Anda di halaman 1dari 17

Diskusi Topik

Penyakit Jantung Koroner

Oleh :

Ayu Husna Rizki


Cynthia Isra
Rahma Dilla
Sonya Andzil M.Tori

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KARDIOLOGI


RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019
PENYAKIT JANTUNG KORONER

a. DEFINISI
Penyakit jantung koroner (PJK) atau dalam bahasa inggrisnya coronary
artery disease (CAD) merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh suplai darah
dan oksigen ke miokardium yang tidak adekuat. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai darah.

b. EPIDEMIOLOGI
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di
dunia. Lebih dari 7 juta orang meninggal di dunia karena CAD, dengan presentasi
12,8% dari semua kematian. Di Amerika sekitar 500.000-700.000 kematian akibat
SKA terjadi setiap tahun untuk pasien yang berusia lebih dari 35 tahun dengan
incidence rate 600 kasus per 100.000 untuk infark miokard. Satu dari 6 laki-laki
dan 1 dari 7 perempuan di Eropa meninggal akibat infark miokard. Angka
kejadian STEMI di Swedia adalah 66/100.000 kejadian per tahun.
Di Indonesia, menurut Survei Sample Registration pada tahun 2014 PJK
menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke sebesar
12,9%. Propinsi yang memiliki angka penderita PJK tertinggi adalah NTT (4,4%)
dan angka terendah pada propinsi Riau (0,3%). PJK paling banyak terjadi pada
kelompok usia 65-74 tahun (3,6%), seedangkan meurut status ekonomi, terbanyak
pada tingkat ekonomi bawah (2,1%).

c. FAKTOR RISIKO PJK


Faktor risiko dari PJK secara garis besar terbagi menjadi 2 yaitu yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
seperti usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga. Usia penderita biasanya di
atas 65 tahun (perempuan) dan 55 tahun (laki-laki). Adanya efek perlindungan
esterogen menjadi penjelasan adanya imunitas wanita pada usia sebelum
menopause. Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis
dibandingkan orang kulit putih. Adanya riwaya keluarga yang mengalami PJK di
usia dini (kurang dari 50 tahun) meningkatkan kemungkinan terjadinya
1
aterosklerosis prematur. Komponen genetik keluarga yang dapat dikaitkan seperti
adanya gangguan lipid familial.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti peningkatan kadar lipid serum,
hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, diet tinggi lemak jenuh,
kolesterol dan kalori. Peningkatan kadar LDL dihubungkan dengan meningkatnya
risiko terbentuknya artersklerosis, sedangkan peningkatan kadar HDL berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria. Hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan dinding vaskuler sehingga lebih mudah terjadi
aterosklerosis. Pengaruh nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menyebabkan pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom.

d. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS PJK


Etiologi dari PJK adalah sumbatan plak aterom pada arteri koroner.
Pembentukan plak aterom diawali dengan adanya disfungsi endotel yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti hipertensi, turbulensi aliran darah yang
tinggi, kadar gula darah yang tinggi, adanya radikal bebas, hiperlipidemia dan
homositemia. Lama-kelamaan sel endotel akan mengalami perubahan bentuk dan
ikatan antara sel endotel menjadi kendor yang mengakibatkan partikel-partikel
lipoprotein terutama LDL akan memasuki dinding arteri dan menyebabkan
oksidasi. Saat sudah mencapai tunika intima, monosit yang berdiferensiasi dengan
makrofag dan ‘memakan’ LDL yang telah teroksidasi. Hal ini akan menyebabkan
terbentuknya sel busa (foam cells). Limfosit T kemudian mensekresi sitokin yang
menyebabkan otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima dan terjadi
proliferasi. Plak yang terbentuk dapat menjadi 2 jenis, yaitu menjadi plak yang
stabil atau plak dengan kapsul fibrin yang mudah untuk pecah. Jika terjadi ruptur
plak, akan mengaktifkan terjadinya trombosis dengan mengaktifkan platelet dan
kaskade pembekuan darah.

e. KLASIFIKASI PJK
Penyakit jantung koroner dapat diklasifikasikan menjadi 4 sub tipe,
berdasarkan tingkat keparahan:

2
1. Angina Pektoris Stabil

Angina Pektoris Stabil adalah sindroma klinik yang ditandai dengan rasa
tidak nyaman didada, rahang, bahu, punggung atau lengan, yang dicetuskan oleh
kerja fisik atau stress emosional yang berkurang jika istirahat atau pengobatan
nitrogliserin.

Gejala Klinis yang ditemukan antara lain:

 Angina + sesak napas, kelelahan, mual – muntah, rasa terbakar,


restlesness sampai impending doom.

 Durasi tidak lebih dari 10 menit

 Gejala biasanya muncul atau diperparah oleh aktifitas

 Cepat menghilang setelah faktor pencetus dihilangkan

 Diberikan nitrat sublingual semakin mempercepat hilangnya gejala

2. Angina pektoris tidak stabil (UAP)

a. Definisi

Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen
ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut:
(1) timbul saat istirahat; (2) lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata
dan merupakan onset baru (dalam 2 bulan) dengan frekuensi cukup sering; dan (3)
bertambah berat, bertambah lama, atau lebih sering dari sebelumnya meskipun
faktor presipitasi dihilangkan.

b. Gejala Klinis dan Diagnosis

Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri
dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang
disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.

Menurut pedoman Ameriqan College of Cardiology dan American Heart


Association, perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
3
(NSTEMI) adalah apakah iskemia yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya pertanda kerusakan
miokardium dapat diperiksa Diagnosis angina tak stabil bila pasien memiliki
keluhan iskemia, sedangkan kenaikan enzim troponin T dan CKMB tidak terjadi,
dengan ataupun tanpa perubahan EKG seperti adanya elevasi atau depresi segmen
ST yang sebentar maupun adanya gelombang T yang negatif.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk angina pektoris tak stabil adalah:6

1. Elektrokardiografi (EKG)

Gambaran EKG penderita angina pectoris tidak stabil dapat berupa depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan his dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG
pada UAP bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
ataupun bersamaan.Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan
kembali kegambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu
24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi
gelombang Q.

2. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina


tak stabil secara langsung.Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung,
menandakan prognosis kurang baik.

3. Foto toraks
Foto toraks biasanya normal pada pasien dengan angina.Pembesaran jantung
dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.

4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA.Menurut Europian Society

4
of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mio nekrosis bila troponin T atau I
positif dalam 24 jam.Troponin tetap positif sampai 2 minggu.Resiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.CK-MB kurang spesifik untuk
diagnosis karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis
infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48 jam. Pada dasarnya pengobatan pada angina pectoris bertujuan untuk
memperpanjang hidup dan memperbaiki kualitas hidup dengan mencegah
serangan angina baik secara medical atau pembedahan.

3. NSTEMI

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di
temukan pada penderita NSTEMI.

Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih
besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. Gambaran EKG, secara
spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan
resiko pada pasien.

Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang


lebih di sukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK
dan CK-MB. Pada pasien dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin
pada daerah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2 minggu.

4. STEMI

a. Definisi

STEMI merupakan sindrom yang ditandai dengan gejalak linis iskem


iamiokard ditambah dengan gambaran EKG dengan ST elevasi persisten minimal
pada 2 lead yang salingberhubungan. Infark miokardiummenunjukan
terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI akut
yang dikenal sebagai “serangan jantung”.
5
b. Gejala klinis dan Diagnosis

Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri


dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri
dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti hipertensi,diabetes melitus,
dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di keluarga.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda
fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara. Selain itu
diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang
lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang
lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.

f. PENATALAKSANAAN

1. Angina pectoris stabil ( Stable angina)


Tujuan terapi angina pectoris stabil hampir sama dengan subset PJK
lainnya , yaitu menjaga suplai agar tetap seimbang dengan kebutuhan oksigen
miokard. Modalitas terapi bisa berupa golongan nitrat, calcium channel blocker,
beta blocker dan anti platelet.
Selain itu, perlu dilakukan penanganan faktor-fakto risiko seperti :

- Manajemen lipid dengan diet rendah lemak jenuh ( < 7 % kalori


total), asam lemak trans dan kolesterol ( < 200 mg/hari). Selain itu
perlu diberikan terapi obat penurun lipid (golongan statin) dengan
LDL > 100 mg/dL.
- Kendalikan tekanan darah dengan target < 140 /90 mmHg atau <
130/80 mmHg pada pasien DM dan penyakit ginjal kronis
6
- Kendalikan berat badan dengan target IMT 18,5-22,9 kg/m2 dan
ukuran lingkar pinggang < 80 cm untuk perempuan dan < 90 cm
untuk laki-laki.
- Manajemen Diabetes dengan target HbA1c < 7 % dengan terapi
obat dan perubahan pola hidup.
- Berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok.

2. Angina Pektoris Tidak Stabil/UAP dan Non ST elevasi Infark


Miokard (NSTEMI)
Berdasarkan International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendation
(AHA/ACC) tahun 2010, terapi untuk Unstable Angina Pectoris/Non ST Elevation
Myocardial Infarction (UAP/NSTEMI) yaitu :
 Pertimbangkan strategi invasif yaitu untuk dilakukan angiografi segera ( <
2 jam) apabila pasien memiliki risiko sangat tinggi/ very high risk (angina
refrakter, gagal jantung jantung akut, aritmia ventrikel yang mengancam
jiwa, keadaan hemodinamik tidak stabil dan gagal jantng akut), dalam 24
jam ( skor GRACE > 140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi/high
risk) dan dalam 72 jam ( jika hanya memenuhi 1 kriteria risiko tinggi).
 Waktu diatas juga berguna untuk penentuan tindakan revaskularisasi.
 Risiko tinggi terdiri dari primer dan sekunder.Risiko tinggi primer seperti
kenaikan atau penurunan troponin yang relevan, perubahan gelombang T
dan segmen ST yang dinamis/ yang simptomatis. Risiko tinggi sekunder
sepetri DM, insufisiensi ginjal (Egfr < 60 ml/menit/1.73 m2), ejection
fraction/EF 40 %, pasca infark baru, riwayat PCI dalam 1 bulan, riwayat
CABG dan skor GRACE menengah hingga tinggi.
 Mulai terapi konservatif untuk SKA seperti Nitrogliserin, heparin,
penyekat beta, CPG, penyekat glycoprotein IIb/IIIa.
 Jika tidak memnuhi kriteria risiko sangat tinggi dan risiko tinggi, terapi
hanya konservatif saja yaitu berupa terapi farmakologi saja
 Rawat dengan monitoring dan nilai status risiko

7
Terapi medikamentosa yang digunakan bertujuan untuk mencegah dan
menghilangkan serangan angina antara lain:

1. Obat anti iskemia


a. Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan
vasodilatasi pembuluh darah koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral.
Pasien dengan UAP dan STEMI yang mengalami nyeri dada dapat diberikan
nitrat sublingual yaitu ISDN tab 1 x 5 mg sampai maksimal 3 kali pemberian
dengan interval setiap pemberian 5 menit. Jika nyeri tidak dapat diatasi dengan
nitrat, dapat diberikan morfin sulfat dengan dosis 2-4 mg yang diencerkan dalam
10 cc Nacl dan beri secara bolus dan dapat diulang 5-15 menit.
b. Beta Bloker
Beta bloker dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data
menunjukkan beta-bloker dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas dari
pasien infark miokard. Berbagai macam beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, pada pasien UAP yang menunjukkan efektivitas serupa.
Kontraindikasi pemberian beta-bloker adalah pasien dengan asma bronkial, pasien
dengan bradiaritmia, gangguan konduksi AV,dan disfungsi akut ventrikel kiri. B-
blocker direkomendasikan bagi pasien UAP dan NSTEMI terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia. Pilihan B-blocker yang selektif contohnya adalah
bisoprolol 10mg/hari.

c. Calcium channel blocker/CCB atau Antagonis Kalsium


Antagonis kalsium terbagi atas dua golongan yaitu golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan amlodipin dan golongan nondihidropiridin seperti verapamil
dan diltiazem. Semua CCB memiliki efek dilatasi korener yang seimbang, tetapi
golongan dihidropirin merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina

8
vasospastik. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala pada
pasien yang telah mandapatkan nitrat dan B-blocker. Contohnya yaitu golongan
dihidropirin yaitu amlodipin tab 5-10mg/hari.

2. Obat Antiagregasi Trombosit/ Anti platelet


Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak
stabil maupun infarkl tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet
seperti aspirin, tienopiridin, dan GP IIb/IIIa inhibitor telah terbukti bermanfaat.
a. Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian
jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal pada pasien angina tak
stabil. Oleh karena itu dianjuran untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal
atau loading dose 160mg-300 mg dan dosis selanjutnya pemeliharaan 75-100
mg/hari seumur hidup.
b. Clopidrogel
Clopidrogel merupakan derivat tienopiridin yang menghambat agregasi
platelet yang merupakan penghambat reseptor ADP yaitu P2Y12. Efek samping
lebih kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan neutropenia. Pemberian obat
penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan, kecuali ada kontraindikasi sepertri perdarahan
berlebih. Dosis awal 300 mg-600 mg (4- 8tablet) dan dosis pemeliharaan 75
mg/hari selama 12 bulan.
3. Obat Anti Trombin atau Anti koagulan
Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapat terapi
antiplatelet.
a. Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glukosaminoglikans yang terdiri dari berbagai rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Memiliki kerja sebagai anti trombin III yang menginaktifkan
trombin yang diaktifkan oleh faktor koagulasi IX, X,XI,XII dan plasmin dan
menghambat konversi fibrinogen menjadi fibrin. Akan tetapi, heparin. memiliki
efek samping trombositopenia yang lebih sering dibandingkan anti koagulan lain

9
seperti LMWH atau anti faktor Xa. Selain itu pemberian heparin harus dilakukan
pemeriksaan aPTT dengan nilai target 50-70 detik. Diberikan jika tidak tersedia
antikoagulan golongan LMWH dan inhibitor faktor 10.Kelemahan lain dari
heparin adalah efek trombus yang kaya akan trombosit dan heparin dapat dirusak
oleh platelet faktor 4 serta harus dilakukan pemeriksaan aPTT 50-70 detik.
Diberikan jika tidak tersedia antikoagulan golongan LMWH dan inhibitor faktor
10.
b. Low molekular weight heparin
LMWH dibuat dengan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Dibanding
dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap protein
plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh
faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian
trombositopenia lebih sedikit. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteaprin,
nadroparin, dan enoksaparin. Kelebihan pemberian LMWH karena cara
pemberiannnya yang mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
memerlukan pemeriksaan laboratorium. Golongan LMWH yang sering digunakan
yaitu Enoksparin dengan dosis 1 mg/ kgBB dua kali sehari.

c. Inhibitor Faktor Xa
Inhibitor faktor koagulasi 10 merupakan anti koagulan paling baik dengan profil
keamanan yang baik dibandingkan anti koagulan lainnya karena menghambat
koagulasi pada jalur bersama. Contoh obat nya yaitu Fondaparinuks dengan dosis
2,5 mg subkutan

c. STEMI
- Tatalaksana awal
 Tirah baring
 Pemberian oksigen via nasal kanul 3-5 liter/menit, dengan target saturasi
> 94 %
 Pemberian obat golongan nitrat yaitu bisa berupa nitrogliserin spray atau
Isosorbid dinitrat (ISDN) tablet sublingual 1 x 5 mg. jika nyeri dada
belum hilang, maka pemberian dapat diulang sebanyak 3 kali dengan

10
interval pemberian 5 menit. Jika nyeri tetap tidak teratasi, dapat diberikan
morfin sulfat.
 Pemberian aspirin sebagai anti agregasi platelet dengan dosis 160-320
mg (2-4 tablet).
 Pemberian clopidogrel dengan dosis 300 mg (4-8 tablet) dan dosis
pemeliharaan 75 mg (padak psien yang direncanakan terapi reperfusi
dengan menggunakan agen fibrinolitik)
 Jika ISDN sudah diberikan sebanyak 3 kali dan nyeri tetap tidak hilang,
maka dapat diberikan analgetik golongan narkotika yaitu morfin sulfat
dengan dosis 2-4 mg yang diencerkan dengan 10 cc Nacl yang diberikan
secara bolus.
- Tatalaksana Defenitif atau Terapi Reperfusi pada STEMI
Terapi reperfusi pada STEMI terdiri atas terapi reperfusi secara kimiawi yaitu
terapi fibrinolitik dan terapi secara mekanik yaitu dengan PCI (percutaneous
coronary intervention).Terapi reperfusi pada pasien SKA bertujuan untuk
mengembalikan aliran koroner pada arteri yang berhubungan dengan area infark,
mengurangi luas infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang.

Pada pasien dengan STEMI dan LBBB baru atau diduga baru, harus
dievaluasi dengan :

– Langkah 1:  Nilai waktu serangan


 Risiko STEMI
 Risiko fibrinolisis
 Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli
intervensi PCI yang tersedia

– Langkah 2  Strategi terapi reperfusi ( fibrinolisis atau invasif).

a. Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik yang cepat (door-drug<30 menit) dapat membatasi
luasnya infark dan mengurangi angka kematian. Terapi ini diberikan dalam 12
jam sejak awitan gejala pada pasien tanpa kontra indikasi dan jika tindakan PCI
(Percutaneus Coronary Intervention) tidak dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
11
kesehatan tersebut. Beberapa jenis obat fibrinolitik yang tersedia seperti alteplase
recombinant, reteplase, tenecplase dan streptokinase. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada terapi fibrinolitik adalah

 Fibrinolisis bermanfaat pada pasien dengan :


 ST elevasi atau LBBB baru
 Infark miokard yang luas
 Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang rendah\
 Fibrinolisis kurang bermanfaat pada pasien yang:
 Onset serangan setelah 12-24 jam atau infark kecil
 Pasien usia > 75tahun
 Fibrinolisis mungkin berbahaya pada:
 Depresi segmen ST
 Onset lebih 24 jam
 Pada tekanan darah tinggi (TD sistolik > 175mmHg).
Agen spesifik terhadap fibrin yaitu seperti tenekplase, alteplase dan
reteplase dengan risiko perdarahan yang minimal. Di Indonesia, umumnya
digunakan streptokinase, agen yang nonspesifik dengan dosis pemberian 1,5 juta
IU dilarutkan dalam 100cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%, diberikan secara infus
selama 30-60 menit.
Kontraindikasi absolut pemberian terapi fibrinolitik :
1. Perdarahan intrakranial kapanpun
2. Riwayat stroke hemoragik dengan onset kapanpun, atau stroke iskemik
dengan kurang dari 3 bulan atau lebih dari 3 jam
3. Cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir
4. Tumor intrakranial
5. Adanya kelainan struktur vaskular serebral (AVM)
6. Kecurigaan diseksi aorta
7. Perdarahan internal aktif
8. Adanya gangguan pada sistem pembekuan darah
Kontraindikasi relatif pemberian terapi fibrinolitik adalah :
1. Tekanan darah yang tidak terkontrol

12
2. TD sistolik >180mmHg, TD diastolik >110mmHg  Turunkan dahulu
tekanan darah sebelum pemberian fibrinolitik
3. Riwayat stroke iskemik >3bulan dengan demensia
4. Trauma atau datang dengan cardiac arrest dengan riwayat RJP lama
(>10menit) operasi besar < 3bulan
5. Perdarahan internal dalam 2-4minggu
6. Pernah mendapat streptokinase/anistreplase dalam 5 hari yang lalu atau
lebih, atau riwayat alergi terhadap obat tersebut.
7. Kehamilan trisemester I
8. Ulkus peptikum yang sudah dibuktikan dengan endoskopi.
9. Sedang menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi.

b. Tindakan Percutaneous coronary intervention (PCI) primer

Tindakan PCI atau intervensi koroner perkutan primer, merupakan terpai


reperfusi yang lebih disarakan dibandingkan fibrinolisis apabila dilakukan oleh
tim berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.PCI
adalah tindakan angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent. Terapi
ini adalah terapi pilihan pada tata laksana STEMI dengan kontak doctor-balloon
atau door-balloon <90menit.

PCI menjadi pilihan pada pasien dengan :

 Syok kardiogenik

 STEMI usia>75 tahun dan syok kardiogenik

Pasien kontraindikasi fibrinolisis.

TERAPI JANGKA PANJANG STEMI


1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, diet rendah kolestrol
dan lemak, penurunan berat badan, diabetes, terutama merokok dengan
ketat
2. Terapi antiplatelet dengan asprin dosis renda yaity 75 mg/hari yang
diberikan seumur hidup dan clopidogrel dengan dosis rendah 75 mg/ hari.

13
3. Pemberian obat beta blocker diberikan pada pasien dengan gagal ginjal
atau disfungsi ventrikel kiri yang dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard melalui penurunan kontraktilitas miokard
4. ACE inhibitor juga diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien STEMI
dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan EF < 40 %,
diabetes, hipertensu infark anterior. Sebagai alternative, dapat digunakan
golongan ARB.
5. Profil lipid puasa harus didapatkan saat pasien STEMI datang.
6. Statin harus diberikan pada semua pasien SKA, selain sebagai
antidislipidemia juga berguna untuk menstabilkan plak aterosklerosis dan
efek pleitropik.
7. Antagonis aldosteron juga dipertimbangkan untuk pasien pasca infark
miokard yang telah mendapat terapi ACE-inhibitor dan beta blocker serta
dengan EF < 40 % atau terdapat gagal ginjal dan diabetes.

i. KOMPLIKASI
Gangguan hemodinamik
a. Gagal jantung : Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI sering kali
terjadi disfungsi miokardium akibat adanya jejas transmural dan/atau
opbstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalanpompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung yang dapat berakhir dengan
gagal jantung kronik.
b. Hipotensi : ditandai dengan tekanan darah sitolik < 90 mmHg yang menetap.
bisa diakibatkan gagal jantung, namun bisa disebabkan hipovolemia,
gangguan irama atau komplikasi mekanis
c. Kongesti paru : ditandai dengan dyspnea dengan ronki basah di segmen basal
paru, berkurangnya saturasi oksigen atrial, dan gambaran kongesti paru pada
foto toraks.
d. Keadaan output yang rendah : yaitu yang merupakan gabungan antara tanda
perfusi perifer yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan
berkurangnya produksi urin.

14
e. Syok kardiogenik : Syok biasanya terjadi sering pada fase awal infark
miokardium, dan 50 % kasus terjadi dalam 6 jam dan 75 % dalam 24 jam.
pasien biasanya datang dengan hipotensi, takikardi, perubahan status mental,
oliguria, akral dingin dan kongesti patu.
2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
a. Aritmia supraventrikuler
b. Aritmia ventrikuler
c. Sinus bradikardi dan blok jantung
3. Komplikasi kardiak lainnya
a. Regurgitasi katup mitral
b. Ruptur jantung
c. Ruptur septum ventrikel
d. Infark ventrikel kanan
e. Perikarditis
f. Aneurisma ventrikel kiri
g. Trombus ventrikel kanan

h. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1. Wilayah yang terkena oklusi
2. Sirkulasi kolateral
3. Durasi atau waktu oklusi
4. Oklusi total atau parsial
5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:


1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit
2. Total mortalitas 15-30%
3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%
4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Ed.6.


Jakarta: EGC;2005
2. Steg PG, James SK, Atar D, et al. ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation. Eur Heart J. 2012;33(20):2569-619
3. Medscape.com [homepage on the internet]. Zafari AM, Yang EH.
Myocardial Infarction. Medscape. [updated 2017;cited 2017 Jun 08].
Availablefrom: http://emedicine.medscape.com/article/155919-
overview#a6.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013:94.
5. LaMorte, Wayne WA. Atherosclerosis. Boston University School of
Public Health.[homepage on the internet]. Boston.c2016 [cited 2017 Jun
10].Available from: http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/mph-
modules/ph/ph709_heart/ph709_heart3.html
6. Rini NI, Kasim M,Karo-Karo S. Apakah Lp(a) Merupakan Prediktor
Kejadian Kardiovaskular Pasca Infark Miokard Akut dengan Elevasi
Segmen ST?. Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol. 28, No. 3 Mei 2007. h.
172-173.
7. Rahman AM. Angina Pektoris stabil. Dalam: Sudoyo AW dkk (editor).
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii. Jakarta: Internal Publishing. 2010.
h. 1735-1739.
8. Trisnohadi HB. Angina pektoris tak stabil. Dalam: Sudoyo AW dkk
(editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii. Jakarta: Internal
Publishing. 2010. h.1728-1733.
9. Perki. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Pedoman Tatalaksan
Sindr Koroner Akut. 2015:88. doi:10.1093/eurheartj/ehn416.

16

Anda mungkin juga menyukai