Anda di halaman 1dari 18

1.

LOGIKA ILMU SOSIAL

Metode ilmiah atau metode ilmu social adalah sangat strategis untuk mengembangkan suatu
pandangan atau suatu teori ilmu sosia. Namun setatus ilmu social sering di ragukan pemikiranya,
dicurigai bahkan diabaikan. Dilain pihak ilmuan ilmu social itu sendidi terpecah dalam suatu
pendekatan penelitian akibat kekaburan dalam filsafat ilmunya. Pandangan bahwa ilmu social
menyerupai ilmu alamiahdalam metode-metodenya tidak mendapat tempat sebagai dasar untuk suatu
kesepakatan.tetapi akhir-akhir ini filsafat realisme mulai menggeser peran dan menjadi perspektif
baru dalam metode ilmu social dan juga ilmu alamiah(sayer,1984:11). Kebenaran realisme adalah
kepatuhan dalam realistik yang objektif (teori korespondensi).
Filsafat ilmu dalam metode ilmiah sangatlah erat hubunganya, filsafat ilmu memberi landasan bagi
ilmu pengetahuan untuk berkembang lebih cepat, melalui metode ilmiah yang valid(sahih). Namun
perkembangan filsafat ilmu juga sekaligus memberi banyak nuansa, dalam metode atau dalam
kaitanya dengan uji kebenaran (contex ofjustification). Ketidaktahuan dan ketidakjelasan tentang
metode ilmu social (metode ilmiah), menyebabkan tanggapan yang negative atau menolak pandangan
ilmu social. Oleh karena itu penguasaan filsafat ilmu dan metode ilmiah mutlak untuk difahami dan
dihayati.

Peran Filsafat Ilmu


Filsafat diartikan secara harfiah mengetahui secara mendalam atau mengakar, sehinga
filsafat di artikan sebagai refleksi kritis radikal. Filsafat ilmu yang dimaksud adalah gejala
pengetahuan yang dilihat sebagai objek material filsafat adalah gejala ilmu-ilmu pengetahuan sebagai
salahsatu bidang pengetahuan khas menurut sebab musabab terakhir. Sedangkan ilmu pengetahuan
adalah ilmu pengetahuan yang diatur secara sistematis serta langkah-langkah pencapaiannya
dipertaggungjawabkan secara teoritis (Verhaak,1998:3). Ilmu pengetahuan mempunyai tiga syarat
keilmuan yaitu:

1. Deduktif (ilmu-ilmu formal), adalah ilmu yang berurusan dengan symbol-symbol abstrak.
Model deduktif ingin segera meangkap susunan keniscayaan (structure of necessity) yng
mendasari atas keniscayaan “apriori” (prius=sebelum, ilmu ini ingin mendahului adanya
segala kenyataan). Cara kerja deduksi dilakukan pada ilmu pasti, deduksi merupakan
penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sepit daripada wilayah permisnya.
struktur keterangan ilmiahnya terdiri atas gejala yang akan diterapkan (explanadium) dan
keterangan (explanans). Penjabaran kuat dinamakan “deduktif-nomologis”(DN), yang ada
dua kemungkinan:
 Kebenaran permis dapat dialihkan kepada kesimpulan.
Contohnya:
Permis 1 : semua angsa putih
Permis 2 : ini seekor angsa
Kesimpulan: angsa ini putih
 Ketidakbenaran kesimpulan dapat dialihkan kepada permis.
Contohnya:
Permis 1 : kalo hujan, maka jalan basah.
Permis 2 : sedang hujan.
Kesimpulan : jalan tidak basah.

2. Induktif (ilmu-ilmu empiris), ilmu empiris sering disebut induksi atau cara kerja “aposteriori”,
artinya ilmu itu diperoleh setelah melalui pengalaman-pengalaman. Pemeriksaan kesimpulan
secara induktif dilakukan dengan mengambil terlebih dahulu beberapa kasus yang harus
diamati, untuk kemudian di simpulkan secara umum. Kelemahan penalaran induktif meskipun
permis-permisnya benar dan prosedur penarikan kesimpulanya sah, maka kesimpulan itu
belum tentu benar, kesimpulan mempunyai peluang benar. Logika induktif memberi
kepastian namun sekedar tingkat peluang (suriasumatri,1987:221)
Contoh : selama bulan oktober beberapa tahun terakhit terus hujan, namun belum tentu bulan oktober
ini.
2. PEMIKIRAN TOKOH – TOKOH DALAM ILMU SOSIAL

1. Emile Durkheim
Durkheim merespon tentang masyarakat modern, menurutnya masyarakat modern itu
harmonis dan tertibOleh karenanya dia ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan untuk mewujudkan
masyarakat yang tertib dan harmonis

Struktur Sosial
Ciri struktur sosial terdiri dari norma – norma dan nilai – nilaiMelalui sosialisasi kita
mempelajari definisi normatif tersebut, sehingga masyarakat dapat menjalankan kehidupan sosial
merekaDurkheim yang pertama kali menekankan pandangan tentang konsensus. Kegiatan sosial,
misalnya praktek keagamaan itu ‘dipelajari’.

Solidaritas Sosial
Dalam konsep solidaritas ada konsep kolektif atau kesadaran bersama (common
consciousness), merupakan hasil kepercayaan, perasaan dari seluruh anggota masyarakat.Masyarakat
menurut Durkheim adalah realitas sui generis masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.Masalah
sentral dari eksistensi sosial adalah masalah keteraturan bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam
masyarakatMasyarakat dengan tipe berbeda, mencapai solidaritas sosial dengan cara yang berbeda
pulaMasyarakat pra modern, tradisional solidaritas mekanik pembagian kerja yang
sederhana.Masyarakat modern pembagian kerja yang kompleks modernitas mendorong terjadinya
‘individualisme’ yang berlebihan kakuPembagian kerja makin berkembang mengikuti fungsi spesialis
sehingga ketergantungan semakin besar solidaritas organikSemakin meningkat pembagian kerja,
maka terjadi perubahan struktur sosial dari solidaritas mekanik, ke solidaritas organic

“Anomi”
Bila kondisi masyarakat sudah tidak mempunyai sistem pengaturan utama dan tidak berfungsi
lagi dalam membentuk keteraturan dan hubungan harmonisnya, maka akan membawa pada kondisi
‘anomi’.Secara subyektif individu mengalami keadaan tidak pasti, tidak aman. Ada tekanan budaya
yang kuat pada individualism

Fenomenanya dalam bentuk penyakit masyarakat :


1. Anomi pada pembagian kerja, seperti kasus krisis industri dimana terjadi permusuhan antara buruh
dengan pengusaha, sehingga individu terisolasi
2. Tingginya intensitas pembagian kerja, sehingga penempatan individu tidak berdasarkan
kemampuannya
3. Bentuk patologis lainnya yaitu fungsi tugas tidak dikerjakan secara penuh pada sistem.

Fenomena moral
Aspek moral dalam solidaritas berkaitan dengan ‘moral density’ (kepadatan moral). Arti
sosiologisnya bahwa kepadatan fisik hanya penting sepanjang kepadatannya sudah menjadi kepadatan
moral, atau kepadatan yang dinamis yang nampak dalam kontak sosial.

Fakta social
Fakta sosial bersifat eksternal, koersif, aktor solidaritas sosial juga sebagai fakta, meski
bersifat non material.Hal ini terkait dengan ‘fakta sosial’ sebagai fenomena yang harus dikaji secara
empirisTeori perkembangan masyarakat cenderung unilinier, dengan tipe ideal solidaritas mekanik
dan solidaritas organic

2. Max weber
Bagi Weber, dunia sebagaimana kita saksikan terwujud karena tindakan sosialSetelah
memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan.Struktur sosial
adalah produk (hasil) dari tindakan itu, cara hidup adalah produk pilihan yang dimotivasiMemahami
realitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu, berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan
pilihan Menurutnya, teori – teori sosiologi bukanlah teori – teori mengenai sistem sosial, melainkan
mengenai makna dibalik tindakanWeber menyebut metode yang dikembangkannya sebagai verstehen
(memahami)Perhatian Weber pada teori tindakan, berorientasi pada tujuan dan motivasi pelaku.

Weber melakukan rekonstruksi makna dibalik kejadian – kejadian sejarah yang menghasilkan
struktur – struktur dan bentukan – bentukan sosial.Weber berpendapat, bahwa kita bisa
membandingkan struktur beberapa masyarakat dengan memahami :- alasan – alasan mengapa warga
masyarakat tersebut bertindak.- kejadian – kejadian historis secara berurutan yang mempengaruhi
karakter mereka.Memahami tindakan pada pelakunya yang hidup pada masa kini, tetapi tidak
mungkin menggeneralisasi semua masyarakat atau struktur sosial. * Yang membedakan dengan
pandangan Durkheim, dia lebih pada mengungkapkan kecenderungan dalam kehidupan social.

Tipe – tipe tindakanAda 4 tipe tindakan, yang dibedakan dalam konteks motif para pelakunya :
1. Tindakan tradisional ; tindakan yang bersifat non rasional, seperti kebiasaan, tanpa refleksi sadar
atau perencanaan
2. Tindakan afektif ; tindakan yang ditandai dengan dominasi perasaan, tanpa refleksi intelektual atau
perencanaan yang sadar. Tidak ada pertimbangan logis, ideologis atau kriteria rasionalitas lainnya
3. Rasionalitas Instrumental ; tindakan rasional paling tinggi, pertimbangan dan pemilihannya secara
sadar berhubungan dengan tujuan tindakan, dan alat yang digunakan untuk mencapainya.
4. Rasional yang berorientasi nilai ; tujuan sudah ada dalam hubungannya dengan nilai – nilai
individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai akhir ini bersifat non
rasional, sehingga tidak dapat memperhitungkan secara obyektif.

3. Karl marx
Marx melihat seluruh struktur sebagai lapisan – lapisan yang penuh kontradiksi dan
merupakan proses yang terus – menerus sebagai perubahan dialektika.Semua masyarakat dalam
keadaan bergerak, sebab mengandung unsur – unsur kekuatan yang saling bertentanganMarx
beranggapan bahwa realitas dunia adalah produk sejarah, dan kesadaran yang sesungguhnya adalah
eksistensi manusia dalam proses hidup yang sebenarnya.

Materialisme sejarah
Marx ‘mengkompromika’ dua aliran filsafat yang bertentangan (ekstrim) antara idealisme dan
materialismeIdealisme ; memandang kenyataan dunia ada dalam pikiran manusia, sehingga kenyataan
dunia dapat diubah.Materialisme ; meyakini bahwa dunia obyek atau fisik (yang ada di luar), adalah
membentuk pemikiran dan ide – ide manusia Ide tidak dapat bekerja dalam kekosongan (a
vacumm) dan tidak ‘berproduksi’ dalam kekosongan.Ide telah banyak dipengaruhi, oleh karena
itu harus mempunyai relevansi terhdap konteks sejarah dimana mereka bergenerasi.Ide harus
berkaitan secukupnya dengan kenyataan realitas sosial (in that historical context).Hanya dengan
tindakan, ide dapat melakukan transformasi terhadap kegiatan structural

Pandangan materialisme sejarah, bahwa pandangan atau ide dan kesadaran manusia
membentuk dunia sosial dan materi, apabila ;
1. Manusia bertindak atas dasar idenya
2. Dalam kenyataan, bahwa ciri – ciri material merupakan bagian dari masyarakat dan merupakan
bagian dari periode sejarah yang harus dibatasi susunannya pada luasnya pemikiran, bahkan dibantu
oleh tindakan sosial yang nyata, sehingga dapat membentuk kembali alam masyarakat.

Struktural konflik, pandangan serba kontradiksi


Struktur masyarakat, alam materi sehingga masyarakat dipilah menjadi bagian yang terdiri
dari materi / dasar ekonomi dan bagian superstruktur (meliputi, kelembagaan politik, kerangka
normatif, harapan, seni, sistem pengetahuan formal, ideologi dan kelembagaan.Dasar materi mengacu
pada bagian dari produksi, cara pengaturan kehidupan produktif dari masyarakat.
Hubungan antara dasar materi (base) dengan superstructure adalah secara dialektika, melalui interaksi
dan refleksi yang konsisten dengan caranya sendiri.Pandangan serba kontradiksi nampak dalam
analisisnya pada kelas sosial kapitalis dan antara kekuatan produksi dengan relasi sosial.Kekuatan
produksi berupa teknologi alat – alat, tenaga kerja, lahan dan kapital akan ditransformasikan dalam
bentuk relasi sosial diantara kelas.
Kekuatan produksi dipertemukan dengan kebutuhan dasar manusia, ternyata dalam realitas obyektif
menimbulkan suatu distribusi yang tidak seimbang.Kaum kapitalis semakin kuat ekonomi dan
kehidupannya, sedangkan kaum pekerja sebaliknya semakin lemah.Dalam masyarakat kapitalis,
hukum – hukum ekonomi yang direalisasikan pada produksi dimanapun, pasti didasarkan pada adanya
pertentangan kelas.
Pertentangan ini terjadi antara majikan dan buruh, sehingga kekuatan produksi berkembang atas dasar
pertentangan kelas.Kelas, sebagai ‘abstraksi’ dari rakyat melalui langkah politik, ekonomi.Gambaran
kelas kapitalis, adalah gambaran ‘uang dan pertentangan’Produk dari struktur kelas, berupa kekayaan
dan pendapatan.Kekayaan sebagai hasil dari dominasi relasi produksi, sebab ada keterkaitan antara
hubungan produksi, situasi kelas dan situai politik

3. TEORI ILMU SOSIAL DAN REALITAS SOSIAL

Menyadari bahwa luasnya khasanah teori ilmu sosial di tuntut sebagai perspektif dalam pengajian
ilmu sosial budaya dasar . teori ilmu sosial yang di rasakan penting untuk mengkaji realitas sosial .
teori ini di sajikan secara sederhana dan ringkas sifatnya. Untuk mencapai sebuah tujuan materi ini
mencoba menghubungkan berbagai paradigm ilmu sosial dengan berbagai tingkat analisis realitas
sosial. Dengan usaha ini mahasiswa tidak tersesat di “rimba raya “ teori ilmu sosial maupun realitas
sosialnya, minimal tahu dari hal yang spesifik menuju ke hala yang umum. Manusia sebagai realitas
sosial apabila di hubungkan dengan paradigm sosial wawasannya sangat luas. Paradigma realitas
sosial adalah melihat gambaran yang mendasar mengenai realitas sosial menurut kaca mata ilmu
sosial. Tingkatan kenyataan itu ada empat yaitu :
1) Tingkat individual :
Tingkat ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisa .analisa ini di bagi menjadi
dua bagian yaitu tingkat perilaku (behavioral) dan tingkat subjektif. Teori dasar dasar
psikologi(sosial) yang mengkaji tingkat individu meliputi
teori stimulus-respons(S-R) ,toeri sikap,teori peran dan teori lapang (medan) teori stimulus respons
ini sebenernya teori stimulus – organisme – respons (S-O-R) karena di akui adanya organisme antara
stimulus dan respons. Tokoh teori ini adalah Watson yang menyatakan bahwa objektivitas perilaku
individu hanya berlaku pada perilaku yang Nampak (overt). Setiap perilaku pada hakikatnya
merupakan tangapan (respon) terhadap rangsang (stimulus) karena itu rangsang mempengaruhi
tingkah laku atau bahkan menentukan tingkah laku.intervensi organism terhadap stimulus rangsang,
individu ini memilikipotensi berupa kognisi sosial, persepsi sosial, nilai dan konsep.
Teori sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau menghadapi suatu
rangsangan tertentu .
teori peran adalah beranggapan peranan seseorang itu merupakan hasil interaksi dari diri (self)
dengan posisi (status dalam masyarakat) .dan dengan peran( menyakut norma dan nilai) dalam teori
ini yang terpenting adalah actor (pelaku) dan target (sasaran) yang punya hubungan dengan actor.
Teori medan ( field-theory) adalah berangapan bahwa kehidupan merupakan penentu dari perilaku
seseorang kehidupan ini merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungannya.
Teori yang mengkaji individu adalah psikoanalisa dari freud yang membedakan tiga sistem dalam
hidup psikis yaitu id,ego, dan superego .istilah ini di kenal sebagai tiga “instansi “ yang menandai
hidup psikis.
Instansi pertama Id adalah psikis yang paling dasar terdiri dari naluri naluri bawaan (seksual dan
agresif) dan keinginan direpresi.pada Id yang berkuasa adalah kesenangan yang tidak mengenal waktu
dan tidak mengenal hokum hokum logika.
Instansi kedua Ego adalah hasil diferensi dari Id karena kontak dengan dunia luar . Ego aktifitasnya
dapat sadar,prasadar atau tidak sadar . potensiEgo di kuasai oleh prinsip realitas seperti pemikiran
objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial dan rasional yang di ungkapkan melalui bahasa.
Tugas dari Ego mempertahankan kepribadiannya adaptasi dengan lingkungan,menghilangkan konflik
dengan realitasdan mendamaikankonflik berbagai keinginan agar selaras. Ego berfungsi sebagai
penjamin kesatuan pribadi dan alat sintesa.
Instansi ketiga adalah Superego adalah potensi hasil dari proses internalisasi,sehingga menjadi
miliknya berasal dari luar dirinya.
Al-Ghazali (abad ke-11) mengemukakan tentang qonflik fitrah manusia 8 abad lebih dulu dari pada
teori freud psikoanalisa.yang mengemukakan bahwa manusia mempunyai tiga tahap perkembangan
jiwa yaitu :
1) Nafs al amarah bil also adalah nafsu jahat yang mendesak agen normal untuk melampiaskan
tuntutan yang tidalk terkontrol atau nafsu yang mengendalikan kejahatan.dalam Al Quran dinyatakan
“nafsu ini selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS,12:53)
2) Nafs al lawwamah yaitu nafsu yang sadar apabila tuntutan naluriahnya di lampiaskan atas pengaruh
nafsu al amarah.Al Quran menyatakan “ dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali(dirinya sendiri) “ (QS,75:2)
3) Nafs al mutham’nah adalah nafsu yang tenang tentram merupakan kepuasan tertinggi dari jiwa.
Kepuasan yang lengkap dan bebas dari semua keputusan dan penderitaan.
Kedua teori ini baik dari freud dan Al Ghazali sangatlah menarik untuk mengkaji interaksi individu
dengan dirinya sendiri.
2) Tingkat antar pribadi (interpersonal) :
Tingkat ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan kerjasama,
konflik, adaptasi, negoisasi komunikasi simbolis dan hal lain yang menpunyai arti hubungan.tingkatan
ini banyak di pelajari ahli sosiologi (interaksionisme simbolik).
Teori ini di pelopori oleh George Herbert Mead (1863-1931) seorang professor dari Chicago.teori ini
mempunyai implikasi sosial dan mempunyai cirri pemahaman khusus tentang perspektif. Teori ini
muncul sebagai pandangan atas” realitas sosial” teori ini banyak memperhatikan dimensi subjektif
dimana kenyataan sosialnya yang muncul dari interaksi di lihat sebagai kenyataan yang di bagun dan
bersifat simbolis, inilah yang membedakan kenyataan sosial dengan kenyataan fisik objektif. Teori ini
memperhatikan dinamika interaksi tatap muka, saling keberantungan yang erat antara konsep diri
individu dengan kelompok kecil, negoisasi mengenai norma bersama dan peran individu , tetapi
konsep pokonya di uraikan melalui pengertian “self”,”mind”,”society” dan “action”. Diri(self) adalah
nyata suatau proses sebagaimana objek sosial yang lain, diri(self) sebagai objek sosial terbentuk
melalui interaksi dalam keluarga .
G.H. Mead membuat tahapan tentang pengembangan diri sebagai berikut
1) Tahap persiapan
2) Tahap bermain
3) Tahap permainan
4) Tahan kelompok referen
Pikiran adalah suatu kesadaran untuk memudahkan pemahaman.
Pikiran adalah tindakan yang mengunakan simbol dengan diri ,aktivitas simbolik organism yang
langsung di arahkan pada diri sendiri. Mead mengambarkannya sebagai suatu keadaan mental yang
terwujud melalui pembicaraanyang merupakan respon intelegen. Blumer menyatakan, bahwa pikiran
adalah aktivitas tersembunyi kesadaran. Pikiran terjadi karena adanya interaksi dengan orang lain
dalam interaksi itu pikiran berproses untuk memecahkan permasalahan yang timbul dan untuk
kembali menyesuaikan diri pada situasi sosial.
Si butani menenkankan bahwa Masyarakat sebagai dunia sosial yang terbentuk oleh individu yang
berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kelompok adalah tindakan sosial yang timbale balik yang
berarti masing masing orang berhubungan . Blumer mendandai bahwa kelompok sebagai suatu
tindakan kerjasama. Masyarakat di artikan juga sebagai tindakan kerja sama untuk memecahkan
masalah. Semua ini berarti bahwa masyarakat berpokok pada kesalingbergantungan dimana masing
masing anggotanya saling membantu untuk memecahkan masalah dengan demikian masyarakat di
bentuk oleh orang orang yang mampu membawakan peran lain dan mengerti tindakan tindakan.
Namun interaksionisme simbolik pun melihat bahwa seseorang di buat oleh masyarakat. Kita di
lahirkan dalam kelompok dan kelompok itu tumbuh mempengaruhi kita , yang berarti individu di
batasi oleh masyarakat missal bahasa dan sejarahnya atau aturan yang telah ada.
Tindakan adalah pola kelakuan yang terorganisasikan, tindakan di tandai dengan objek objek seperti
tindakan objek sosial warriner menyebutkan tindakan sosial di definisikan oleh orang yang di beri
nama. Realitas suatu tindakan berlangsung terus menerus suatu proses konstan yang tidak pernah
berakhir kecuali kita mati.
Manusia bertindak karena ada tiga alas an pertama karena dia memerlukan untuk bertindak kedua
karakteristik pribadi sikap, kepentingan, image-diri mendorongnya untuk bertindak dan ketiga faktor
lingkungannya untuk bertindak. Menurut konsep mead tindakan menyangkutkan empat tingkatkan
yaitu pertama gerak hati(impulse) kedua persepsi ketiga manipulasi dan yang keempat
pertempuran(consummation).
Tindakan di mulai dengan aktivitas tersembunyi yang kemudian mengalir menjadi terbuka,namun
tindakan yang sudah terbiasa (habitual action) lebih berhubungan dengan tindakan terbuka karena
mendefinisikan situasi menganalisa masa lalu dengan masa depan. masa lalu dan masa depan adalah
bagian dari tindakan,keduanya bagian dari pendefinisian situasi. Masa depan adalah bagian dari
tindakan kita memiliki rencana untukbertindak dan konsepsiti ini mempengaruhi tindakan, di samping
itu masa lalu pin menjadi kekuatan yang mempengaruhi tindakan.
Membawakan peran orang lain berarti berlatih melihat dunia dari prespektif orang lain , ada empat
tingkatan yang berhubungan dengan proses ini pertama adalah tingak persiapan yang menirukan
orang lain, yang kedua memainkan yakni membawakan peran orang lain, yang ketiga bermain yakni
telah memasuki situasi dan yang keempat tingkat kelompok referen yakni memiliki peran yang
banyak di dunia sosial yang harus di pertimbangkan dalam peran itu.
Ada beberapa poin yang harus di catat mengenai pentingnya membawakan peran orang lain :
1) Untuk timbulnya kekuatan diri
2) Untuk menjadi diri dalam segala situasi
3) Untuk mempelajari prespektif mengenai hal
4) Untuk bekerja dalam situasi social
5) Untuk menolong seseorang dalam situasi interaksi melalui pengetahuan bagaimana manipulasi
mengarahkan dan mengontrol.
6) Untuk mencintai orang lain
7) Sebagai dasar untuk kerja sama
8) Sebagai dasar komunikasi simbolik manusia
Sebelum konsep pokok “self”, “mind”, “society” dan “action” yang di bahas interaksionisme
simbolik, juga teori ini membahas interaksionisme individu,masyarakat dan pikiran.pendapatanya di
kemukaan dalam lima hal yaitu ;
1) Individu tidak konsisten pribadinya terbentuk mesti dalam suatu proses dinamik pelaku peubah
tidak pernah menjadi suatu tetapi dalam keadaan menjadi individu bukan hasil dari
sosialisasi,bukan merupakan perangkat yang tetap tetapi dalam keadaan berubah dalam proses
interaksi
2) Masyarakat dan kelompok tidak sebagai yang statis terpengaruh tetapi termasuk dalam proses
interaksi.apa yang di sebut kelompok dalam masyarakat adalah pola yang disimpulkan dari proses
interaksi
3) Individu mempunyai suatu cirri pikiran dan diri tetapi keduanya di konsepkan sebagai proses
bukan sebagai kesatuan yang statis.
4) Manusia mempunyai banyak diri masing-masing berhubungan dan berinteraksi dalam perubahan
proses interaksi
5) Kebenaran ide ide sikap presepsi dan prespektif semuanya sebagai proses berpendapat dari
perubahan yang dinamis oleh organism di dalam berhubungan dengan apa yang di selidiki.
Asumsi interaksionisme simbolik yang sederhana dikemukakan oleh blumer sebagai berikut :
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu yang berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka
2) Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan yang lain
3) Makna tersebut di modifikasi melalui adanya proses penafsiran oleh indi vidu dalam
keterikatanya dengan symbol yang di hadapi
Teori lain yang mengkaji masalah hubungan antara pribadi adalah teori interaksi dari simmel (1858-
1918) yaitu :
1) Manusia terbentuk dari jaringan relasi –relasi antar orang sehingga mereka merupakan suatu
kesatuan.
2) Jaringan jaringan relasi itu tidak sama sifatnya
3) Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi dan harmonis,tetapi dapat pula terjadi
kritik oposisi konflik dan lain lain.
4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah
Jadi intinya simmel memandang masyarakat adalah produk dari proses interaksi individu individu.
Teori yang mengkaji antarpribadi dalam sosiologi adalah Homans dikenal dengan teori
pertukaran (exchange theory) antapribadi. Antarpribadi terjadi pertukaran karena adanya internal dan
keadaan eksternal ,dasar psikologi pertukaran karena dukungan sosial dan factor penguat ,sehingga
terjadi transaksi atau saling member timbale balik memperoleh keseimbangan emosional atas dasar
pribadi.
Teori yang lainya adalah teori dramaturgi dari Goffman,menyatakan bahwa individu senantiasa akan
mengkontrol kesan kesannya dalam hubungan sosialnya yang di berikan kepada orang lain.
3) Tingkat struktur sosial
Tingkat ini bersifat abstrak analisanya di tunjukan pada pola tindakan,jaringan interaksi yang teratur
dan seragam dalam waktu dan ruang,posisi sosial dan peran sosial.tingkat ini dapat pula menyangkut
institusi sosial dan masyarakat secara umum/ keseluruhan.teori ini di pelopori oleh tokoh klasik
Durkheim, Mark dan tokoh modern yang melanjutkan pemikirannya,pelanjut tokoh ini adalah Parson,
Merton, Cosser, Collins, Michel, dan lain lain. Tingkat ini memandang secara garis besarnya
masyarakat sebagai berikut :
a) Masyarakat sebagaimana halnya organism hidup
Kosep ini hanya metaphor dalam rangka mempermudah analisis sosiologis. Seperti pendapat Radelife
Brown bahwa struktur berupa hubungan antar individu mempunyai aktivitas berupa tingkah laku
konektivitas dan mempunyai fungsi berupa pemeliharaan struktur sosial.
b) Sistem sosial merupakan pendekatan lain untuk menganalisis masyarakat
Tetapi masih merupakan pengembangan dari teori struktur sosial Brown Malinowski dan Durkhein.
Teori sistem ini merupakan teori yang di kembangkan oleh Talcott Parson sehingga mencapai puncak
yang paling berpengaruh dalam sosiologi di amerika. Teori ini di kenal dengan struktur fungsional
yang menganggap manusia sebagai masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian
bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan .kalau terjadi konflik maka perlu di
perhatikan adalah bagaimana cara mendamaikannya sejauh dapat di atasi konflik itu selalu di hindari.
Asumsi dasar dari pendekatan struktur fungsional adalah
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dan suatu sistem dari pada bagian bagian yang
saling berhubungan stu sama lainnya
2. Hubungan antara setiap bagian adalah bersifat saling mempengaruhi dan imbal balik
3. Sistem sosial cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis artinya
menangapi perubahan yang dating dari luar memelihara perubahan yang terjadi agar
perubahannya terjadi secara minimal,meski menyadari bahwa integrasi sosial tidak mungkin
tercapai secara sempurna.
4. Sistem sosial selau mengarah kle integrasi sosial melalui penyesuaian ketegangan dan proses
instutionalisme.
5. Perubahan sistem sosial terjadi secara gradual melalui penyesuaian ,kalau terjadi perubahan
secara drastic maka yang berubah itu hanya bentuk luarnya saja sendangkan unsur unsure
sosial budaya yang dasar tidak berubah.
6. Perunahan sosial yang terjadi si sebabkan oleh upaya penyesuaian yang di lakukan oleh
sistem sosial terhadap pengaruh yang dating dari luar pertumbuhan melalui proses difernsiasi
structural dan fungsional dan akibat adanya penemuan baru oleh anggota masyarakat itu
sendiri
7. Daya integrasi yang paling tinggi dari suatu sistem sosial akibat adanya consensus nilai yang
merupakan prinsip dan tujuan dasar dari anggota masyarakat.
Teori struktur fungsional sering di sebut teori consensus,hal ini menurut Cohen (1968) teori structural
fungsional memiliki serangkaian asumsi eksklusif sebagai berikut :
1. Norma nilai dan nilai merupakan unsure unsure dasar dari
kehidupan sosial
2. kehidupan sosial melibatkan komitmen
3. suatu masyarakat memerulukan keadaan yang kohesif
4. terwujudnya suatu hidup sosial bergantung kepada solidaritas
5. suatu kehidupan sosial di dasarkan kepada resiprositas dan kerja
sama
6.suatu system sosial selalu bertahan pada consensus
7. suatu masyarakat selalu mengenal adanya otoritas legitimasi
8. sistem sosial selalu terintegrasikan
9. sistem sosial cenderung untuk bertahan lama
Masyarakat sebagai system sosial karena mempunyai persyaratan seperti : anggotanya lebih dari dua
orang terjadi iteraksi di antara mereka memiliki 10 unsur penting (Loomis,1960 dan Bertand,1967)
yaitu :
1. Keyakinan (pengetahuan)
2. Perasaan (sentiment)
3. Cita cita atau tujuan
4. Norma
5. Posisi kedudukan
6. Kekuasaan
7. Tingkatan
8. Sangsi
9. Sarana
10. Tekanan ketegangan
Ke sepuluh unsur system social ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,menyatu
membentuk sruktur social itu sendiri. Proses – proses utama yang terjadi di dalam system sosila
tersebut dalah komunikasi memelihara tapal batas (boundary maintenance) atau mempertaankan
identitasnya,perjalinan system ( kerja sama mencapai kesatuan tunggal),sosilaisasi ( proses
penyerapan warisan sosiall budaya), pengembangan (pembatasan tingkah laku) dan perubahan social (
perubahan dalam pola interaksional nilai / budaya dan struktur).
Pengertian system sosila menurut Parson suatu system social akan bekerja secara normal apabila
memiliki 4 kondisi dasar sebagai alternatif atau sebagai 4 masalah yang harus diselesaikan. Dalam
hal ini Pasron juga menyebutnya dengan kondisi atau kewajiabn fungsional ( functional imperatives )
atau prasyatar fungsional ( functional prerequisistes ) dan menyangkut tidak hanya organisasi tetapi
juga banyak membutuhkan segi kepribadian sebagai anggota masyarakat. Keempat prasayarat
fungsional sosila tersebut adalah :
1. Adaptasi yaitu penyesuaian system terhadap tuntutan lingkungan ( kenyataan ) kondisi
lingkungan, dengan memfungsikan sejumlah fasilitas fisik maupun nonfisik.
2. Pencapaian Tujuan yaitu tujuan anggota suatu sitem sosial,merupakan hasil persetujuan dan
prioritas para anggota.
3. Integrasi merupakan tingkat solidaritas anggota system sosial, mamiliki ikatan emosional
yang tidak bergantung pada segi keuntungan (pamrih). Keteraturan perlu ekstensi, masyarakat
perlu menjamin koordinasi dan pengawasan di antara unsur – unsur internal di setiap system
sosial.
4. Pemeliharaan pola yaitu setiap masyarakat harus membuat anggotanya memiliki motovasi
yang cukup untuk memerankan peranan yang di kehendaki dan menghasilkan komitmen
paksaan terhadap nilai – nilai masyarakat.
Untuk melihat tingkat keseimbangan dan integrasi masyarakat,Parson mengajukan konsep variabel –
variabel pola ( pattern variates ) untuk mengklasifikasi atau mengkategorikan norma dan nilai setiap
masyarakat. Apakah masyarakat atau individu tandensinya kea rah :
1. Netralitas afektif
2. Orientasi diri
3. Partikularisme
4. Askripsi
5. Spesifitas
Fungsi manifest adalah sebab – sebab objektif yang membantu penyrsuaian terhadap system yang di
maksud dan diketahui oleh partisipan dal;am sistem. Sedangkan fungsi laten berhubungan dengan hal
yang tidaj dimaksud dan tidak diketahui,seperti factor,birokrasi dan lain – lain.
c.Masyarakat sebagai tertib sosial ( social order )
dalam keadaan normal,dapat pula terjadi perubahan atau disorganisasi sosial yang menyebabkan
terjadinya bermacam – macam peristiwa seperti berikut :
1. Konplik Norma. Norma – norma dalam masyarakat dapat terjadi konplik dengan adanya
perubahan – perubahan dalam berbagai pola atau aspek lain dari kehidupan yang
menyebabkan disorganisasi.
2. Tingkat perubahan budaya waktunya tidak semua sama,tatapi terjadi”cultural lag”,yaitu tidak
sama perkembangan antara budaya meteri dengan mental orang yang budaya tersebut.
3. Peraturan ( sistem ) yang tidak baik atau konflik antara manusian dengan lingkungannya (
fisik,soaila, ekonomi,dl)
Teori tersebut berkaitan dengan tertip sosial yang mencakup 4 macam yaitu :
1) Teori paksa ( coercion ) yang bersaumsi bahwa “ power “ adalah sarana ampuh untuk mencapai
tertib sosial. Teori ini menolak tentang realitas keanekaragaman sosial budaya.Paksaan moral kan
diterima, apabila nilai – nilainya diterima. Teori ini sering digunakan dengan dalih pembangunan
yang mendesak. Akibatnya sering timbul gerakan – gerakan di bawah tangan, persengkokolan
kutukan, dan disorganisasi,tertib semu dan ketegangan (laten).
2) Teori kepentinagn (Coorperation or mutual interest) ( belangen ) berasumsi bahwa masyarakat
dapat tertib karena ada kesepakatan sosial dan saling percaya. Teori ini hanya efektif bagi masyarakat
pedesaan yang bersifat homogen.Tujuan tertib sosial kepentingan dapat tercapai apabila ada kosensus.
Dampak dari teori kepentingan ini tentunya budaya kritik,sehingga aspirasi tidak tersalurkan, yang
akan menimbulkan perubahan soaila dengan mental budaya yang kurang menguntungkan misalnya
apatis.
3) Teori kesepakatan atau Kosensus berasumsi bahwa tertib sosial dapat tercapai karena manusia
terikat akan norma dan nilai sehingga terjadi kosensus yang bersifat moral. Kelemahan teori ini,
kosensus akan dipaksakan pada masyarakat yang bersifat pluralistic,seperti banyaknya unsure –
unsure primordial.
4) Teori Lambat (traagheis) menekan perlunya suatu kondisi yang dapat mempertahankan satus
qou. Teori ini bersaumsi bahwa tertib sosial dapat dicapai dengan memperlambat perjuangan unsure
pokok kehidupan melalui isu – isu kecintaan,kesetiaan dan disiplin. Teori ini akan menimbulkan
perubahan pada segi – segi personalitas, seperti sikap yang mementingakan segi formal ( serba
formalitas ) tetapi tidak menyelesaikan masalah.
1. Masyarakat sebagai sub-siratum yang melahirkan konflik.
Konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat.Adanya tertib sosial ini seperti adanya
sistem nilai yang disepakati bersama, tidak secara otomatis dapat menghilangkan konflik. Bahkan
merupakan cermin adanya konflik yang berisifat potensial dalam masyarakat. Kenyataan konflik ini
menurut David Lockwood dapat dibuktikan sebagai berikut :
1. Setiap struktur sosial di dalam dirinya mengandung konflik – konflik dan kontradisi –
kontradisi yang bersifat internal seingga dapat merupakan sumber terjadinya perubahan
sosial.
2. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang dating dari luar tidak selalu bersifat
mengatur.
3. Sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik – konflik sosial yang
bersifat melakat ( kronis ).
4. Perubahan soaial yang terjadi dalam suatu sistem soaial tidak selamanya bersifat perlahan (
gradual ), tetapi dapat pula terjadi secara revolusioner.
Pandangn konflik tersebut di atas didasarkan atas anggapan bahwa masyarakat senantiasa selalu
dalam keadaan berubah. Perubahan soasial yang terjadi dalam rangka sintesa dari teas – teas yang
berkembang pada masyarakat yang bersangkutan. Prosees sintesa yang terjadi merupakan ajang
terjadinya konflik. Oleh karena itu pandangan pendekatan konflik terhadap masyarakat bersumber
dari anggapan dasar sebagai berikut :
1) Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
2) Konflik merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
3) Setiap unsure masyarakat memberikan sumbangan tertentu bagi terjadinya disintegrasi dan
perubahan sosial.
4) Terjadinya integrasi masyarakat,berada pada penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang –
orang lainnya.
Pandangan lain tentang konflik, didasarkan pada struktur masyarakatnya sehingga asumsinya
berbunyi demikian :
1) Kepentingan merupakan unsure dari kehidupan masyarakat.
2) Kehidupan sosial melibatkan dorongan dan perlu terbagi.
3) Kehidupan sosial melahirkan opsisi dan konflik sosial.
4) Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian – bagian.
5) Diferensiasi sosial melibatkan kekuasaan
6) Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi – kontradiksi.
7) Sistem sosial cenderung untuk berubah.
Walaupun teori konflik ini menganalogikan masyarakat dengan medan pertempuran yang tidak habis
– habisnya, namun teori ini masih memberikan sumbangan bagi integrasi. Hal ini dikemukakn oleh
Berge yang di kutip Ritzer (1980 ), bahwa konflik mempunyai 4 fungsi yaitu :
1) Sebagai alat memelihara solidaritas.
2) Membantu menciptakan ikatan analisis dengan kelompok lain
3) MEngaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4) Sarana komunikasi dengan adanya konflik posisi masing – masing lawan yang berkonflik saling
diketahui
4) Tingkat budaya
Tingkat budaya dalam hal kenyataan sosial maksudnya meliputi arti symbol, norma ,dan pandangan
hidup umumnya yang dimiliki oleh suatu anggota masyarakat. Sedangkan tingkat budaya itu sendiri
memiliki arti meliaht realitas sosial menurut perspektif budaya. Dan istilah Kebudayaan yaitu terdiri
dari produk – produk tindakan dan interaksi manusia termasuk karya cipta manusia berupa materi atau
non materi. Kebudayaan non materi adalah keseluruhan kompleks yang meliputi
pengertian,kepercayaan, seni , moral , hokum, kebiasaan dan kemampuan –kemampuan dan tatcara
lainnya yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Menurut Sorokin bahwa
kesatuan organis dari gajala bidaya dan tingkat sosio – budaya dianalisa terpisah dari tingkah
individu. Pokok pikiran analisis Sorokin maliputi :
1. Teori kemajuan.
2. Integrasi sosial dan budaya. Maksudnya arti,nilai,norma dan symbol merupakan kunci untuk
memahami kenyataan sosia budaya. Ada saling bergantung antara pola – pola budaya,
masyarakat sebagai interaksi dan kepribadian individual. Tingkat tertinggi integrasi dan
sistem sosial yang paling mungkiin tercapai didasarkan atas seperangkat arti, nilai norma
hokum yang secara logis dan berarti konsisten satu sama lian.
3. Tipe – tipe mentalitas budaya. Mentalitas budaya merupakan kunci untuk memahami suatu
supersistem budaya yang terintegrasi. Apakah hakikat kenyataan terakhir ? Damn jawaban
logisnya adalah sebagai berikut :
1. Kenyataan akhir itu seluruhnya terdiri dari dunia materiil yang kita alami dengan indera.
2. Kenyataan akhir itu melampaui dunia materiil, artinya bersifat transenden tidak dapat di
tangkap sepenuhnya dengan indera.
3. Diantara kedua kenyataan ekstrim tersebut, artinya kenyataan itu mencakup dunia materiil
dan transenden.
Atas dasar tersebut maka muncul pernyataan : “ Apakah kabutuhan manusia itu bersifat fisik tatu
spiritual ? “ , “ SEbarapa jauh luas kebutuhan yang harus di penuhi ? “ ,” Apakah penelusuran
kebutuhan – kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri tau penyesuaian linkungan “.
SEhinng muncullah 3 tipe mentalitas budaya :
1. Kebudayaan Ideasional. Dasar pemikiran dari tipe ini bahwa kenyataan akhir itu bersifat
nonmateriil,transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini di liahat dari suatu
ilusi, sementara dan bergantumg pada dunia transenden . Dan tingkat yang menyatakan
kenyataan akhir merupakn dunia Allah yaitu :
 Kebudayaan Indeasional Asketik. Mentalitas ini mmerlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk
mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materiil manusia supay mudah diserap ke dalam dunia
trasenden.
 b) Kebudayaan Ideasional Aktif. Mantalitas yang selian menggunakan kebutuhan inderawi
juga berusaha mengubah dunia menjadi selaras dengan dunia trnsenden.
1. Kabudayaan INderawi ( Sensate Culture ).Dasar pemikirannya dari dunia materil yang kita
alami dengan indera kita merupakan satu – satunya kenyatan yang ada. Jadi, menyangkal
terhadap kenyataan akhir transenden. Mentalis ini meliputi :
a. Kebudayaan Inderawi Aktif . Mentalitas ini mendorong sikap aktif dan giat untuk memenuhi
kebutuhan dan materil denagn mengubah dunia fisik sehingga memperoleh kepuasan dari serangan
manusia. Mentalitas ini telah mendasari Tekhnologi,kedokteran dan kemajuan ilmiah.
b.Kebudayaan INderawi Pasif. Mentalitas ini dalah hasrat untuk memperoleh kesengan hidup setinggi
– tingginya. Prinsip makan,minum,dan kawin, sebab besuk akan mati. Hal ini adalah “ eksploitasi
parasit”.
c. Kebudayaan Inderawi Sinis. Mentalitas ini memperlihatkan dasar usaha yang bersifat munafik
menimbulkan pencapaian tujuan materialistic atau inderawi denagn menggunakan sistem nilai
transenden yang sebenarnya.
1. Kebudayaan Campuran. Dasar pemikiran nya berdasar pada kumentalitas ideasional dan
mentalitas inderawi. Tipe ini terdapat :

 Kebudayaan Idealistik. Mentalitasini merupakan mentalitas organis dari mentalitas ideasional


dan inderawi. Kelihatan sedemikian rupa keduanya dapat dilihat sebagai pengertian yang benr
dari sapek – aspek tertentu dari kenyataannya.Dari dasar pemikiran itu secara sistematis dan
logiss keduanya berhububgab.

 Kebudayaan Ideasioanal Tiruan ( Pseudo – Ideational Cultural ). Mentalitas ini didominasi


oleh pendekatan inderawi dengan unsur – unsur ideasional hidup secara berdanpingan dengan
inderawi sebagai suatu perspektif yang berlawanan,TIdak terintegrasi secara sistematis hanya
sekedar hidup berdampingan.
Dimensi Perubahan Kultural Meliputi hal – hal sebagai barikut :
a) Inovasi kebudayaan seperti :
 Penemuan
 Peniruan
 Peminaman alat – alat
b) Difusi seperti penyimpanan kebudayaan dan difusi secara sadar.
c) Integrasi seperti penolakan terhadp bentuk – bentuk baru, duplikasi , cara hidup lama dan baru
bersama –sama dalam variabel pola – pola penggantian bentuk – bentuk lama dengan bentuk – bentuk
baru.
4. REFLEKSI ATAS REALITAS SOSIAL

Ketegangan Struktural dan Gerakan Reformasi Sosial


Peristiwa monumental yang akan dicatat dalam sejarah kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa Indonesia menjelang masa milenium ketiga adalah kerusuhan sosial dan terjadinya
gerakan reformasi “total”. Peristiwa tersebut mengandung makna sosiologis yang mendalam tentang
struktur sosial dan tatanan sosial masyarakat yang dapat menimbulkan banyak tafsir social tentang
realitas masyarakat Indonesia, apabila tidak dilakukan pengkajian secara seksama.Realitas dinamika
sosial masyarakat Indonesia tersebut,memberikan peluang kepada bebagai disiplin ilmu atau
paradigma ilmu dari suatu disiplin tertentu untuk memberikan jawapan ilmiahnya,termasuk disiplin
sosiologi.Seandainya kita meyakini tentang tesis determinisme historis, melalui pendekatan “historis
materialis” dari Marx, maka peristiwa tersebut dapat ditelusuri dan ada kaitannya dengan sistem
bermasyarakat atau bernegara sebelumnya, yaitu masa pemerintahan rezim Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto.

Oleh karena itu untuk tujuan mengungkap peristiwa kerusuhan dan gejolak reformasi total
yang dimotori oleh para mahasiswa di seluruh perguruan tinggi Indonesia,kaum intelektual, tokoh
masyarakat, para aktivis LSM dan warga masyarakat reformis, maka perlu mempelajari sistem
kekuasaan dan proses pembangunan yang telah dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru sebelumnya.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah orde baru pada dua dasawarsa terakhir
ini,berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi.Kemudian sebagai strategi orientasi
pembangunan ekonomi. Kemudian sebagai strategi organisasi pembangunan ekonomi agar
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menimbulkan perhatian dan dijadikan asumsi bahwa hanya
dengan stabilitas sosial politik, maka pembangunan akan berhasil. Hal tersebut dilakukan dengan
menata sistem politik yang mengutamakan integrasi nasional dengan prinsip harmoni,selaras,serasi
seimbang.Kelembagaan birokrasi,partai politik dan militer merupakan kelembagaan politik yang
menjadikan stabilitas, ketertiban dan keamanan sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri. Orde
baru menciptakan suatu masyarakat baru yang aman dan tertib dan mengejar kemajuan pembangunan
dalam iklim stabilitas (Schiller, 1978). Orientasi kelembagaan yang demikian dengan sendirinya
akan mengesampingkan atau menolak adanya kodrat perbedaan dalam diri manusia atau dalam garis-
garis perjuangan kelompok.

Pendekatan dan Tafsiran Teoritis


Karakter pemerintahan Orde Baru dalam penyelenggaraan kekuasaan terefleksikan dalam
kegiatan pembangunan sebagai sebuah keniscayaan,yang ditunjukkan dengan usaha intensif dan
progresif seperti mengamankan,mensukseskan,stabilitas,birokrasi,regulasi dan korporatisasi.Sehingga
pembangunan sebagai idelologi berkoinsidensi dengan peranan negara yang besar,kuat dan diterminan
dalam penyelenggaraan pembangunan (Sutrisno,1988).Dampak positif masyarakat menjadi
berkesadaran tinggi terhadap pembangunan,namun sekali gus menimbulkan masyarakat menjadi tidak
kritis terhadap makna, arah dan tujuan pembangunan.Kesadaran yang diperoleh masyarakat hanyalah
bersifat sloganistis,retoris, tetapi tidak realistis dan kritis (Abar, 1990:XV) Karena mengedepankan
stabilitas maka data dan fakta subjektif serta kreatifitas atau kritis masyarakat selalu direduksi dan
diminimalisasikan.Sehingga pembangunan kurang melibatkan dan tidak memotivasi masyarakat
untuk berpartisipasi.Pemerintah lebih mengandalkan parameter kuantitatif,di mana biaya social
(kualitatif) tidak diperhitungkan seolah telah dicukupi dengan parameter kuantitatif. Padahal
pembangunan melibatkan faktor-faktor kompleks sosial, politik, lingkungan dan juga ekonomi
(Conyers, 1991:6) Pemerintah orde baru yang gerakan pembangunannya lebih bersifat pragmatis dan
‘top down planning’ ternyata menyebabkan masyarakat teralienasi dari perencanaan dan sumber
daya pembangunan. Akibatnya pembangunan tidak terkendali lepas dari logika dan kemauan
masyarakat, posisi tawar (bargaining position) masyarakat sangat lemah dan terjadi kontradiksi
kepentingan, distribusi pendapatan kekuasaan yang tidak adil.
5. MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
Istilah Masyarakat Madani tiba-tiba menjadi populer dalam masyarakat kita. Tidak tahu dari
mana asal-usulnya, siapa yang pertama kali melansir istilah tersebut sulit untuk dilacak. Tapi
Komaruddin Hidayat menganggap istilah itu dipopulerkan oleh Nurcholish Majid dengan
Paramadina-nya. Sementara ada yang mengatakan, istilah tersebut diperkanalkan oleh Anwar Ibrahim
tokoh reformis dari Malaysia. Gerakan Emil Salim dan kawan-kawan pada awal-awal reformasi untuk
bersama-sama mengecam rezim Orde Baru juga menamakan diri dengan Gerakan Madani. Apakah
Masyarakat Madani diterjemahkan dari Civil Society? Inipun masih debatable. Yang jelas dapat
dipastikan, bahwa istilah tersebut adalah khas Indonesia. Tidak diketemukan dalam kamus-kamus
bahasa Arab maupun ensiklopedianya. Dalam literatur Arab istilah al-Mujtama’ al-Madany juga tidak
dijumpai, yang lazim digunakan adalah al-Mujtama’ al-Islamy, masyarakat Islam.
Kata Madany yang diderivasi dari kata Madinah yang lantas melahirkan
kata Tamaddun, berarti peradaban. Dengan demikian yang digunakan dari Masyarakat Madani adalah
masyarakat yang memiliki peradaban vis a vis Badawah, penduduk desa yang masih primitif, badui.
M.A. Jabbar Beg (1980) dalam Islamic and Western Concept of Civilization menjelaskan, bahwa
term Madani (Madaniyah) yang berarti peradaban (civilization) digunakan pertama kali pada akhir
abad 19 dan abad 20 oleh sarjana muslim, Farid Wajdi dengan karyanya Al-Madaniyyah wal-
Islam dan Abduh dengan karyanya Al-Islam wal-Nashraniyyah Ma al-’Ilmy wal-Madaniyyah. Lebih
lanjut Beg menjelaskan bahwa sebelum Abduh kata Madaniyyah sudah digunakan oleh Al-Farabi
(w.339 H) dalam judul karyanya, Al-Siyasah wal-Madaniyyah. Hanya kata ini oleh Al-Farabi
diartikan urban, kehidupan kota, sementara Abduh secara kongkrit mengartikan
peradaban (civilization). Kaitan antara kata latin civitas dan civilizationadalah sangat mirip dengan
kata Madinah dan Madaniyyah. Ini merupakan kenyataan bahwa orang-orang kota pada umumnya
mengutamakan peradaban atau lebih dulu memiliki peradaban dan peradaban tumbuh dan muncul di
kota. Kemudian istilah tamaddun digunakan oleh penulis sejarah Arab kenamaan, Jurji Zaidan dengan
karyanya Tarikh al-Tamaddun al-Islamy. Sementara Ibn Khaldun menggunakan istilah
‘umran dan hadharah. Dengan demikian istilah ‘umran, hadharah, madani dan tamaddun memiliki
kedekatan dan akar kata yang sama.
Dari sudut historis tidak terlalu sulit untuk melacak terjadinya akulturasi budaya, termasuk
bidang bahasa-politik dalam masyarakat Islam. Fenomena ini tak terkecuali merembes ke dalam
istilah-istilah sosial kemasyarakatan Islam. Perkembangan masyarakat Eropa (Barat) dengan
kemampuan teknologi mutakhirnya di berbagai bidang, termasuk jargon-jargon dan idiom bahasa
yang digunakan secara langsung atau tidak berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan
masyarakat Islam, terutama dalam interaksi sosialnya. Seperti yang dijelaskan Azra (1995) bahwa
sebelum masa modern dalam pengalaman banyak masyarakat, sebenarnya tidak pernah terdapat
keterputusan substansial antara bahasa agama dan politik. Bahkan didapati terjadinya tarik-menarik
dan adanya semacam hubungan dialektis antara keduanya. Berbeda dengan Azra, Lewis (1994)
menyimpulkan bahwa dalam tradisi Islam agak kesulitan untuk menyebut istilah masyarakat atau
“warga negara” dalam konotasi yang sepadan dengan tradisi di Eropa (Barat). Penggunaan istilah-
istilah politik yang diadopsi oleh Islam dari istilah-istilah Yunani pada puncak abad pertengahan
merupakan akar historis istilah-istilah politik yang ada dalam tradisi bahasa politik Islam dewasa ini.
Kota atau madinah diterjemahkan dari bahasa Yunani, polis, sementara kata polites, warga negara,
tidak ada padanan yang tepat, meskipun biasanya kata madani digunakan sebagai padanannya. Lepas
dari adanya sikap apologi atau tidak oleh umat Islam dalam penggunaan istilah masyarakat madani
ini, yang jelas munculnya istilah ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk kembali
membentuk suatu struktur atau tatanan masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat
madinah yang telah dibangun oleh Nabi. Membangun Masyarakat Beradab
Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat pemimpin dan yang
dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasi sosial yang berbeda. Demikian pula pada
zaman pra-Islam (Jahiliyyah) muncul kelas sosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan kelas
bawah yang tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit.
Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik penguasa. Konsentrasi kekuasaan
dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkan terjadinya manipulasi nilai untuk
memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligus menindas yang lemah. Proses seperti ini
berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua
stratifikasi sosial yang berbeda, yaitu maysarakat kelas atas (elit) yang hegemonik, baik sosial
maupun ekonomi bahkan kekerasan fisik sekalipun dan kelas bawah (subordinate) yang tak berdaya.
Demikianlah setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-Madinah) pra-Islam.
Dan seperti kata Guillaume (1956:11), komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaan
politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombak struktur
masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan
membebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan
kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari
Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara
empirik kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan
raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Kehadiran nabi tersebut
membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat
yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-
nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan
(akhlaq hasanah).
Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, nabi terus berjuang merombak
masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalam bahasa al-Qur’an
disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid: 9, al-
Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43). Selama kurang lebih 23 tahun (dari periode Makkah ke Madinah)
nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang
memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun
nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan.
Masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalah masyarakat yang
memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi, baik
dalam konteks relasi antar manusia maupun dengan Tuhan. Kasih sayang terhadap golongan yang
lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya
sebagai seoarang pemimpin umat yang plural.
Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah, beliau berpesan kepada para
pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka.
“Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan
pintas masuk surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi
nabi yang luar biasa adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan
dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang
yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernah memaafkan
seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga ketika kota Makkah berhasil
dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan.
Melihat sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan
masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia
biasa.
Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin
modern adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan
berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru
membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Seperti yang dicatat
oleh Akbar S. Ahmed (1992) seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa
penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelan korban kurang dari 30 jiwa manusia itu
merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan
kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan seterusnya. Hal ini bisa
dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik dengan penindasan, pembunuhan dan
penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat
mempertahankan diri. Oleh sebab itu secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta rampasan perang
tidak lebih baik dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum
perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yang tercermin dalam
figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan rasa aman dan
terlindung bagi masyarakat yang pluralistik. Perkawinan nabi dengan seorang istri dari luar rumpun
keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama
Islam dan pidatonya pada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta
telah membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh
Ashgar Ali (1993), bahwa konsep jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk
memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan
mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-mustakbirin) terhadap orang lemah (al-mustadh’afin).
Semua utusan Tuhan (nabi) digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-mustadh’afin untuk
menghadapi al- mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari
penindasan raja Fir’aun,
sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang
tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi bumi”. (Q.S.28:5).
Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab
dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas praktek-praktek akumulasi
kekayaan yang diperoleh secara ilegal (baca: KKN) oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan
reformasi nabi itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya.
Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan. Oleh sebab itu
seperti penilaian Ashgar maupun Ahmad Amin, bahwa pada hekikatnya kelompok hartawan Makkah
bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa nabi, atau penentangannya terhadap
penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka adalah gerakannya yang
mengarah kepada “ancaman” praktek monopolistik dan eksploitatif yang mereka lakukan. Pengaruh
reformasi nabi Muhammad betul-betul mengguncang dunia dan dengan waktu yang relatif singkat
(kurang lebih 23 tahun) mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal, masyarakat yang secara
sosiologis berada dalam kelas kesejajaran atau kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”.
Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya.
Peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M juga merupakan peristiwa
monumental bagi lahirnya sebuah nation state . Peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakah sebuah
perjalanan panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan terbuka. Jika periode
Makkah adalah periode penanaman akidah dan etika Islam, maka periode Madinah sebagai periode
pembentukan sistem kehidupan masyarakat secara luas. Setidaknya ada empat langkah yang
ditempuh nabi dalam membentuk masyarakat Islam saat itu:
Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah yang kemudian
menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktek ritual (beribadah), mengadili perkara,
majlis ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid tersebut. Hanya mengingat
kondisi yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus dipindahkan. Masjid tersebut juga
merupakan pusat pertemuan kaum muslimin dari seluruh wilayah Islam.
Kedua,mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali ra. dipilih sebagai
saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn Zuhair dan Ja’far Ibn Abi
Thalib dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah nabi telah mempersatukan tali
persaudaraan mereka. Dengan demikian terciptalah persaudaraan yang berdasarkan agama, sebagai
pengganti dari persaudaraan yang berdasarkan ras dan suku sebagaimana yang telah
dipraktekan orang-orang Jahiliyyah sebelumnya.
Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan non-muslim. Penduduk Madinah
saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum muslimin, Yahudi (yang terdiri dari Bani Nadhir dan
Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih pagan (penyembah berhala). Karena itu nabi
mempersatukan mereka dalam satu masyarakat yang terlindung, sebagaimana yang terumuskan dalam
Piagam Madinah.
Keempat,meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya “masyarakat baru”. Hijrah
nabi pada tahun 622 M menunjukkan permulaan kegiatan politiknya. Namun beliau tidak dengan tiba-
tiba mendapatkan kekuatan poltik yang begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-
perlahan. Konsesi-konsesi dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau masih
berada di Makkah) berarti pendirian badan politik baru, yang didalamnya terdapat kelonggaran untuk
merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an. Itulah sosok Muhammad, orang pertama
yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyaralat Makkah secara serius, radikal dan
humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru orang untuk men-tauhid-kan Allah, melainkan juga
membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban, dan tidak korup. Tidak berlebihan jika
Michael Hart dalam laporan penelitiannya: The 100: A Ranking of Most Influential in
History, menempatkan beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling berpengaruh di dunia.
“Islam (yang dibawa Muhammad) memang tidak menciptakan dunia moderen, tetapi Islam
merupakan agama yang mungkin paling tepat dan cocok untuk dunia moderen”. Demikian ungkap
Gellner.

Anda mungkin juga menyukai