Geulis
G. Geulis
G. Geulis
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun
1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan
kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung
cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut
yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun
1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut
dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan
Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai
kawasan relokasi perguruan tinggi di atas.
Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan
mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan.
Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di
sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi
mahasiswa.
Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis
lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206
penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan
langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda
kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta
Cikeruh.
1.4 Keluaran
Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka
keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan
Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility
study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi,
kelembagaan, lingkungan serta tata ruang.
Visi
Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu
dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa
depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman
bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum
kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu :
1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat
berjalan-jalan, dan bermain-main bersama;
2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul
dalam lingkungan bertetangga;
Misi
Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini :
1. Mengembangkan Kota yang layak huni
a. Lingkungan kota yang nyaman
Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan
daya dukung kota)
Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai.
Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai.
Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.
Tabel 2.1
Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap
20 Habitat genda Key Areas Of Commitment
D. Persampahan
Standar Pelayanan Minimal Persampahan yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No
534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:
1. Indikator Pelayanan: Tingkat penangganan bangkitan sampah terhadap jumlah penduduk
kota/perkotaan dan kualitas penanganan
2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan dilayani oleh Sistem
DK/PDK dan sisanya 20% dapat ditangani secara saniter (on-site system)
3. Tingkat Pelayanan: Prioritas penanganan system persampahan:
100% untuk kawasan pusat kota / CBD dan pasar
100% untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 jiwa/ha
Rata-rata 80% untuk kawasan permukiman perkotaan
100% untuk penanganan limbah industri
100% untuk penanganan limbah B3/ medical waste
4. Kualitas Pelayanan:
- Penanganan sampah on-site dilakukan secara saniter: individual cora-posting, separasi
sampah
- untuk diambil pemulung
- Penanganan sampah oleh sistem DK/PDK dilakukan secara terintegrasi (Pewadahan-
Pengumpulan-Pengangkutan/Transfer-Penanganan Akhir).
- Tempat/kapasitas pewadahan tersedia
- Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan secara reguler
- Tidak ada penanganan akhir sampah secara open dumping
- Tidak ada pembuangan sampah secara liar
- Tingkat composting dan daur ulang sampah minimal 10%
- Penanganan akhir sampah setidaknya dengan controlled landfill
- Konsep 3R sudah diterapkan di industri
- Medical waste ditangani secara swakelola oleh RS
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan persampahan
adalah:
- pengangkutan dan penanganan limbah akhir limbah B3 (berbau, beracun dan berbahaya)
dilakukan secara terpisah
- pembuangan sampah dari rumah tangga atau tempat lain sudah dipisahkan minimal
dalam dua kategori: bisa diolah lagi dan tidak bisa diolah lagi.
Kriteria lain diberikan oleh National Urban Development Study (NUDS II), yaitu bahwa
kawasan perkotaan harus memperhatian aspek-aspek adalah sebagai berikut:
Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap,
lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
3.4 Operasionalisasi Indikator perkotaan (urban indicators) yang digunakan (versi Asian
Development Bank dan Standar Pelayanan Perkotaan PU dan Kimpraswil)
Indikator perkotaan untuk mengukur sejauhmana kondisi Kawasan Perkotaan
Jatinangor memenuhi kriteria sebagai kawasan perkotaan. Indikator yang digunakan
indicator yang dikembangkan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 dan pada
beberapa aspek terutama sarana dan prasarana perkotaan digabungakan dengan didasarkan
4.2 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sumedang
Dalam Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat ada beberapa kawasan yang akan
dikembangkan sebagai kawasan andalan. Secara umum, penetapan beberapa wilayah di
Propinsi Jawa Barat sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong :
• Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan
ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat
sesuai dengan yang telah direncanakan
• Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor
Dalam hal ini, sebagian dari kecamatan Kabupaten Sumedang termasuk dalam
kawasan andalan Cekungan Bandung, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan
Jatinangor. Terkait dengan ini, berikut dijelaskan posisi Kabupaten Sumedang dalam
pengembangan kawasan andalan di Propinsi Jawa Barat.
TABEL 4.1
Posisi Sumedang Dalam Kawasan Andalan Di Jawa Barat
(Sumber : RTRWP Jawa Barat 2010)
5.2 Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang
dan Lingkungan
Indikator perkotaan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II dan Bab III
dilakukan berdasarkan tipologi kawasan perkotaan. Kawasan Perkotaan Jatinagor
Cimanggung berdasarkan tipologi perkotaan dikategorikan pada Kawasan Perkotaan
Sedang.
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 pasal 41 ayat (2) dan penjelasannya kawasan
perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut:
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penilaian didasarkan terhadap 11 aspek yang
meliputi aspek penduduk, produktivitas perkotaan, kesehatan dan pendidikan, pemukiman
dan lingkungan, pelayanan kota/prasaranan (air bersih, sanitasi, sampah, drainase, listrik
dan telpon, transportasi kota dan pemerintah kota). Hasil penilaian dan pengukuran pada
aspek-aspek tersebut diperoleh hasil sebesar 49.22. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa
kawasan Jatinangor-Cimanggung layak bersyarat sebagai kawasan perkotaan terutama
dalam memenuhi aspek-aspek yang masih belum memenuhi kriteria dan standar yang
diharapkan
Rumah sewa dan kos-kos tumbuh di lokasi-lokasi dekat kegiatan utama perguruan
tinggi dan kegiatan industri tersebar ada di jaringan jalan utama dengan radius dari jalan
utama 300 meter. Rumah kos-kos ini tumbuh sangat padat padat tidak teratur dan prasarana
maupun sarana lingkungan juga sangat kurang. Untuk kos-kosan mahasiwa menyebar di
Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeruh, dan Hegarmanah serta sebagian kecil di Desa Cileles.
Jumlah sampai tahun 2003 lebih dari 700 rumah kos-kosan dengan lebih dari 8.000 kamar.
Setiap tahun tidak kurang dari 3 rumah untuk kos-kosan dibangun.
Rumah sewa atau kos-kosan untuk para pekerja menyebar di Desa Mekargalih,
Cintamulya, Cipacing dan Cisempur di kecamatan Jatinangor serta pada beberapa desa di
zona industri Kecamatan Cimanggung seperti Sukadana, Cihanjuang, Sawahdadap,
Mangunarga dan Sindangpakuwon dengan pola pertumbuhan yang hampir sama dengan
kos-kosan untuk mahasiswa.
Sumbangan nilai terbesar pada bidang sosial ekonomi dari aspek produktivitas
perkotaan sebesar 8.3 atau sekitar 83 % dari nilai maksimal. Kondisi ini didukung oleh
tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif rendah, tingkat pertumbuhan PDRB
terhadap PDRB Kabupaten, pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa, serta kontribusi
perdagangan dan jasa terhadap PDRB relatif tinggi (perhitungan terlampir).
Pertumbuhan PDRB merupakan indikator yang mencerminkan produktivitas
perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi
menunjukkan kegagalan pembangunan ekonomi di perkotaan.
Perkotaan ditopang sektor ekonomi perdagangan sektor perdagangan dan jasa,
karena sektor ini dianggap memberikan nilai tambah (pendapatan) yang lebih tinggi
daripada sektor pertanian. Perkembangan perkotaan akan dibarengi dengan semakin
tingginya jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian.
C. Aspek Lingkungan
Pembangunan perkotaan harus mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan
untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan. Pada aspek lingkungan, indikator yang
diukur meliputi : rasio ruang tebuka hijau, pengaduan polusi atau pencemaran, jumlah
kejadian kebakaran dan tindak kejahatan per 1000 penduduk.
Penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau ditujukan untuk fungsi-fungsi wilayah
tangkapan air atau memiliki nilai penyerapan air (run in) sebesar mungkin dengan nilai
Secara geografis wilayah untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau berada pada
ketinggian di atas 750 meter di atas permukaan laut(dpl) saat ini digunakan untuk kegiatan
Pertanian Palawija, Bumi Perkemahan, Padang Olah Raga Golf, perkampungan Cilayung,
Cileles, Jatiroke, Cisempur, dan Jatimukti dan Bantaran Sungai yang sebagian berupa
bangunan rumah dan pekarangan.
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk konservasi air diarahkan
dengan kebijakan :
1. Areal Wisata Kiara Payung tetap berfungsi sebagai wisata perkemahan dengan
mengembangkan areal menjadi lebih alami untuk menjalankan fungsi resapan air.
Areal Wisata Kiara Payung yang masuk dalam wilayah administratif Jatinangor
seluas 25 Ha.
2. Areal Rekerasi Golf tetap dipertahankan dengan melarang untuk menambah
bangunan-bangunan penunjang perhotelan, rekreasi golf dan apapun sehingga fungsi
resapan akan dapat dipertahankan atau sangat dianjurkan untuk menata kawasannya
dengan tanaman dan pepohonan yang meningkatkan fungsi resapan air. Areal rekreasi
golf Bandung Giri Gahana seluas 125 Ha.
3. Gunung Geulis dibatasi dengan ketinggian lebih dari 750 meter dpl dialih fungsikan
dari tanaman pertanian palawija menjadi tanaman tahunan yang lebih banyak
berfungsi sebagai areal resapan air seperti hutan bambu atau lainnya. Disamping itu
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 14
Gunung Geulis dengan fungsinya yang sekarang tetap diarahkan sebagai areal wisata
Gunung Geulis. Diperkirakan areal Gunung Geulis yang berfungsi sebagai resapan air
dan wisata seluas 315 Ha.
4. Areal sempadan sungai dari sungai-sungai yang ada di Jatinangor diarahkan sebagai
areal konservasi aliran sungai dengan lebar koridor ½ Lebar Sungai dari ukuran
terlebar ditambah 1 meter. Daftar lebar sungai dilihat pada data sungai di lembaga
berwenang. Pemanfaatan ruang koridor kiri – kanan sungai tetap untuk ruang terbuka
hijau dengan jalan inpeksi yang bahan material jalan yang tidak mengganggu fungsi
resapan air. Koridor kiri – kanan sungai seluas 88 Ha. Secara bertahap pemanfaatan
ruang di koridor sungai yang tidak sesuai harus dialihkan.
5. Taman Kota atau Hutan Kota adalah ruang publik yang berfungsi sebagai paru-paru
kota dan areal resapan air, direncanakan ada di tiap-tiap satuan lingkungan
permukiman. Luas tiap lingkungan permukiman disesuaikan, saat ini areal taman kota
masih digunakan sebagai areal pertanian atau permukiman lama. Secara bertahap
diarahkan untuk mengubah fungsi asal menjadi fungsi taman kota sebagai ruang
publik. Ruang publik taman kota diperkirakan luasnya 53 Ha, terbagi menjadi 14
Taman Kota. Pada pemanfaatan taman kota termasuk di dalamnya pemakaman.
Pada indikator pengaduan polusi/pencemaran menunjukkan tingkat kenyamanan
perkotaan terkait dengan kualitas lingkungan perkotaan. Pada kawasan perkotaan
Jatinangor, pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyiapkan zona industri di
Cimanggung dan beberapa desa di Jatinangor seperti mekargalih, Cintamulya dan Cisempur.
Hal ini tentu akan berdampak pada peluang untuk terjadi polusi atau pencemaran yang
berasal dari pabrik. Apabila pabrik tidak melakukan pengolah limbah sebagaimana
dipersyarakatkan tentu akan berdampak pada lingkungan sekitarnya yang dekat dengan
lingkungan pemukiman. Hal ini tentu akan menimbulkan komplain masyarakat.
Tindak kejahatan dan kejadian kebakaran di kawasan perkotaan menunjukkan
tingkat keamanan perkotaan. Pada kawasan perkotaan Jatinangor relatif rendah.
1. Sampah
Kondisi yang masih memprihatinkan terutama pada pengelolaan atau pelayanan
sampah. Cakupan penduduk yang terlayani sistem persampahan masih sangat rendah.
Pelayanan publik pada sektor ini sangat terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana
pengelolaan sampah di Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah ketersediaan TPSS (tempat pembuangan sampah
sementara) dan TPAS (tempat pembuangan akhir sampah) ataupun berbagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat terkait dengan permasalahan sampah.
Pengelolaan sampah dan kebersihan pada umumnya dilakukan sendiri-sendiri baik di
lingkungan PT, industri maupun rumah tangga.
Desa-desa di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung (terutama yang masuk pada
kawasan perkotaan Jatinangor) menempatkan lokasi tempat pembuangan sampah sementara
(TPSS) belum sesuai dengan tata ruang yang ada. Hal ini diindikasikan dengan munculnya
tempat pembuangan sampah liar (illegal) yang biasanya berada di lahan-lahan kosong, lahan
tidur (tidak dimanfaatkan), bantaran sungai dll. Tempat pembuangan Akhir yang dimiliki oleh
Pemkab berada 60 Km dari Jatinangor sehingga pembuangan akhir oleh jasa pengangkut dibuang ke
TPAS milik Pemkab Bandung
Salah satu penyebab utama dari kondisi di atas adalah ketidakmampuan pemerintah
desa dan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan karena ketidakmampuan dalam
menyediakan TPS (tempat pembuangan sementara), kontainer dan keterbatasan armanda
2. Drainase
Permasalahan utama bidang drainase adalah masih tingginya genangan baik luasan
maupun frekuensinya di kawasan perkotaan Jatinangor serta minimnya sarana drainase.
Pada jalur utama kawasan perkotaan Crossing utilitas atau tumpang tindih
pemanfaatan saluran menjadi permasalahan tersendiri bagi sektor drainase antara lain
dengan utilitas lain seperti pipa air minum, pipa air limbah kabel telekomunikasi dll.
Hingga saat ini pada kawasan perkotaan Jatinangor belum mempunyai sistem
drainase yang memadai. Permukaan tanah yang rata pada beberapa bagian tertentu tidak
menjadi masalah tetapi pada bagian lain terjadi genangan.
Pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran yang ada serta pengawasan
pembangunan yang tidak ketat saluran drainase tidak terbentuk, rusak malah beberapa
disumbat atau dihilangkan. Sungai yang ada sebagai satu-satunya sistem drainase alami
juga tidak terpelihara sehingga sedimentasi dan pendangkalan, penyempitan saluran sampai
penghilangan sungai-sungai kecil terjadi terus-menerus. Kondisi ini terjadi pada sebagian
besar desa di Kecamatan Cimanggung yang akan menjadi bagian kawasan perkotaan
Jatinangor
Fungsi drainase yang dimaksud sebagai fasilitas pengatus jalan juga kadang berfungsi
ganda sebagai saluran irigasi yang pada akhirnya menimbulkan masalah tersendiri
perbedaan sistem, dimensi dan konstruksi.
3. Air Bersih
Permasalahan lain pada aspek pelayanan kota adalah penyediaan air bersih.
Masalah kualitas, kuantitas dan ketersedian air bersih di kawasan perkotaan Jatinangor
menjadi masalah yang menuntut perhatian yang ekstra karena terkait dengan pertumbuhan
penduduk dan proses urbanisasi dimana sampai dengan saat ini masih terdapat kesenjangan
antara kebutuhan dan tingkat pelayanan yang masih cukup besar.
5. Transportasi
Pada aspek transportasi, pelayanan belum optimal. Dukungan pelayanan
transportasi yang relatif rendah diperparah banyaknya kondisi jalan lingkungan yang dalam
kondisi rusak. Kecepatan tempuh rata-rata relatif rendah juga disebabkan oleh kemacetan
yang sering terjadi pada kawasan-kawasan tertentu.
Jatinangor berada pada gerbang timur Kota Bandung yang menjadi titik
persimpangan pergerakan regional. Pengembangan sistem transportasi bukan hanya untuk
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 19
kepentingan Jatinangor tetapi mencakup pengembangan sistem pergerakan Bandung Timur
bahkan regional antar kota.
Konflik pada sistem transportasi menjadi pengganggu utama pada kinerja seluruh
aktivitas terutama perguruan tinggi dan lokasi disekitar pabrik. Prasarana transportasi
menyimpang dari penggunaan dan fungsi hirarki jalan. Disamping itu, kualitas dan kuantitas
jalan yang tidak memenuhi standar sesuai dengan fungsinya.
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membangun prasarana baru sangat kecil,
sehingga hanya bisa melakukan pemeliharaan dan peningkatan saja.
D. Aspek Kelembagaan
Pelayanan pemerintahan adalah pelayanan untuk kebutuhan catatan sipil dan
kependudukan bagi masyarakat selama ini dilakukan dan dibutuhkan masyarakat, berupa
pelayanan kebutuhan catatan sipil seperti Kartu Tanda Penduduk(KTP), Akte Kelahiran,
Sertifikat Kepemilikan Tanah, Ijin mendirikan Bangunan(IMB), Rekomendasi Kegiatan
Usaha, dan lain-lain. Pelayanan ini dilayani oleh Pemerintah sesuai dengan jenjang dan
pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah. Dalam rangkaian pelayanan yang
diberikan pemerintah tersebut terkait organisasi masyarakat yang dianggap pemerintah
seperti desa, dusun, RW, dan RT.
Di kawawan perkotaan Jatinangor sendiri kelembagaan yang melayani kebutuhan
masyarakat terdiri dari Kecamatan, Polisi Sektor, Komando Rayon Militer, dan Cabang
Dinas meskipun belum semua cabang dinas ada. Dalam pelayanan catatan sipil ini
dibutuhkan sarana pelayanan berupa kantor atau tempat pelayanan.
Pelayanan Pemerintahan yang disebutkan di atas tehadap kebutuhan catatan sipil
dan kependudukan terutama dilayani oleh pemerintah kecamatan, pemerintahan desa.,
Organisasi Rukun Warga, dan Organisasi Rukun Tetangga(RT), saat ini memiliki prasarana
kantor pelayanan masing-masing kecuali RT yang dilayani di rumah Ketua RT dan
pelayanan di luar jam kerja. Sedangkan pelayanan RW bervariasi ada yang memiliki kantor
pelayanan RW dan banyak yang tidak memiliki, pelayanan ini sama dengan pelayanan RT.
Pemerintahan Desa memberikan pelayanan seperti selayaknya organisasi pemerintah dan
semua Pemerintahan Desa memiliki kantor pelayanan Pemerintahan Desa, meskipun
beberapa desa tidak membuka pelayanannya setiap saat pada jam kerja.
2. Lokasi pusat pelayanan catatan sipil tingkat kecamatan berlokasi di jalan arteri
sekunder, sehingga mudah diakses oleh seluruh bagian wilayah pelayanan secara adil.
3. Pusat pelayanan pemerintahan desa berada di jalan kolektor sekunder dan berada di
tengah wilayah pelayanan yang mudah diakses oleh masyarakat desa yang dilayaninya
Tabel 5.5 Matrik Standar Pelayanan Perkotaan Untuk Kawasan Perkotaan Sedang
Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilihat bahwa tidak semua standar
kebutuhan dan pelayanan yang dipersyaratkan sebagai kota sedang dapat dipenuhi kawasan
perkotaan Jatinangor. Sebagian sarana dan prasarana masih tersedia dalam kondisi yang
terbatas, bahkan pada beberapa item standar belum dipenuhi.
Dengan demikian meskipun kawasan Jatinangor-Cimanggung telah memiliki ciri
perkotaaan namun agar dapat berkembang menjadi kota yang layak huni, nyaman dan
berkelanjutan membutuhkan beberapa pesyaratan yang menjadi prioritas untuk dipenuhi
terutama yang terkait dengan aspek pelayanan perkotaan (prasarana perkotaan)
Bagian Barat dengan Kecamatan Cileunyi Wetan, yang dibatasi oleh Sungai Cibeusi
Bagian Timur dengan Kecamatan Tanjungsari, yang dibatasi oleh Sungai Cikeruh dan
Puncak Gunung Geulis
Bagian Utara dengan Kecamatan Sukasari dengan batas alam tidak jelas tetapi secara
sosial di lapangan didapatkan kesepakatan batasan.
Bagian Selatan dengan Kecamatan Rancaekek, yang secara umum dibatasi oleh
beberapa selokan dan Jalan Raya Rancaekek. Meskipun tidak jelas tetapi secara sosial
di lapangan terjadi kesepakatan batas daerah administratif.
Fungsi Jatinangor sebagai Kawasan Perguruan Tinggi sangat dikenal luas dengan
kegiatan empat perguruan tinggi yang menampung lebih dari 30.000 Mahasiswa, belum
termasuk Akademi Informatika dan Komputer Al Maksoem sebagai salah salah satu
perguruan tinggi di Jatinangor tetapi tidak berada pada kawasan perguruan tinggi.
Luas kawasan Perguruan tinggi yang ditempati oleh empat perguruan tinggi 525
Ha. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan luas 285 Ha belum seluruhnya
difungsikan sebagai sarana dan prasarana perguruan tinggi, sebagain besar (200 Ha)
masih berupa lahan kosong yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang digarap
oleh penduduk sekitar atau sebagai tempat praktek pertanian praja.
Demikian juga Universitas Winaya Mukti (Unwim) yang luasnya 51 Ha, baru
sebagian lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan akademi, sisanya berupa ruang terbuka
dengan pemanfaatan ruang untuk pertanian yang digarap oleh penduduk.
Masih satu hamparan dengan dalam Kawasan Perguruan Tinggi terdapat lahan
yang rencana akan digunakan untuk kegiatan Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri
Jawa Barat(Diklat Propinsi Jawa Barat) kurang lebih lahan 10 Ha dan sekarang
pemanfaatan ruangnya sebagai ruang terbuka hijau.
Kawasan Industri, yang dimaksud pemanfaatan ruang untuk hal tersebut lebih
ditujukan untuk menyebut sejumlah lahan seluas 76,5 Ha yang tersebar tidak satu
hamparan tetapi berada di Koridor Jalan Raya Rancakek masuk Desa Cipacing, Sayang,
Cintamulya dan Cisempur. Jumlah industri 16 Industri dengan jumlah tenaga kerja
hampir 32.000 Orang. Koridor Jalan Raya Rancaekek sendiri merupakan lahan dengan
pemanfaatan ruang campuran, tetapi didominasi kegiatan industri. Sepanjang Koridor
tersebut didapat pemanfaatan lain yaitu pertanian, perdagangan dan permukiman sendiri.
Lebih menonjol fungsi perdagangan.
1. Kawasan Permukiman dengan ciri pertanian atau pedesaan berada menyebar di Desa
Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti dan Cisempur.
Pemanfaatan Ruang yang lain yang sangat menonjol dari sisi kegiatannya adalah
pemanfaatan ruang wisata perkemahan dan olah raga golf yang dilengkapi fasilitas hotel
dan restoran. Kegiatan perkemahan di Bumi Perkemahan Kiara Payung dikelola oleh
kwarda Pramuka Jawa Barat, dengan luas lahan yang masuk wilayah administrasi
kecamatan Jatinangor kurang lebih 25 Ha, sebagian lagi masuk wilayah administrasi
Kecamatan Sukasari.
2. Kecamatan Cimanggung
Desa-desa di Kecamatan Cimanggung merupakan kawasan yang berbatasan dengan
Desa-desa di Kecamatan Jatinangor yang akan dikembangkan ke arah zona industri
terutama pada koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka, perdagangan, dan jasa
yang sudah barang tentu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan
penyerapan tenaga kerja setempat. Dalam dekade dua puluh tahun terahir ini, kondisi
sosial ekonomi masyarakat di wilayah bagian barat (Jatinangor, Cimanggung) telah
berubah dengan cepat dari kawasan pedesaan menjadi kawasan kota-kota satelit sebagai
penyangga Kota Metropolitan Bandung.
Jika alternatif ini yang dipilih (batas deliniasi lihat gambar 5.1) maka kelebihan
dan kelemahannya adalah sebagai berikut :
Kelemahan :
Kawasan relatif terbatas untuk pengembangan kawasan ke depan terutama dalam
mendukung pengembangan kawasan pemukiman penduduk dan aktivitas perkotaan.
Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang
mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi
terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih terbatas maka daya
tampung ruang menjadi sedikit.
Dengan daya tampung ruang yang terbatas maka penyediaan ruang terbuka hijau
menjadi semakin sulit diakomodasi sesuai dengan ketentuan (minimal 30 %).
Kelemahan :
Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan
antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan
perkotaan
Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi
penduduk akan semakin besar.
Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena
sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.
Kelemahan :
Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan
antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan
perkotaan
Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi
penduduk akan semakin besar.
Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena
sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.
A. Distribusi Penduduk
Distribusi penduduk di kawasan perkotaan inti dalam kurun waktu sampai dengan
tahun 2015 adalah 172145 jiwa. Persebaran jumlah penduduk ini masih terkonsentrasi di
Kawasan Perkotaan di Kecamatan Jatinangor dengan jumlah penduduk jiwa 97491 tahun
2015. Namun demikian, dengan diarahkannya pengembangan kawasan perkotaan ke wilayah
Tanjunsari dan Sukasari, maka terdapat distribusi penduduk yang tersebar di kawasan
tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.8. Proyeksi Kebutuhan Sarana Perniagaan di Kawasan Perkotaan Jatinangor Tahun 2015
Ad.b. Model Pengelolaan Oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat
non-pemerintah daerah
Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 memberikan alternatif lain
dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten, di luar
pengelolaan oleh sebuah SKPD khusus. Bentuknya adalah Lembaga Pengelola
Kawasan “Jatinangor” yang bersifat non- pemerintah daerah. Lembaga ini dibentuk
dengan peraturan daerah Kabupaten Sumedang (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34
Tahun 2009). Model ini dapat dikategorikan sebagai lembaga pemerintahan semu
(quasi government) atau lembaga daerah non-pemerintah daerah atau yang secara lebih
meluas disebut sebagai Quasi Autonomous Nongovernmental Organization
(QUANGO). Disebut demikian karena lembaga ini menjalankan sebagian fungsi
daerah dan diberi anggaran dari APBD tetapi bukan organ pemerintah daerah. Pada
tingkat nasional terdapat pula model seperti ini dengan nama lembaga negara non
pemerintah misalnya KPU, KPPU, KPK dan lembaga-lembaga lainnya yang sejenis.
2) Susunan Organisasi
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa anggota
lembaga pengelola kawasan perkotaan paling sedikit berjumlah 5 (lima) orang dan
paling banyak berjumlah 7 (tujuh) orang. Untuk pengelola kawasan perkotaan “
Jatinangor” karena skala kotanya belum terlampau besar, maka disarankan pada tahap
pertama jumlah pengelolanya cukup lima orang. Pada tahap selanjutnya apabila
perkembangan kota sudah semakin maju dan kompleks, jumlah anggota pengelola
dapat ditambah menjadi tujuh orang.
Dari lima orang anggota, salah satunya dipilih oleh para anggota menjadi
koordinator. Pengelola kawasan perkotaan menjalankan organisasi secara kolektif,
sehingga keputusan tertinggi berada pada rapat seluruh anggota, serta tidak dimonopoli
oleh koordinator. Kelima orang pengelola kawasan perkotaan tersebut dapat
dinamakan dewan, karena sifatnya yang kolegial. Pengaturan mengenai susunan
organisasi dan tatakerjanya ditetapkan secara rinci dalam peraturan daerah
pembentukan lembaga pengelola kawasan perkotaan.
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009, keanggotaan
Lembaga Perkotaan terdiri atas :
a) Pakar/ahli di bidang pengelolaan Kawasan Perkotaan; dan atau
b) Unsur masyarakat pemerhati Kawasan Perkotaan.
Untuk memenuhi syarat sebagai organisasi nonpemerintah yang bersifat
nonpartisan, maka pada Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2009 diatur ketentuan
bahwa anggota Lembaga Pengelola Perkotaan tidak berasal dari pegawai negeri sipil,
anggota Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, dan anggota partai politik.
Tetapi mengingat orang yang mengerti dan memahami masalah perkotaan di Indonesia
jumlahnya tidak banyak, maka ketentuan Pasal 9 ayat (3) kemudian diperlonggar
dengan penjelasan Pasal dan ayat tersebut dengan ketentuan bahwa : “ Pegawai negeri
sipil yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk pejabat fungsional
antara lain peneliti, guru, dosen, widyaiswara dan perencana”.
Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sekretaris LPP perlu dilengkapi
paling sedikit 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing memiliki eselon Va. Ketiga sub
bagian tersebut yaitu sub bagian yang mengurus ketatausahaan meliputi surat-
menyurat, keuangan, dan logistik bagi kepentingan LPP, sub bagian yang mengurus
inventarisasi sumberdaya badan usaha swasta dan masyarakat, serta sub bagian yang
mengurus aspirasi masyarakat serta informasi kawasan perkotaan.
Secara resmi, struktur organisasi dan eselonering sekretariat LPP ditetapkan
oleh menteri dalam negeri dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan
pemberdayaan aparatur Negara. (Lihat pada Pasal 10 ayat 5 PP Nomor 34 Tahun
2009). Tetapi mengingat sampai saat ini peraturan yang dimaksud belum terbit, maka
Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat melakukan terobosan mendahuluinya,
sekaligus menjadi ujicoba pelaksanaan PP Nomor 34 Tahun 2009. Melalui ujicoba
tersebut akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan PP tersebut, sehingga terbuka
peluang untuk memperbaikinya.
Bentuk dan susunan organisasi LPP :Jatinangor” yang disarankan melalui
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
DEWAN
PENGURUS
(5 orang)
SEKRETARIS
4) Kewenangan
Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sebuah organisasi baik
pemerintah, semipemerintah ataupun swasta, memerlukan kewenangan (authority),
yakni “kekuasaan yang saha untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Oleh
karena itu, kewenangan seringkali juga disebut sebagai kekuasaan yang sah (legitimate
power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power).
Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur secara rinci mengenai
kewenangan dari LPP. Hal tersebut dalam implementasinya justru akan menimbulkan
masalah besar, karena akan bertabrakan dengan kewenangan yang sudah ada dan
dijalankan oleh instansi pemerintah lainnya. Pada prinsipnya, seluruh kewenangan
pemerintahan sudah terbagi habis pada unit-unit pemerintahan yang ada. Oleh karena
itu, apabila muncul entitas baru yang ikut menjalankan fungsi pemerintahan, perlu
dilakukan pengaturan ulang mengenai pembagian urusan pemerintahan dan
kewenangan yang melekat didalamnya.
Pengaturan secara rinci mengenai kewenangan yang dijalankan oleh LPP,
diatur dalam Peraturan Bupati mengenai LPP sebagai tindak lanjut ketentuan yang
termuat pada Pasal 13 PP Nomor 34 Tahun 2009.
Kewenangan tersebut mencakup :
a) Kewenangan untuk memutuskan sesuatu sesuai tugas dan fungsi LPP berkaitan
dengan penggalian sumberdaya masyarakat dan badan usaha swasta, misalnya
dalam menarik sumbangan dari pihak swasta, mencari sponsor untuk kegiatan dan
lain sebagainya.
b) Kewenangan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi tentang
kawasan perkotaan;
c) Kewenangan merumuskan rancangan kebijakan mengenai kawasan perkotaan
untuk disampaikan kepada Bupati Sumedang.
d) Kewenangan lainnya yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi LPP,
misalnya dalam menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan
perkotaan, pemeliharaan fasilitas dan utilitas kota.
7) Sumber pembiayaan
LPP “Jatinangor” dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan tugas
mengelola kawasan perkotaan “Jatinangor” sebagai bagian tidak terpisahkan dari
wilayah Kabupaten Sumedang. Sehingga wajar apabila sebagian sumber biaya untuk
menjalankan roda lembaga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang. Hal tersebut juga
sudah ditegaskan pada Pasal 11 PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa : “ Pendanaan
Lembaga Pengelola bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan
sumber pendanaan lainnya yang sah”.
Besarnya dana APBD Kabupaten Sumedang yang akan diberikan kepada LPP
“Jatinangor” akan sangat tergantung pada kesepakatan politik antara Bupati dengan
DPRD serta kemampuan LPP “Jatinangor” untuk meyakinkan pihak-pihak terkait
mengenai program dan kegiatan yang akan dijalankan.
Dari ketentuan Pasal 11 sebagaimana dikemukakan di atas, terbuka peluang
bagi LPP “Jatinangor” untuk mencari sumber-sumber lain di luar dana dari APBD
No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009
1. JATINANGOR 1. Cikeruh 7,543 6. RANCAKALONG 1. Nagarawangi 4,814 16. CISITU 1. Situmekar 3,294
(12 dari 12
Desa/Kel) 2. Hegarmanah 8,584 (5 dari 10 Desa/Kel) 2. Cibunar 3,134 (3 dari 10 Desa/Kel) 2. Linggajaya 3,814
6. Swahdadap 6,136 13. Rancamulya 6,051 (4 dari 11 Desa/Kel) 2. Cikareo Utara 4,561
7. Mangunagra 6,274 85,010 3. Cikareo Selatan 4,545
SUMEDANG
8. Cikahuripan 7,633 8. SELATAN 1. Pasanggrahanbaru 12,414 4. Cisurat 3,987
(12 DARI 14
9. Pasirnanjung 6,538 Desa/Kel) 2. Kotakulon 11,352 20,388
4. TANJUNGSARI 1. Tanjungsari 5,689 12. Margalaksana 4,585 (2 dari 9 Desa/Kel) 2. Tolengas 5,218
(9 dari 12
Desa/Kel) 2. Gudang 5,403 74,956 9,041
6. Margajaya 8,549 10. CISARUA 1. Cisarua 4,905 (5 dari 12 Desa/Kel) 2. Conggeang Kulon 3,536
19,093
LAPORAN AKHIR
STUDI KELAYAKAN
KAWASAN JATINANGOR SEBAGAI
KAWASAN PERKOTAAN
BAPPEDA
KABUPATEN SUMEDANG
2009
LAPORAN AKHIR
STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR
SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAN
BAPPEDA SUMEDANG 2009
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
1. B.F. Hoseliz. 1995. Generative and Parasitic cities, Economic Development and
Cultural Change, Vol 3. Pp. 276-94.
2. Kajian Puslitbang Permukiman. 2007. Studi mengenai Konflik Pembangunan
Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Departemen PU,
Bamdung
3. Kajian Puslitbang Permukiman. 2006. Pengembangan Lembaga Lokal dalam
Pembangunan Perumahan. Departemen PU, Bandung
4. Sadu Wasisitiono, Ismail N, dan M. Fahrurozi. 2009. Perkembangan Organisasi
Kecamatan Dari Masa ke Masa. Fokusmedia. Bandung
5. UNHCS. 1996. Indicators Programme : Monitoring Human Settlements Vol 1.
Introduction, Vol 2 Urban Indicators, Worksheet, Vol 3 Housing Indicators Worksheet.
6. Victoria de Villa and Matthew S.W. 2002. Urban Indicators for Managing Cities :
Cities Data Book Asian Development Bank.
http://www.adb.org/Documents/Books/Cities_Data_Book/default.asp. 12 Oktober
2009.
7. William Alonso and John Friedmann, eds. 1964. Regional Development and Planning:
A Reader. Cambridge: The M.I.T. Press.. Out of print. An Urban Affairs Library
Selection
II. Peraturan
1. Pertumbuhan PDRB
2. Instrumen
Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)
2008 117,006,008 11.34 62,275,724 4.37
2009 138,144,567 18.07 65,444,945 4.90
2010 158,994,004 15.09 68,828,839 4.95
2011 178,850,597 12.49 72,406,076 5.04
2012 199,127,727 11.34 76,011,095 5.05
2013 235,102,574 18.07 79,795,603 5.06
2014 270,585,376 15.09 83,768,539 5.07
2015 299947087.1 12.49 88,031,532 5.08
CIMANGGUNG
Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)
2008 102158942.3 11.12 54,857,134 4.82
2009 119,670,369 17.14 57,489,874 4.80
2010 137,516,203 14.91 60,309,989 4.91
2011 154,257,666 12.17 63,260,085 4.95
2012 171,412,361 11.12 66,354,487 4.82
2013 200,794,763 17.14 69,553,435 4.80
2014 230,738,265 14.91 72,891,490 4.91
2015 258,828,745 12.17 76,467,117 4.89
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
1 Pertanian 4,623,611 5,246,488 6,408,540 7,344,496 8,206,733 86,206,976 10,098,402 11,604,325 13,017,056 14,464,658 16,944,096 19,470,883 21,841,302
Pertambangan dan
2 Penggalian 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Industri Pengolahan 41,134,539 45,358,635 52,527,535 60,286,691 67,467,987 766,951,243 89,841,708 103,239,345 115,807,883 128,686,653 150,745,289 173,225,168 194,313,903
Listrik, Gas dan Air
4 bersih 1,138,839 1,375,037 1,639,698 1,955,269 2,395,605 21,233,591 2,487,332 2,858,255 3,206,224 3,562,782 4,173,491 4,795,862 5,379,719
5 Bangunan/Konstruksi 956,332 1,061,275 1,266,597 1,454,247 1,604,709 17,830,758 2,088,719 2,400,199 2,692,404 2,991,821 3,504,659 4,027,291 4,517,581
Perdagangan, Hotel, dan
6 Restoran 4,114,170 4,652,417 5,663,413 6,570,530 7,328,391 76,708,476 8,985,735 10,325,732 11,582,804 12,870,906 15,077,153 17,325,532 19,434,773
Pengangkutan dan
7 Komunikasi 388,984 438,067 599,436 710,133 799,686 7,252,586 849,578 976,271 1,095,124 1,216,910 1,425,505 1,638,084 1,837,507
Keuangan, Persewaan,
8 dan Jasa Persh. 1,034,368 1,175,527 1,347,078 1,493,291 1,663,460 19,285,735 2,259,157 2,596,054 2,912,102 3,235,951 3,790,637 4,355,915 4,886,212
9 Jasa-jasa 1,400,919 1,577,600 1,869,272 2,142,734 2,468,456 26,120,059 3,059,739 3,516,022 3,944,069 4,382,681 5,133,932 5,899,530 6,617,749
Total 54,791,762 60,885,046 71,321,569 81,957,391 91,935,027 102,158,942 119,670,369 137,516,203 154,257,666 171,412,361 200,794,763 230,738,265 258,828,745
Kuesioner ini disusun untuk keperluan Pengkajian Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaaan Kuesioner ini
ditujukan kepada Kepala Desa atau perangkat desa yang ditugaskan. Pada pertanyaan/pernyataan yang disusun, Bapak/Ibu/Saudara
dapat mengisi sesuai dengan kondisi desa.
Desa ……………………….
Kepala Desa
(…………………………….)
Tahun/Jiwa
No Desa 2005 2006 2007 2008 2009
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 28 17 27 16 26 15 24 15 14 24
2 Sayang 43 31 22 39 25 39 65 63 95 51
3 Mekargalih 4 9 1 2
4 Cintamulya 5 1 0 1 3 1 10 13 15 23
5 Cisempur 14 9 8 14
6 Jatimukti 21 5 18 13 34 8 26 14 33 20
7 Jatiroke 2 4 3 4 5 6 6 10 8 12
8 Hegarmanah 30 90 30 59 41 106 126 133 113 139
9 Cikeruh 17 48 23 36 21 72 45 99 65 114
10 Cibeusi 10 15 10 17
11 Cileleus - - - - - - - - - -
12 Cilayung 3 1 3 2 2 - 5 5 6
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 8 40 6 16 2 10 8 26 6 21
2 Sawahdadap
3 Sukadana 18 11 29 5 42 6 41 2 58 9
4 Cihanjuang - - - - - - - - - 10
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih - - 250 9 356 7 214 10 287 15
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Jumlah Pengangguran (jiwa) Jumlah penduduk usia ketergantungan (jiwa)
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
Kecamatan Jatinangor
1 Cipacing 3192 3335 3464 3608 3758 793 831 866 92 940 3784 3941 4105 4276 4454
2 Sayang 780 945 1033 1360 1360 309 404 410 417 428 1161 1260 1573 1741 1966
3 Mekargalih 1388 1388 520 611 722 6325
4 Cintamulya 476 390 303 335 185 213 195 156 127 95 1785 2360 2498 3031 3520
5 Cisempur 686 1967 2380
6 Jatimukti 2434 2538 2557 2569 1343 4255 4347 4436 4548 4630
7 Jatiroke 1627 1627 1627 1627 1627 1657 1459 1460 1465 1567 1105 1112 1122 1153 1265
8 Hegarmanah 1802 1922 2047 2216 2216 3390 3571 3713 3953 4113
9 Cikeruh 1149 1149 1149 1149 1149 2751 2979 2973 3152 3276 -
10 Cibeusi 2016 - -
11 Cileleus 1455 1455 505 1224 1237 -
12 Cilayung 2272 2272 683 1317
Kecamatan Cimanggung
1 Mangunarga 326 359 486 421 386 296 328 342 252 192 3294 3623 4252 4426 4638
2 Sawahdadap
3 Sukadana 116 116 218 262 318 621 569 982 582 1039 1229 1497 1188 1344 1435
4 Cihanjuang - - - 1515 1515 - - - - - - - - 2043 2051
5 Sindangpakuon
6 Sidanggalih 871 800 757 575 575 - - - - - 5516 5527 5688 5718 5843
Tingkat kematian ibu Tingkat kematian Bayi Angka Prevalensi Penyakit Diare
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing - - - - - - - 2 1 3 - - - - -
2 Sayang 2 2 1 3 2 4 3 4 1 3 - - - - -
3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -
4 Cintamulya 6 17 11 - 9 1 1 2 1 4 1 2 2 1 4
5 Cisempur - - - 1 5 - - - 1 1 5% 10% 7% 5% 15%
6 Jatimukti - 1 - - - 1 1 - - 1
7 Jatiroke 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30%
8 Hegarmanah 21 23 26 16 12 1 1 2 - - 20 (%?) 18 15 16 12
9 Cikeruh - - - - - - 1 2 2 4 2.5 1.5 0.5 0.5 0.5
10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -
11 Cileleus - - - - - - - - 1 - - - - - -
12 Cilayung - - - - - - - - 2 2 - - - - -
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 18 15 14 12 10 4 5 3 3 3 20% 20% 10% 10% 10%
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - 1 - - - 2 - - - - - - -
4 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah pemukiman kumuh (unit) Luas Pemukiman kumuh (ha) Ruang Terbuka Hijau (ha)
No Desa Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 70 70 64 60 54 20 187 16 15 15 30 30 27 27 27
42
2 Sayang 120 - - -
65 10000m2 900m2 700m2 600m2 0.25 46 ha ha 30 ha 33 ha 28
3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -
4 Cintamulya - - - - - - - - - - - - - - -
5 Cisempur 44 0.2324 - - - - -
6 Jatimukti 873 975 979 981 987 40 40 40 40 40 - - - - -
7 Jatiroke 1294 186 - - - - -
8 Hegarmanah 94 90 86 84 82 0.329 0.315 0.301 0.294 0.287 35 35 35 35 35
9 Cikeruh - - - - - - - - - - - - - - -
10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -
11 Cileleus - - - - 1417 - - - - 60 20
12 Cilayung - - - - - - - - - - 280 271 268 265 263
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 61 75 58 55 43 1640m2 1,6 ha 800m2 600m2 200m2 1,57 ha 3 ha 2.5 ha 2,5 ha 2.5
2 Sawahdadap
3 Sukadana 28 14 12 9 6 1 1 500m2 200m2 200m2 15 15 15 15 15
4 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalih 35 30 30 31 30 - - - - - 10 12 12 12 12
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 253 259 270 160 185 210 45 49 54 1454 1620 1810 126 119 110
2 Sayang 87 99 103 105 105 20 21 24 26 26 30 34 37 39 48 693 703 715 719 723 97 99 100 103 105
3 Mekargalih 59 4 10 881 10
4 Cintamulya 21 26 30 35 35 15 15 15 18 20 12 12 12 12 14 2015 2095 3156 3262 3780 115 98 75 75 75
5 Cisempur 56 67 6 6 10 10 464 524 54 50
6 Jatimukti 30 32 35 37 39 9 10 11 12 15 470 471 473 475 480 481 485 488 490 493
7 Jatiroke 130 130 130 130 130 4 5 7 7 7 5 5 5 6 6 18 18 18 18 18 160 165 175 180 185
8 Hegarmanah 745 758 767 787 791 15 18 25 31 31 12 12 14 16 16 721 741 734 738 731
9 Cikeruh 157 159 171 166 166 97 101 103 107 112 438 441 413 427 438 217 235 248 255 258
10 Cibeusi 2600 2600 4 5 412 412 94 94
11 Cileleus 50 3 4 400 441
12 Cilayung 47 - 1 375 830
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 63 66 73 85 90 22 23 45 49 55 - - - - - 1147 1539 1861 2000 2600 66 69 75 81 95
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - - - - 7 7 9 11 84 2 3 6 7 19 - 1 4 6 11 421 514 617 781 788
4 Cihanjuang - - - 75 75 27 27 15 15 3950 3950 1334 1334
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalig 10 13 13 13 21 4 4 5 6 8 2 2 2 3 3 351 395 459 734 765
2005 2006 2007 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
KECAMATAN JATINANGOR
1 Cipacing 253 595 605 625 1600 1625 1785
2 Sayang 87 99 103 390 399 419 422 427 330 419 427 430 438 3 3 3 3 3 73 76 79 84 87
3 Mekargalih 193 336
4 Cintamulya 21 26 30 455 497 504 625 715 97 78 50 50 50
5 Cisempur 206 231 78 78
6 Jatimukti 48 49 51 54 58 310 313 315 317 321
7 Jatiroke 130 130 130 405 405 405 410 410 405 405 405 410 410 - - - - - - - - - -
8 Hegarmanah 79 76 68 63 51 1375 1381 1437 1438 1451
9 Cikeruh 233 246 265 287 323 118 123 127 127 131
10 Cibeusi 153 153 63 63
11 Cileleus 200 408 - -
12 Cilayung 550 1800
KECAMATAN CIMANGGUNG
1 Mangunarga 63 66 73 654 687 725 980 1085 606 636 676 710 740
2 Sawahdadap
3 Sukadana - - - 102 241 202 303 109 71 88 98 103 109 - - - - - - - - - -
4 Cihanjuang - - - 109 109 2817 2817
5 Sindangpakuon
6 Sindanggalig 451 462 527 567 750 1233 1252 1301 1323 1379
Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan terlebih dahulu disampaikan
Laporan Panitia Pengelenggara, Sambutan Camat Jatinangor, Sambutan dari
Ketua DPRD Kabupaten Sumedang, dan penyampaian sepintas pandangan
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumedang terkait Studi Kelayakan Kawasan
Perkotaan Jatinangor dan Sambutan Bupati Sumedang.
Pelaksanaan diskusi publik dipandu oleh Drs. Herman Suryatman, M.Si.
(Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Bappeda Kab. Sumedang).
Sekilas Pandang dari Perwakilan Masyarakat Jatinangor yang disampaikan
oleh Bapak Warson (Kepala Desa Jatinangor).
Jatinangor adalah penyumbang PAD terbesar bagi Kabupaten Sumedang.
Segenap komponen pemerintahan desa akan mendukung upaya yang
dilakukan pemerintah terhadap Jatinangor selama 2 tujuan utamanya dapat
diperjuangkan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Pubik dan Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat.
Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dibuka langsung oleh Bapak Wakil Bupati
Sumedang.
Acara dihadiri oleh Anggota DPRD Kabupaten Sumedang terutama dari Dapil
I, Pimpinan OPD se Kabupaten Sumedang, tokoh masyarakat, tokoh prmuda
dan organisasi masyarakat di Jatinangor
LaPORAN paNITIA DISAMPAIKAN OLEH Kabid Pemsos Bappeda Kabupaten
Sumedang
Sambutan dari DPRD Kabupaten Sumedang disampaikan oleh Bapak Otong
Dartum (Anggota DPRD dari Dapil I): DPRD Kabupaten Sumedang siap
mendukung tindak lanjut musyawarah perencanaan Kawasan Perkotaan
Jatinangor dari sisi politik.
Sambutan Bupati Sumedang disampaikan oleh Bapak Wakil Bupati Sumedang
1 Penduduk Jatinangor yang mayoritas petani akan terkena dampak Antisipasi kebijakan yang dapat melindungi masyarakat petani
negatif pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor Jatinangor
2 Masalah pengelolaan sampah Perlu menetapkan TPA, penanganan sampah, teknologi daur ulang
3 Ada kawasan kritis bekas perkebunan di bagian utara Jatinangor Konservasi , penghijauan kembali lahan kritis
termasuk desa Cileles , potensial menjadi penyebab banjir di
Jatinangor
6 Desa Sindang Sari Manglayang timur akan kena dampak sebagai Antisipasi kebijakan di bidang pariwisata
areal wisata seperti Dago nya Bandung
7 Kekuarangan air bagi kegiatan pertanian akibat akibat eksploitasi Perlu mencari dan memanfaatkan sumber-sumber air di tempat
besar-besaran bagi pasokan ke kawasan perkotaan Jatinangor lain
8 Hilangnya kepribadian, krisis multi dimensi, penjajahan kultur lokal Perlu Langkah-langkah operasional untuk pelestarian budaya local
dan budayawan diberdayakan
9 Usaha-usaha kecil/warung sepanjang jalan di Jatinagor menjadi Perlu kebijakan yang dapat melindungi pengusaha-pengusaha
mati/kalah bersaing oleh toko-toko swalayan kecil dan pembatasan berkembangnya toko-toko swalayan/pasar
modern
11 Perkembangan kota ke arah kota yang semrawut Ketertiban dan keindahan kota libatkan peran serta masyarakat
Apabila dulu, masyarakat Jatinangor dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat
pendidikan yang rendah, maka dapat dilihat sekarang bahwa hal itu sudah berubah.
Kawasan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan telah mengubah pandangan masyarakat
tentang pentingnya pendidikan. Banyak penduduk asli jatinangor yang tergusur ke daerah
pinggiran karena pembangunan fisik yang hebat di Jatinangor, mereka adalah penduduk
yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi perkembangan Jatinangor. Di masa
depan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi semoga Masyarakat Jatinangor mempunyai
kemampuan dan kekuatan untuk mengimbangi setiap kemajuan/pembangunan di Jatinangor.
Apabila pengrajin Cipacing masa lalu masih menjual produk di lokasi usaha, maka sekarang
pengrajin Cipacing memperluas wilayah pemasaran sampai ke Pulau Bali. Dan ada juga
yang sudah memanfaatkan kemajuan Iptek dengan melakukan order melalui pesanan
telepon. Itu semua disebabkan karena pengaruh kehadiran PT dan pendatang serta budaya
mahasiswa yang akrab dengan kemajuan zaman di Jatinangor yang secara perlahan
memberi dampak positif terhadap iklim usaha di Jatinangor.
Iya, Masyarakat Jatinangor mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain, apakah dalam
bentuk lembaga resmi seperti forum Jatinangor atau dalam bentuk hubungan informal
sebagai upaya untuk saling berbagi dan bertukan informasi terhadap perkembangan
Jatinangor. Dibandingkan dengan daerah lain, hubungan masyarakat Jatinangor jauh lebih
kental dan dekat karena mempunyai keinginan yang sama. Sampai saat ini masih banyak
masyarakat yang datang ke rumah (pada saat wawancara juga terlihat beberapa orang yang
datang ke rumah nara sumber dan dipersilahkan menunggu sampai wawancara usai)untuk
sekedar bertanya dan berdiskusi tentang berbagai hal.Apabila dulu, hubungan antar
masyarakat diwadahi oleh Forum jatinangor, maka sekarang masyarakat Jatinangor sudah
lebih maju dan mandiri sehingga forum lebih banyak dilakukan secara informal tapi dengan
hubungan yang jauh lebih erat, karena merasa senasib sepenanggungan.
Sebagai salah satu wakil masyarakat yang ’ditua kan’ pintu rumah selalu terbuka lebar dan
selalu memberikan waktu untuk masyarakat apabila ada yang ingin bertanya atau hanya
sekedar silaturahmi. Aspirasi masyarakat Jatinangor selalu dibawa ke forum yang resmi
agar mendapat perhatian yang lebih luas. Di luar itu, masyarakat sendiri secara mandiri
Masyarakat Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari pemerintah.
Walau masih ada ketidakmengertian masyarakat terhadap arti ’Kawasan Perkotaan’ karena
masih banyak yang beranggapan bahwa Jatinangor akan menjadi Kota otonom (banyak
masyarakat yang memanggil Pak Ismet sebagai walikota,red) tapi pada dasarnya
Masyarakat jatinangor ingin merasakan dampak pembangunan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat.Dari dua belas desa di kecamatan jatinangor diharapkan
semuanya masuk ke kawasan perkotaan karena perjuangan ini merupakan perjuangan
bersama seluruh masyarakat Jatinangor.
Apabila studi tentang Kawasan perkotaan Jatinangor disetujui, diharapkan masyarakat akan
jauh lebih perduli dan semakin meningkatkan pasrtispasinya terhadap pembangunan di
Jatinangor. Karena apabila ini disetujui maka maju dan tidaknya Jatinangor sangat
ditentukan oleh masyarakat Jatinangor sendiri.