Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah suatu keadaan yang akut, berat,


yang merupakan komplikasi diabetes yang mengancam jiwa, yang ditandai
dengan hiperglikemia, ketoasidosis, dan ketonuria. KAD merupakan suatu kondisi
defisiensi insulin absolut atau relatif yang diperburuk dengan hiperglikemia,
dehidrasi, dan asidosis yang dihasilkan dari metabolisme.1
KAD terjadi lebih sering pada pasien-pasien dengan Diabetes Tipe 1
(DT1) autoimun, jumlah keseluruhan kasus ketoasidosis diabetikum dilaporkan
pada pasien dengan diabetes tipe 2 setidaknya sepertiga dari seluruh kasus.
Kemudian dilaporkan bahwa mortalitas lebih dari 10% di Indonesia dan Negara-
negara Africa sub-Saharan. 2
Sebuah studi oleh Zhong et al menemukan di Inggris, untuk orang dewasa
dengan diabetes tipe 1 atau 2, terdwapat peningkatan insidens rawat inap KAD
antara tahun 1998 dan 2013. Lebih spesifik, peneliti melaporkan bahwa insiden
pasien dengan diabetes tipe 1 meningkat antara 1998 dan 2007 dan tetap pada
jumlah yang sama sampai tahun 2013, sementara insidens yang berkaitan dengan
diabetes tipe 2 bertambah tiap tahunnya 4,24% antara tahun 1998 dan 2013.
Insidens KAD di Negara-negara berkembang tidak diketahui, namun dapat lebih
tinggi daripada Negara industrial.1
Penyebab paling sering KAD adalah infeksi yang mendasari, kesalahan
penggunaan insulin, dan diabetes onset baru. KAD secara klinis didefinisikan
sebagai kondisi akut diabetes tidak terkontrol berat yang berkaitan dengan
ketoasidosis yang memerlukan penatalaksanaan segera dengan insulin dan cairan
intravena.1
Penyebab kematian pada pasien KAD jarang disebabkan oleh komplikasi
metabolik hiperglikemia atau asidosis metabolik, tetapi berhubungan dengan
faktor presipitasi yang mendasari, tingkat keparahan dehidrasi, dan usia lanjut.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 10 Desember 1960 (59 tahun)
Alamat : Desa Ulak Mengkudu, Kabupaten Empat Lawang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
No. Reg RS : 000731
Ruang : Bangsal Penyakit Dalam Kelas II
DPJP : dr. Kurniawan, SpPD
MRS tanggal : 11 Agustus 2019

2.2. Anamnesis (Autoanamnesis pada tanggal 11 Agustus 2019)


Keluhan Utama:
Badan lemas sejak ± 1 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak ± 1 bulan SMRS os mengeluh badan lemas, mual (+), muntah (-). Os
juga mengeluh berat badannya menurun padahal os banyak makan.Os juga
mengaku banyak minum karena sering merasa haus. BAB biasa. BAK sering.
Sejak ± 1 hari SMRS os mengeluh badan lemas yang semakin berat hingga
mengganggu aktivitas sehari-sehari. Os juga mengeluh nyeri pada perut (+), mual
(+), muntah (+) isi apa yang dimakan, frekuensi ± 3x, banyaknya seperempat
gelas belimbing tiap kali muntah. Os datang ke IGD RSUD Tebing Tinggi Empat
Lawang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat kencing manis sejak 10 tahun yang lalu

2
- Riwayat darah tinggi disangkal.
- Riwayat penyakit jantung disangkal.
- Riwayat alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat kencing manis pada ibu pasien.
- Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan :
- Riwayat konsumsi obat diabetes tiga kali sehari, namun tidak rutin dan os
jarang kontrol ke dokter

Riwayat Kebiasaan :
- Merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
- Obat-obatan narkotika disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Os adalah ibu rumah tangga. Os sudah menikah dan tinggal bersama
suaminya, tiga orang anaknya, serta dua orang cucu. Kesan sosioekonomi
menengah.

Riwayat Gizi :
Sehari-hari os mengkonsumsi nasi dengan telur, tahu, tempe, ikan, ayam,
daging, sayur, buah, dan teh. Berat badan tertinggi os adalah 50 kg (± 10 tahun
yang lalu). Saat ini berat badan os adalah 45 kg.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg

3
Nadi : 130 x/menit, reguler, isi cukup, tegangan baik.
Pernafasan : 26 x/menit, cepat dan dalam
Suhu : 36,7°C
BB : 45 kg
TB : 150 cm
IMT : 20 kg/m² (normoweight)

Keadaan Spesifik
Kepala : bentuk normocephali
Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya (+/+)
Telinga : sikatrik (-/-), CAE lapang, sekret (-/-)
Hidung : fraktur (-), deviasi septum (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), stomatitis (-), nafas bau aseton (+).
Leher : JVP (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),
trakea ditengah
Thorax :
Paru-paru Anterior
I : Statis, simetris kanan sama dengan kiri.
Dinamis, simetris kanan sama dengan kiri.
Pelebaran sela iga (-).
P : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-).
P : Sonor, batas paru hepar ICS VI, peranjakan sela 1 iga, batas paru
gaster ICS VII, batas jantung kanan atas ICS II line parasternalis
dextra, batas jantung kiri atas line para sternalis sinistra, batas
jantung kanan bawah ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri
bawah ICS V linea midclavicularis sinistra.
A : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) di kedua lapangan
paru

4
Paru-paru Posterior
I : Statis, simetris kanan sama dengan kiri.
Dinamis, simetris kanan sama dengan kiri.
Pelebaran sela iga (-).
P : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-).
P : Sonor, batas bawah paru kanan dan kiri T10.
A : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea sternalis
kanan, batas kiri jantung linea midklavikularis kiri ICS V.
A : HR 130 x/menit, bunyi jantung I dan II normal, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen :
I : Datar.
P : Lemas, nyeri tekan (+) regio epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba.
P : Timpani, shifting dullness (-).
A : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas :
Palmar pucat (-), akral hangat, edema pretibia (-), tonus eutoni, gerakan luas,
kekuatan baik.

5
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Agustus 2019

Pemeriksaan Hasil
Hb 10,9 g/dL
WBC 5.500/mm3
Hematokrit 33%
PLT 215.000/mm3
Diff. Count 2/0/4/55/26/10
GDS 364 mg/dL

Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Rutin

Warna Jernih
Berat Jenis 1,015
Reaksi 6,0
Protein +++/ positif 3
Albumin Negatif
Reduksi +++/ positif 3
Sedimen
Leukosit 2-3/ lpb
Eritrosit 1-2/ lpb
Epitel +

Tabel 1. Hasil Laboratorium Urin Rutin

6
Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG
- Irama ventrikular takikadi
- Frekuensi 130 x/menit
- Normoaksis
- Gelombang P, interval PR, kompleks QRS, segmen ST, Gelombang T
normal

2.5. Resume
Sejak ± 1 bulan SMRS os mengeluh badan lemas, mual (+), muntah (-). Os
juga mengeluh berat badannya menurun padahal os banyak makan.Os juga
mengaku banyak minum karena sering merasa haus. BAB biasa. BAK sering.
Sejak ± 1 hari SMRS os mengeluh badan lemas yang semakin berat hingga
mengganggu aktivitas sehari-sehari. Os juga mengeluh nyeri pada perut (+), mual
(+), muntah (+) isi apa yang dimakan, frekuensi ± 3x, banyaknya seperempat
gelas belimbing tiap kali muntah. Os datang ke IGD RSUD Tebing Tinggi Empat
Lawang.

7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 130
x/menit, berat badan 45 kg, tinggi badan 150 cm, IMT 20 kg/m2 (normoweight).
Pada pemeriksaan kepala didapatkan mulut kering dan napas bau aseton. Pada
pemeriksaan thorax ditemukan laju pernapasan 26x/m, nafas cepat dan dalam.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium.
Dari pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) 364 mg/dL. Pada pemeriksaan urin rutin
didapatkan reduksi +++/ positif 3, keton +++/ positif 3.

2.6. Diagndosis Banding


- Ketoasidosis diabetikum
- Hyperosmolar Hyperglycemic state

2.7. Rumusan Masalah


Ketoasidosis diabetikum

2.8. Pengkajian
Diagnosis ketoasidosis diabetikum, ditegakkan dari:
 Anamnesis: pasien mengeluh badan lemas, mual, muntah dan nyeri
perut, pasien memiliki riwayat kencing manis sejak 10 tahun yang
lalu, tetapi tidak rutin minum obat dan jarang kontrol ke dokter.
 Pemeriksaan fisik: bibir kering, bau nafas aseton, RR 26x/ menit,
nafas cepat dan dalam (Kussmaull), HR 130x/menit.
 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: GDS 364 mg/dL, dari urin rutin didapatkan reduksi
+++/ positif 3, keton +++/ positif 3.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah ketoasidosis
diabetikum.

2.9. Penatalaksanaan
Usulan pemeriksaan:

8
- Analisis gas darah dan pH
- Biokimia darah, seperti elektrolit dan bikarbonat.
Tatalaksana:
- Rehidrasi dengan IVFD Nacl 1000 ml (IV)
- Bolus novorapid 10 U (IV)
- Drip novorapid 100 unit dalam NS 100 ml (infus pump) kecepatan 5
cc/jam
Evaluasi KGDS per jam, kemudian:
 Bila GDS <200, kecepatan 2,5 cc/ jam
 Bila GDS <100, stop
 Bila GDS <60, masuk D40
- Inj. Ondansentron 2x8 mg (IV)
- Inj. Omeprazole 1x40 mg (IV)

2.10. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2.11. Follow Up
List Kontrol KGDS di bangsal
Tanggal Jam KGDS
23.00 136
11 Agustus 2019
24.00 55
01.00 256
02.00 88
03.00 85
12 Agustus 2019
04.00 80
05.00 92
06.00 313

9
07.00 524
08.00 215
09.00 226

Tanggal P
12/08/2019 S: nyeri ulu hati (+), badan lemas (+), mual Non Farmakologis
Pukul (+), muntah (-) - Istirahat
08.00 O: KU : tampak sakit sedang - Cek KGDS/ jam
Sens : CM
TD : 120/80 mmHg Farmakologis
N : 86 x/m - Drip novorapid 100
RR : 20 x/m unit dalam NS 100
T : 36,5oC ml (infus pump)
kecepatan 5 cc/jam
Keadaan Spesifik - Evaluasi GDS per
Kepala : Normocephali, simetris, jam, kemudian:
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-). - Bila GDS <200,
Mulut : Mukosa bibir kering (-), nafas bau kecepatan 2,5 cc/
aseton (-) jam
Leher : JVP (5-2) cmH20, pembesaran - Bila GDS <100,
KGB tidak ada. stop
Thorax - Bila GDS <60,
Paru-paru masuk D40
I : Statis, simetris kanan sama dengan - Inj. Ondansentron
kiri. Dinamis, simetris kanan sama dengan 2x8 mg (IV)
kiri. Nafas cepat dan dalam (-). Pelebaran - Inj. Omeprazole
sela iga (-). 1x40 mg (IV)
P : Stem fremitus kanan sama dengan
kiri, nyeri tekan (-).

10
P : Sonor, batas paru hepar ICS VI,
peranjakan sela 1 iga, batas paru
jantung jelas, batas paru gaster ICS
VII.
A : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi
(+/+).
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas atas kanan jantung ICS II linea
parasternalis dextra, batas atas kiri
jantung ICS II parasternalis sinistra,
batas bawah kanan jantung ICS IV
linea sternalis kanan, batas kiri bawah
jantung linea midklavikularis kiri ICS
V.
A : HR 86 x/menit, bunyi jantung I dan II
normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
I : Datar.
P : Lemas, nyeri tekan epigastrium(+),
hepar dan lien tidak teraba.
P : Timpani, shifting dullness (-).
A : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas :
Palmar pucat (-), akral hangat, edema
pretibia (-), tonus eutoni, gerakan luas,
kekuatan baik.

GDS Pukul 08.00: 215

11
A: Ketoasidosis diabetikum

Pukul 09.00 Os meminta pulang APS

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.1. Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah suatu keadaan yang akut,
berat, komplikasi dari diabetes yang mengancam jiwa, yang ditandai dengan
hiperglikemia, ketoasidosis, dan ketonuria. Hal ini terjadi saat defisiensi
insulin absolut ataupun relatif menghambat kemampuan glukosa untuk
memasuki sel dalam hal utilisasi bahan metabolisme, hasilnya liver dengan
cepat memecah lemak sebagai sumber bahan. Produksi berlebih keton yang
terjadi kemudian, menyebabkan akumulasi di darah dan urin dan
meenyebabkan darah menjadi asam.1

3.1.2. Epidemiologi
KAD terjadi lebih sering pada pasien-pasien dengan Diabetes Tipe
1 (DT1) autoimun, namun jumlah keseluruhan kasus ketoasidosis
diabetikum dilaporkan pada pasien dengan diabetes tipe 2 setidaknya
sepertiga dari seluruh kasus. Kemudian dilaporkan bahwa mortalitas lebih
dari 10% di Indonesia dan Negara-negara Africa sub-Saharan.2
Sebuah studi oleh Zhong et al menemukan di Inggris, untuk orang
dewasa dengan diabetes tipe 1 atau 2, terdapat peningkatan insidens rawat
inap KAD antara 1998 dan 2013. Lebih spesifik, peneliti melaporkan bahwa
insiden pasien dengan diabetes tipe 1 meningkat antara 1998 dan 2007 dan
tetap pada tingkat yang sama sampai 2013, sementara insidens yang
berkaitan dengan diabetes tipe 2 bertambah tiap tahunnya 4,24% antara 1998
dan 2013. Insidens KAD di Negara-negara berkembang tidak diketahui,
namun dapat lebih tinggi daripada Negara industrial.1
Insidens KAD lebih tinggi pada kulit putih karena insidens
diabetes tipe 1 yang lebih tinggi pada kelompok ras ini. Insidens KAD
sedikit lebih besar pada wanita daripada pria dengan alasan yang tidak jelas.

13
Kejadian KAD berulang terlihat pada wanita muda dengan diabetes tipe 1
dan disebabkan paling besar karena kelalaian penggunaan insulin.1
Penyebab kematian pada pasien KAD jarang disebabkan oleh
komplikasi metabolik hiperglikemia atau asidosis metabolik, tetapi
berhubungan dengan faktor presipitasi yang mendasari, tingkat keparahan
dehidrasi, dan usia lanjut.2
Diantara orang-orang dengan diabtes tipe 1, KAD jauh lebih sering
pada anak-anak usia muda dan remaja daripada dewasa. KAD cenderung
lebih sering terjadi pada individu muda kurang dari 19 tahun, namun dapat
terjadi pada pasien dengan diabetes pada usia berapa pun.1

3.1.3. Etiologi
Faktor presipitasi KAD paling umum dilaporkan dalam studi epidemiologik
yang berbeda di dunia, disajikan pada Tabel 1.2

3.1.4. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme patofisiologi yang paling penting dari
KAD, yaitu defisiensi insulin dan menigkatnya konsentrasi hormon kontra
regulator seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan
(gambar 1). Defisiensi insulin pada KAD dapat mutlak pada pasien DT1
atau relatif seperti yang diamati pada pasien DT2 dengan adanya stress atau

14
penyakit bersilangan. Defisiensi insulin bersama dengan meningkatnya
hormone kontra regulator menyebabkan peningkatan produksi glukosa
hepatik karena peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis hepatik,
sama halnya dengan menurunnya penggunaan glukosa di jaringan perifer,
pada otot tertentu. Insulinopenia juga menyebabkan aktivasi lipase-sensitif
hormon dan mempercepat pemecahan trigliserid menjadi asam lemak bebas
(FFA). Di liver, FFA dioksidasi menjadi badan keton, sebuah proses yang
terutama distimulasi oleh glukagon dan peningkatan rasio glukagon/insulin.
Pengkatan rasio glukagon/insulin menurunkan aktifitas malonyl coenzyme
A, enzim yang memodulasi perpindahan FFA ke mitokondria hepatik yang
merupakan tempat oksidasi FFA. Peningkatan produksi badan keton
(asetoasetat dan b-hidroksibutirat), dua asam kuat, menyebabkan
menurunnya bikarbonat dan asidosis metabolik.2

Gambar 1. Patogenesis kegawatdaruratan hiperglikemik. Hiperglikemi dan


akumulasi badan keton didapatkan dari defisiensi insulin mutlak atau relatif
dan hormon kontra regulator yang berlebihan (glukagon, kortisol,
katekolamin, dan hormon pertumbuhan. Peningkatan badan keton dan
ketoasidosis diabetikum (KAD). Menurunnya kadar insulin bersama dengan
meningkatnya hormon kontra regulator, terutama epinefrin menyebabkan

15
aktivasi lipase sensitif hormon di jaringan adiposa dan pemecahan trigliserid
menjadi gliserol dan FFA.2
Di liver, FFA dioksidasi menjadi badan keton, sebuah proses yang terutama
distimulasi oleh glukagon. 2 badan keton utama adalah b-hidroksibutirat
dan asam asetoasetat. Akumulasi badan keton menyebabkan penurunan
konsentrasi bikarbonat di serum dan asidosis metabolik. Kadar insulin yang
lebih tinggi terdapat pada status hiperosmolar hiperglikemik (HHS)
menghambat ketogenesis dan membatasi asidosis metabolik. Ketika
kekurangan insulin, hiperglikemi berkembang sebagai hasil dari 3 proses:
peningkatan glukoneogensis, percepatan glikogenolisis, dan terganggunya
penggunaan glukosa di jaringan perifer. Hiperglikemi menyebabkan diuresis
osmotik yang menyebabkan hipovolemia, menurunnya laju filtrasi
glomerulus dan memperburuk hiperglikemi.
TNF, tumor necrosis factor.2

Stress oksidatif dan Inflamasi


Beberapa studi eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa
berkembangnya hiperglikemik dan ketoasidosis menghasilkan status inflamasi
yang dikarakteristikkan dengan peningkatan sitokin proinflamasi dan
meningkatnya marker stress oksidatif. Hiperglikemia yang berat menginduksi
produksi makrofag sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor-alfa,
interleukin (IL)-6 dan IL-1b, dan protein C-reaktif, yang menyebakan
gangguan sekresi insulin sama halnya dengan menurunnya sensitivitas insulin.
Peningkatan FFA juga meningkatkan resistensi insulin sama halnya dengan
terganggunya produksi nitrit oksid pada endotelial sel dan disfungsi endotelial.
Peningkatan respon inflamasi, stress oksidatif dan generasi jenis oksigen
relatif dapat menyebabkan gangguan kapiler dan kerusakan seluler lipid,
protein membran, dan DNA.2

16
3.1.5. Diagnosis
a. Tanda dan Gejala
Pasien dengan KAD dapat dikarakteristikkan dengan fatigue, dan gejala
klasik hiperglikemi: poliuri, polidipsi, dan kehilangan berat badan. Keluhan
gastrointestinal sering terjadi yaitu nyeri abdomen difus yang dilaporkan pada
46% pasien dan nausea serta muntah pada dua pertiga pasien. Sebagian pasien
datang dengan keluhan letargi dan stupor, namun kurang dari 25% dengan
hilangnya kesadaran. 2
Pada pemeriksaan fisik, pasien sering datang dengan tanda dehidrasi yaitu
mukosa membran yang kering, turgor kulit yang buruk, takikardi, atau
hipotensi. Pasien dengan KAD dapat memiliki gejala pernapsan Kussmaul dan
bau mulut (aseton) (Tabel 2).2

b. Temuan Laboratorium
Sindrom KAD terdiri dari trias hiperglikemia, ketonemia, dan asidois
metabolik (tabel 3). American Diabetes Association mengklasifikasikan KAD
sesuai dengan tingkat keparahan yaitu, ringan, sedang, berat tergantung pada
derajat asidosis (sejalan dengan menurunnya bikarbonat) dan perubahan
kesadaran. Kebanyakan pasien dengan KAD muncul dengan KAD ringan
sampai sedang dengan glukosa darah lebih dari 250 mg/dl, bikarbonat antara 10
dan 18 mEq/L, pH arterial lebih dari 7.3, keton urin atau darah yang tinggi, dan

17
meningkatnya anion gap asidosis metabolik lebih dari 12. Anion gap dihitung
dengan rumus berikut: sodium (Na+) - chloride[Cl-] + bicarbonate [HCO3-].2
Meskipun kebanyakan pasien datang dengan kadar glukosa plasma lebih
dari 250 mg/dl, beberapa pasien datang hanya dengan peningkatan ringan kadar
glukosa plasma (disebut “KAD euglikemik’). Fenomena ini dilaporkan selama
kehamilan, pada pasien dengan kondisi kelaparan yang lama, mengonsumsi
alkohol, sebagian pasien yang mendapat insulin, dan lebih terbaru pada
penggunaan inhibitor SGLT-2.2
Kunci kriteria diagnostik adalah peningkatan sirkulasi total badan keton
dan anion gap asidosis metabolik tinggi lebih dari 12. Penilaian ketonemia
dapat dilakukan dengan reaksi nitroprussid pada urin atau serum, yang
menyajikan estimasi semikuantitatif kadar asetoasetat dan aseton. Uji
nitroprussid menmiliki sensitifitas yang tinggi, namun hal tersebut dapat
meremehkan tingkat keparahan ketoasidosis karena penilaian ini tidak
mengenali adanya b-hidroksibutirat, produk metabolik utama pada
ketoasidosis. Oleh sebab itu, pengukuran secara langsung dari b-hidroksibutirat
serum lebih disukai untuk diagnosis.2

18
3.1.6. Diagnosis Banding
Tiga gejala utama dari KAD adalah hiperglikemia, ketosis, dan
asidosis. Kondisi ini menyebabkan ketidaknormalan metabolisme saling
tumpang tindih satu sama lain. Diagnosi banding utama untuk hiperglikemia
adalah hiperglikemia hiperosmolar. Diagnosis banding yang lain adalah
kondisi lain yang menyebabkan ketosis yaitu alkoholisme dan kelaparan,
selain itu juga kondisi lain yang menyebabkan kondisi asidosis termasuk
asidosis laktat dan konsumsi obat-obatan seperti salisilat, dan methanol.
Nyeri perut mungkin merupakan gejala ketoasidosis. Apendisitis atau
kolesistitis dapat menjadi diagnosis banding untuk gejala ini.3

3.1.7. Penatalaksaan
Algoritma American Diabetes Association untuk penatalaksanaan
kegawatdaruratan hiperglikemik dapat dilihat pada gambar 2. Secara umum,
tujuan pengobatan adalah untuk mengoreksi dehidrasi, hiperglikemia,
hiperosmolalitas, imbalans elektrolit, peningkatan ketonemia, dan identifikasi
serta mengobati faktor presipitasi. Waktu rata-rata resolusi adalah antara 10
dan 18 jam untuk KAD. Selama pengobatan, monitoring tanda-tanda vital,
volum, dan jumlah pemberian cairan, dosis insulin, dan urin output
dibutuhkan utuk menilai respon terhadap pengobatan medis. Selain itu,
pengecekan laboratorium untuk glukosa dan elektrolit, pH vena, bikarbonat
dan anion gap harus diulang setiap 2 sampai 4 jam.2
Sebagian besar pasien dengan KAD tanpa komplikasi dapat diobati di
bagaian kegawatdaruratan atau unit dibawahnya jika pengawasan perawat dan
monitoring ketat bisa dilakukan. Beberapa studi gagal menunjukkan manfaat
jelas dalam pengobatan pasien KAD di unit perawatan intensif (ICU)
dibandingkan dengan unit dibawahnya. Tingkat mortalitas, lamanya durasi
perawatan, atau waktu untuk mengatasi ketoasidosis adalah sama antara
pasien yang dirawat di ICU dan non ICU, pasien dengan KAD ringan sedang
dapat ditatalaksana dengan aman di departemen kegawatdaruratan atau unit
dibawahnya, dan hanya pasien dengan KAD berat atau mereka dengan

19
penyakit kritis sebagai faktor presipitasi (seperti infark miokardial, perdarahan
gastrointestinal, sepsis) harus dirawat di ICU.2

Gambar 2. Koreksi sodium serum dengan menambahkan 1.6 mg/dL untuk


sodium serum yang diukur untuk setiap 100 mg/dLglukosa di atas 100
mg/dl. DKA, diabetic ketoacidosis; IV, intravenous; SC, subcutaneous.
(Adapted from Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, et al.
Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care
2009;32(7):1339; with permission.)

Prinsip-prinsip pengobatan KAD


1. Penggantain cairan tubuh dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD

20
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.4

3.1.7.1 Terapi Cairan


Cairan intravena (IV) merupakan aspek penting dalam pengobatan
kegawatdaruratan hiperglikemik. Pengobatan dengan cairan IV sendiri
memperbesar volume intravaskular, mengembalikan perfusi renal, dan
mengurangi resistensi insulin dengan menurunkan kadar hormon
kontraregulator sirkulasi, salin isotonis (0.9% NaCl) merupakan
larutan yang lebih disukai dan diberikan pada jumlah inisial 500
sampai 1000ml/jam selama 2 sampai 4 jam pertama. Sebuah studi
membandingkan 2 regimen cairan IV yaitu sodium klorida dan ringer
laktat ditemukan tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal waktu
untuk mengatasi KAD, namun waktu untuk mengoreksi hiperglikemi
secara signifikan lebih panjang pada kelompok Ringer Laktat. Setelah
deplesi volum intravaskuler terkoreksi, jumlah infus normal salin harus
diturunkan menjadi 250 ml/jam atau diganti dengan saline 0,45% (250-
500ml/jam) tergantung pada konsentrasi sodium serum dan status
hidrasi. Sekali kadar glukasa plasma mencapai sekitar 200 mg/dl (11,1
mosm/L), penggantian cairan harus mengandung 5% sampai 10%
dekstrose agar dapat melanjutkan pemberian insulin sampai ketonemi
terkoreksi, sementara mencegah hipoglikemia.

3.1.7.2 Potassium
Asidosis metabolik dan defisiensi insulin keduanya menyebabkan
perpindahan ekstraseluler potassium. Oleh karena itu, meskipun kadar
potassium serum dapat normal atau meningkat pada KAD, pasien
mengalami deplesi aktual total tubuh. Defisit potassium total tubuh
diperkirakan sekitar 3 sampai 5 mEq/kg. Terapi insulin menurunkan
kadar potassium serum dengan memicu perpindahan potassium
kembali ke kompartmen intraseluler. Oleh sebab itu, penggantian

21
potassium harus dimulai saat konsentrasi serum kurang dari 5,2 mEq/L
untuk mempertahakan kadar 4 sampai 5 mEq/L. Pemberian potassium
20 sampai 30 mEq/L dari cairan adalah cukup untuk sebagian besar
pasien; bagaimanapun, dosis yang lebih rendah diperlukan pada pasien
dengan gagal ginjal akut atau kronik. Diantara pasien yang mengalami
hipokalemia, dimana kadar potassium serum kurang dari 3,3 mEq/L,
pemberian insulin dapat mengakibatkan hipokalemi simptomatik berat
dengan kelemahan otot dan meningkatknya resiko aritmia jantung.
Pada pasien tersebut, penggantian potassium harus dimulai pada 10
sampai 20 mEq/jam dan terapi insulin harus ditunda sampai kadar
potassium meningkat lebih dari 3,3 mEq/L.

3.1.7.3 Bikarbonat
Pemberian bikarbonat secara rutin tidak menunjukkan peningkatan
keluaran klinis, seperti waktu resolusi, durasi rawat, aau mortalitas
pada pasien dengan KAD dan secara umum hanya direkomendasikan
pada pasien dengan asidosis yang mengancam jiwa dengan pH kurang
dari 6,9. Terapi bikarbonat dapat meningkatkan resiko hipokalemia
dan edem serebri. Meskipun tidak ada studi pada efek terapi
bikarbonat pasien dengan asidosis berat, karena resiko potensial
menurunnya kontraktilitas jantung dan aritmia, guideline klinis
merekomendasikan pemberian 50 sampai 100 mmol sodium
bikarbonat sebagai larutan isotonis dalam 400 ml air) sampai pH lebih
dari 6,9. Pada pasien dengan KAD ringan, dengan pH lebih dari 7 atau
dengan HHS, terapi bikarbonat tidak diindikasikan.

3.1.7.4 Obat-obatan
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea

22
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.14
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.14
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.14

23
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.14
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.14
e. DPP-IV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,
secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1
menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4

24
(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan
DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.14
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.14

2. Injeksi
1) Insulin
Pemberian insulin merupakan andalan terapi KAD karena
menurunkan glukosa serum dengan menghambat produksi glukosa
endogen dan meningkatkan penggunaan perifer. Insulin juga
menghambat lipolisis, ketogenesis, dan sekresi glukagon, dengan
demikian menurunkan produksi ketoasidosis.
Infus IV yang berlanjut dengan insulin regular adalah pilihan
pengobatan. Kebanyakan protokol pengobatan merekomendasikan
pemberian 0,1 U/kg berat badan bolus diikuti dengan infus insulin
berlanjut pada 0,1 U/kg per jam sampai glukosa darah sekitar 200 mg/dl
(lihat gambar 2). Pada titik ini, dosis dikurangi setengah (0,05 U/kg per
jam) dan kadar disesuaikan antara 0,002 sampai 0,005 U/kg per jam,

25
sejalan dengan penambahan dektros 5%, untuk mempertahankan
konsentrasi glukosa antara 140 dan 200 mg/dl sampai resolusi
ketasidosis.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian dosis subkutan
analog insulin kerja cepat (Lispro dan Aspart) setiap 1 sampai 2 jam
merupakan alternatif yang efektif untuk infus IV insulin regular dalam
ketentuan waktu resolusi KAD. Pasien ditatalaksana dengan bolus inisial
0,2 sampai 0,3 U/kg diikuti dengan 0,1 sampai 0,2 U/kg setiap 1 sampai
2 jam, yang diikuti sampai glukosa kurang dari 250 mg/dl. Dosis
kemudian diturunkan setengah menjadi 0,05 U/kg setiap 1 jam atau 0.01
U/kg setiap 2 jam sampai resolusi KAD. Penggunaan insulin subkutaneus
yang terjadwal diperbolehkan untuk keamanan dan pengobatan efektif di
ruang kegawatdaruratan dan unit dibawahnya tanpa memerlukan
perawatan ICU.
Penggunaan insulin kerja cepat injeksi intramuskular juga efektif
pada pengobatan KAD, namun jalur ini cenderung lebih nyeri
dibandingan injeksi subkutan dan dapat meningkatkan resiko perdarahan
diantara pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan. Merupakan hal
yang penting untuk diingat bahwa penggunaan analog insulin subkutan
kerja cepat tidak direkomendasikan untuk pasien dengan hipotensi arteri,
KAD berat dan KAD dengan komplikasi, atau dengan HHS.

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:


- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)14

26
Tabel. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja
(Time Course of Action)

27
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro.
Nama obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.
*Belum tersedia di Indonesia

Transisi Regimen Insulin Maintenens


Resolusi KAD ditetapkan bila kadar glukosa kurang dari 250
mg/dl, pH vena lebih dari 7,30, anion gap normal, dan serum bikarbonat
18 mEq/L atau lebih. Karena pendeknya waktu paruh insulin intravena
(<10 menit), penghentian mendadak insulin dapat menyebabkan rebound
hiperglikemi, ketogenesis, dan rekuren asidosis metabolik. Insulin basal
subkutan (NPH, Glargine, Detemir, Degludec), harus diberikan minimal 2
jam sebelum penghentian infus insulin IV. Inisiasi lebih cepat, 3 sampai 4
jam sebelum penghentian drip insulin, harus diperhatikan saat
penggunaan analog insulin basal (Glargine, Determir, Degludec), yang

28
lebih lama onset kerjanya dariapada insulin NPH. Pasien dengan intake
oral yang buruk harus mendapatakan insulin basal tunggal atau, sebagai
alternatif, dapat dilanjutkan dengan drip insulin sampai bisa makan.
Pasien dengan diabetes yang sudah diketahui dapat dimulai kembali
regimen insulin sebelumnya, namun pengaturan regimen sebelumnya
harus dipertimbangkan jika terdapat riwayat hipoglikemia, atau
hiperglikemi tidak terkontrol sebelum perawatan, disesuaikan dengan
HbA1c masuk. Regimen insulin multidose dengan insulin basal dan
analog insulin prandial kerja cepat merupakan regimen insulin yang lebih
disukai untuk pasien dengan DT1 dan KAD, dan untuk kebanyakan
pasien dengan HHS.

2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.14

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan
jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau
kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara
terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus

29
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula
diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.14
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.14

3.1.8. Prognosis
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan
oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%. Di negara maju dapat
dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan
osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematian dapat
ditekan menjadi sekitar 12%.

3.1.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah
edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi
iatrogenik seperti hipogikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan
hipokalsemia.

30
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. H, 59 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Tebing Tingggi Empat


Lawang dengan keluhan badan lemas sejak ± 1 bulan SMRS, yang kemudian
bertambah berat sejak ± 1 hari SMRS. Selain itu os juga mengeluh terdapat mual,
muntah dan nyeri perut. Os juga mengeluh berat badan yang turun meskipun os
banyak makan. Os mengaku sering minum karena merasa haus. BAK sering dan
BAB biasa. Dari hal tersebut sesuai dengan trias gajala klasik DM yaitu poliuri,
polidipsi, dan polifagi. Os juga mengaku bahwa badannya lemas, mual, muntah,
dan berat badan yang menurun. Selain itu, os memiliki riwayat penyakit DM Tipe
II sejak ± 10 tahun SMRS, minum obat diabetes 3x sehari, os lupa nama obat,
namun tidak rutin diminum dan jarang kontrol ke dokter. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan sementara bahwa os menderita DM yang tidak terkontrol karena
tidak rutin minum obat yang kemudian harus dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan gula darah selanjutnya. Dimana, DM yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya suatu kondisi hiperglikemik lanjutan yaitu KAD atau
HHS yang pada pasien ini didukung dengan adanya keluhan badan lemas, mual,
muntah, dan berat badan yang menurun.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan laju pernafasan 26x/ menit dengan
pola pernafasan cepat dan dalam, HR 130 x/menit, selain itu juga didapatkan
mukosa bibir kering dan bau nafas aseton. Perrnafasan yang cepat dan dalam atau
disebut juga tipe pernafasan Kussmaul, takikardi, mukosa bibir kering yang
merupakan tanda- dehidrasi serta adanya bau mulut aseton yang merupakan tanda
asidosis. Keempat hal tersebut mengarah kepada ketoasidosis diabetikum yang
mendukung hasil anamnesis sebelumnya.
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan kadar gula darah
sewaktu adalah 364 mg/dL. Yang mendukung dugaan sebelumnya bahwa os
menderita diabetes yang tidak terkontrol. Kemudian, pada pemeriksaan urin rutin
didapatkan reduksi +++/ positif 3, keton +++/ positif 3, yang berarti ketosis (+).
Dimana hal ini semakin mendukung kesimpulan sementara sebelumnya bahwa

31
pasien menderita ketoasidosis diabetikum karena memenuhi kriteria KAD yaitu
hiperglikemia, ketoasidosis, dan ketonuria.
Penatalaksanaan pertama yang diberikan adalah rehidrasi dengan IVFD
Nacl 1000 ml (IV). Setelah itu diberikan insulin bolus novorapid 10 U kemudian
drip novorapid 100 unit dalam NS 100 ml kecepatan 5 cc/jam. Selanjutnya
dilakukan evaluasi gula darah per jam, untuk menentukan tatalaksana yang
selanjutnya diberikan. Untuk simptomatik mual, muntah dan rasa nyeri di perut
diberikan injeksi ondansentron 2x8 mg dan omeprazole 1x40 mg.
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan akan memberikan prognosis yang
baik dan menghindari timbulnya komplikasi. Maka dari itu penting untuk
memberi edukasi yang jelas pada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit
dan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat secara rutin agar kondisi
kegawatdaruratan hiperglikemik seperti ketoasidosis diabetikum dapat dihindari
karena dapat mengancam jiwa.

32

Anda mungkin juga menyukai