan catatan sipil dan
kemudahan mengakses pelayanan catatan sipil oleh masyarakat dalam tata ruang ditempuh
kebijakan sebagai berikut :
1. Mengarahkan ruang untuk membentuk struktur ruang yang memiliki hirarki pelayanan
dengan radius pelayanan yang seimbang dan memiliki aksesibilitas pelayanan tinggi.

2. Lokasi pusat pelayanan catatan sipil tingkat kecamatan berlokasi di jalan arteri
sekunder, sehingga mudah diakses oleh seluruh bagian wilayah pelayanan secara adil.

3. Pusat pelayanan pemerintahan desa berada di jalan kolektor sekunder dan berada di
tengah wilayah pelayanan yang mudah diakses oleh masyarakat desa yang dilayaninya

4. Pusat pelayanan organisasi rukun tetangga dengan upaya masyarakat setempat


diarahkan untuk berada di jalan lingkungan di tengah unit permukiman dengan prinsip
radius komunikasi yang mudah. Organisasi RT di atur sedemikian sehingga silaturahmi
antar warga lebih lancar.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 21


Disamping indikator perkotaan yang dikembangkan ADB tersebut, ada alternatif lain
mengukur standar perkotaan tipe sedang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
(saat ini masih dalam bentuk rancangan Permendagri) sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 5.5 berikut:

Tabel 5.5 Matrik Standar Pelayanan Perkotaan Untuk Kawasan Perkotaan Sedang

No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian


1 PERMUKIMAN PERKOTAAN
A. Air Bersih Jaringan Perpipaan Air 65% Terbatas
bersih
B. Drainase dan Sistem Drainase Drainase sistem tertutup sebagian
penangulangan banjir untuk jaringan jalan
arteri dan kolektor kota
C. Persampahan TPA dengan sistem 85% Belum ada
pembuangan tertutup
D. Air Limbah Sistem pembuangan air 60% Belum
limbah domestik secara tersedia
terpusat
E. Sarana dan Prasarana Darat
Transportasi Terminal penumpang Terminal C Belum
Sarana angkutan umum angkutan umum Ada
Pemisahan Lalu Lintas tersedia Belum
Internal dan Eksternal
Kota
Sistem Pengaturan Lalu tersedia Terbatas
lintas
Pedestrian tersedia Terbatas
Parkir Umum (Off Pelataran Parkir Terbatas
Street)
Halte tersedia Terbatas
Penerangan Jalan tersedia Tersedia
SPBU tersedia Tersedia
F. Energi Jaringan listrik bawah 100% Belum
tanah
H. Komunikasi dan Jaringan telepon bawah 100% Terbatas
Telekomunikasi tanah
Telepon Umum tersedia Terbatas
Based tranmission tersedia Tersedia
System(BTS)
Stasiun Relay tersedia Ada
Kantor Pos tersedia Tersedia
Kotak Surat tersedia Terbatas

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 22


No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian
I. Ruang Terbuka Hijau Taman kota/ Hutan tersedia Tersedia
Kota /Jenis RTHKP
lainnya
2 PELAYANAN JASA PEMERINTAHAN
A. Pelayanan Administrasi tersedia Tersedia
Kependudukan dan
Pertanahan
B. Peizinan Berupa Pelayanan tersedia Tersedia/
Pemberian Terbatas
C. Lingkungan Hidup Sarana monitoring tersedia Belum
polusi
D. Penanggulangan bencana Pos pemadam tersedia Belum
kebakaran
Hidran umum tersedia Tersedia
E. Ketentraman dan tersedia Tersedia
Ketertiban
3 PELAYANAN SOSIAL
A. Pendidikan Pendidikan Dasar
Sekolah Dasar Umum tersedia Tersedia
Sekolah Menengah tersedia Tersedia
Pertama Umum dan
atau Sederajat
Pendidikan Menengah
SMU dan atau Sederajat tersedia Tersedia
Pendidikan Tinggi
Akademi atua Program tersedia Tersedia
Diploma
B. Kesehatan Pos Yandu tersedia Tersedia
BKIA/ Klinik Bersalin tersedia Tersedia
Puskesma Pembantu/ tersedia Tersedia
Balai pengobatan
Lingkungan
Peskesman/ Balai tersedia Tersedia
pengobataan
Tempat Praktek Dokter tersedia Tersedia
Apotek/ Rumah Obat tersedia Tersedia
Rumah Sakit (RS) RS kelas B1 Belum
C. Rekreasi dan Olah raga Balai Pertemuan tersedia Tersedia
Tempat Rekreasi tersedia Tertentu
Gedung Olahraga Gedung Olahraga Tipe B -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 23


No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian
D. Sarana Peribadan Sesuai tersedia Tersedia
dengan Penganut Agama
E. Tempat Pemakaman tersedia Tersedia
Umum
4 PUSAT KEGIATAN EKONOMI

A. Pusat Perdagangan dan Pusat perdagangan Pusat perbelanjaan Ada


Jasa (pasar)
B. Jasa Kauangan Cabang Bank Umum Ada
C. Pusat Pelayanan Penginapan Hotel Bintang Ada
Kepariwisataan Pelayanan Pusat Informasi Belum
Kepariwisataan Pariwisata

Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilihat bahwa tidak semua standar
kebutuhan dan pelayanan yang dipersyaratkan sebagai kota sedang dapat dipenuhi kawasan
perkotaan Jatinangor. Sebagian sarana dan prasarana masih tersedia dalam kondisi yang
terbatas, bahkan pada beberapa item standar belum dipenuhi.
Dengan demikian meskipun kawasan Jatinangor-Cimanggung telah memiliki ciri
perkotaaan namun agar dapat berkembang menjadi kota yang layak huni, nyaman dan
berkelanjutan membutuhkan beberapa pesyaratan yang menjadi prioritas untuk dipenuhi
terutama yang terkait dengan aspek pelayanan perkotaan (prasarana perkotaan)

5.3 Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan


Berdasarkan hasil kajian terhadap arahan kawasan perkotaan pada berbagai
kebijakan dan pemenuhan kriteria yang telah dilakukan, maka deliniasi kawasan perkotaan
di wilayah studi diusulkan beberapa alternatif berikut :
A. Kawasan perkotaan Jatinangor-Cimanggung (alternatif 1)
Alternatif ini terdiri 2 (dua) bagian utama kawasan perkotaan yang saling terkait
yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan kegiatan dan Desa-desa pada
sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona industri.
1. Kawasan Perkotaan di kecamatan Jatinangor
Kawasan perkotaan Jatinangor terletak di seluruh desa Kecamatan Jatinangor. Hal ini
karena, kegiatan perkotaan pada desa-desa di Jatinangor sudah terlihat, serta terdapat
lahan yang berpotensi untuk pengembangan kegiatan perkotaan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 24


Jatinangor sebagai wilayah kecamatan mempunyai luas 2.650 Ha dengan jumlah 12
meliputi : Desa Cibeusi, Cikeruh, Cipacing, Hegarmanah, Sayang, Cintamulya,
Megargalih, Cisempur, Jatiroke, Jatimukti, Cileles,dan Cilayung dengan perbatasan
adminitratif kecamatan yaitu :

 Bagian Barat dengan Kecamatan Cileunyi Wetan, yang dibatasi oleh Sungai Cibeusi

 Bagian Timur dengan Kecamatan Tanjungsari, yang dibatasi oleh Sungai Cikeruh dan
Puncak Gunung Geulis

 Bagian Utara dengan Kecamatan Sukasari dengan batas alam tidak jelas tetapi secara
sosial di lapangan didapatkan kesepakatan batasan.

 Bagian Selatan dengan Kecamatan Rancaekek, yang secara umum dibatasi oleh
beberapa selokan dan Jalan Raya Rancaekek. Meskipun tidak jelas tetapi secara sosial
di lapangan terjadi kesepakatan batas daerah administratif.

Fungsi Jatinangor sebagai Kawasan Perguruan Tinggi sangat dikenal luas dengan
kegiatan empat perguruan tinggi yang menampung lebih dari 30.000 Mahasiswa, belum
termasuk Akademi Informatika dan Komputer Al Maksoem sebagai salah salah satu
perguruan tinggi di Jatinangor tetapi tidak berada pada kawasan perguruan tinggi.

Luas kawasan Perguruan tinggi yang ditempati oleh empat perguruan tinggi 525
Ha. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan luas 285 Ha belum seluruhnya
difungsikan sebagai sarana dan prasarana perguruan tinggi, sebagain besar (200 Ha)
masih berupa lahan kosong yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang digarap
oleh penduduk sekitar atau sebagai tempat praktek pertanian praja.

Sedangkan Unversitas Pajajaran(Unpad) seluas 175 Ha memang dimanfaatkan


seluruhnya untuk bangunan tetapi sebagian untuk laboratorium pertanian, perteknakan,
perikanan dan lainnya. Sehingga Unpad meskipun bagian dari kawasan Perguruan Tinggi
tetapi pemanfaatan ruang sebagian besar pertanian dan ruang terbuka hijau.

Demikian juga Universitas Winaya Mukti (Unwim) yang luasnya 51 Ha, baru
sebagian lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan akademi, sisanya berupa ruang terbuka
dengan pemanfaatan ruang untuk pertanian yang digarap oleh penduduk.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 25


Hanya Institut Manajemen Ikopin(IMI) yang luasnya 17 Ha hampir termanfaatkan
seluruhnya untuk kegiatan akademi perguruan tinggi.

Masih satu hamparan dengan dalam Kawasan Perguruan Tinggi terdapat lahan
yang rencana akan digunakan untuk kegiatan Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri
Jawa Barat(Diklat Propinsi Jawa Barat) kurang lebih lahan 10 Ha dan sekarang
pemanfaatan ruangnya sebagai ruang terbuka hijau.

Kawasan Industri, yang dimaksud pemanfaatan ruang untuk hal tersebut lebih
ditujukan untuk menyebut sejumlah lahan seluas 76,5 Ha yang tersebar tidak satu
hamparan tetapi berada di Koridor Jalan Raya Rancakek masuk Desa Cipacing, Sayang,
Cintamulya dan Cisempur. Jumlah industri 16 Industri dengan jumlah tenaga kerja
hampir 32.000 Orang. Koridor Jalan Raya Rancaekek sendiri merupakan lahan dengan
pemanfaatan ruang campuran, tetapi didominasi kegiatan industri. Sepanjang Koridor
tersebut didapat pemanfaatan lain yaitu pertanian, perdagangan dan permukiman sendiri.
Lebih menonjol fungsi perdagangan.

Kawasan permukiman merupakan pemanfaatan ruang dominan hampir merata di


seluruh wilayah Jatinangor. Kawasan permukiman bersatu dengan pertanian sehingga sulit
dipisah secara tegas, karena sejarah pertumbuhan wilayah pertanian(Kawasan Pedesaan)
yang tumbuh menjadi Kawasan Perkotaan. Pemanfaatan fungsi pertanian dapat dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu :

1. Kawasan Permukiman dengan ciri pertanian atau pedesaan berada menyebar di Desa
Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti dan Cisempur.

2. Kawasan Permukiman dengan ciri campuran dengan tumbuhnya permukiman baru


berupa fungsi-fungsi permukiman sebagai rumah sewa dan kos-kosan. Kos-
kos/Pondokan mahasiswa di Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeuruh, dan Hegarmanah.
Permukiman dengan ciri pondokan/kos-kosan pekerja industri berada menyebar di
Desa-desa Cipacing, Mekargalih, Cintamulya dan Cisempur.

3. Kawasan Permukiman dengan ciri permukiman pengrajin terutama menyebar di


Cipacing, sebagian Cibeusi dan Sayang maupun Cilayung.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 26


Kawasan Pertanian merupakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertanian
menyebar hampir di seluruh desa-desa di Jatinangor. Sebagaimana disebutkan di atas hal
ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan Jatinangor yang semula sebagai wilayah
pertanian dan perkebunan(sebelum tahun 1970) kemudian terjadi pergeseran lahan
menjadi industri di wilayah selatan atau Koridor Jalan Raya Rancaekek dan kegiatan
perguruan tinggi di bagian utara dan penunjangnya di Koridor Jalan Raya Jatinangor.
Kondisi pemanfaatan ruang untuk pertanian dan juga permukiman lama atau
perkampungan menjadi tidak bisa dipisahkan secara tegas, sehingga data pemanfaatan
ruang tahun 1991, 1999 dan tahun 2001 menjadi seperti tidak masuk akal ketika jumlah
luas atau proporsi pemanfaatan ruang untuk permukiman menjadi berkurang padahal
kemungkinan data permukiman dan pertanian bisa tergabung pengukurannya.

Pemanfaatan Ruang yang lain yang sangat menonjol dari sisi kegiatannya adalah
pemanfaatan ruang wisata perkemahan dan olah raga golf yang dilengkapi fasilitas hotel
dan restoran. Kegiatan perkemahan di Bumi Perkemahan Kiara Payung dikelola oleh
kwarda Pramuka Jawa Barat, dengan luas lahan yang masuk wilayah administrasi
kecamatan Jatinangor kurang lebih 25 Ha, sebagian lagi masuk wilayah administrasi
Kecamatan Sukasari.
2. Kecamatan Cimanggung
Desa-desa di Kecamatan Cimanggung merupakan kawasan yang berbatasan dengan
Desa-desa di Kecamatan Jatinangor yang akan dikembangkan ke arah zona industri
terutama pada koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka, perdagangan, dan jasa
yang sudah barang tentu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan
penyerapan tenaga kerja setempat. Dalam dekade dua puluh tahun terahir ini, kondisi
sosial ekonomi masyarakat di wilayah bagian barat (Jatinangor, Cimanggung) telah
berubah dengan cepat dari kawasan pedesaan menjadi kawasan kota-kota satelit sebagai
penyangga Kota Metropolitan Bandung.
Jika alternatif ini yang dipilih (batas deliniasi lihat gambar 5.1) maka kelebihan
dan kelemahannya adalah sebagai berikut :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 27


Kelebihan :
 Luasan cakupan wilayah pengelolaan kawasan perkotaan yang tidak terlalu luas akan
memudahkan dalam pengelolaan dan penataan fungsi-fungsi kawasan perkotaan
(span of control terbatas)
 Kawasan kecamatan Jatinangor merupakan arahan kawasan pendidikan tinggi,
merupakan fungsi kawasan yang telah jelas sesuai dengan RTRW provinsi maupun
RTRW Kabupaten sehingga memudahkan pengelola kawasan perkotaan dalam
menata fungsi-fungsi yang dibutuhkan dalam menunjang pengelolaan kawasan
pendidikan tinggi yang lebih baik.
 Kawasan Jatinangor dan Cimanggung merupakan kawasan zona industri sebagaimana
ditetapkan pada RPJP Kabupaten Sumedang. Penetapan kawasan industri
berimplikasi pada kawasan yang relatif cepat berkembang.
 Integrasi penyediaan sarana dan prasarana kawasan perkotaan lebih mudah
 Luasan wilayah kawasan perkotaan yang kecil, potensi konflik sosial ekonomi
penduduk akan semakin kecil.

Kelemahan :
 Kawasan relatif terbatas untuk pengembangan kawasan ke depan terutama dalam
mendukung pengembangan kawasan pemukiman penduduk dan aktivitas perkotaan.
 Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang
mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi
terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih terbatas maka daya
tampung ruang menjadi sedikit.
 Dengan daya tampung ruang yang terbatas maka penyediaan ruang terbuka hijau
menjadi semakin sulit diakomodasi sesuai dengan ketentuan (minimal 30 %).

B. Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari


(Alternatif 2)
Meskipun wilayah Jatinangor dan Cimanggung merupakan fokus utama wilayah
kawasan perkotaan Jatinangor karena telah memiliki ciri perkotaan dan memenuhi
standar-standar perkotaan sedang, namun dalam pengembangan wilayah ke depan tidak

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 28


terelakkan pengembangan kawasan perkotaaan dapat melingkupi daerah-daerah yang
berbatasan di sekitarnya. Arah pengembangan pada wilayah terdekat kawasan perkotaan
Jatinangor yang memiliki akses baik mengikuti jalan arteri sepanjang koridor Bandung –
Cirebon. Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari merupakan bagian yang berpotensi dalam
mendukung pengembangan kegiatan Perkotaan Jatinangor.
Pada alternatif 2 ini kawasan perkotaan terdiri 4 (empat) bagian utama kawasan
perkotaan yang saling terkait yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan
kegiatan, desa-desa pada sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona
industri, desa-desa pada sebagian Kecamatan Tanjungsari yang diarahkan sebagai pusat
pemukiman dan desa-desa pada sebagian Kecamatan Sukasari. Berikut gambaran
kecamatan yang merupakan perluasan kawasan perkotaan pada alternatif 2.
1. Kecamatan Tanjung Sari.
Kecamatan ini berbatasan dengan kecamatan Jatinangor di barat daya, kecamatan
Cimanggu di selatan, kecamatan Pamulihan di timur, kecamatan Sukasari di barat laut
serta wilayah Kabupaten Subang di sebelah utara. Sebelum pemekaran, wilayah
Kecamatan Sukasari dan sebagian wilayah Kecamatan Pamulihan adalah bagian dari
Kecamatan Tanjungsari.
Kecamatan Tanjungsari memiliki beberapa produk andalan. Tanjungsari adalah
salah satu daerah penghasil susu sapi di Jawa Barat, selain Lembang dan Pangalengan.
Selain itu, daerah Tanjungsari sebelah utara (Desa Cijambu dan sekitarnya) merupakan
daerah penghasil sayur-mayur. Buah-buahan dan umbi-umbian juga merupakan produk
Tanjungsari yang cukup dikenal. Di kecamatan ini juga terdapat banyak tempat-tempat
yang memiliki panorama indah. Tanjungsari berada di dekat kawasan pendidikan
Jatinangor.
Kecamatan Tanjungsari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor
sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan
perumahan atau pemukiman.
2. Kecamatan Sukasari
Kecamatan Sukasari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor
sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan
perumahan atau pemukiman.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 29


Jika alternatif 2 ini (batas deliniasi lihat gambar 5.2) yang dipilih tentu akan
memiliki kelebihan dan kelemahan antara lain :
Kelebihan:
 Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola
lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.
 Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas
perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.
 Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang
mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi
terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka
penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya.

Kelemahan :
 Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan
antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan
perkotaan
 Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi
penduduk akan semakin besar.
 Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena
sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.

C. Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari-Pamulihan


(Alternatif 3)
Pada alternatif 3 ini, kawasan perkotaan Jatinangor meliputi 5 kecamatan
sebagaimana yang direkomendasikan dalam RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
revisi. Tambahan perluasan kawasan perkotaan meliputi beberapa desa di Kecamatan
Pamulihan. Kecamatan Pamulihan merupakan merupakan kecamatan yang berbatasan
dengan Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung. Beberapa desa pada
kecamatan ini berpotensi menjadi bagian kawasan perkotaan yang menjadi penyangga

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 30


bagi pengembangan bagian kawasan perkotaan lainnya khususnya Kecamatan
Tanjungsari yang relatif telah berkembang lebih dahulu (Gambar 5.3).
Jika alternatif ini dipilih sebagai kawasan perkotaan maka maka kelebihan
dan kelemahannya :
Kelebihan:
 Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola
lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.
 Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas
perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.
 Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang
mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi
terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka
penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya.

Kelemahan :
 Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan
antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan
perkotaan
 Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi
penduduk akan semakin besar.
 Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena
sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.

A. Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan


Berdasarkan RTRW Kabupaten Sumedang, Jatinangor sebagai PKL-1 (pusat
Kegiatan Lokal), Cimanggung, Tanjungsari dan Sukasari sebagai sebagai PTK (Pusat
Kegiatan Tingkat Kecamatan. PKL merupakan Kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan
dan simpul transportasi yang mempunyai pelayanan satu kabupaten atau beberapa
kecamatan, dengan kriteria penentuan ditetapkan dengan kriteria:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 31


a. pusat jasa keuangan/ bank yang melayani satu kabupaten atau melayani beberapa
kecamatan,
b. pusat pengelolaan/pengumpul barang untuk beberapa kecamatan,
c. simpul transportasi untuk satu kabupaten atau untuk beberapa kecamatan,
d. bersifat khusus karena mendorong perkembangan sektor strategis atau kegiatan
khusus lainnya di wilayah kabupaten.
Berdasarkan fungsi PKL tersebut, Jatinangor dan Cimanggung memiliki
keterkaitan yang kuat, Jainangor berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa dengan
skala pelayanan lokal di tingkat Kabupaten Sumedang atau beberapa Kecamatan di
sekitarnya serta pintu masuk bagian barat ke Kabupaten Sumedang dari Bandung
sedangkan Cimanggung merupakan Pusat Kegitan Tingkat Kecamatan berfungsi sebagai
zona industri terutama di jalur koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka
meliputi beberapa desa (Sukadana, Sawahdadap, Cihanjuang, Mangunarga dan Sindang
Pakuwon) dan juga beberapa desa di Kecamatan Jatinangor (Cintamulya, Megargalih,
Cisempur). Kecamatan Jatinangor juga sesuai dengan RTRW Provinsi dan Kabupaten
Sumedang ditetapkan sebagai kawasan tertentu yang memiliki pertumbuhan cepat untuk
mendorong pengembangan kawasan sekitarnya.
Sebagai pengembangan wilayah kawasan perkotaan beberapa desa di
Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari dapat dikembangkan menjadi bagian dari kawasan
perkotaan Jatinangor terutama diarahkan untuk mendukung pengembangan kebutuhan
kawasan permukiman bagi civitas akademika perguruan tinggi.
Disamping itu, 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Sumedang yang termasuk
dalam kawasan Bandung Metropolitan Area, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung
dan Jatinangor. Kota-kota kecamatan ini direncanakan untuk menjadi counter magnet
dari perkembangan Kota Bandung dalam fungsi-fungsi tertentu. Kecamatan Jatinangor
dikembangkan untuk menampung limpahan fungsi pendidikan tinggi. Kecamatan
Tanjungsari untuk menampung kebutuhan perumahan. Kecamatan Cimanggung serta
sebagian Kecamatan Jatinangor yang berdekatan direncanakan untuk menampung
kegiatan industri dan perumahan.
Sejalan dengan bergabungnya 3 kecamatan dalam wilayah Metropolitan
Bandung, maka kecenderungan perkembangan ke-3 kecamatan tersebut menjadi

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 32


kawasan perkotaan lebih cepat dibandingkan kecamatan lainnya di Sumedang. Orientasi
pergerakan penduduk ke-3 kecamatan tersebut adalah menuju Kota dan Kabupaten
Bandung.
Kemudian rencana pembangunan tol Cisumdawu yaitu pembangunan jalan
bebas hambatan yang membentang dari Cileunyi, Sumedang, dan Dawuan dengan jarak
52 km, secara kewilayahan melalui 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang,
dan Majalengka terdiri atas 12 kecamatan dan puluhan desa, namun lintasan terpanjang
berada pada Kabupaten Sumedang. Jika disimak berdasarkan sudut pandang
pengembangan wilayah, tol Cisumdawu diharapkan mampu mendongkrak perekonomian
Jawa Barat Timur termasuk Jatinagor yang direncanakan sebagai salah satu pintu gerbang
akses masuk tol menuju Cirebon dan Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati
Majalengka. Jatinangor akan menjadi kawasan potensial yang dalam membangkitkan
pelayanan kebutuhan terhadap penggunaan tol tersebut seperti penyediaan feeder road.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sistem pusat kegiatan kawasan
perkotaan dalam pada kawasan perkotaan Jatinangor terbagi menjadi 3 sub bagian
kawasan perkotaan yaitu sub kawasan perkotaan Jatinagor sebagai Kota Inti, sub kawasan
perkotaan Tanjungsari dan Sukasari sebagai pendukung (kota satelit) dan sub kawasan
perkotaan Cimanggung (kota satelit) yang memiliki peran dan fungsi masing-masing
yang saling terkait. Tiap sub kawasan perkotaan tersebut memiliki pusat kegiatan
perkotaan dan sub pusat kegiatan perkotaan. Penentuan struktur kawasan perkotan
berdasarkan kondisi eksisting dan kajian yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.
Untuk mengetahui struktur kawasan perkotaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6 Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan Jatinangor


No. Bagian Kawasan Cakupan Desa Hierarki/Pusat Fungsi Perkotaan
Perkotaan Kegiatan Perkotaan
1 Sub Kawasan Kecamatan Jatinangor (Cikeruh, Kota inti  Kawasan Pendidikan Tinggi
Perkotaan Bagian Cipacing, Cintamulya, Megargalih,  Pusat Perdagangan dan Jasa
Barat Cisem-pur, Cileles, Jatiroke, Jati-  Kawasan industri
mukti, Cilayung, Hegar-manah,  Puseur Budaya Sunda
Sayang, Cipacing)  Budaya Iptek
2 Sub. Kawasan Kecamatan Tanjungsari (Tanjung- Kawasan Penyangga  Pusat Perdagangan
Perkotaan Bagian sari, gudang, Jatisari, Gunung- (Agribisnis) dan Jasa
Timur manik, Margaluyu, Margajaya,  Kawasan permukiman
Cinanjung, Raharja dan Kuta-  Kawasan Pariwisata
mandiri) dan Sukasari (Sukarapih,  Puseur Budaya Sunda
Sukasari dan Mekarsari) serta

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 33


No. Bagian Kawasan Cakupan Desa Hierarki/Pusat Fungsi Perkotaan
Perkotaan Kegiatan Perkotaan
Kecamatan Pamulihan (Ciptasari,
Citali, Pamulihan, Haurgombong,
Cigendel, Mekarbakti dan
Cilembu)
3 Sub Kawasan Kecamatan Cimanggung (Sindang Kawasan Penyangga  Kawasan industri
Perkotaan Bagian Pakuwon, Cimanggung, Sawah-  Pusat perdagangan dan jasa
Tenggara dadap, Cihanjuang, Sukadana,  Kawasan Pemukiman
Sindanggalih, Mangunarga, mendukung industri
Cikahuripan, Pasirnanjung)  Puseur Budaya Sunda

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 34


Gambar 5.1. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 1)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 35


Gambar 5.2. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 2)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 36


Gambar 5.3. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 3)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 37


B. Penamaan Kawasan Perkotaan Jatinangor
Nama yang popular di kalangan masyarakat untuk kawasan perkotaan tersebut
yaitu “ Kawasan Perkotaan Jatinangor”. Nama Jatinangor digunakan sebagai pengganti
nama Kecamatan Cikeruh pada tahun 2000. Soal nama kawasan memang masih perlu
dibahas bersama para pemangku kepentingan. Tetapi nama Jatinangor sudah terkenal di
seluruh Indonesia karena di lokasi tersebut terdapat berbagai lembaga pendidikan berskala
nasional.
Beberapa alasan lain yang menjadi dasar penamaan kawasan perkotaan sebagai
Kawasan Perkotaan Jatinangor :
 Sebagian besar luasan kawasan yang menjadi bagian kawasan perkotaan berada di
lingkungan adminisrasi Kecamatan Jatinangor (seluruh desa di Kecamatan Jatinangor
menjadi bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor)
 Jatinagor merupakan daerah yang telah dikenal bukan hanya pada lingkup lokal
Kabupaten tapi juga pada lingkup Provinsi dan Nasional (karena merupakan pusat
kegiatan pendidikan tinggi). Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet
sudah sering berdatangan ke kawasan tersebut untuk menghadiri acara atau
meresmikan sesuatu yang berskala nasional

5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Ekonomi Kawasan Perkotaan


Pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan Jatinangor selama ini dipacu oleh
kegiatan perguruan tinggi meskipun perguruan tinggi bukan kegiatan dominan satu-satunya
sebagai kegiatan basis yang diandalkan, namun keberadaan perguruan tinggi telah
mendorong kegiatan perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan perguruan tinggi.
Kegiatan lain yang juga dominan lain yang juga mendorong munculnya kegiatan
perdagangan dan jasa adalah kegiatan industri dan kegiatan kerajinan (handicraft).
Kegiatan pertanian sebagai basis ekonomi sampai saat ini belum hilang meskipun sudah
terdesak oleh kegiatan lain dengan semakin berkurangnya lahan pertanian.
Persoalan ekonomi kota saat ini berkaitan dengan ruang terutama menyangkut hal
sebagai berikut :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 38


1. Munculnya kegiatan pasar kaget yang semakin besar pada waktu-waktu tertentu dan
tempat-tempat tertentu. Di Unpad setiap minggu pagi, di gerbang-gerbang industri
seperti Kahatek, Wiska, dan lainnya.
2. Pelaku pasar kaget atau pedagang pada umumnya berasal dari luar Jatinangor bagian
sebagian di tempat asalnya bukan pedagang kaki lima atau memiliki toko. Pedagang ini
berpindah-pindah sesuai hari dan pasar dari para pekerja industri.
3. Pedagang kaki lima penunjang yang melayani mahasiwa maupun pekerja industri
menempati lahan yang memungkinkan di koridor Jalan Raya Jatinangor maupun jalan
Raya Rancaekek
4. Tumbuh dan berkembang kegiatan perdagangan dan jasa merubah fungsi bangunan dari
rumah menjadi toko, dan terbangunnya lahan kosong menjadi bangunan berfugsi
perdagangan di sepanjang koridor tersebut dan tempat yang cocok untuk kegiatan
perdagangan dan jasa
5. Kegiatan produksi kerajinan terus bertahan dengan beradaptasi pada kondisi ekonomi
yang terjadi, pola produksi kerajinan berkembang dengan membuat imitasi dari produks
terbaru. Kecuali produks-produks yang sudah membentuk imaj baik pada konsumen
seperti bedil angin dan gedek/geribik.
6. Kegiatan pertanian dari lahan pertanian produktif yang selama ini beralih ke lahan-
lahan kosong milik perguruan tinggi, industri maupun milik penduduk di luar Bandung
dan para petani yang bekerja sebagian besar berasal dari sekitar Jatinangor.
7. Kegiatan pertanian yang masih cukup bisa bertahan ada di desa-desa Cileles, Cilayung,
Jatimukti, Jatiroke dan sebagian Cisempur dan sawah dadap pada kawasan industri
Cimanggung
8. Dengan kecenderungan industri terus berkembang maka peluang tenaga kerja lebih
besar meskipun ada kemungkinan yang dibutuhka tenaga kerja wanita.
9. Tingkat pengangguran angkatan kerja masih cukup tinggi sampai hampi 20 % dan
peluang kerja industri lebih diperuntukkan untuk tenaga kerja wanita. Kondisi ini
mendorong angkatan kerja muda laki-laki berorientasi ke luar Jatinangor, ke sektor
perdagangan dan jasa, serta ke jasa transportasi atau ojeg.
10. Diperkirakan ke depan angkatan kerja akan tetap proposional dengan kondisi yang ada
dengan jumlah yang berbeda,

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 39


Sebagaimana telah diuraikan bahwa kawasan perkotaan memiliki fungsi kegiatan
perkotaan yang sesuai dengan kebijakan dan potensi yang dimikinya terutama mendukung
aktivitas jasa dan perdagangan sebagai karakteristik utama yang mendukung kawasan
perkotaan. Untuk mengukur kebutuhan ruang yang terkait dengan pelayanan jasa
perkotaan dapat dapat diproyeksi dari proyeksi penduduk kota inti kawasan perkotaan
Jatinangor

A. Distribusi Penduduk
Distribusi penduduk di kawasan perkotaan inti dalam kurun waktu sampai dengan
tahun 2015 adalah 172145 jiwa. Persebaran jumlah penduduk ini masih terkonsentrasi di
Kawasan Perkotaan di Kecamatan Jatinangor dengan jumlah penduduk jiwa 97491 tahun
2015. Namun demikian, dengan diarahkannya pengembangan kawasan perkotaan ke wilayah
Tanjunsari dan Sukasari, maka terdapat distribusi penduduk yang tersebar di kawasan
tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.7. Proyeksi Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor 2008-2015


Desa 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
KECAMATAN JATIANGOR
CIPACING 12800 15020 15105 15570 16445 17302 17928 18577
SAYANG 8312 9754 9809 10111 10679 11236 11642 12064
MEKARGALIH 5939 6969 7009 7224 7630 8028 8319 8620
CINTAMULYA 7197 8445 8493 8754 9247 9728 10081 10445
CISEMPUR 6484 7609 7652 7887 8331 8765 9082 9411
JATIMUKTI 4501 5282 5312 5475 5783 6084 6304 6533
JATIROKE 4429 5197 5227 5387 5690 5987 6204 6428
HEGARMANAH 9883 11597 11663 12021 12698 13359 13843 14344
CIKERUH 8970 10526 10586 10911 11525 12125 12564 13019
CIBEUSI 10505 12327 12397 12778 13497 14200 14714 15247
CILELES 4824 5661 5693 5868 6198 6521 6757 7001
CILAYUNG 4440 5210 5240 5401 5704 6002 6219 6444
KECAMATAN CIMANGGUNG
MANGUNARGA 5817 5946 6078 6213 6351 6492 6636 6783
SAWAHDADAP 5077 5190 5305 5423 5543 5666 5792 5920
SUKADANA 4795 4901 5010 5121 5235 5351 5470 5591
CIHANJUANG 8696 8889 9086 9288 9494 9705 9920 10140
SINDANGPAKUON 13359 13655 13959 14268 14585 14909 15240 15578
TOTAL 126028 142177 143622 147700 154634 161460 166714 172145
Sumber : Hasil Analisis

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 40


B. Kebutuhan Fasilitas Sarana Perniagaan

Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tersebut kemudian diproyeksikan


kebutuhan fasilitas jasa perdagangan dan ruang pada kawasan perkotaan seperti yang dapat di
lihat pada berikut :

Tabel 5.8. Proyeksi Kebutuhan Sarana Perniagaan di Kawasan Perkotaan Jatinangor Tahun 2015

Sarana dan Ruang Perniagaan


Jumlah
No Desa Penduduk
(jiwa) Warung Luas Toko Luas Pusat Luas Pusat Luas
(m2) (m2) Belanja (m2) Belanja (m2)
Dan Niga
Kecamatan Jatinangor
1 Cikeruh 13,019 52 5200 5 6,000 0 0 0 0
2 Cibeusi 15,247 61 6100 6 7,200 1 13500 0 0
3 Hegarmanah 14,344 57 5700 6 7,200 0 0 0 0
4 Cintamulya 10,445 42 4,200 4 4,800 0 0 0 0
5 Jatimukti 6,533 26 2600 3 3,600 0 0 0 0
6 Cisempur 9,411 38 3800 4 4,800 0 0 0 0
7 Jatiroke 6,428 26 2600 3 3,600 0 0 0 0
8 Cileles 7,001 28 2800 3 3,600 0 0 0 0
9 Cilayung 6,444 26 2600 3 3,600 0 0 0 0
10 Cipacing 18,577 74 7400 7 8,400 1 13500 0 0
11 Sayang 12,064 48 4800 5 6,000 0 0 0 0
12 Mekargalih 8,620 34 3400 3 3,600 0 0 0 0
Kecamatan Cimanggung 0
1 Mangunarga 6,783 27 2700 3 3,600 0 0 0 0
2 Sawahdadap 5,920 24 2400 2 2,400 0 0 0 0
3 Sukadana 5,591 22 2200 2 2,400 0 0 0 0
4 Cihanjuang 10,140 41 4100 4 4,800 0 0 0 0
5 Sindangpakuwon 15,578 62 6200 6 7,200 1 13500 0 0
Jumlah 172,145 689 68,900 69 82,800 6 81,00 1 36,000
0

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 41


Berdasarkan proyeksi tersebut dapat diperkirakan kebutuhan fasilitas dan ruang
menyangkut sarana perniagaan pendukung perkotaan.
Pengembangan ekonomi dengan kondisi dan permasalahan yang ada serta kebutuhan
pengembangannya maka sampai dengan tahun 2015 mendatang kebijakan dapat diarahkan ke hal
sebagai berikut :
1. Menunjang sarana dan prasarana untuk kebutuhan pengembangan sektor ekonomi basis dan
penunjangnya yang menyerap tenaga kerja
2. Khusus untuk kegiatan ekonomi handicraft dipadukan dengan pengembangan wisata serta
tetap mempertahankan dan mengembangkan pola marketing yang ada. Kebutuhan sarana dan
prasarana pengembangan kerajinan dikembangkan melalui kerja sama khusus dengan
perguruan tinggi
3. Perkembangan kegiatan ekonomi penunjang diarahkan dengan membangun kawasan khusus
perdagangan dan jasa penunjang perguruan tinggi dan industri.
4. Mengakomodasi perkembangan pedagang kaki lima lokal sebagai proses sementara lapangan
kerja diarahkan dengan menyediakan tempat untuk perdagangan dan jasa yang sifatnya
pedagang kaki lima, lebih dikhususkan pedagang kaki lima penduduk lokal. Bagi pedagang
kaki lima yang bukan dari penduduk lokal diatur sedemikian dengan bekerja sama dengan
pemerintahan Kabupaten, Provinsi maupun pemerintahan pusat.
5. Penataan koridor penggunaan lahan campuran diarahkan untuk menampung perkembangan
kegiatan penunjang perguruan tinggi dan industri disamping kawasan khusus yang disiapkan.
6. Koridor penggunaan lahan campuran dengan titik simpul kegiatan saung budaya dijadikan
pusat perdagangan dan jasa penunjang kegiatan perguruan tinggi
7. Pusat lingkungan permukiman di bagian kawasan industri diarahkan untuk menjadi pusat
perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan kebutuhan pekerja industri.
8. Sektor kegiatan ekonomi yang dikembangkan adalah bersifat yang mendorong penyerapan
tenaga kerja lokal dan ramah lingkungan seperti : industri hemat air, kerajinan, dan produks
perguruan tinggi.
9. Melihat perkembangan industri dan kegiatan perguruan tinggi, diperkirakan perdagangan dan
jasa akan terus tertarik untuk berkembang terutama perdagangan jasa yang bersifat informal
atau pedagang kaki lima. Oleh karena khusus pedagang kaki lima diakomodasi pada tempat-

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 42


tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu. Misalnya pada waktu sore dan malam hari di
halaman kantor yang kegiatan pada siang hari dan pada sore dan malam hari tutup.
10. Perkembangan perdagangan skala modal besar seperti supermarket atau pun mini market
diarahkan sesuai ruang pelayanan
11. Sektor pertanian yang masih menjadi mata pencarian sebagian penduduk Jatinangor, tetap
dipertahankan dan dilindungi dengan peluang bahwa pemanfaatan ruang yang berfungsi
konservasi diantaranya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian baik pertanian untuk tanaman
tahunan maupun tanaman musiman.
12. Sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan, proses pergeseran lahan pertanian
menjadi fungsi lain yang non-pertanian masih akan berlangsung selama beberapa tahun ke
depan, oleh karena itu lahan tersebut diarahkan digarap oleh petani Jatinangor.

5.5 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan


Pasal 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan
bahwa “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional”. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan juga bahwa
kata “berkelanjutan” mengandung arti yaitu kondisi kualitas lingkungan fisik dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan
orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.
Pentingnya pengembangan suatu wilayah dengan memperhatikan keberlanjutannya,
tidak hanya untuk wilayah dengan luasan yang besar tetapi juga untuk wilayah kota yang
pada umumnya berbentuk suatu konsentrasi dari penduduk yang heterogen dalam suatu
lahan tertentu dengan berbagai aktivitas yang menyertainya yang bersifat non pertanian.
Adanya karakter-karakter pembentuk kota ini mengakibatkan dalam dinamisasi
kehidupannya kota akan mengalami berbagai macam kebutuhan dan kepentingan. Sangat
perlu disadari bahwa studi terakhir menunjukkan dalam kurun waktu 1980-2000 jumlah
penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan telah meningkat dari 22,3% menjadi 42%
(Gardiner & Mayling, 2006) hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan suatu kota harus
dapat memperhatkan keberlanjutan dari kota tersebut.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 43


Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk mencukupi
kebutuhannya “development that meets the needs of the present without compromising the
ability of future generations to meet their own needs” (WCED,1987).
Kota yang berkelanjutan adalah suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi
secara sukses dalam pertarungan ekonomi global dan mampu pula mempertahankan vitalitas
budaya serta keserasian lingkungan. Keberlanjutan pada hakikatnya adalah suatu etik, suatu
perangkat prinsip-prinsip dan pandangan ke masa depan.
Tata ruang sebagai instrumen spasial dalam pembangunan kota, merupakan alat
yang tepat untuk mengkoordinasikan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan untuk
mewujudkan kota lestari. Mengembangkan kota lestari sendiri berarti pembangunan
manusia kota yang berinisiatif dan bekerja sama dalam melakukan perubahan dan gerakan
bersama.
Terdapat beberapa syarat yang terkait dengan pembangunan kota yang
berkelanjutan, yaitu:
 Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi di perkotaan
secara ekologis, benar;
 Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya tak-terbarukan
(non-renewable resources);.
 Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran, dan
 Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan
perkotaan (carrying capacity)
Berkaitan dengan syarat-syarat tersebut maka salah satu komponen dan aset penting
dalam kota berkelanjutan adalah keberadaan ruang terbuka hijau pada kota tersebut. Ruang
terbuka hijau merupakan ruang yang direncanakan yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam. Selain itu ruang terbuka juga merupakan wadah yang dapat menampung aktivitas
tertentu dari masyarakat di wilayah tersebut. Karena itu, ruang terbuka mempunyai
kontribusi yang akan diberikan kepada manusia berupa dampak positif.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 44


Ketentuan mengenai pentingnya penyediaan ruang hijau pada kawasan perkotaan
diamanatkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu dalam segi perencanaan
ruang tertuang pada pasal 28,29, dan 30. Secara umum ketiga pasal tersebut menyatakan
untuk keberlanjutan suatu kota maka dipersyaratkan suatu kota memiliki luas RTH minimal
30% dari luas kota.
Terhadap kebutuhan 30% dari luas kota tersebut, UU Penataan Ruang juga telah
membagi bahwa pemerintah kota memiliki tanggung jawab untuk menyediakan 20% dari
ruang terbuka hijau yang bersifat publik sementara 10%-nya disedikan oleh privat.
Adanya ketentuan-ketentuan ini telah memperlihatkan bahwa penataan ruang pada
dasarnya telah mendorong kota untuk dapat berkelanjutan melalui penyediaan ruang terbuka
hijau baik yang menjadi tanggung jawab pemerintah maupun swasta dan/atau masyarakat.
Terkait dengan kebutuhan ruang terbuka hijau pada Kawasan Perkotaan Jatinangor
maka kebutuhan ruang terbuka hijau kedepan dapat diproyeksi sebagaimana ditampilkan
pada tabel 5.8 berikut :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 45


Tabel 5.9. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MINIMUM (Hektar)
TAHUN
DESA
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

CIPACING 10.67 12.52 12.59 12.97 13.70 14.42 14.94 15.48


SAYANG 6.93 8.13 8.17 8.43 8.90 9.36 9.70 10.05
MEKARGALIH 4.95 5.81 5.84 6.02 6.36 6.69 6.93 7.18
CINTAMULYA 6.00 7.04 7.08 7.30 7.71 8.11 8.40 8.70
CISEMPUR 5.40 6.34 6.38 6.57 6.94 7.30 7.57 7.84
JATIMUKTI 3.75 4.40 4.43 4.56 4.82 5.07 5.25 5.44
JATIROKE 3.69 4.33 4.36 4.49 4.74 4.99 5.17 5.36
HEGARMANAH 8.24 9.66 9.72 10.02 10.58 11.13 11.54 11.95
CIKERUH 7.48 8.77 8.82 9.09 9.60 10.10 10.47 10.85
CIBEUSI 8.75 10.27 10.33 10.65 11.25 11.83 12.26 12.71
CILELES 4.02 4.72 4.74 4.89 5.16 5.43 5.63 5.83
CILAYUNG 3.70 4.34 4.37 4.50 4.75 5.00 5.18 5.37
MANGUNARGA 4.85 4.96 5.07 5.18 5.29 5.41 5.53 5.65
SAWAHDADAP 4.23 4.32 4.42 4.52 4.62 4.72 4.83 4.93
SUKADANA 4.00 4.08 4.18 4.27 4.36 4.46 4.56 4.66
CIHANJUANG 7.25 7.41 7.57 7.74 7.91 8.09 8.27 8.45
SINDANGPAKUON 11.13 11.38 11.63 11.89 12.15 12.42 12.70 12.98

TOTAL 105.02 118.48 119.69 123.08 128.86 134.55 138.93 143.45

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 46


Tabel 5.10. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MAXIMUM (Hektar)
TAHUN
DESA
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
CIPACING 256.00 300.40 302.11 311.39 328.91 346.05 358.57 371.55
SAYANG 166.24 195.07 196.18 202.21 213.58 224.71 232.85 241.27
MEKARGALIH 118.78 139.38 140.17 144.48 152.61 160.56 166.37 172.39
CINTAMULYA 143.94 168.90 169.86 175.09 184.93 194.57 201.61 208.91
CISEMPUR 129.68 152.17 153.04 157.74 166.61 175.29 181.64 188.21
JATIMUKTI 90.02 105.63 106.23 109.50 115.66 121.68 126.09 130.65
JATIROKE 88.58 103.94 104.53 107.75 113.81 119.74 124.07 128.56
HEGARMANAH 197.66 231.94 233.26 240.43 253.95 267.18 276.85 286.88
CIKERUH 179.40 210.51 211.71 218.22 230.49 242.50 251.28 260.37
CIBEUSI 210.10 246.54 247.94 255.56 269.93 284.00 294.28 304.93
CILELES 96.48 113.21 113.86 117.36 123.96 130.42 135.14 140.03
CILAYUNG 88.80 104.20 104.79 108.01 114.09 120.03 124.38 128.88
MANGUNARGA 116.34 118.92 121.56 124.26 127.02 129.84 132.72 135.66
SAWAHDADAP 101.54 103.79 106.10 108.45 110.86 113.32 115.83 118.41
SUKADANA 95.90 98.03 100.20 102.43 104.70 107.03 109.40 111.83
CIHANJUANG 173.92 177.78 181.73 185.76 189.88 194.10 198.40 202.81
SINDANGPAKUON 267.18 273.11 279.17 285.37 291.70 298.18 304.79 311.56

TOTAL 2,520.56 2,843.53 2,872.44 2,954.01 3,092.68 3,229.19 3,334.27 3,442.91

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 47


Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 48
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 49
BAB VI
KELEMBAGAAN PENGELOLA KAWASAN
PERKOTAAN

6.1. Pengelolaan Kawasan Perkotaan


Pada dasarnya pemerintah dibentuk untuk melayani masyarakat. Bentuk
organisasi pemerintah dan derivasinya mengikuti perkembangan masyarakat yang
dilayaninya. Pada masyarakat kota kecil di kecamatan maupun kawasan perkotaan skala
kecil yang merupakan gabungan dari bagian desa-desa yang berdekatan dalam satu
kabupaten, selama ini belum memperoleh pelayanan yang memadai dari pemerintah
kabupaten. Selain karena skala kepentingannya relatif kecil dibandingkan keseluruhan
kepentingan masyarakat kabupaten, juga karena belum ada peraturan perundang-
undangan yang memberikan kewenangan untuk mengelolanya secara khusus.
Perubahan paradigma otonomi dari keseragaman menjadi paradigma
keanekaragaman dalam kesatuan, memberi kesempatan yang luas kepada daerah otonom
kabupaten/kota untuk mengatur bentuk dan isi otonomi sesuai karakteristik wilayah dan
kebutuhan masyarakatnya. Termasuk pengaturan mengenai kecamatan yang ada
didalamnya.
Kebutuhan masyarakat pada satu sisi dan peluang kebebasan mengatur urusan
pemerintahannya sendiri pada sisi lain, belum dapat dipertemukan karena terkendala
tidak adanya dasar hukum yang mengatur mengenai kota-kota kecamatan serta kawasan
dalam wilayah kabupaten yang berciri perkotaan skala kecil. Kendala tersebut secara
minimal kemudian diharapkan akan dapat diatasi setelah lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Melalui PP
tersebut, daerah kabupaten dapat mengambil inisiatif untuk mengelola kawasan
perkotaan diwilayahnya secara lebih professional, sehingga pelayanan kepada
masyarakat diharapkan dapat lebih meningkat.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 1


6.2. Model-model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di Kabupaten
Sumedang
Berdasarkan hasil kajian diperoleh gambaran bahwa seluruh wilayah
Kecamatan Jatinangor yang mencakup 12 desa, sebagian teritorial Kecamatan
Cimanggung (5 desa), satu desa di Kecamatan Tanjungsari serta satu desa di
Kecamatan Sukasari layak dikembangkan menjadi satu kawasan perkotaan. Pasal 1
butir ketiga PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “ Kawasan Perkotaan
adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”. Mengingat
kegiatan pemerintahan bersifat sah dan tertulis, maka cakupan kawasan perkotaan
Jatinangor perlu ditetapkan secara resmi dalam sebuah peraturan perundang-
undangan. Pada Pasal 3 ayat (1) yang berkaitan dengan Pasal 2 huruf (b) PP Nomor 34
tahun 2009 menyatakan bahwa pembentukan kawasan perkotaan yang berbentuk bagian
daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan diatur dengan peraturan daerah
kabupaten. Oleh karena itu, langkah strategis pertama yang perlu dilakukan oleh
Pemerintahan Kabupaten Sumedang dalam mengelola kawasan perkotaan Jatinangor
adalah menetapkan sebuah peraturan daerah tentang pembentukan kawasan perkotaan
Jatinangor.
Kawasan perkotaan semacam itu perlu dikelola oleh sebuah lembaga tersendiri
karena cakupan ciri-ciri perkotaannya bersifat lintas-kecamatan. Apabila ciri
perkotaannya hanya mencakup satu kota kecamatan, maka pengelolaan kotanya dapat
dilakukan oleh camat yang karena jabatannya (ex-officio) diangkat sebagai manajer
kota. Untuk kepentingan tersebut, camat dapat diberi delegasi wewenang tambahan dari
bupati.
Pada Pasal 1 butir no 8 PP Nomor 34 Tahun 2009 dikemukakan bahwa : “
Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disebut Lembaga Pengelola
adalah lembaga yang dibentuk dengan peraturan daerah untuk mengoptimalkan sumber-
sumber yang dimiliki dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan Kawasan
Perkotaan”.
Kawasan perkotaan dengan cakupan wilayahnya merupakan bagian dari
territorial beberapa kecamatan yang berdekatan, perlu dikelola secara intensif, baik oleh
pemerintah daerah dengan membentuk sebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 2


maupun oleh sebuah Lembaga Pengelola dengan keanggotaannya terdiri kelompok
nonpegawai negeri, nonpartisan serta dari kalangan masyarakat dan dunia usaha.
Lembaga ini sifatnya non-pemerintah daerah tetapi bertanggung jawab kepada
pemerintah daerah. Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “
Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten dikelola oleh pemerintah
kabupaten atau Lembaga Pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada
pemerintah kabupaten”.
Dari ketentuan di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ada dua model
pengelola kawasan perkotaan dalam wilayah kabupaten yakni :
a) Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk
mengelola kawasan perkotaan;
b) Model pengelolaan oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat
non-pemerintah daerah.
Ad.a. Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk
mengelola kawasan perkotaan
Untuk mengelola kawasan perkotaan yang cakupan wilayahnya meliputi
empat kecamatan yang berdekatan seperti telah dikemukakan pada uraian
sebelumnya, maka Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat membentuk unit
pemerintah daerah setara eselon IIIa sebagai sebuah SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah) guna mengkoordinasikan perencanaan pembangunan dan pelayanan
masyarakat perkotaan di kawasan tersebut. SKPD ini dapat diberi nama Unit, Satuan
atau Kantor Pengelolaan Kawasan Perkotaan “Jatinangor”. SKPD ini dibentuk dengan
Peraturan Daerah (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34 Tahun 2009). Pembentukan
Peraturan Daerahnya dapat digabung dengan pembentukan SKPD lainnya atau dibuat
Peraturan Daerah secara khusus.
Sebagai sebuah SKPD, unit ini mempunyai kedudukan, tugas, wewenang dan
tanggung jawab, pembiayaan dan pertanggungjawaban yang setara dengan eselon IIIa
lainnya.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit


Pemerintah Daerah
Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit Pemerintah Daerah
memiliki kelebihan dan kekurangan dibanding model lainnya. Kelebihannya yaitu :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 3


a) mudah dalam hubungan kerja dengan bupati dan DPRD maupun SKPD lainnya
karena juga merupakan sebuah SKPD;
b) garis komando dan garis pertanggungjawabannya lebih jelas;
c) memudahkan dalam memperoleh anggaran melalui APBD Kabupaten Sumedang.
Adapun kelemahan model ini yaitu:
a) sangat birokratis karena diisi oleh PNS yang terikat pada struktur dan prosedur
yang kaku;
b) kurang demokratis dan kurang melibatkan pemangku kepentingan;
c) kurang luwes dalam menggali sumber-sumber pembiayaan di luar dana APBD
Kabupaten Sumedang;
d) hubungan kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah dapat berbenturan
dengan wewenang camat karena sama-sama eselon IIIa.

Ad.b. Model Pengelolaan Oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat
non-pemerintah daerah
Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 memberikan alternatif lain
dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten, di luar
pengelolaan oleh sebuah SKPD khusus. Bentuknya adalah Lembaga Pengelola
Kawasan “Jatinangor” yang bersifat non- pemerintah daerah. Lembaga ini dibentuk
dengan peraturan daerah Kabupaten Sumedang (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34
Tahun 2009). Model ini dapat dikategorikan sebagai lembaga pemerintahan semu
(quasi government) atau lembaga daerah non-pemerintah daerah atau yang secara lebih
meluas disebut sebagai Quasi Autonomous Nongovernmental Organization
(QUANGO). Disebut demikian karena lembaga ini menjalankan sebagian fungsi
daerah dan diberi anggaran dari APBD tetapi bukan organ pemerintah daerah. Pada
tingkat nasional terdapat pula model seperti ini dengan nama lembaga negara non
pemerintah misalnya KPU, KPPU, KPK dan lembaga-lembaga lainnya yang sejenis.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh


Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-pemerintah daerah.
Sebagai sebuah model baru dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang
cakupan wilayahnya meliputi beberapa bagian dari kecamatan yang bersandingan,
model ini memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya yaitu :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 4


a) dalam hal pembiayaan, selain memperoleh dana dari APBD Kabupaten Sumedang,
lembaga ini lebih luwes dalam mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang
berasal dari masyarakat dan pihak swasta;
b) lebih luwes dalam proses penyusunan perencanaan karena melibatkan para
pemangku kepentingan;
c) lebih demokratis.
Adapun kelemahan model ini yaitu :
a) hubungan kerja dengan para camat yang masuk dalam kawasan perkotaan akan sulit,
apabila para camatnya masih sangat birokratis dan menggunakan paradigma lama;
b) dukungan dana dari APBD akan terbatas karena bukan merupakan sebuah SKPD,
sehingga skala prioritasnya berada di bawah;
c) apabila tidak didukung oleh Sekretariat Lembaga Pengelola yang andal, maka
lembaga ini akan mandeg.
Berdasarkan perbandingan kedua model di atas, maka pengelolaan kawasan
perkotaan “Jatinangor” nampaknya lebih cocok menggunakan model kedua yakni
dikelola oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-
pemerintah daerah.
Rincian lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
“Jatinangor” yang bersifat non-pemerintah daerah yaitu sebagai berikut.

6.3 Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor”


1) Pembentukan
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa berdasarkan ketentuan pada
Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
dibentuk dengan peraturan daerah. Sesuai ketentuan yang termuat pada UU Nomor 10
Tahun 2004, penyusunan peraturan daerah didahului dengan naskah akademis yang
kemudian dilakukan konsultasi publik. Selanjutnya dibahas secara intensif antara
pemerintah daerah dengan DPRD. Melalui proses yang demokratis serta melibatkan
para pemangku kepentingan, peraturan daerah tentang pembentukan lembaga
pengelolaan kawasan perkotaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat.
Pembentukan Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” mengikuti
ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas. Inisiatif pembentukan peraturan daerah
berasal dari Pemerintah Kabupaten Sumedang, yang selanjutnya dibahas dengan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 5


DPRD Kabupaten Sumedang. Ditetapkan demikian karena yang secara teknis
mengetahui dan memahami seluk beluk perkembangan masyarakat dan
pemerintahannya adalah pemerintah daerah.

2) Susunan Organisasi
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa anggota
lembaga pengelola kawasan perkotaan paling sedikit berjumlah 5 (lima) orang dan
paling banyak berjumlah 7 (tujuh) orang. Untuk pengelola kawasan perkotaan “
Jatinangor” karena skala kotanya belum terlampau besar, maka disarankan pada tahap
pertama jumlah pengelolanya cukup lima orang. Pada tahap selanjutnya apabila
perkembangan kota sudah semakin maju dan kompleks, jumlah anggota pengelola
dapat ditambah menjadi tujuh orang.
Dari lima orang anggota, salah satunya dipilih oleh para anggota menjadi
koordinator. Pengelola kawasan perkotaan menjalankan organisasi secara kolektif,
sehingga keputusan tertinggi berada pada rapat seluruh anggota, serta tidak dimonopoli
oleh koordinator. Kelima orang pengelola kawasan perkotaan tersebut dapat
dinamakan dewan, karena sifatnya yang kolegial. Pengaturan mengenai susunan
organisasi dan tatakerjanya ditetapkan secara rinci dalam peraturan daerah
pembentukan lembaga pengelola kawasan perkotaan.
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009, keanggotaan
Lembaga Perkotaan terdiri atas :
a) Pakar/ahli di bidang pengelolaan Kawasan Perkotaan; dan atau
b) Unsur masyarakat pemerhati Kawasan Perkotaan.
Untuk memenuhi syarat sebagai organisasi nonpemerintah yang bersifat
nonpartisan, maka pada Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2009 diatur ketentuan
bahwa anggota Lembaga Pengelola Perkotaan tidak berasal dari pegawai negeri sipil,
anggota Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, dan anggota partai politik.
Tetapi mengingat orang yang mengerti dan memahami masalah perkotaan di Indonesia
jumlahnya tidak banyak, maka ketentuan Pasal 9 ayat (3) kemudian diperlonggar
dengan penjelasan Pasal dan ayat tersebut dengan ketentuan bahwa : “ Pegawai negeri
sipil yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk pejabat fungsional
antara lain peneliti, guru, dosen, widyaiswara dan perencana”.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 6


Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur mekanisme pengisian
keanggotaan Lembaga Pengelola Perkotaan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan
untuk merekrut anggota LPP yakni :
a) Dilakukan penawaran secara terbuka kepada publik melalui media massa dengan
segala persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya, termasuk kategori
keahliannya, waktu kerjanya (penuhwaktu/fulltime atau paruhwaktu/parttime),
syarat domisili, sistem pemberian imbalannya dan lain sebagainya. Kemudian
dilakukan fit and proper test untuk mengetahui kecocokan dan kemampuan calon
anggota LPP. Setelah seleksi selesai mereka dianggkat dengan Keputusan Bupati
Sumedang.
b) Dipilih melalui suatu “beauty contest”, dihadapkan panel para ahli yang terdiri
dari ahli perkotaan, ahli pemerintahan serta ahli ekonomi. Calon anggota LPP
diminta untuk menyusun visi dan misi. Mekanisme pemilihan ini secara implisit
sejalan dengan bunyi Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009.
c) Ditunjuk langsung oleh bupati, berdasarkan kriteria persyaratan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Masa jabatan anggota LPP adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 (satu) periode masa jabatan berikutnya. Tetapi di dalam PP Nomor 34 Tahun
2009 tidak diatur mekanisme penggantian antarwaktu apabila ada seorang atau
beberapa orang anggota LPP berhalangan tetap (meninggal, sakit permanen,
menghilang), pindah tugas ke tempat lain, mengundurkan diri karena berbagai alasan
ataupun melakukan pelanggaran ketentuan yang mengikat anggota LPP. Oleh karena
itu, disarankan agar mekanisme pengisian anggota LPP, mekanisme kerjanya,
mekanisme pengelolaan keuangan, ketentuan masa jabatan dan penggantian
antarwaktu sebelum masa jabatannya berakhir serta mekanisme
pertanggungjawabannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
Dalam menjalankan tugasnya, Lembaga Pengelola dibantu oleh sekretariat
Lembaga Pengelola yang dibentuk oleh bupati (lihat ketentuan Pasal 10 ayat 1 PP
Nomor 34 Tahun 2009). Sekretariat Lembaga Pengelola diisi oleh PNS. Hal ini secara
implisit dapat ditangkap dari bunyi Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) PP Nomor 34 Tahun
2009. Mengingat pandangan pegawai negeri sipil masih sangat strukturalis,
pertanyaan pertama adalah berapa eselon untuk Sekretaris LPP? Eselonering suatu
jabatan sebenarnya dapat diukur dan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya serta

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 7


kedudukan protokolernya dalam suatu acara. Mengingat fungsi sekretariat LPP
bersifat “back office” saja, maka eselon sekretaris LPP disarankan IVa. Sebaiknya
sekretaris LPP diisi oleh PNS yang memiliki latarbelakang pendidikan mengenai
perkotaan dan memahami manajemen, sehingga dapat mengkoordinasikan berbagai
masalah yang ditanganinya.

Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sekretaris LPP perlu dilengkapi
paling sedikit 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing memiliki eselon Va. Ketiga sub
bagian tersebut yaitu sub bagian yang mengurus ketatausahaan meliputi surat-
menyurat, keuangan, dan logistik bagi kepentingan LPP, sub bagian yang mengurus
inventarisasi sumberdaya badan usaha swasta dan masyarakat, serta sub bagian yang
mengurus aspirasi masyarakat serta informasi kawasan perkotaan.
Secara resmi, struktur organisasi dan eselonering sekretariat LPP ditetapkan
oleh menteri dalam negeri dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan
pemberdayaan aparatur Negara. (Lihat pada Pasal 10 ayat 5 PP Nomor 34 Tahun
2009). Tetapi mengingat sampai saat ini peraturan yang dimaksud belum terbit, maka
Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat melakukan terobosan mendahuluinya,
sekaligus menjadi ujicoba pelaksanaan PP Nomor 34 Tahun 2009. Melalui ujicoba
tersebut akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan PP tersebut, sehingga terbuka
peluang untuk memperbaikinya.
Bentuk dan susunan organisasi LPP :Jatinangor” yang disarankan melalui
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

DEWAN
PENGURUS
(5 orang)

SEKRETARIS

SUB BAGIAN SUB BAGIAN ASPIRASI


SUB BAGIAN INVENTARISASI MASYARAKAT DAN
KETATAUSAHAAN SUMBER DAYA INFORMASI KAWASAN
MASYARAKAT PERKOTAAN
DAN SWASTA

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 8


Gambar 1. Bagan Susunan Organisasi Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
“Jatinangor”.

3) Tugas Pokok dan Fungsi


Tugas pokok LPP sudah diatur pada Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun
2009 yakni : “mengelola Kawasan Perkotaan dan mengoptimalkan peran serta
masyarakat serta badan usaha swasta”. Kata “mengelola” di sini berarti LPP
menjalankan fungsi manajemen, yang mencakup mulai dari perencanaan, pelaksanaan
serta pelaporannya. Kata “peran serta” di sini berarti LPP hanya mengelola berbagai
aktivitas masyarakat dalam mengurus kawasan perkotaan yang bersifat sukarela dan
volunteer. Sedangkan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, tetap dikelola oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya pada Pasal 8 ayat (3) dikemukakan mengenai fungsi LPP yakni :
a) Penggalian dan pendayagunaan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat;
b) Penjaringan aspirasi masyarakat dan badan usaha swasta Kawasan Perkotaan;
c) Pengembangan informasi Kawasan Perkotaan;
d) Pemberian pertimbangan kepada bupati dalam kebijakan operasional, implementasi
kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat, dan
e) Perumusan dan pemberian rekomendasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian pembangunan, serta isu-isu strategis Kawasan Perkotaan.
Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi sebagaimana telah dijelaskan pada
uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa LPP mempunyai fungsi menggali dan
mendayagunakan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat yang ada di
kawasan perkotaan, tetapi yang bersifat sukarela. Sebab yang bersifat wajib seperti
pajak dan retribusi merupakan kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah.
Peluang untuk menggali potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha masih
terbuka lebar sepanjang anggota LPP kreatif. Prinsip dasar partisipasi adalah adanya
kesukarelaan, keterlibatan secara emosional serta memperoleh manfaat secara langsung
maupun tidak langsung dari keterlibatannya tersebut. Pada sisi lain, perlu dihindarkan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 9


pembebanan yang memaksa, sehingga menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi
(high cost economy). Hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi masuknya investor ke
wilayah Kabupaten Sumedang.

4) Kewenangan
Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sebuah organisasi baik
pemerintah, semipemerintah ataupun swasta, memerlukan kewenangan (authority),
yakni “kekuasaan yang saha untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Oleh
karena itu, kewenangan seringkali juga disebut sebagai kekuasaan yang sah (legitimate
power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power).
Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur secara rinci mengenai
kewenangan dari LPP. Hal tersebut dalam implementasinya justru akan menimbulkan
masalah besar, karena akan bertabrakan dengan kewenangan yang sudah ada dan
dijalankan oleh instansi pemerintah lainnya. Pada prinsipnya, seluruh kewenangan
pemerintahan sudah terbagi habis pada unit-unit pemerintahan yang ada. Oleh karena
itu, apabila muncul entitas baru yang ikut menjalankan fungsi pemerintahan, perlu
dilakukan pengaturan ulang mengenai pembagian urusan pemerintahan dan
kewenangan yang melekat didalamnya.
Pengaturan secara rinci mengenai kewenangan yang dijalankan oleh LPP,
diatur dalam Peraturan Bupati mengenai LPP sebagai tindak lanjut ketentuan yang
termuat pada Pasal 13 PP Nomor 34 Tahun 2009.
Kewenangan tersebut mencakup :
a) Kewenangan untuk memutuskan sesuatu sesuai tugas dan fungsi LPP berkaitan
dengan penggalian sumberdaya masyarakat dan badan usaha swasta, misalnya
dalam menarik sumbangan dari pihak swasta, mencari sponsor untuk kegiatan dan
lain sebagainya.
b) Kewenangan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi tentang
kawasan perkotaan;
c) Kewenangan merumuskan rancangan kebijakan mengenai kawasan perkotaan
untuk disampaikan kepada Bupati Sumedang.
d) Kewenangan lainnya yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi LPP,
misalnya dalam menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan
perkotaan, pemeliharaan fasilitas dan utilitas kota.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 10


5) Hubungan kerja secara internal
Hubungan kerja secara internal yang dimaksudkan adalah antar anggota LPP
serta antara LPP dengan Sekretariat LPP. Hubungan antar anggota LPP bersifat sejajar
satu sama lainnya, karena kepemimpinan LPP bersifat kolegial. Kalaupun akan
diangkat ketua, posisinya adalah sekedar sebagai “juru bicara”. (spokeman). Berbagai
keputusan yang bersifat strategis harus diputuskan melalui rapat paripurna. Mekanisme
pengambilan keputusan perlu diatur secara rinci dalam Peraturan Bupati Sumedang.
Sekretariat LPP berkedudukan sebagai unsur staf dari LPP, dengan tugas dan
fungsi memberikan dukungan administrasi kepada LPP. Oleh karena itu secara teknis
operasional, sekretariat LPP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada LPP.
Sedangkan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah
melalui asisten yang membidangi ekonomi dan pembangunan. Hubungan kerja ini
diatur pada Pasal 10 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009.

6) Hubungan Kerja dengan Instansi terkait :


a) Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang
LPP “Jatinangor” nantinya dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang
melalui peraturan daerah. Meskipun bentuknya adalah lembaga pemerintahan semu,
LPP tetap bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Mekanisme
pertanggungjawabannya perlu diatur secara rinci dalam peraturan bupati, dengan
prinsip dasar bertanggungjawab kepada Bupati Sumedang sebagai pejabat publik yang
dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat untuk memimpin kabupaten. Hal tersebut
juga sudah diatur pada Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009.
Pada sisi lain, pemerintah daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab
untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas dan
fungsi LPP. Selain karena pembentukannya dilakukan oleh pemerintah daerah, sebagian
sumber pembiayaan LPP juga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang.
Pembinaan dan pengendaliannya diwujudkan dalam bentuk penyampaian
laporan dari LPP kepada Bupati Sumedang, baik dalam bentuk laporan triwulanan,
laporan tahunan maupun laporan lainnya yang berkaitan dengan hal ikhwal pengelolaan
kawasan perkotaan yang dianggap perlu dilaporkan. Hal tersebut sudah diatur pada
Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP Nomor 34 Tahun 2009.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 11


b) Hubungan Kerja Dengan Kecamatan dan Instansi Vertikal Tingkat
Kecamatan
Kawasan perkotaan “Jatinangor” wilayahnya mencakup lintas empat
kecamatan, sehingga hubungan kerja paling intensif adalah dengan pihak pemerintah
kecamatan. Dalam hal ini diperlukan pembagian tugas, wewenang dan kewajiban yang
jelas antara kecamatan dengan LPP “Jatinangor” agar tidak timbul tumpangtindih,
konflik ataupun kekosongan pengurusan, sehingga kepentingan dan kebutuhan
masyarakat kawasan perkotaan tidak terlayani dengan baik.
Penyelarasan kecamatan dengan LPP “ Jatinangor” mencakup :
a) Jadual kegiatan yang melibatkan desa dan masyarakat yang sama;
b) Bentuk dan jenis kegiatan dengan obyek desa dan masyarakat yang sama;
c) Pihak swasta yang akan diminta partisipasinya;
LPP “Jatinangor” dibentuk bukan untuk mengambil alih sebagian kewenangan
ataupun menjadi pesaing kecamatan, melainkan mengisi kekurangan kecamatan dalam
mengelola wilayah atau bagian wilayahnya yang berciri perkotaan. Oleh karena itu,
LPP :Jatinangor” tidak boleh menjalankan berbagai fungsi pemerintahan yang selama
ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan.

7) Sumber pembiayaan
LPP “Jatinangor” dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan tugas
mengelola kawasan perkotaan “Jatinangor” sebagai bagian tidak terpisahkan dari
wilayah Kabupaten Sumedang. Sehingga wajar apabila sebagian sumber biaya untuk
menjalankan roda lembaga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang. Hal tersebut juga
sudah ditegaskan pada Pasal 11 PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa : “ Pendanaan
Lembaga Pengelola bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan
sumber pendanaan lainnya yang sah”.
Besarnya dana APBD Kabupaten Sumedang yang akan diberikan kepada LPP
“Jatinangor” akan sangat tergantung pada kesepakatan politik antara Bupati dengan
DPRD serta kemampuan LPP “Jatinangor” untuk meyakinkan pihak-pihak terkait
mengenai program dan kegiatan yang akan dijalankan.
Dari ketentuan Pasal 11 sebagaimana dikemukakan di atas, terbuka peluang
bagi LPP “Jatinangor” untuk mencari sumber-sumber lain di luar dana dari APBD

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 12


Kabupaten Sumedang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.. LPP jelas tidak memiliki kewenangan memungut pajak dan retribusi, karena
LPP bukan lembaga pemerintah yang diberi kewenangan untuk hal tersebut. Oleh
karena itu harus ada pembatasan yang jelas mengenai sumber dana yang akan diberikan
kepada LPP “Jatinangor”.
Semangat yang nampak dari PP Nomor 34 Tahun 2009 adalah agar LPP lebih
banyak menggalang dana dari nonpemerintah melalui partisipasi masyarakat maupun
pihak perusahaan swasta. Beberapa potensi yang dapat digarap LPP “Jatinangor” antara
lain dari:
1) Dana CSR (corporate social responsibility) dari berbagai perusahaan yang ada di
kawasan perkotaan;
2) Iuran warga kawasan perkotaan untuk kepentingan kebersihan dan keindahan
kota;
3) Sponsor dari perusahaan untuk berbagai kegiatan yang bertujuan memperindah
kota;
4) Sumbangan dari berbagai pihak yang sah dan tidak mengikat.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 13


BAB VII
STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM
PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

Dalam perumusannya, kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan


mengacu pada prioritas-prioritas program pembangunan pada lingkup Kabupaten, Provinsi
maupun Nasional. Secara khusus kebijakan dan strategi dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam penetapan dan pengembangan kawasan perkotaan, terutama
permasalahan yang timbul sebagai akibat masih kurangnya perhatian terhadap pelayanan
prasarana perkotaan; serta permasalahan internal kota, terutama masalah kemiskinan, kualitas
lingkungan hidup, serta keamanan dan ketertiban kota. Semua permasalahan tersebut akan
ditangani dengan berlandaskan pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan pengembangan untuk kawasan perkotaan Jatinangor di antaranya adalah
sebagai berikut:
I. Membentuk kelembagaan yang mengkoordinasikan kegiatan terkait pengembangan
kawasan perkotaan. Strategi untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya adalah:
1. Pembentukan kelembagaan koordinasi kawasan perkotaan Jatinangor
2. Penyusunan struktur dan pembagian tugas pengembangan kawasan perkotaan
3. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia
II. Pengembangan infrastruktur dasar perkotaan dan perhubungan (jaringan jalan, dsb).
Adapun strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 1


1. Pembangunan dan peningkatan jaringan utilitas seperti persampahan, listrik,
telekomunikasi, air bersih, sistem limbah padat dan cair, sistem drainase dengan
strategi sebagai berikut :
a) Persampahan
 Sistem pengelolaan sampah digunakan teknologi komposting semaksimal
mungkin, dan pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang untuk semua jenis
sampah dalam pengembangan kapisitas masyarakat untuk pengelolaan sampah
dengan prinsip 3R (Reuse, recycle, dan reduse) melalui kegiatan Community
Base Development (CBD)
 Menetapkan lembaga yang memiliki kewenangan terhadap pengelolaan dan
pelayanan kebersihan, serta pengelola dan jasa kebersihan yang ada terlibat
dalam lembaga pengelola dan pelayanan kebersihan ini. Atau melibatan
organisasi dan kelembagaan swasta dalam pengelolaan infrastruktur
persampahan
 Menetapkan restribusi khusus dalam pelayanan sampah untuk pembiayaan
peningkatan pelayanan sampah.
 Lokasi pengelolaan sampah oleh lembaga terpusat di kawasan penelitian
sampah perguruan tinggi.
 Melakukan kampanye kesadaran sampah dan pemisahan sampah berdasarkan
jenisnya kemudian memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat atau
lembaga yang melakukannya secara periodik bekerja sama dengan perguruan
tinggi Penarikan sampah dilakukan secara hirarkis dari rumah tangga ke
Tempat Penyimpanan Sampah Sementara(TPSS), kemudian ditarik ke Tempat
Pengolahan Sampah(TPS).
b) Pembuangan air limbah
 Menetapkan kewenangan pengelolaan limbah pada lembaga tertentu dan lebih
baik tergabung dengan pengelolaan sampah padat, pengelola bersama

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 2


masyarakat melakukan kontrol terhadap pelanggaran pembuangan limbah cair
yang dilakukan oleh industri dan mengajukan ke pengadilan.
 Pengelolaan limbah yang berlandaskan “polluters pay” bahwa setiap
orang/badan yang mempunyai andil dalam mencemari lingkungan harus
berkontribusi untuk memberikan kompensasi terhadap pengelolaan
lingkungan (misal melalui pajak lingkungan)
 Limbah cair yang berasal dari septiktank rumah tangga diarahkan agar
dikelola secara komunal atau kelompok yang dikelola oleh lembaga pengelola
limbah. Terutama untuk melayani penduduk perkotaan yang tidak terjangkau
oleh jaringan pipa air limbah baik induk, maupun lateral
 Lembaga pengelola limbah mengkoordinir penyedia jasa penyedotan limbah
domestik agar bisa terjaga kualitas pelayanan dan memudahkan masyarakat
mengadu terhadap pelayanan yang buruk dari penyedia jasa.
 Air buangan dari septiktank diupayakan diolah menjadi sumber air baku,
karena teknologi pengelohan tersebut sudah tersedia.
 Alternatif lain sebagaimana pengelolaan sampah, hasil pengolahan air limbah
domestik pun juga masih mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Salahsatu hasil pengolahan berupa sludge (lumpur tinja) dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik untuk taman-taman kota, tanaman hias ataupun bahkan
dimanfaatkan untuk pertanian.
 Perlu diupayakan adanya deregulasi yang memberikan kemudahan dan
merangsang kemauan masyarakat untuk menyambung pipa septik tank rumah
tangga ke jaringan pipa air limbah. Bentuk regulasi yang dapat disiapkan
adalah terkait kewajiban masyarakat melakukan penyambungan didasarkan
atas kewajiban dan peran sertanya dalam pengelolaan lingkungan secara
berkelanjutan,tidak terbatas hanya masalah pengolahan instalasinya saja.
c) Drainase

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 3


 Penetapan fungsi drainase meliputi upaya mencegah terjadinya luapan air
hujan yang berakibat banjir, mengakibatkan munculnya genangan di badan
jalan dll melalui pembangunan, peningkatan dan rehabilitas drainase, meliputi
perencanaan, penetapan kebijakan.
 Penetapan jaringan drainase yang meliputi jaringan drainase primer dan
sekunder yang di dasarkan atas besaran jumlah air hujan dan cathment area
daerah penangkapan air hujan
 Menguatkan fungsi dan peranan sungai-sungai dan saluran alam menjadi
sistem drainase utama dengan menjadikan sungai sebagai kawasan lindung.
 Sistem prasarana transportasi terpadu dengan sistem drainase buatan, dan
sistem drainase buatan ini menjadi bagian dari keseluruhan sistem drainase.
 Melakukan upaya-upaya penyelamatan saluran drainase dengan pengerukan
sungai, penertiban sempadan sungai, penetapan saluran drainase jalan sesuai
standar, pengaturan pembangunan yang berkaitan dengan saluran–saluran
drainase dan penegakan aturan pembangunan yang ketat.
 Melakukan upaya penyadaran penting drainase kota, termasuk disiplin
membuang sampah yang merusak sistem drainase.
 Sistem drainase dikembangkan terpadu dengan pengelolaan sumber air baku
yang mengarah pada pemanfaatan air permukaan menjadi sumber air baku
untuk kebutuhan air bersih dan juga sebagai persiapan membangun sistem
“zero waste”
d) Air Bersih
 Kampanye kesadaran untuk memanfaatkan air bersih sebaik mungkin dan
memanfaatkan air buangan maupun air permukaan sebagai sumber air baku,
demikian juga persiapan ke arah pengelolaan air dengan teknologi “zero
waste”

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 4


 Menguatkan pengelolaan air untuk berbagai kebutuhan dengan dilengkapi
perangkat hukum yang memadai.
 Pengembangan sumber-sumber air baku diarahkan untuk bekerja sama dengan
wilayah lain untuk sumber-sumber mata air, tetapi tidak ditekankan sebagai
sumber utama.
 Sumber mata air Gua Walet dipertahankan sebagai sumber air baku dengan
memberikan share pada penataan lingkungan dan perlindungan lingkungan,
memberi share pada desa setempat sebagai pendapatan desa sehingga desa
bisa menjaga sumber dayanya.
 Memanfaatkan air hujan semaksimal mungkin sebagai sumber air baku
dengan berbagai teknologi yang memungkinkan. Terutama mengarahkan
industri untuk memanfaatkan sumber air hujan untuk sebagian besar
kebutuhan air.
 Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang implemetatif lansung
untuk pemanfaatan air permukaan secara tepat guna.
 Mengatur penggunaan sumber air baku untuk kebutuhan air bersih berbagai
kegiatan sesuai dengan sifatnya.
 Pelayanan PDAM diprioritaskan untuk melayani kebutuhan air untuk
kebutuhan domestik dan kegiatan ekonomi potensial di wilayah yang tidak
memungkinkan menggunakan sumber lain.
 Penggunaan sumber air tanah dangkal untuk kebutuhan domestik diarahkan
dikelola secara kelompok agar penggunaan air bertanggung jawab dan
terkontrol.
 Kebutuhan air untuk kegiatan perdagangan dan jasa atau produktif diarahkan
untuk memakai sumber air tanah dalam secara berkelompok dengan pengelola
PDAM

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 5


 PDAM untuk melayani kebutuhan-kebutuhan air pelanggan disamping dengan
menggunakan sumber yang ada juga menggunakan berbagai sumber air secara
inovatif dengan teknologi yang tepat. Sumber air hujan, air permukaan, dan
air tanah dalam menjadi hal untuk dikelola oleh PDAM sebagai lembaga
pelayanan kebutuhan air bersih.
 Para pengguna air diarahkan untuk share dalam pemeliharaan lingkungan
konservasi air, dengan kesepakatan yang dituangkan pada peraturan.
 Kewajiban PDAM untuk menyediakan hidrant umum bagi kelompok
masyarakat berpendapatan rendah.
e) Sistem Energi
 Sistem jaringan listrik sistem dialihkan secara bertahap dengan teknologi
jaringan listrik di bawah tanah terpadu dengan jaringan telepon maupun
utilitas lain.
 Lahan yang berada di bawah jaringan listrik tegangan tinggi dimanfaatkan
untuk penggunaan yang efisien seperti ruang terbuka hijau dengan tanaman
pendek atau jaringan jalan. Dihindari untuk dimanfaatkan ruang permukiman
atau kegiatan manusia lainnya.
 Lokasi Gardu Induk dipadukan dengan ruang terbuka hijau dan memiliki
radius bebas bangunan minimal sepanjang 3 meter.
 SPBU dilokasi di jalan-jalan arteri sekunder dengan jumlah yang memadai.
Skala pelayanan SPBU diatur sesuai ketentuan selama ini.
 Pergudangan Gas Elpiji diatur sedemikian sehingga aman bagi warga jika
terjadi kecelakaan. Radius ruang terbuka dari bangunan gudang/penyimpanan
elpiji minimal 10 meter.
 Pelayanan elpiji dilakukan dengan diantar langsung kepada pembeli tidak
dilakukan dengan menjual di warung-warung atau toko-toko umum.
f) Sistem Telekomunikasi

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 6


 Sistem telekomunikasi dikembangkan dengan berbagai jenis telekomunikasi
dan berbagai teknologi untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat.
 Pengembangan komunikasi televisi dan radio lokal dengan teknologi
terjangkau untuk memenuhi komunikasi lokal antar warga.
 Komunikasi lokal dikembangkan untuk mendukung terpenuhinya kepuasan
masyarakat terhadap berbagai pelayanan.
 Komunikasi iklan diatur sedemikian sehingga berkembang keuntungan yang
adil antara pemasang iklan dengan pengelola kota sehingga pelayanan kota
menjadi semakin meningkat.
 Sistem jaringan telepon kabel diarahkan secara bertahap dari jaringan tiang di
atas tanah menjadi jaringan di bawah tanah terpadu dengan jaringan kabel
listrik dan lainnya.
 Tower atau sarana antene relay maupun pancar untuk berbagai jenis
telekomunikasi seperti telepon selullar, Televisi, Radio diatur dan disesuaikan
dengan tata ruang yang disepakati. Pada prinsipnya Tower tersebut harus
menempati lokasi geografis tinggi dan terbuka maka lokasi seperti Gunung
Geulis dan Kaki Gunung Manglayang disiapkan berbagai titik untuk tempat
Tower.
 Tower yang sudah ada secara bertahap untuk dipindahkan kemudian radius
tower diamankan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai tidak permanen seperti
permukiman atau kegiatan yang menyita waktu sepanjang hari.
 Pemenuhan kebutuhan dilakukan bertahap dengan perkiraan kebutuhan sesuai
perhitungan masing-masing lembaga pelayanan.
g) Transpotasi/Jaringan Jalan
 Memenuhi standar kualitas dan kuantitas jalan sesuai fungsinya, terutama
untuk yang berfungsi sebagai arteri primer.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 7


 Jalan kolektor dalam sistem primer membangun jalan baru sesuai dengan
standar untuk mengganti jalan lama yang berfungsi kolektor, sementara jalan
lama jika jalan baru sudah ada dialihkan fungsinya menjadi jalan berfungsi
lokal.
 Jalan yang berfungsi sebagai arteri primer, dikuatkan jalan yang ada sekarang
ditambah jalan tol yaitu Jalan Raya Jatinangor, Jalan Raya Rancaekek, dan
Rencana Jalan Tol Cileunyi – Dawuan.
 Jalan Lokal(dalam sistem primer) atau kolektor sekunder dikembangkan dari
jalan lama maupun membangun jalan baru yang menghubungkan antar pusat-
pusat lingkungan dan lingkungan ke jalan kolektor atau arteri sekunder.
2. Pembangunan sarana perdagangan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian
3. Pembangunan permukiman yang layak huni dan memenuhi kesejahteraan dan keadilan
III. Meningkatkan kebijakan insentif penanaman modal (investasi). Adapun strategi yang
dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya :
1. Meningkatkan akses dari dan ke kawasan perkotaan
2. Meningkatkan peran kelembagaan yang profesional dan mempermudah investasi dalam
dan luar negeri.
V. Percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun
strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pengembangan sistem prasarana
2. Strategi pengembangan kegiatan perekonomian
II. Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan pendidikan
tinggi. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pengembangan sistem jaringan aksesibilitas terpadu dengan berorientasi pada
kepentingan akademis dan masyarakat
2. Strategi pengembangan sistem sarana dan prasarana pelayanan yang mendukung
kebutuhan khusus civitas akademika

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 8


3. Strategi pemanfaatan kawasan perguruan tinggi dalam mendukung fungsi resapan air
dengan pemanfaatan ruang detailnya dominan kawasan ruang terbuka hijau .
4. Strategi pengembangan kegiatan ekonomi dan jasa penunjang terbatas berskala lokal
yang hanya melayani kampus
III. Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan industri. Adapun
strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pengembangan sistem prasarana yang mendukung kebutuhan industri
2. Strategi pembatasan pemanfaatan ruang kota sebagai kawasan industri yang tidak haus
terhadap kebutuhan air atau dapat menunjukkan teknologi baru untuk pengadaan air
yang tidak merusak cadangan air yang ada (missal mendaur ulang limbah)
3. Pengembangan industri berorientasi manufaktur dengan persyaratan khusus ramah
lingkungan.
4. Pemberian insentif kepada investor
IV. Peningkatan kapasitas manajemen pembangunan perkotaan. Adapun strategi yang
mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan
2. Pengembangan sistem prasarana
3. Pemanfaatan ruang kota
4. Pengembangan kawasan prioritas
IV. Membangun dan meningkatkan sistem transportasi darat yang memiliki interaksi
dalam aksesibilitas kegiatan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan tersebut
diantaranya adalah:
a. Pembangunan dan peningkatan jaringan jalan pada kawasan permukiman
b. Penambahan rute dan penambahan sarana angkutan barang
c. Pembangunan terminal sesuai dengan arahan pengembangan kawasan perkotaan
V. Pengembangan sektor andalan jasa-perdagangan, dan industri. Adapun strategi yang
mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 9


1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan
2. Strategi pengembangan sistem prasarana
VI. Pengendalian lingkungan hidup dan kelestarian hutan. Adapun strategi yang
mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pemanfaatan ruang kota
2. Strategi pengembangan kawasan prioritas
VII. Mewujudkan Kawasan Perkotaan Jatinangor sebagai pusat budaya iptek. Adapun
strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pengembangan dan peningkatan asset budaya dalam kerangka mendukung
Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda
2. Strategi peningkatan dan pelestarian nilai-nilai lama yang dapat dikembangkan
diimbangi dengan menggali nilai-nilai baru yang lebih inovatif
3. Strategi pemanfaatan iptek dalam mendukung pelestarian dan peningkatan budaya
yang telah berkembang di lingkungan kawasan perkotaan Jatinangor
VIII. Pengembangan perumahan, permukiman dan fasilitas penunjangnya. Adapun strategi
yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
1. Strategi pengembangan sistem prasarana
2. Strategi pemanfaatan ruang kota
3. Strategi pengembangan kawasan prioritas
IX. Pelibatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Adapun strategi yang
mendukung kebijakan ini diantaranya adalah :
1. Melibatkan masyarakat dalam tiap tahap pembangun kegiatan perkotaan
2. Memfasilitasi kegiatan perkotaan yang diadakan oleh masyarakat
3. Menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya kegotongroyongan dalam
kegiatan perkotaan
X. Revitalisasi Kota dan kawasan bersejarah. Adapun strategi yang mendukung kebijakan
ini diantaranya adalah:

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 10


1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan
2. Strategi pengembangan sistem prasarana
3. Strategi pemanfaatan ruang kota
4. Strategi pengembangan kawasan prioritas

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 11


CAKUPAN DESA/KELURAHAN
PUSAT-PUSAT DI KABUPATEN SUMEDANG

No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009

1. JATINANGOR 1. Cikeruh 7,543 6. RANCAKALONG 1. Nagarawangi 4,814 16. CISITU 1. Situmekar 3,294
(12 dari 12
Desa/Kel) 2. Hegarmanah 8,584 (5 dari 10 Desa/Kel) 2. Cibunar 3,134 (3 dari 10 Desa/Kel) 2. Linggajaya 3,814

3. Cibeusi 11,232 3. Rancakalong 4,493 3. Cisitu 2,437

4. Cipacing 13,764 4. Pangadegan 5,312 9,545

5. Sayang 7,359 5. Sukahayu 4,290 17. DARMARAJA 1. Darmajaya 3,549

6. Mekargalih 5,528 22,043 (9 dari 16 Desa/Kel) 2. Darmaraja 3,973

7. Cintamulya 6,288 7. SUMEDANG UTARA 1. Kotakaler 11,702 3. Sukaratu 2,960

8. Jatimukti 4,392 (13 dari 13 Desa/Kel) 2. Situ 15,549 4. Jatibungur 1,717

9. Cisempur 6,160 3. Talun 5,719 5. Neglasari 2,463

10. Jatiroke 5,514 4. Padasuka 3,637 6. Cieunteung 4,461

11. Cileles 4,877 5. Mulyasari 3,743 7. Tarunajaya 3,521

12. Cilayung 4,587 6. Girimukti 5,977 8. Cikeusi 2,421

85,828 7. Mekarjaya 5,586 9. Karangpakuan 3,624


Sindang
2. CIMANGGUNG 1. Pakuwon 7,934 8. Margamukti 4,664 28,689
(9 dari 11
Desa/Kel) 2. Cimanggung 9,947 9. Sirnamulya 4,415 18. CIBUGEL 1. Cibugel 3,185

3. Sindanggalih 9,055 10. Kebonjati 3,669 (2 dari 7 Desa/Kel) 2. Jayamekar 4,058

4. Cihanjuang 11,010 11. Jatihurip 8,239 7,243

5. Sukadana 5,643 12. Jatimulya 6,059 19. WADO 1. Wado 7,295

6. Swahdadap 6,136 13. Rancamulya 6,051 (4 dari 11 Desa/Kel) 2. Cikareo Utara 4,561
7. Mangunagra 6,274 85,010 3. Cikareo Selatan 4,545
SUMEDANG
8. Cikahuripan 7,633 8. SELATAN 1. Pasanggrahanbaru 12,414 4. Cisurat 3,987
(12 DARI 14
9. Pasirnanjung 6,538 Desa/Kel) 2. Kotakulon 11,352 20,388

70,170 3. Regol Wetan 8,266

3. PAMULIHAN 1. Ciptasari 5,463 4. Cipameungpeuk 5,828 20. JATINUNGGAL 1. Tarikolot 4,093


(7 dari 11
Desa/Kel) 2. Citali 4,414 5. Sukagalih 2,945 (3 dari 9 Desa/Kel) 2. Sarimekar 6,216

3. Pamulihan 7,898 6. Baginda 4,508 3. Sirnasari 4,534

4. Haurngombong 4,700 7. Gunasari 5,518 14,843

5. Cigendel 7,939 8. Sukajaya 6,501 21. JATIGEDE 1. Cijeunjing 2,481

6. Mekarbakti 5,599 9. Margamekar 3,873 (2 dari 12 Desa/Kel) 2. Kadujaya 1,618

7. Cilembu 4,294 10. Ciherang 6,601 4,099

40,307 11. Mekarrahayu 2,565 22. TOMO 1. Tomo 3,823

4. TANJUNGSARI 1. Tanjungsari 5,689 12. Margalaksana 4,585 (2 dari 9 Desa/Kel) 2. Tolengas 5,218
(9 dari 12
Desa/Kel) 2. Gudang 5,403 74,956 9,041

3. Jatisari 5,928 9. GANEAS 1. Ganeas 4,498 23. UJUNGJAYA 1. Ujungjaya 6,994

4. Gunungmanik 7,886 (1 dari 7 Desa/Kel) 4,498 (1 dari 9 Desa/Kel) 6,994

5. Margaluyu 5,045 8,996 24. CONGGEANG 1. Conggeang Wetan 2,160

6. Margajaya 8,549 10. CISARUA 1. Cisarua 4,905 (5 dari 12 Desa/Kel) 2. Conggeang Kulon 3,536

7. Cinanjung 9,127 (2 dari 7 Desa/Kel) 2. Kebon Kalapa 4,575 3. Narimbang 3,424

8. Raharja 6,216 9,480 4. Cibeureuyeuh 1,266

9. Kutamandiri 7,901 12. PASEH 1. Paseh Kidul 3,767 5. Cacaban 1,886

61,744 (4 dari 10 Desa/Kel) 2. Paseh Kaler 4,806 12,272


5. SUKASARI 1. Sukasari 5,781 3. Legok Kidul 3,871 25. BUAHDUA 1. Buahdua 3,737
(3 dari 7
Desa/Kel) 2. Sukarapih 6,511 4. Legok Kaler 4,594 (4 dari 14 Desa/Kel) 2. Panyindangan 1,934

3. Mekarsari 3,919 17,038 3. Nagrak 2,238

16,211 13. TANJUNGKERTA 1. Sukamantri 4,356 4. Cilangkap 3,009

11. CIMALAKA 1. Cimalaka 4,254 (1 dari 11 Desa/Kel) 4,356 10,918


(8 dari 14
Desa/Kel) 2. Licin 4,397 14. TANJUNGMEDAR 1. Jingkang 3,606 26. SURIAN 1. Surian 2,819

3. Serang 1,985 (1 dari 9 Desa/Kel) 3,606 (1 dari 8 Desa/Kel) 2,819

4. Galudra 3,094 15. SITURAJA 1. Situraja 3,472 Sumber: Hasil Rencana

5. Cimuja 2,460 (6 dari 14 Desa/Kel) 2. Situraja Utara 4,099

6. Mandalaherang 5,217 3. Malaka 2,642


Cibeureum
7. Kulon 3,840 # 4. Mekarmulya 2,981
Cibeureum
8. Wetan 4,019 5. Jatimekar 3,067

29,266 6. Cijati 2,832

19,093
LAPORAN AKHIR

STUDI KELAYAKAN
KAWASAN JATINANGOR SEBAGAI
KAWASAN PERKOTAAN

BAPPEDA
KABUPATEN SUMEDANG
2009
LAPORAN AKHIR
STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR
SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAN
BAPPEDA SUMEDANG 2009
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

1. B.F. Hoseliz. 1995. Generative and Parasitic cities, Economic Development and
Cultural Change, Vol 3. Pp. 276-94.
2. Kajian Puslitbang Permukiman. 2007. Studi mengenai Konflik Pembangunan
Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Departemen PU,
Bamdung
3. Kajian Puslitbang Permukiman. 2006. Pengembangan Lembaga Lokal dalam
Pembangunan Perumahan. Departemen PU, Bandung
4. Sadu Wasisitiono, Ismail N, dan M. Fahrurozi. 2009. Perkembangan Organisasi
Kecamatan Dari Masa ke Masa. Fokusmedia. Bandung
5. UNHCS. 1996. Indicators Programme : Monitoring Human Settlements Vol 1.
Introduction, Vol 2 Urban Indicators, Worksheet, Vol 3 Housing Indicators Worksheet.
6. Victoria de Villa and Matthew S.W. 2002. Urban Indicators for Managing Cities :
Cities Data Book Asian Development Bank.
http://www.adb.org/Documents/Books/Cities_Data_Book/default.asp. 12 Oktober
2009.
7. William Alonso and John Friedmann, eds. 1964. Regional Development and Planning:
A Reader. Cambridge: The M.I.T. Press.. Out of print. An Urban Affairs Library
Selection

II. Peraturan

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;


2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan
Perkotaan;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan
Kawasan Perkotaan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 1


Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten SumedangPeraturan
Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sumedang;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sumedang Tahun 2005-
2025;
6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumedang Tahun 2009-
2013.
7. Peraturan Menteri PU No. 494/PRT/M/2005 tentang kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Perkotaan (KNSP Kota)
8. Keputusan Menteri permukiman dan Prasarna Wilayah No 534/PRT/KPTS/M/2001
tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal pedoman Penentuan Standar Pelayanan
Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 2


LAMPIRAN

1. Pertumbuhan PDRB

2. Instrumen

3. Rekapitulasi Data (instrumen desa)

4. Penjaringan Aspirasi Masyarakat

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 0


Tingkat Perkembangan PDRB Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan

Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)
2008 117,006,008 11.34 62,275,724 4.37
2009 138,144,567 18.07 65,444,945 4.90
2010 158,994,004 15.09 68,828,839 4.95
2011 178,850,597 12.49 72,406,076 5.04
2012 199,127,727 11.34 76,011,095 5.05
2013 235,102,574 18.07 79,795,603 5.06
2014 270,585,376 15.09 83,768,539 5.07
2015 299947087.1 12.49 88,031,532 5.08

CIMANGGUNG
Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)
2008 102158942.3 11.12 54,857,134 4.82
2009 119,670,369 17.14 57,489,874 4.80
2010 137,516,203 14.91 60,309,989 4.91
2011 154,257,666 12.17 63,260,085 4.95
2012 171,412,361 11.12 66,354,487 4.82
2013 200,794,763 17.14 69,553,435 4.80
2014 230,738,265 14.91 72,891,490 4.91
2015 258,828,745 12.17 76,467,117 4.89

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 1


Proyeksi Struktur Ekonomi di Kecamatan Cimanggung sd Tahun 2015

No. Lapangan Usaha PDRB (Jutaan Rupiah)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 Pertanian 4,623,611 5,246,488 6,408,540 7,344,496 8,206,733 86,206,976 10,098,402 11,604,325 13,017,056 14,464,658 16,944,096 19,470,883 21,841,302
Pertambangan dan
2 Penggalian 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Industri Pengolahan 41,134,539 45,358,635 52,527,535 60,286,691 67,467,987 766,951,243 89,841,708 103,239,345 115,807,883 128,686,653 150,745,289 173,225,168 194,313,903
Listrik, Gas dan Air
4 bersih 1,138,839 1,375,037 1,639,698 1,955,269 2,395,605 21,233,591 2,487,332 2,858,255 3,206,224 3,562,782 4,173,491 4,795,862 5,379,719

5 Bangunan/Konstruksi 956,332 1,061,275 1,266,597 1,454,247 1,604,709 17,830,758 2,088,719 2,400,199 2,692,404 2,991,821 3,504,659 4,027,291 4,517,581
Perdagangan, Hotel, dan
6 Restoran 4,114,170 4,652,417 5,663,413 6,570,530 7,328,391 76,708,476 8,985,735 10,325,732 11,582,804 12,870,906 15,077,153 17,325,532 19,434,773
Pengangkutan dan
7 Komunikasi 388,984 438,067 599,436 710,133 799,686 7,252,586 849,578 976,271 1,095,124 1,216,910 1,425,505 1,638,084 1,837,507
Keuangan, Persewaan,
8 dan Jasa Persh. 1,034,368 1,175,527 1,347,078 1,493,291 1,663,460 19,285,735 2,259,157 2,596,054 2,912,102 3,235,951 3,790,637 4,355,915 4,886,212

9 Jasa-jasa 1,400,919 1,577,600 1,869,272 2,142,734 2,468,456 26,120,059 3,059,739 3,516,022 3,944,069 4,382,681 5,133,932 5,899,530 6,617,749

Total 54,791,762 60,885,046 71,321,569 81,957,391 91,935,027 102,158,942 119,670,369 137,516,203 154,257,666 171,412,361 200,794,763 230,738,265 258,828,745

Sumber : Hasil Analisis

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 2


INSTRUMEN

STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR


(KECAMATAN JATINANGOR DAN KECAMATAN CIMANGGUNG)
SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAAN

BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH


KABUPATEN SUMEDANG
Jl. Empang No 1
Sumedang-Jawa Barat 45311

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 3


BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH
KABUPATEN SUMEDANG

Kuesioner ini disusun untuk keperluan Pengkajian Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaaan Kuesioner ini
ditujukan kepada Kepala Desa atau perangkat desa yang ditugaskan. Pada pertanyaan/pernyataan yang disusun, Bapak/Ibu/Saudara
dapat mengisi sesuai dengan kondisi desa.

No. Uraian Tahun


2005 2006 2007 2008 2009
I. Aspek Penduduk
1. Jumlah Penduduk (jiwa) 4355 5490 5615 8158 9394
2. Luas desa (ha) 320.24 Ha
3. Penduduk yang bermigrasi
- Datang/masuk ke desa 5 3 10 15
- Keluar/pergi dari desa 1 1 1 13 23
II. Aspek Produktivitas
4. Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) 476 390 303 335 185
5. Jumlah Pengangguran (jiwa) 213 195 156 127 95
6. Jumlah penduduk
Usia 0-14 tahun 958 1262 1373 1653 1801
Usia > 55 tahun 827 1098 1125 1378 1719

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 4


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
III. Aspek Kesehatan dan Pendidikan
7. Tingkat Kematian Ibu (Jiwa) 6 17 11 8 9
8. Tingkat Kematian Bayi (Jiwa) 1 1 2 1 4
9. Angka Prevalensi Penyakit Diare (%) 1 2 2 1 4
10 Penyakit infeksi lainnya : (5 teratas yang
paling sering dialami penduduk desa)
1. ISPA……………………… 1 2
2. GONDOK………………………. 1 1 1 1
3. ……………………………….
4. ……………………………….
5. ……………………………….
11. Jumlah tenaga medis :
- Dokter
- Bidan desa 1 1 1 1 1
- Mantri
- Perawat 4 4 4 4 4
- Lain-lain
- …………………….
- ……………………..
- ……………………..
12. Rata-rata usia harapan hidup warga (tahun)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 5


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
13. Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit)
- Puskesmas …………….. unit; Cakupan daerah yang dilayani ………… RT/RW
- Pustu ………………….. unit; Cakupan daerh yang dilayani ……………..RT/RW
- Polindes/Puskesdes 1.. unit; Cakupan daerh yang dilayani 33/9……..RT/RW termasuk desa tetangga
- Lain-lain sebutkan :
- …………………………………..
- ………………………………….
14. Ketersediaan Apotek/Toko Obat …………………(unit)
15. Penduduk yang tidak Melek Huruf /Buta 50 50 35 32 28
huruf (jiwa)
16. Tingkat Pendidikan Masyarakat :
- Tidak/ Belum pernah sekolah 63 58 50 47 40
- Tidak/ Belum Tamat SD 325 310 290 225 273
- SD/MI/Paket A
1570 1640 1657 1686 1686
- SLTP/MTs/Paket B
1360 1368 1392 1507 1507
- SLTA/MA /Paket C
- Akademi/ Diploma 1150 1100 1031 950 950
- Universitas 73 85 91 96 111
- Lain-lain ....................... 8 10 16 20 20

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 6


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
17. Ketersediaan Fasilitas Pendidikan Dasar (perkembangan dari tahun 2005 sd. Tahun 2009)
- TK/RA
- SD
- MI
- Lain-lain (non formal)
- ……………………….
- ……………………….
18. Ketersedian Fasilitas Pendidikan Menengah (perkembangan jumlahnya dari tahun 2005 sd. Tahun 2009)
- MTs
- SMP
- SMU/SMK
- Lain-lain (non formal)
- ………………………….
- ………………………….
IV. Aspek Pemukiman dan Lingkungan
19. Jumlah Pemukiman kumuh (unit)
20. Luas pemukiman kumuh (ha)
21. Ruang terbuka hijau (ha)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 7


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
22. Tingkat pulusi/pencemaran (beri tanda  sesuai kondisi desa)
 Ada/tinggi, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….
 Ada/sedang, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….
 Ada/rendah sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….
 Tidak ada, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….

23. Jumlah kejadian kebakaran (… kali/tahun)


24. Tindak kejahatan yang pernah terjadi di desa (sebutkan banyak kejadian pada setiap jenis dari tahun 2005 jika memungkinkan) :
Jenis kejahatan/kriminal yang terjadi :
1. ………………………………….
2. …………………………………..
3. …………………………………..
4. …………………………………..
5. ……………………………………
6. …………………………………..
7. …………………………………..
8. …………………………………..

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 8


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
V. Aspek Ekonomi
25. Mata pencaharian penduduk :
- PNS
- TNI
- Polri
- Swasta
- Petani
- Pedagang
- Buruh
- …………………
- …………………

26. Ketersediaan sarana penunjang perekonomian (jumlah yang ada di desa)


- Hotel
- Restoran
- Pasar
- Terminal
- Pertokoan
- Depot air isi ulang
- Bioskop

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 9


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
- Bank
- Jasa Boga
- Tempat wisata
- Kolam renang
VI. Aspek Budaya
27. Potensi Fisik
Bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah (jika ada sebutkan)
1. ………………………………………
2. ……………………………………….
3. ……………………………………….
4. ……………………………………….

28. Potensi Non Fisik


Peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budy, ritual, adat dan kebiasaan (jika ada sebutkan):
1. ………………………………………
2. ……………………………………….
3. ……………………………………….
4. ……………………………………….
5. ……………………………………….
6. ……………………………………….

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 10


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
30. Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)
1. ………………………………………
2. ……………………………………….
3. ……………………………………….

VII. Aspek Spasial


31. Pemanfaatan Lahan (ha)
- Perumahan/permukiman
- Pertanian
- Perkantoran
- Perdagangan dan jasa
- Industri
- Fasilitas umum dan fasilitas sosial
- Perguruan Tinggi
- Ruang campuran
- Kawasan lindung
32. Ketersediaan ruang publik (m2)
- Lapangan olah raga
- Taman bermain
- Taman Kota
- Jalur hijau

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 11


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
VIII. Prasarana
33. Sektor Air Bersih
a. Sumber Air (sebutkan darimana saja air bersih diperoleh warga desa ) :…………………
b. Kualitas Air : ……………………………………………………………………………..
c. Kebocoran Air : …………………………………………………………………………..
d. Pelayanan : ……………………………………………………………………………….
 Cakupan Pelayanan :
 Cakupan Pelanggan :
 Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik) :
 Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) :
 Tingkat penggunaan air :
e. Tarif Air :
34. Sektor Transportasi
a. Panjang Jalan Utama ………………………. Lebar jalan …………………m
b. Panjang Jalan Lingkungan………………….. Lebar jalan …………………m
c. Panjang jalan setapak : ………………………. Lebar jalan …………………m
c. Kondisi Jalan :
d. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh);
e. Angkutan Kota/desa (yang melalui desa) :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 12


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
35. Listrik dan Telpon
- Rumah tangga yang telah memiliki sambungan dengan jaringan listrik PLN :
- Rumah tangga yang telah memiliki sambungan telpon :
36. Sanitasi (pilih sesuai kondisi desa)
a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) oleh desa
b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) oleh kecamatan atau dinas kebersihan
c. Lain-lain sebutkan ……………………………………..
37. Persampahan
a. Pengumpulan :……………………….
b. Pengangkutan : ……………………..
c. Kapasitas Pembuangan : ……………………
d. Metoda Pembuangan :
e. Kepemilikan lahan TPS (Tempat Pembuangan sementara) :
f. Kepemilikan Lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) :
f. Pelayanan, meliputi :
 Cakupan Pelayanan :
 Retribusi Sampah :
 Kerjasama dengan Masyarakat :

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 13


No. Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
37. Drainase (saluran pembuangan)
- Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan utama :……………….….. m, lebar…………..m
- Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan lingkungan :…………………….m, lebar …………m
- Panjang saluran alam (jika ada) …………… m, lebar………………. m
- Sungai yang terdapat di (melalui) desa sungai :………………… Panjang …………….m, Lebar ……………….m
- Ketinggian air sungai dari permukaan : …………………….cm
- Lama air tergenang di lingkungan desa jika hujan (pada permukaan jalan atau lainnya):
- Ketinggian air tergenang : ………………… cm
- Frekuensi air tergenang dalam 1 tahun : …………………..
- Upaya pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran air yang dilakukan desa/masyarakat :
- …………………………………….
- ……………………………………..
- ……………………………………..

Desa ……………………….

Kepala Desa

(…………………………….)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 14


Tabel.

Tahun/Jiwa
No Desa 2005 2006 2007 2008 2009
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 28 17 27 16 26 15 24 15 14 24
2 Sayang 43 31 22 39 25 39 65 63 95 51
3 Mekargalih 4 9 1 2
4 Cintamulya 5 1 0 1 3 1 10 13 15 23
5 Cisempur 14 9 8 14
6 Jatimukti 21 5 18 13 34 8 26 14 33 20
7 Jatiroke 2 4 3 4 5 6 6 10 8 12
8 Hegarmanah 30 90 30 59 41 106 126 133 113 139
9 Cikeruh 17 48 23 36 21 72 45 99 65 114
10 Cibeusi 10 15 10 17
11 Cileleus - - - - - - - - - -
12 Cilayung 3 1 3 2 2 - 5 5 6
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 8 40 6 16 2 10 8 26 6 21
2 Sawahdadap
3 Sukadana 18 11 29 5 42 6 41 2 58 9
4 Cihanjuang - - - - - - - - - 10
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih - - 250 9 356 7 214 10 287 15

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 15


Tabel. Sebaran Penduduk

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Jumlah Pengangguran (jiwa) Jumlah penduduk usia ketergantungan (jiwa)
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
Kecamatan Jatinangor
1 Cipacing 3192 3335 3464 3608 3758 793 831 866 92 940 3784 3941 4105 4276 4454
2 Sayang 780 945 1033 1360 1360 309 404 410 417 428 1161 1260 1573 1741 1966
3 Mekargalih 1388 1388 520 611 722 6325
4 Cintamulya 476 390 303 335 185 213 195 156 127 95 1785 2360 2498 3031 3520
5 Cisempur 686 1967 2380
6 Jatimukti 2434 2538 2557 2569 1343 4255 4347 4436 4548 4630
7 Jatiroke 1627 1627 1627 1627 1627 1657 1459 1460 1465 1567 1105 1112 1122 1153 1265
8 Hegarmanah 1802 1922 2047 2216 2216 3390 3571 3713 3953 4113
9 Cikeruh 1149 1149 1149 1149 1149 2751 2979 2973 3152 3276 -
10 Cibeusi 2016 - -
11 Cileleus 1455 1455 505 1224 1237 -
12 Cilayung 2272 2272 683 1317
Kecamatan Cimanggung
1 Mangunarga 326 359 486 421 386 296 328 342 252 192 3294 3623 4252 4426 4638
2 Sawahdadap
3 Sukadana 116 116 218 262 318 621 569 982 582 1039 1229 1497 1188 1344 1435
4 Cihanjuang - - - 1515 1515 - - - - - - - - 2043 2051
5 Sindangpakuon
6 Sidanggalih 871 800 757 575 575 - - - - - 5516 5527 5688 5718 5843

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 16


Tabel

Tingkat kematian ibu Tingkat kematian Bayi Angka Prevalensi Penyakit Diare
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - - - - - - - 2 1 3 - - - - -
2 Sayang 2 2 1 3 2 4 3 4 1 3 - - - - -
3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -
4 Cintamulya 6 17 11 - 9 1 1 2 1 4 1 2 2 1 4
5 Cisempur - - - 1 5 - - - 1 1 5% 10% 7% 5% 15%
6 Jatimukti - 1 - - - 1 1 - - 1
7 Jatiroke 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30%
8 Hegarmanah 21 23 26 16 12 1 1 2 - - 20 (%?) 18 15 16 12
9 Cikeruh - - - - - - 1 2 2 4 2.5 1.5 0.5 0.5 0.5
10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -
11 Cileleus - - - - - - - - 1 - - - - - -
12 Cilayung - - - - - - - - 2 2 - - - - -
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 18 15 14 12 10 4 5 3 3 3 20% 20% 10% 10% 10%
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - 1 - - - 2 - - - - - - -
4 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih - - - - - - - - - - - - - - -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 17


Tabel.

Penyakit infeksi paling sering diderita


No Desa Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - - - - -
2 Sayang Demam berdarah, penyakit kulit, diare, paru-paru dan demam
3 Mekargalih - - - - -
4 Cintamulya ISPA (0), Gondok (1) (0; 1) (1: 1) (0:0) (2:1)
5 Cisempur iSPA, MAAG, Diare, Kulit dan rematik - - -
6 Jatimukti ISPA
7 Jatiroke Diare, muntaber, tipus, malaria dan paru2
8 Hegarmanah Demam(15) 21 18 17 14
9 Cikeruh ISPA dan TBC
10 Cibeusi - - - - -
11 Cileleus - - - - -
12 Cilayung Inluensa, ISPA, Diare, TB dan Variecella
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga Jantung, Lever, Paru-paru, Stroke, Diabetes
2 Sawahdadap
3 Sukadana Jantung, Struk,Darah Tinggi
4 Cihanjuang ISPA, Gatal,Diare - - - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih - - - - -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 18


Tabel ……

Jumlah Tenaga Medis


No Desa Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing dokter(1), bidan(2), mantri(2), Perawat(6) (1,2,2,2) (1,2,2,3) (2,3,2,4) (2,4,2,6)
2 Sayang dokter(1), bidan(2), mantri(1), Perawat(3), refleksi(1), paraji(1) (2,2,1,2,4,1) (4,2,1,3,4,1) (4,3,1,4,4,1) (4,3,1,2,6,4,1)
3 Mekargalih dokter(0), bidan(0), mantri (0) (0,1,0) (4,1,1) (4,1,1) (4,1,1)
4 Cintamulya Bidan (1), Perawat (4) (1; 4) (1; 4) (1; 4) (1; 4)
5 Cisempur dokter (0), Bidan(0), Mantri(0), Perawat(0) (1,1,1,1)
6 Jatimukti Bidan desa (1) 1 1 1 1
7 Jatiroke bidan desa (1) 1 1 1
8 Hegarmanah dokter(4), Bidan(1), mantri(1), perawatan (5), paraji (2) (4,1,1,7,2) (4,1,1,9,2) (4,1,1,12,2) (4,1,1,12,2)
9 Cikeruh dokter (1), Bidan(1), Mantri(1) (1; 1; 1) (2;1;1) (2;1;1) (3;1;1)
10 Cibeusi dokter(0), bidan(0), mantri (0), perawat(0) (2,1,1,8)
11 Cileleus Bidan desa (0), mantri (0) (1,1)
12 Cilayung Bidan desa (1) 1 1 1 1
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga dokter (1), Bidan Desa (1), Mantri (0), Perawat (0), Dukun Terlatih (1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1)
2 Sawahdadap
3 Sukadana Bidan Desa (1) 1 1 1 1
4 Cihanjuang Bidan Desa (1).Mantri (1), Perawat (3) (1,1,3) (1,1,3) (1,1,3) (1,1,3)
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih Bidan Desa,Mantri, Perawat, Dukun Bayi(Paraji), (2,5,2,2) (2,5,2,3) (2,5,3,3) (2,5,4,3) 2,5,4,3)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 19


Tabel …..

Ketersediaan Fasilitas Puskesmas


No Desa Apotik
Puskesmas Pustu Polindes/Puskedes cakupannya lain-lain
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - 1 1 68/18 RT/RW -
2 Sayang - - 1 53/13 RT/RW klinik 24 jam 3
3 Mekargalih - - - klinik 24 jam 4 bh 2
4 Cintamulya 1 33 /9 RT/RW -
5 Cisempur - 1 - 31/10 -
6 Jatimukti - - 1 26/7 RT/RW 3
7 Jatiroke - - - 30 RT/5 RW -
8 Hegarmanah 1 - 53/14 RT/RW klinik Arrohmad 1
9 Cikeruh - - - - -
10 Cibeusi - - 1 53 RT - 2
11 Cileleus - 1 - 35/9 RT/RW - -
12 Cilayung - - 1 -
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga - - 1 9/RW Balai pengobatan/Poliklinik (3), Tempat Dokter Praktek (1) 1
2 Sawahdadap - - - - -
3 Sukadana - - 1 28/8 Rt/Rw pos yandu -
4 Cihanjuang - - 1 49/15 Rt/Rw - -
5 Sindangpakuon - - - - -
6 Sindanggalih 1 1 1 68/15 RT/RW Tempat Bersalin (3unit) 5

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 20


Tabel ……

Penduduk Tingkat Pendidikan masyarakat


No Desa
Buta Huruf Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD/MI/PKT A SLTP/MTs/PKT B SLTA/MA/PKT C Akdi/diploma Univer Lain2
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - - 960 1625 1105 2417 465 487
2 Sayang - - 1355 1345 2215 1330 1555
3 Mekargalih - - - 1684 1352 1256 249 -
4 Cintamulya 28 40 273 1686 1507 950 111 20
5 Cisempur - 652 124 703 508 349 44 - -
6 Jatimukti 53 141 98 895 899 130 25 21
7 Jatiroke - - 78 198 69 11 6 - -
8 Hegarmanah 149 395 342 488 348 226 425 455
9 Cikeruh 13 6593 2037 2953 2119 237 127
10 Cibeusi - 7 634 996 1998 5272 517 751
11 Cileleus - 380 73 493 872 676 37 88 -
12 Cilayung - 526 1870 1523 576 174 90 41
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 30 778 996 1290 1392 1362 98 72
2 Sawahdadap
3 Sukadana 102 284 532 706 800 32 11 - -
4 Cihanjuang 1487 2440 4451 131 - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih 69 297 208 15 12 15 27 - -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 21


Tabel …………

Fasilitas Pendidikan Dasar Fasilitas Pendidikan Menengah


No Desa
TK/RA SD MI Lain2 SMP MTs SMU/SMK Lain-lain
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 4 5 - 1 - 1 -
2 Sayang 12 4 7 Paud (3) - 1 1 kur jahit (2), kur komp (3)
3 Mekargalih 3 1 3 - - - -
4 Cintamulya 3 2 1
5 Cisempur 1 2 6 1 - -
6 Jatimukti - 2 - MDA (5) - - -
7 Jatiroke 3 2 - - 1 - 1 -
8 Hegarmanah 2 4 - 2 1 2
9 Cikeruh 3 4 2 - - 1
10 Cibeusi 3 1 1 paud(2) 2 1 1 Paket C (1)
11 Cileleus 1 1 1 - - 1 1 Pesantren (2)
12 Cilayung 2 1 2 Paud (1) 1 - -
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 2 2 Pend.Keagamaan (7) - - - -
2 Sawahdadap -
3 Sukadana 1 2 - - - - -
4 Cihanjuang 7 5 - - - 1 2 -
5 Sindangpakuon -
6 Sindanggalih 3 3 7 TPA(6) Paud(2) 2 7 2 -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 22


Tabel ……

Jumlah pemukiman kumuh (unit) Luas Pemukiman kumuh (ha) Ruang Terbuka Hijau (ha)
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 70 70 64 60 54 20 187 16 15 15 30 30 27 27 27
42
2 Sayang 120 - - -
65 10000m2 900m2 700m2 600m2 0.25 46 ha ha 30 ha 33 ha 28
3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -
4 Cintamulya - - - - - - - - - - - - - - -
5 Cisempur 44 0.2324 - - - - -
6 Jatimukti 873 975 979 981 987 40 40 40 40 40 - - - - -
7 Jatiroke 1294 186 - - - - -
8 Hegarmanah 94 90 86 84 82 0.329 0.315 0.301 0.294 0.287 35 35 35 35 35
9 Cikeruh - - - - - - - - - - - - - - -
10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -
11 Cileleus - - - - 1417 - - - - 60 20
12 Cilayung - - - - - - - - - - 280 271 268 265 263
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 61 75 58 55 43 1640m2 1,6 ha 800m2 600m2 200m2 1,57 ha 3 ha 2.5 ha 2,5 ha 2.5
2 Sawahdadap
3 Sukadana 28 14 12 9 6 1 1 500m2 200m2 200m2 15 15 15 15 15
4 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih 35 30 30 31 30 - - - - - 10 12 12 12 12

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 23


Tabel ……

Jumlah kejadian kebakaran (kali/tahun)


Tingkat Polusi/Pencemaran
No Desa Tahun
Tinggi/Jenis Sedang/Jenis Rendah/Jenis 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - - - - - - - -
kendaraan
2 Sayang pencemaran lingk pabrik polusi udara - 1 2 - -
3 Mekargalih asap batu bara - - - - - - -
4 Cintamulya asap industri serapan limbah industri - - - - -
5 Cisempur polusi udara - - - - -
6 Jatimukti - - - - -
7 Jatiroke - - - - - - - -
8 Hegarmanah Asap kendaraan
9 Cikeruh Kotoran ternak sapi sampah dan asap kendaraan - - - - -
10 Cibeusi - - - - - - - -
11 Cileleus - - - - - - - -
12 Cilayung - - - - 1 - - -
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga - - polusi udara hasil pembakaran batu bara - - - - -
2 Sawahdadap - - - - -
3 Sukadana Debu dari perusahaan - - - - - 2 1
4 Cihanjuang - - - - - - - -
5 Sindangpakuon - - - - -
6 Sindanggalih - - - - - - - -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 24


Tindak Kejahatan yang Pernah Terjadi
No Desa Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1. Cipacing Curanmor - - - -
curanmor(3), pencurian di rumah (3), asusila(1), bunuh diri(0),
2. Sayang (5,0,2,0,2,1,2,1) (8,0,3,0,3,1,1,4) (6,0,5,1,4,2,2,3) (9,2,4,1,4,1,2,2)
narkoba(3), perjudian(1), perkelahian(1), penipuan(1)
3. Mekargalih Pencurian 1 1
Curanmor (8),
4. Cintamulya -
pencurian HP (12)
5. Cisempur -
6. Jatimukti Pencri(6), Pembnhn(), penipuan(6) (7,0,4) (7,0,5) (8,0,5) (10,1,6)
7. Jatiroke Pencurian motor (4) Penc mobil
curanmor, pencurian hewan ternak, pencurian tabung gas,
8. Hegarmanah
penipuan dan pencopetan
9. Cikeruh Pembongakaran (1), curanmor (0) (1,0) (0,1) (0,2) (9,2)
10. Cibeusi curanmor 5
11. Cileleus -
12. Cilayung Pencurian ternak (1) 1 1 1 1
KECAMATAN CIMANGGUNG
1. Mangunarga Curanmor 4 3 3 2
2. Sawahdadap
3. Sukadana Pencurian, Perkelahian Pemuda (2,1 ) (3,0) (2,2) (1,0) (2,1)
4. Cihanjuang - - - - -
5. Sindangpakuon
6. Sindanggalih - - - - -

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 25


Tabel……

Mata Pencaharian Penduduk


No Desa PNS TNI POLRI Swasta Petani

2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 253 259 270 160 185 210 45 49 54 1454 1620 1810 126 119 110
2 Sayang 87 99 103 105 105 20 21 24 26 26 30 34 37 39 48 693 703 715 719 723 97 99 100 103 105
3 Mekargalih 59 4 10 881 10
4 Cintamulya 21 26 30 35 35 15 15 15 18 20 12 12 12 12 14 2015 2095 3156 3262 3780 115 98 75 75 75
5 Cisempur 56 67 6 6 10 10 464 524 54 50
6 Jatimukti 30 32 35 37 39 9 10 11 12 15 470 471 473 475 480 481 485 488 490 493
7 Jatiroke 130 130 130 130 130 4 5 7 7 7 5 5 5 6 6 18 18 18 18 18 160 165 175 180 185
8 Hegarmanah 745 758 767 787 791 15 18 25 31 31 12 12 14 16 16 721 741 734 738 731
9 Cikeruh 157 159 171 166 166 97 101 103 107 112 438 441 413 427 438 217 235 248 255 258
10 Cibeusi 2600 2600 4 5 412 412 94 94
11 Cileleus 50 3 4 400 441
12 Cilayung 47 - 1 375 830
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 63 66 73 85 90 22 23 45 49 55 - - - - - 1147 1539 1861 2000 2600 66 69 75 81 95
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - - - - 7 7 9 11 84 2 3 6 7 19 - 1 4 6 11 421 514 617 781 788
4 Cihanjuang - - - 75 75 27 27 15 15 3950 3950 1334 1334
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalig 10 13 13 13 21 4 4 5 6 8 2 2 2 3 3 351 395 459 734 765

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 26


Tabel ……

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK


No Desa PNS Pedagang Buruh Dokter Pensiunan

2005 2006 2007 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 253 595 605 625 1600 1625 1785
2 Sayang 87 99 103 390 399 419 422 427 330 419 427 430 438 3 3 3 3 3 73 76 79 84 87
3 Mekargalih 193 336
4 Cintamulya 21 26 30 455 497 504 625 715 97 78 50 50 50
5 Cisempur 206 231 78 78
6 Jatimukti 48 49 51 54 58 310 313 315 317 321
7 Jatiroke 130 130 130 405 405 405 410 410 405 405 405 410 410 - - - - - - - - - -
8 Hegarmanah 79 76 68 63 51 1375 1381 1437 1438 1451
9 Cikeruh 233 246 265 287 323 118 123 127 127 131
10 Cibeusi 153 153 63 63
11 Cileleus 200 408 - -
12 Cilayung 550 1800
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 63 66 73 654 687 725 980 1085 606 636 676 710 740
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - - 102 241 202 303 109 71 88 98 103 109 - - - - - - - - - -
4 Cihanjuang - - - 109 109 2817 2817
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalig 451 462 527 567 750 1233 1252 1301 1323 1379

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 27


NOTULENSI
DISKUSI PUBLIK RENCANA STUDI KELAYAKAN
KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR

Jatinangor, 13 Oktober 2009

 Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan terlebih dahulu disampaikan
Laporan Panitia Pengelenggara, Sambutan Camat Jatinangor, Sambutan dari
Ketua DPRD Kabupaten Sumedang, dan penyampaian sepintas pandangan
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumedang terkait Studi Kelayakan Kawasan
Perkotaan Jatinangor dan Sambutan Bupati Sumedang.
 Pelaksanaan diskusi publik dipandu oleh Drs. Herman Suryatman, M.Si.
(Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Bappeda Kab. Sumedang).
 Sekilas Pandang dari Perwakilan Masyarakat Jatinangor yang disampaikan
oleh Bapak Warson (Kepala Desa Jatinangor).
 Jatinangor adalah penyumbang PAD terbesar bagi Kabupaten Sumedang.
 Segenap komponen pemerintahan desa akan mendukung upaya yang
dilakukan pemerintah terhadap Jatinangor selama 2 tujuan utamanya dapat
diperjuangkan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Pubik dan Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat.

SESI TANYA JAWAB:


 Bp. Dudi Supriadi: Politicall Will pemerintah sudah ada, tinggal Politicall
Action;
 Kalau melihat Tata Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor bukan merupakan
kawasan perkotaan.
 Jatinangor merupaka PKL Perdesaan.
 Perencanaan di Jatinangor sangat kacau.
 Bapak Odang (Tokoh Masyarakat Cipacing): Masalah pemeliharaan
kesehatan lingkungan, sampah (limbah) dan air bersih agar lebih
diperhatikan dalam studi ini.
 Masalah keamanan juga harus dipersiapkan sedini mungkin.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 28


 Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kedepan agar dikembangkan
desa wisata budaya di Jatinangor.
 Atep Somantri : esensi diskusi publik pada kesempatan hari ini pada
dasarnya belum sampai kepada kesimpulan. Kawasan Jatinangor kami
pandang layak menjadi kawasan perkotaan.
 Bapak Endin: Pelayanan pemerintah kepada masyarakat Jatinangor sangat
minim. Padahal Jatinangor merupakan penyumbang PAD terbesar. Yang
diperlukan saat ini adalah bukti nyata itikad Pemerintah Kabupaten Sumedang
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Jatinangor.
 Dede Rohanda (Cintamulya): program saat ini terkesan dipaksakan karena
mengantisipasi berbagai isu yang terkait dengan Jatinangor.
 Konsistensi dari agenda yang dilaksanakan pada hari ini bagaimana.
 Tatang (LPM Hegarmanah) : secara nomen klatur saat ini di Jatinangor masih
desa belum kelurahan, tapi pada dasarnya kami mendukung pengembangan
Jatinangor menjadi kawasan perkotaan.
 Bapak Aoh (Kabag Tapem): Kawasan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan
merupakan desakan kehendak masyarakat. Semangat ini murni merupakan
usulan dari masyarakat (Buttom Up).
 Perlu ada dukungan politik dari semua pihak, sehingga semangat
pembentukan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan tidak dikecilkan.
 Bapak Edi Askari (DPRD): segenap stakeholder harus dilibatkan. Output dari
kegiatan ini diharapkan memunculkan beberapa rekomendasi bagi
Pemerintah daerah untuk pengembilan kebijakan selanjutnya. Sekiranya hasil
studi menyatakan Jatinangor layak menjadi kawasan perkotaan, karakteristik
seperti apa yang tepat bagi Jatinangor.
 Bapak Ismet : Apakah peserta diskusi publik sudah terwakili pada acara ini
sehingga segenap komponen masyarakat memahami.
 Hendrik Kurniawan (DPRD): Pada dasarnya masyarakat tidak peduli dengan
bentuk pemerintahan/pengelolaan kawasan yang seperti apa, tapi yang
penting adalah bagaimana kualitas pelayanan kepada masyarakat
ditingkatkan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
 Semangat mewujudkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan jangan
melenceng dari 2 esensi utama yang telah disebutkan diatas.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 29


TANGGAPAN NARASUMBER
 Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang: Menurut pola ruang pada Tata
Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor merupakan Kawasan Strategis.
 Pada akhirnya seandainya Jatinagor dinyatakan layak menjadi kawasan
perkotaan, selanjutnya pasti akan ditetapkan dan diatur melalui peraturan
Daerah, tapi terlebih dahulu harus ada studi kelayakan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
 Kegiatan yang dilaksanakan pada hari ini bukan merupakan program yang
muncul tiba-tiba, tapi merupakan rangkaian dari upaya perjuangan
masyarakat Jatinangor pada waktu-waktu sebelumnya.
 Komitmen yang dibuat pemerintah harus dibarengi dengan kesiapan
masyarakat.
 Prof. Sadu: Tidak seluruh wilayah Jatinagor masuk kedalam kawasan
perkotaan, dan tidak semua kawasan wilayah Cimanggung masuk kedalam
kawasan perkotaan.
 Pertemuan ini baru pada tahapan mengeksplorasi berbagai masukan dari
segenap komponen masyarakat, sedangkan pembentukan badan pengelola
kawasan perkotaan merupakan tahapan selanjutnya setelah mengkaji dan
menganalisa data yang ada dikaitkan dengan berbagai alternatif solusi yang
dimunculkan.
 Untuk menuju daerah otonom masih jauh, sekarang bagaimana caranya
kawasan perkotaan ini dapat dimanaj lebih optimal.
 Konsep kawasan perkotaan jatinangor akan menjadi percontohan kebijakan
nasional.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 30


NOTULENSI
MUSYAWARAH PERENCANAAN
KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR
Jatinangor, 14 Desember 2009

 Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dibuka langsung oleh Bapak Wakil Bupati
Sumedang.
 Acara dihadiri oleh Anggota DPRD Kabupaten Sumedang terutama dari Dapil
I, Pimpinan OPD se Kabupaten Sumedang, tokoh masyarakat, tokoh prmuda
dan organisasi masyarakat di Jatinangor
 LaPORAN paNITIA DISAMPAIKAN OLEH Kabid Pemsos Bappeda Kabupaten
Sumedang
 Sambutan dari DPRD Kabupaten Sumedang disampaikan oleh Bapak Otong
Dartum (Anggota DPRD dari Dapil I): DPRD Kabupaten Sumedang siap
mendukung tindak lanjut musyawarah perencanaan Kawasan Perkotaan
Jatinangor dari sisi politik.
 Sambutan Bupati Sumedang disampaikan oleh Bapak Wakil Bupati Sumedang

SESI PAPARAN NARASUMBER:


 Paparan pertama disampaikan oleh Prof.Dr. Sadu Wasistiono terkait hasil studi
yang telah dilaksanakan terkait Kawasan Perkotaan Jatinangor.
 Paparan kedua disampaikan oleh Ir. Ober Tua Butarbutar
 Paparan ketiga disampaikan oleh Bapak H. Idam Rahmat (Kepala Bidang
Pemerintahan Bappeda Provinsi Jawa Barat)
 Kawasan Jatingangor dilihat dari tata ruang provinsi Jawa Barat merupakan
kawasan spesifik, sehingga dalam perkembangannya harus memperlihatkan
ciri-ciri spesifik sebagaimana dimaksud.
 Rencana pengaktifan jalur kereta apai akan turut mempengaruhi
perkembangan kawasan Jatinangor.
 Pengembangan daerah di jawa akan lebih relefan diterapkan konsep
pengembangan fungsional daripada pengembangan administratif.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 31


SESI DISKUSI:
 D. Rahmat (tokoh masyarakat): Usulan Namanya tetap jatinangor hanya
ditambahkan  Kota Mandiri Jatinangor
 Jatinangor diharapkan jadi tujuan objek wisata berbasis budaya lokal
 Bapak Ismet Suparmat: Jatinangor menjadi korban produk perundang-
undangan yang ada.
 Hari ini merupakan hari yang ditunggu2 masyarakat Jatinangor karena akan
menentukan langkah kedepan.
 Ingin adanya konsistensi perencanaan
 Berkenaan dengan alternatif : nama kawasan perkotaan jatinangor, lingkup
cukup 2 kecamatan dulu.
 Peran provinsi Jabar merlu lebih proaktif dalam mendorong pembentukan
kawasan perkotaan Jatinangor.
 LPM Desa Hegarmanah: ada ketidak konsistenan dari pihak pemerintah
 Perlu ada koordinasi lontas sektor
 Perlu ada berbagai upaya antisipasi terkait rencana pengembangan kawasan
Jatinangor.
 Kadarrohim (Desa Sayang): Harus ada kejelasan kapan target minimal
kawasan Jatinangor dapat terwujud.
 Rencana kedepan, mungkinkah Jatinangor jadi daerah otonom baru?
 Bapak Saepudin (DPRD Kab. Sumedang): perjalanan Jatinangor selama ini
sangat memperihatinkan bagi masyarakat Jatinangor, sehingga muncul
berbagai isu daerah otonom.
 Tujuannya bagaimana kesejahteraan masyarakat Jatinangor dapat
ditingkatkan, infrastruktur harus ditingkatkan.
 Etos kerja harus ditingkatkan.
 Sebagian masyarakat Jatinangor masih mengelola pertanian.
 Masalah lingkungan harus menjadi perhatian .
 Masalah tenaga kerja hendaknya juga dapat ditanggulangi dengan adanya
konsep pengembangan kawasan perkotaan.
 Komitmen dunia usaha harus difasilitasi pemerintah dalam upaya turut
mengembangkan kawasan perkotaan Jatinangor.
 DPRD siap memfasilitasi pembentukan PERDA terkait pengembangan
kawasan Perkotaan Jatinangor.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 32
 Tim Ahli: dari sisi tata ruang konsistensi keberadaan kawasan Jatinangor
sebagai kawasan Pendidikan sudah jelas.
 Data sebagai bahan kajian diperoleh dari pendataan langsung maupun dari
data-data sekunder yang diambil dari instansi atau lembaga terkait.
 Pa Ober Tua Butarbutar: kawasan perkotaan harus dapat mempertimbangkan
kondisi desa-desa di sekitarnya.
 Perlu ada penyusunan Rencana Detail Kawasan Perkotaan Jatinangor
 Sebagian besar fungsi pengendalian ruang adalah ada di DPRD
 Bappeda harus memfasilitasi dan mengoordinasikan integritas perencanaan di
Kabupaten Sumedang.
 Pa Idam Rahmat: Pemprov mulai tahun depan akan mengawal secara intensif
terkait kawasan perkotaan Jatinangor ini.
 Selain itu terkait Jatinangor, pemprov akan memperhatikan perkembangan
sekitar daerah perbatasan.
 Awali dengan konsolidasi Renstra SKPD di Kabupaten Sumedang.
 Harus ada wakil-wakil khusus yang mengawal upaya akselerasi pembentukan
kawasan perkotaan Jatinangor pada musyawarah-musyawarah perencanaan,
baik pra musrenbang musrenbang wilayah priangan maupun musrenbang
provinsi dan Nasional.
 Keseriusan Pemda Sumedang dalam mengembangkan kawasan perkotaan
Jatinangor akan terlihat pada RKPD 2010.

SESI FGD (BIDANG PEMERINTAHAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH)


 Diskusi dipandu oleh Pa Warson
 Hasil kajian dinyatakan bahwa Kawasan Jatinangor layak untuk dikembangkan
menjadi Kawasan Perkotaan (type sedang)
 Peran serta masyarakat termasuk berbagai sumbangan pemikiran segenap
komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita
terbentuknya kawasan Perkotaan Jatinangor.
 Pa Jayadi (warga Sukasari): Lingkup kawasan alternatif I hanya Kecamatan
Jatinangor dan Cimanggung, sementara Alternatif II melibatkan Jatinangor,
Cimanggung, sebagian Tanjungsari dan sebagian Sukasari.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 33


 Banyak potensi di Kecamatan Sukasari mulai dari Bumi perkemahan, tempat
diklat, tapi mengapa desa Sindangsari di Kec. Sukasari yang berbatasan
dengan Cibeusi tidak masuk kedalam rencana kawasan.
 Pengelola LPP sebaiknya merepresentasikan cakupan wilayah, sementara
untuk koordinator bisa dari Jatinangor.
 Pembagian kewenangan LPP harus Jelas, untuk sementara dalam tahap
penyesuaian sebaiknya dikelola oleh birokrat baru kemudian diserahkan ke
LPP sepenuhnya.
 Bp. H. Deden : secara umum kami menerima hasil kajian, namun yang menjadi
perhatian adalah cakupan wilayahnya.
 Dengan terwujudnya kawasan perkotaan, sebagiknya ada wilayah tertentu
sebagai pusat perkantoran yang terintegrasi.
 Perlu dikembangkan ruang publik yang terbuka.
 Menurut PP 34 psl 7 ayat 2............... supaya lebih terbuka dimana masyarakat
lebih leluasa memberikan masukan sebaiknya yang dibentuk adalah
LEMBAGA PENGELOLA. Masalahnya bagaimana cara memilih orang-
orangnya yang diterima masyarakat, mempunyai integritas, dan mencintai
kawasan tersebut.
 Komitmen disiplin waktu harus benar-benar ditegakkan dan harus diberikan
keteladanan dari pemimpin.
 Pa Nia (Cimanggung): Nama yang akan dipakai harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada baiknya nama Cimanggung dapat
terwakili.
 Dalam membentuk organisasi pemerintahan jangan asal-asalan.
 Keberadaan Pemerintahan Desa (SDM pemerintah desa) harus lebih
dimantapkan sebelum kawasan perkotaan benar-benar terbentuk.
 Perlu dipertimbangkan seandainya kawasan perkotaan melibatkan 5 desa di
Cimanggung, bagaimana upaya memfasilitasi 6 desa lainnya yang tidak
masuk kawasan seandainya muncul ”kecemburuan”.
 Sudah mampukan pemda Sumedang mewujudkan Kawasan Perkotaan baik
dari segi APBD, regulasi
 Adang Rukmana (Ketua BPD Kutamandiri-Tanjungsari): bagaimana Tupoksi
Lembaga Pengelola sehingga tidak tumpang-tindih dengan kewenangan
kecamatan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 34
 Tanjungsari agar masuk ke dalam kawasan perkotaan Jatinangor.
 Kutamandiri (Tanjungsari) yang letaknya di tengah, tapi tidak masuk kedalam
kawasan perkotaan.
 Tokoh Masyarakat Sukasari: minta kejelasan batas wilayah, saat ini batas
sebagian desa di Sukasari dengan desa di Jatinangor ada yang belum jelas.
 Jatinangor saat ini adalah kota yang dipaksakan sehingga pertumbuhan
kawasan pendidikan tidak seimbang dengan pertumbuhan industri.
 Di Sindangsari ada tempat diklat, LAN, Bumi perkemahan yang sangat
terkenal tapi mengapa tidak masuk kedalam rencana wilayah kawasan
perkotaan.
 Untuk nama sangat cocok menggunakan Jatinangor.
 Perguruan tinggi di Jatinangor harus menciptakan SDM terampil yang siap
pakai.
 Pa Warson: pembentukan wilayah suatu kawasan jangan sampai terhalang
oleh wilayah lain yang tidak masuk kedalam kawasan.
 Pembentukan Kawasan tidak akan merubah sisi administratif wilayah
Kecamatan masing-masing.
 Payung hukum di 2010 harus sudah terbentuk dalam bentuk Perda.
 Pa Mahri: ”Palias Laas ku Mangsa” & Sumedang Kota Budaya
 Fenomena yang ada di masyarakat sekarang ini tidak bisa dicegah. Kondisi
saat ini merupakan salah satu kelalaian birokrat Sumedang.
 Yang dibutuhkan saat ini adalah pemerintahan yang bersih, berwibawa,
fleksibel dan kapabel.
 Pertambahan penduduk saat ini melahirkan konsekwensi harus adanya
perluasan wilayah kawasan.
 Kondisi wilayah kawasan saat ini sangat heterogen.
 Upaya harus dilakukan secara bertahap tetapi target harus jelas
 Pa Rohim (Jatinangor): Lembaga yang akan jadi Pengelola harus lembaga
husus
 Pengelola harus betul-betul warga kawasan, jangan ada warga susupan
sebagai sayarat minimal
 Harus ada yang mengawal mulai dari eksekutif sampai ke legislatif
 Layanan kepada masyarakat harus lebih baik daripada sebelum adanya
kawasan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 35
 Pa Edi Wahyudin (BPD Jatisari-Tanjungsari): Menurut pertimbangan kami,
masih banyak desa-desa yang layak masuk kawasan perkotaan.
 Dilihat dari transportasi dan berbagai gambaran masalah yang ada secara
umum hampir sama dengan Jatinangor.
 Apakah ststus desa-desa yang masuk kawasan perkotaan menjadi berubah?
 Pa Atep (Ormas Paguyuban Masy. Jatinangor): kawasan yang akan dibentuk
adalah kawasan perkotaan dalam lingkup Kabupaten Sumedang.
 Keterlibatan beberapa desa di Luar Jatinangor tentu akan memunculkan
konflik di kecamatan tersebut.
 Tanpa kajianpun Jatinagor layak jadi kawasan perkotaan.
 Forum Masyarakat Perkotaan selama ini tidak disebut-sebut, padahal
merupakan unsur penting selain LPP.
 Pa Nia: Desa Cikahuripan layak masuk kawasan perkotaan karena ada
kompleks industri. Desa yang masuk kawasan sebaiknya jadi kelurahan.
 Harus ada validasi data
 Harus ada pemisahan kewenangan antara pemerintah kecamatan dan LPP.
 Payung hukum LPP harus jelas.
 Partisipasi semua stakeholders harus terakomodir melalui peraturan
perundangan yang berlaku.
 Hasil pembahasan ini harus di sosialisasikan ke masing-masing wilayah.
 Pa Warson: perlu ada dukungan tokoh-tokoh masyarakat lintas kecamatan
untuk mendukung dan mengawal percepatan pembentukan kawasan
perkotaan.
 Kawasan perkotaan tidak bertentangan dengan UU tapi justru dilindung UU.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 36


REKAPITULASI PERMASALAHAN DAN USULAN/SARAN PESERTA MUSYAWARAH PERENCANAAN
KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR
BIDANG SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN

NO IDENTIFIKASI PERMASALAHAN USULAN SOLUSI

1 Penduduk Jatinangor yang mayoritas petani akan terkena dampak Antisipasi kebijakan yang dapat melindungi masyarakat petani
negatif pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor Jatinangor

2 Masalah pengelolaan sampah Perlu menetapkan TPA, penanganan sampah, teknologi daur ulang

3 Ada kawasan kritis bekas perkebunan di bagian utara Jatinangor Konservasi , penghijauan kembali lahan kritis
termasuk desa Cileles , potensial menjadi penyebab banjir di
Jatinangor

a. Konservasi daerah tangkapan air


4 Kekurangan air bersih
b. Pemanfaatan sumber air selain di kawasan utara
c. Pembuatan sumur artesis
d. Pembuatan sumur resapan
Perlu regulasi tentang proporsi rekruitmen tenaga kerja lokal
5 Pengangguran masyarakat lokal
dan pendatang

6 Desa Sindang Sari Manglayang timur akan kena dampak sebagai Antisipasi kebijakan di bidang pariwisata
areal wisata seperti Dago nya Bandung

7 Kekuarangan air bagi kegiatan pertanian akibat akibat eksploitasi Perlu mencari dan memanfaatkan sumber-sumber air di tempat
besar-besaran bagi pasokan ke kawasan perkotaan Jatinangor lain

8 Hilangnya kepribadian, krisis multi dimensi, penjajahan kultur lokal Perlu Langkah-langkah operasional untuk pelestarian budaya local
dan budayawan diberdayakan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 38


NO IDENTIFIKASI PERMASALAHAN USULAN SOLUSI

9 Usaha-usaha kecil/warung sepanjang jalan di Jatinagor menjadi Perlu kebijakan yang dapat melindungi pengusaha-pengusaha
mati/kalah bersaing oleh toko-toko swalayan kecil dan pembatasan berkembangnya toko-toko swalayan/pasar
modern

Pemilihan pemimpin Kawasan Perkotaan Jatinangor yang memiliki


10 Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
sifat kepemimpinan, perlu persyaratan cageur, bageur, bener,
pinter; sidik, amanah, fatonah, tabligh)

11 Perkembangan kota ke arah kota yang semrawut Ketertiban dan keindahan kota libatkan peran serta masyarakat

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 39


WAWANCARA TOKOH MASYARAKAT

Nara Sumber: Drs. Nandang/Penggiat Forum Jatinangor

1. Apakah perkembangan/perencanaan Jatinangor dari tahun ke tahun sudah


mengakomodasi asprirasi masyarakat?

Munculnya permintaan Jatinangor untuk dijadikan sebagai kawasan perkotaan ataupun


sebagai Kota administratif (dulu) semuanya berasal dari usulan/keinginan masyarakat.
Selama ini ’pergerakan’ masyarakat Jatinangor memang berasal dari bawah (grass root,
red) yang sama sekali tidak digerakkan oleh kekuatan ’atas’ ataupun dikendalikan oleh
kalangan tertentu. Keinginan masyarakat jatinangor memang didasari oleh aspirasi dan
keinginan murni masyarakat Jatinangor. Keinginan menjadikan Jatinangor sebagai kawasan
perkotaan sebetulnya mempunyai sejarah panjang dan bukan hanya timbul pada saat ini
saja. Pada pertemuan di IKOPIN (public hearing mengenai Pembentukan Kawasan
Perkotaan Jatinangor yang diselenggarakan Bappeda Kab. Sumedang tanggal 13 Oktober
2009) terlihat bahwa pertemuan dihadiri oleh penduduk asli dan terlihat bahwa keinginan
mereka sudah begitu kuat untuk melakukan perubahan di Jatinangor.Pertanyaan ini dapat
terjawab apabila melihat bagaimana antusiasme masyarakat Jatinangor terhadap kajian
yang dilakukan oleh IPDN, tidak ada lagi keraguan bahwa selama ini perkembangan
Jatinangor selalu didasari oleh keinginan/suara rakyat.Forum Jatinangor mempunyai
rekaman data-data otentik tentang aspirasi masyarakat terhadap pembangunan Jatinangor
dan apa yang seharusnya dirasakan oleh penduduk asli.

2. Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat

Munculnya Forum Jatinangor merupakan bukti bahwa masyarakat Jatinangor mempunyai


kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan/pembangunan wilayah Jatinangor. Kami
menyadari bahwa sejak jatinangor dijadikan sebagai kawasan pendidikan, secara perlahan
namun pasti Jatinangor mengalami perubahan yang sangat berarti.Di satu sisi terlihat

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 40


perkembangan fisik yang jauh berbeda dengan Jatinangor masa lalu namun di sisi lain
kehadiran PT di jatinangor tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat
Jatinangor sebagai penduduk asli. Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara penduduk
asli dengan pendatang yang diakibatkan karena SDM penduduk asli yang masih rendah.
Oleh karena itu Forum jatinangor dibentuk sebagai upaya untuk menjembatani penduduk
asli agar dapat memperoleh dampak posistif terhadap pembangunan Jatinangor.Forum
Jatinagor merupakan institusi yang digagas oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian
terhadap pembangunan (terutama sosial-budaya-ekonomi)masyarakat Jatinangor. Institusi
ini berupaya untuk menyerap aspirasi masyarakat agar suara masyarakat mempunyai
kekuatan tawar (bargaining position, red) yang kuat. Kalaupun kemudian forum Jatinangor
tidak begitu berperan aktif di akhir-akhir tahun ini, itu menunjukan bahwa masyarakat
Jatinangor sudah semakin berdaya dan mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk
menggalang aspirasi masyarakat secara langsung.

3. Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota


yang diharapkan?

Tidak banyak permintaan masyarakat terhadap pemerintah, karena masyarakat Jatinangor


memahami keterbatasan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sumedang, masyarakat
Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari Pemkab Sumedang
terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan Masyarakat. Dan apabila PemKab Sumedang
tidak mempunyai kemampuan untuk itu maka Masyarakat jatinangor hanya minta difasilitasi
sesuai kewenangan yang dimiliki Pemerintah agar Masyarakat lebih berdaya sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh Jatinangor. Hadirnya PP No 34 Tahun 2009 menjadi
momentum yang tepat bagi PemKab Sumedang sekaligus sarana bagi masyarakat
Jatinangor untuk mewujudkan keinginan yang telah lama diharapkan. Apabila aturan ini
bisa dimanfaatkan dengan baik makan akan menghasilkan solusi yang sama-sama
menguntungkan bagi masyarakat Jatinangor maupun Pemerintah kabupaten
Sumedang.Sebetulnya masyarakat Jatinangor tidak begitu perduli dengan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 41


format/kelembagaan yang akan nanti dihasilkan dari kajian ini, yang penting bagi mereka
adalah, masyarakat Jajtinangor dapat menikmati pembangunan yang giat dilakukan di
jatinangor, masyarakat Jatinangor tidak terpinggirkan dan hanya jadi penonton dari gegap
gempita pembangunan di Jatinangor.

Harapan utama dari pembentukan kawasan Perkotaan jatinangor adalah: Peningkatan


pelayanan publik (air, sampah, drainage) dan tata kawasan Jatinangor yang semakin
semrawut. Dan yang lebih penting adalah peningkatan kesejahteraan Masyarakat jatinangor
agar tidak terpinggirkan dan mendapat keuntungan positif dari pembangunan yang
dilakukan di Jatinangor.

4. Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?

Apabila dulu, masyarakat Jatinangor dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat
pendidikan yang rendah, maka dapat dilihat sekarang bahwa hal itu sudah berubah.
Kawasan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan telah mengubah pandangan masyarakat
tentang pentingnya pendidikan. Banyak penduduk asli jatinangor yang tergusur ke daerah
pinggiran karena pembangunan fisik yang hebat di Jatinangor, mereka adalah penduduk
yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi perkembangan Jatinangor. Di masa
depan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi semoga Masyarakat Jatinangor mempunyai
kemampuan dan kekuatan untuk mengimbangi setiap kemajuan/pembangunan di Jatinangor.

5. Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi


dan pengaruhnya

Apabila pengrajin Cipacing masa lalu masih menjual produk di lokasi usaha, maka sekarang
pengrajin Cipacing memperluas wilayah pemasaran sampai ke Pulau Bali. Dan ada juga
yang sudah memanfaatkan kemajuan Iptek dengan melakukan order melalui pesanan
telepon. Itu semua disebabkan karena pengaruh kehadiran PT dan pendatang serta budaya
mahasiswa yang akrab dengan kemajuan zaman di Jatinangor yang secara perlahan
memberi dampak positif terhadap iklim usaha di Jatinangor.

6. Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 42


Ini yang masih harus ditingkatkan karena tingkat pendidikan masyarakat penduduk
jatinangor relatif masih rendah, masyarakat yang berpendidikan tinggi adalah masyarakat
usia muda yang mempunyai orang tua yang mengerti terhadap pendidikan. Sekarang sudah
banyak terlihat masyarakat Jatinangor usia muda mempunyai pekerjaan di luar pekerjaan
agraris maupun pekerjaan tidak terdidik (mayoritas sebagai ojeg), namun itu masih perlu
ditingkatkan agar masyarakat Jatinangor mampu bersaing sebagaimana masyarakat
pendatang.

Nara Sumber: Drs. Ismet/Mantan Ketua DPRD Kab Sumedang 2009-2014

1. Apakah perkembangan/perencanaan Jatinangor dari tahun ke tahun sudah


mengakomodasi asprirasi masyarakat?

Iya, Masyarakat Jatinangor mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain, apakah dalam
bentuk lembaga resmi seperti forum Jatinangor atau dalam bentuk hubungan informal
sebagai upaya untuk saling berbagi dan bertukan informasi terhadap perkembangan
Jatinangor. Dibandingkan dengan daerah lain, hubungan masyarakat Jatinangor jauh lebih
kental dan dekat karena mempunyai keinginan yang sama. Sampai saat ini masih banyak
masyarakat yang datang ke rumah (pada saat wawancara juga terlihat beberapa orang yang
datang ke rumah nara sumber dan dipersilahkan menunggu sampai wawancara usai)untuk
sekedar bertanya dan berdiskusi tentang berbagai hal.Apabila dulu, hubungan antar
masyarakat diwadahi oleh Forum jatinangor, maka sekarang masyarakat Jatinangor sudah
lebih maju dan mandiri sehingga forum lebih banyak dilakukan secara informal tapi dengan
hubungan yang jauh lebih erat, karena merasa senasib sepenanggungan.

2. Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat

Sebagai salah satu wakil masyarakat yang ’ditua kan’ pintu rumah selalu terbuka lebar dan
selalu memberikan waktu untuk masyarakat apabila ada yang ingin bertanya atau hanya
sekedar silaturahmi. Aspirasi masyarakat Jatinangor selalu dibawa ke forum yang resmi
agar mendapat perhatian yang lebih luas. Di luar itu, masyarakat sendiri secara mandiri

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 43


melakukan beberapa upaya sebagai bentuk penyampaian aspirasi masyarakat di tingkat
daerah bahkan sampai ke tingkat nasional.

3. Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota


yang diharapkan?

Masyarakat Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari pemerintah.
Walau masih ada ketidakmengertian masyarakat terhadap arti ’Kawasan Perkotaan’ karena
masih banyak yang beranggapan bahwa Jatinangor akan menjadi Kota otonom (banyak
masyarakat yang memanggil Pak Ismet sebagai walikota,red) tapi pada dasarnya
Masyarakat jatinangor ingin merasakan dampak pembangunan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat.Dari dua belas desa di kecamatan jatinangor diharapkan
semuanya masuk ke kawasan perkotaan karena perjuangan ini merupakan perjuangan
bersama seluruh masyarakat Jatinangor.

4. Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?

Apabila studi tentang Kawasan perkotaan Jatinangor disetujui, diharapkan masyarakat akan
jauh lebih perduli dan semakin meningkatkan pasrtispasinya terhadap pembangunan di
Jatinangor. Karena apabila ini disetujui maka maju dan tidaknya Jatinangor sangat
ditentukan oleh masyarakat Jatinangor sendiri.

5. Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi


dan pengaruhnya

Pada awalnya, masyarakat hanya mendapatkan keuntungan dari menyediakan fasilitas


pendukung mahasiswa (pondokan, warung nasi, ojeg, toko kelontong dan rental komputer)
itu pun dalam kondisi yang sangat sederhana, ada juga penduduk asli yang pindah ke
pinggiran karena tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan jatinangor. Oleh karena itu
masyarakat jajtinangor berharap bahwa pembangunan akan lebih membawa kesejahteraan
kepada penduduk asli dan tidak kalah oleh pendatang.

6. Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 44


Masih perlu peningkatan karena belum banyak penduduk asli yang mengerti Iptek dan
memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Walaupun sekarang ini banyak
kemajuan yang dialami oleh penduduk asli, tapi belum merata. Dan ini yang perlu dilakukan
yaitu peningkatan kualitas SDM Jatinangor di bidang pendidikan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 45

Anda mungkin juga menyukai