Oleh :
a. DEFINISI
Penyakit jantung koroner (PJK) atau dalam bahasa inggrisnya coronary
artery disease (CAD) merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh suplai darah
dan oksigen ke miokardium yang tidak adekuat. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai darah.
b. EPIDEMIOLOGI
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di
dunia. Lebih dari 7 juta orang meninggal di dunia karena CAD, dengan presentasi
12,8% dari semua kematian. Di Amerika sekitar 500.000-700.000 kematian akibat
SKA terjadi setiap tahun untuk pasien yang berusia lebih dari 35 tahun dengan
incidence rate 600 kasus per 100.000 untuk infark miokard. Satu dari 6 laki-laki
dan 1 dari 7 perempuan di Eropa meninggal akibat infark miokard. Angka
kejadian STEMI di Swedia adalah 66/100.000 kejadian per tahun.
Di Indonesia, menurut Survei Sample Registration pada tahun 2014 PJK
menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke sebesar
12,9%. Propinsi yang memiliki angka penderita PJK tertinggi adalah NTT (4,4%)
dan angka terendah pada propinsi Riau (0,3%). PJK paling banyak terjadi pada
kelompok usia 65-74 tahun (3,6%), seedangkan meurut status ekonomi, terbanyak
pada tingkat ekonomi bawah (2,1%).
e. KLASIFIKASI PJK
Penyakit jantung koroner dapat diklasifikasikan menjadi 4 sub tipe,
berdasarkan tingkat keparahan:
2
1. Angina Pektoris Stabil
Angina Pektoris Stabil adalah sindroma klinik yang ditandai dengan rasa
tidak nyaman didada, rahang, bahu, punggung atau lengan, yang dicetuskan oleh
kerja fisik atau stress emosional yang berkurang jika istirahat atau pengobatan
nitrogliserin.
a. Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen
ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut:
(1) timbul saat istirahat; (2) lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata
dan merupakan onset baru (dalam 2 bulan) dengan frekuensi cukup sering; dan (3)
bertambah berat, bertambah lama, atau lebih sering dari sebelumnya meskipun
faktor presipitasi dihilangkan.
Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri
dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang
disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG penderita angina pectoris tidak stabil dapat berupa depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan his dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG
pada UAP bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
ataupun bersamaan.Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan
kembali kegambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu
24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi
gelombang Q.
2. Ekokardiografi
3. Foto toraks
Foto toraks biasanya normal pada pasien dengan angina.Pembesaran jantung
dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA.Menurut Europian Society
4
of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mio nekrosis bila troponin T atau I
positif dalam 24 jam.Troponin tetap positif sampai 2 minggu.Resiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.CK-MB kurang spesifik untuk
diagnosis karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis
infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48 jam. Pada dasarnya pengobatan pada angina pectoris bertujuan untuk
memperpanjang hidup dan memperbaiki kualitas hidup dengan mencegah
serangan angina baik secara medical atau pembedahan.
3. NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di
temukan pada penderita NSTEMI.
Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih
besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. Gambaran EKG, secara
spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan
resiko pada pasien.
4. STEMI
a. Definisi
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda
fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara. Selain itu
diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang
lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang
lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.
f. PENATALAKSANAAN
7
Terapi medikamentosa yang digunakan bertujuan untuk mencegah dan
menghilangkan serangan angina antara lain:
8
vasospastik. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala pada
pasien yang telah mandapatkan nitrat dan B-blocker. Contohnya yaitu golongan
dihidropirin yaitu amlodipin tab 5-10mg/hari.
9
seperti LMWH atau anti faktor Xa. Selain itu pemberian heparin harus dilakukan
pemeriksaan aPTT dengan nilai target 50-70 detik. Diberikan jika tidak tersedia
antikoagulan golongan LMWH dan inhibitor faktor 10.Kelemahan lain dari
heparin adalah efek trombus yang kaya akan trombosit dan heparin dapat dirusak
oleh platelet faktor 4 serta harus dilakukan pemeriksaan aPTT 50-70 detik.
Diberikan jika tidak tersedia antikoagulan golongan LMWH dan inhibitor faktor
10.
b. Low molekular weight heparin
LMWH dibuat dengan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Dibanding
dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap protein
plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh
faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian
trombositopenia lebih sedikit. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteaprin,
nadroparin, dan enoksaparin. Kelebihan pemberian LMWH karena cara
pemberiannnya yang mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
memerlukan pemeriksaan laboratorium. Golongan LMWH yang sering digunakan
yaitu Enoksparin dengan dosis 1 mg/ kgBB dua kali sehari.
c. Inhibitor Faktor Xa
Inhibitor faktor koagulasi 10 merupakan anti koagulan paling baik dengan profil
keamanan yang baik dibandingkan anti koagulan lainnya karena menghambat
koagulasi pada jalur bersama. Contoh obat nya yaitu Fondaparinuks dengan dosis
2,5 mg subkutan
c. STEMI
- Tatalaksana awal
Tirah baring
Pemberian oksigen via nasal kanul 3-5 liter/menit, dengan target saturasi
> 94 %
Pemberian obat golongan nitrat yaitu bisa berupa nitrogliserin spray atau
Isosorbid dinitrat (ISDN) tablet sublingual 1 x 5 mg. jika nyeri dada
belum hilang, maka pemberian dapat diulang sebanyak 3 kali dengan
10
interval pemberian 5 menit. Jika nyeri tetap tidak teratasi, dapat diberikan
morfin sulfat.
Pemberian aspirin sebagai anti agregasi platelet dengan dosis 160-320
mg (2-4 tablet).
Pemberian clopidogrel dengan dosis 300 mg (4-8 tablet) dan dosis
pemeliharaan 75 mg (padak psien yang direncanakan terapi reperfusi
dengan menggunakan agen fibrinolitik)
Jika ISDN sudah diberikan sebanyak 3 kali dan nyeri tetap tidak hilang,
maka dapat diberikan analgetik golongan narkotika yaitu morfin sulfat
dengan dosis 2-4 mg yang diencerkan dengan 10 cc Nacl yang diberikan
secara bolus.
- Tatalaksana Defenitif atau Terapi Reperfusi pada STEMI
Terapi reperfusi pada STEMI terdiri atas terapi reperfusi secara kimiawi yaitu
terapi fibrinolitik dan terapi secara mekanik yaitu dengan PCI (percutaneous
coronary intervention).Terapi reperfusi pada pasien SKA bertujuan untuk
mengembalikan aliran koroner pada arteri yang berhubungan dengan area infark,
mengurangi luas infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang.
Pada pasien dengan STEMI dan LBBB baru atau diduga baru, harus
dievaluasi dengan :
a. Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik yang cepat (door-drug<30 menit) dapat membatasi
luasnya infark dan mengurangi angka kematian. Terapi ini diberikan dalam 12
jam sejak awitan gejala pada pasien tanpa kontra indikasi dan jika tindakan PCI
(Percutaneus Coronary Intervention) tidak dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
11
kesehatan tersebut. Beberapa jenis obat fibrinolitik yang tersedia seperti alteplase
recombinant, reteplase, tenecplase dan streptokinase. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada terapi fibrinolitik adalah
12
2. TD sistolik >180mmHg, TD diastolik >110mmHg Turunkan dahulu
tekanan darah sebelum pemberian fibrinolitik
3. Riwayat stroke iskemik >3bulan dengan demensia
4. Trauma atau datang dengan cardiac arrest dengan riwayat RJP lama
(>10menit) operasi besar < 3bulan
5. Perdarahan internal dalam 2-4minggu
6. Pernah mendapat streptokinase/anistreplase dalam 5 hari yang lalu atau
lebih, atau riwayat alergi terhadap obat tersebut.
7. Kehamilan trisemester I
8. Ulkus peptikum yang sudah dibuktikan dengan endoskopi.
9. Sedang menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi.
Syok kardiogenik
13
3. Pemberian obat beta blocker diberikan pada pasien dengan gagal ginjal
atau disfungsi ventrikel kiri yang dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard melalui penurunan kontraktilitas miokard
4. ACE inhibitor juga diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien STEMI
dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan EF < 40 %,
diabetes, hipertensu infark anterior. Sebagai alternative, dapat digunakan
golongan ARB.
5. Profil lipid puasa harus didapatkan saat pasien STEMI datang.
6. Statin harus diberikan pada semua pasien SKA, selain sebagai
antidislipidemia juga berguna untuk menstabilkan plak aterosklerosis dan
efek pleitropik.
7. Antagonis aldosteron juga dipertimbangkan untuk pasien pasca infark
miokard yang telah mendapat terapi ACE-inhibitor dan beta blocker serta
dengan EF < 40 % atau terdapat gagal ginjal dan diabetes.
i. KOMPLIKASI
Gangguan hemodinamik
a. Gagal jantung : Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI sering kali
terjadi disfungsi miokardium akibat adanya jejas transmural dan/atau
opbstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalanpompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung yang dapat berakhir dengan
gagal jantung kronik.
b. Hipotensi : ditandai dengan tekanan darah sitolik < 90 mmHg yang menetap.
bisa diakibatkan gagal jantung, namun bisa disebabkan hipovolemia,
gangguan irama atau komplikasi mekanis
c. Kongesti paru : ditandai dengan dyspnea dengan ronki basah di segmen basal
paru, berkurangnya saturasi oksigen atrial, dan gambaran kongesti paru pada
foto toraks.
d. Keadaan output yang rendah : yaitu yang merupakan gabungan antara tanda
perfusi perifer yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan
berkurangnya produksi urin.
14
e. Syok kardiogenik : Syok biasanya terjadi sering pada fase awal infark
miokardium, dan 50 % kasus terjadi dalam 6 jam dan 75 % dalam 24 jam.
pasien biasanya datang dengan hipotensi, takikardi, perubahan status mental,
oliguria, akral dingin dan kongesti patu.
2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
a. Aritmia supraventrikuler
b. Aritmia ventrikuler
c. Sinus bradikardi dan blok jantung
3. Komplikasi kardiak lainnya
a. Regurgitasi katup mitral
b. Ruptur jantung
c. Ruptur septum ventrikel
d. Infark ventrikel kanan
e. Perikarditis
f. Aneurisma ventrikel kiri
g. Trombus ventrikel kanan
h. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1. Wilayah yang terkena oklusi
2. Sirkulasi kolateral
3. Durasi atau waktu oklusi
4. Oklusi total atau parsial
5. Kebutuhan oksigen miokard
15
DAFTAR PUSTAKA
16