Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resistensi Nyamuk

2.1.1 Pengertian Resistensi Nyamuk

Menurut WHO (1992) dalam Sucipto (2015) resistensi terhadap insektisida

adalah kemampuan individu serangga dalam populasi untuk bertahan hidup

terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh

spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang

disebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara

terus menerus. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida

berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk

mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran. Jenis atau

tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan, toleran baru kemudian tahap

resisten.

Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam

populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski

terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan individu ini terutama

oleh karena matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga

memberikan peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan

meneruskan gen resistensi pada keturunannya (Tabashnik, 2011).

Jenis resistensi vektor (nyamuk) terhadap insektisida dapat berupa

resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang

Universitas Sumatera Utara


(cross resistance). Resistensi tunggal adalah resistensi pada populasi serangga

terhadap satu jenis insektisida sedangkan resistensi ganda (silang) adalah

perkembangan resistensi pada populasi serangga termasuk nyamuk akibat

penekanan secara selektif insektisida lain dengan mekanisme sama/target site

sama, tetapi bukan dari satu kelompok insektisida (WHO, 1992).

Menurut Herat (1997) yang dikutip oleh Sucipto (2015) bahwa status

resistensi terhadap serangga, diukur menggunakan prosedur standar WHO dengan

uji Susceptibility, yaitu metode standar yang tepat untuk mengukur resistensi

insektisida khususnya di lapangan. Kriteria yang digunakan untuk

menginterpretasi hasil Letal Concentration (LC50) atau LC100 adalah :

1. Kematian 99-100 % = Susceptible/Rentan/Peka

2. Kematian 80-98 % = Toleran

3. Kematian <80 % = Resisten

2.1.2 Jenis-jenis Resistensi

Menurut WHO (1975) penggunaan insektisida pada pengendalian populasi

nyamuk, menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki

kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan mekanisme

berbeda. Resistensi secara umum dikenal 3 tipe, yaitu :

1. Vigour tolerance, sedikit kenaikan toleransi terhadap satu atau beberapa

insektisida (penurunan kerentanan), dihasilkan dari seleksi kontinyu populasi

serangga yang tidak memiliki gen spesifik untuk resistensi terhadap insektisida

tertentu. Toleransi juga disebabkan oleh variasi karakteristik morfo-fisiologis

Universitas Sumatera Utara


seperti, ukuran kutikula tebal dan tingginya kandungan lemak berperan dalam

fenomena resistensi non spesifik.

2. Resistensi fisiologis, populasi serangga mungkin terseleksi untuk tetap hidup terhadap

tekanan insektisida tertentu oleh mekanisme fisiologis yang berbeda (enzim

mendetoksifikasi timbunan insektisida dalam lemak). Contoh resistensi fisiologis adalah

nyamuk yang resisten dapat meningkat akibat penggunaan insektisida seperti Malathion

dan Sipermethrin. Tipe resistensi ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula)

ketika tekanan insektisida dihilangkan, tetapi kerentanannya jarang dapat kembali ke

nilai sebelumnya dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan insektisida

dimulai lagi.

3. Resisten Perilaku (resistance behavioristic), adalah kemampuan populasi nyamuk

lari/menghindar dari efek insektisida karena perilaku alamiah atau modifikasi perilaku

mereka (induced behavior) akibat insektisida. Hal ini dilakukan dengan cara

menghindari permukaan atau udara yang mendapat perlakuan insektisida atau

memperpendek periode kontak (Sucipto 2015).

2.1.3 Mekanisme Resistensi Serangga

Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida pada serangga dapat dibagi

menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi

insektisida, sehingga insektisida menjadi tidak beracun (hal ini disebabkan

pengaruh kerja enzim tertentu). Kemudian terjadi penurunan kepekaan titik target

insektisida pada tubuh. Tahap selanjutnya terjadi penurunan laju penetrasi

insektisida melalui kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida

dan meningkatkan enzim detoksifikasi.

Universitas Sumatera Utara


Menurut WHO (1980) ada 3 mekanisme dasar yang berperan dalam proses

terjadinya resistensi/penurunan status kerentanan serangga terhadap insektisida,

diantaranya :

1. Peningkatan metabolisme toksikan (insektisida) dalam tubuh serangga dengan

enzim mixed function oxisade, hidrolase, esterase dan glutathione-S-

transferase.

2. Perubahan sensitivitas tempat sasaran dalam tubuh serangga, yang berupa

insensitivitas saraf dan insensitivitas enzim asetilkholinesterase (AChE).

3. Penurunan penetrasi toksikan (insektisida) ke arah tempat aktif (saraf dan

AChE).

Mekanisme resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan

karbamat yang dilaporkan oleh French-Constant dan Bonning (1989),

Mardihusodo (1996), Mulyaningsih (2004), yaitu terjadinya peningkatan aktivitas

enzim esterase nonspesifik dan insensitivitas asetilkholinesterase. Peningkatan

aktivitas enzim esterase nonspesifik akan menurunkan dosis letal insektisida

organofosfat menjadi subletal, sehingga tidak mematikan serangga sasaran. Kedua

mekanisme tersebut berperan dalam penurunan status kerentanan pada sebagian

besar serangga, baik di bidang kesehatan maupun pertanian.

Menurut Sucipto (2015) proses terjadinya penurunan kerentanan

(resistensi) pada beberapa serangga termasuk nyamuk dapat dipengaruhi oleh 3

faktor, yaitu :

1. Faktor genetik, diketahui adanya sejumlah gen yang berperan dalam

pengendali resisten (R-gen), baik dominan atau resesif, homozygote maupun

10

Universitas Sumatera Utara


heterozygote yang terdapat pada nyamuk maupun serangga lainnya. Faktor

genetik seperti gen-gen yang menjadi pembentukan enzim esterase, yang dapat

menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan

pyrethroid. Faktor genetik lain seperti adanya gen knock down resistence (kdr)

sehingga serangga resisten terhadap DDT dan dieldrin.

2. Faktor biologis, meliputi biotik (adanya pergantian generasi, perkawinan

monogamy atau poligami dan waktu berakhirnya perkembangan setiap

generasi pada serangga di alam), perilaku serangga misalnya: migrasi, isolasi,

monofagi atau polifagi serta kemampuan serangga di luar kebiasaannya dalam

melakukan perlindungan terhadap bahaya atau perubahan tingkah laku.

3. Faktor operasional, meliputi bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian

vektor (golongan insektisida, kesamaan target dan sifat insektisida yang pernah

digunakan, persistensi residu dan formulasi insektisida yang digunakan) serta

aplikasi insektisida tersebut di lapangan (cara aplikasi, frekuensi dan lama

penggunaan).

Faktor operasional merupakan tekanan seleksi terhadap populasi serangga.

Faktor operasional pertama adalah jenis insektisida yang digunakan. Jenis

insektisida yang satu ternyata menyebabkan proses terjadinya resistensi lebih cepat

dibandingkan dengan insektisida lainnya. Ada insektisida yang telah digunakan

selama berpuluh tahun tidak menimbulkan resistensi, tetapi ada insektisida yang

baru dipakai beberapa tahun sudah menimbulkan resistensi. Penggunaan

insektisida lain sebelumnya juga memiliki pengaruh (cross resistance). Misalnya

telah diketahui adanya cross resistance antara DDT dan insektisida piretroid dan

11

Universitas Sumatera Utara


cross resistance antara insektisida organofosfat dan karbamat. Populasi serangga

yang sudah resisten terhadap insektisida DDT cenderung resisten terhadap

piretroid. Demikian halnya populasi serangga yang sudah kebal terhadap

insektisida golongan organofosfat cenderung resisten terhadap insektisida

karbamat. Penggunaan insektisida secara terus menerus cenderung mempercepat

proses terjadinya resistensi serangga. Sementara penggunaan insektisida secara

bergantian dengan insektisida dari kelompok kimia yang berbeda dan cara kerja

yang berbeda akan menghambat terjadinya resistensi serangga.

2.1.4 Deteksi Resistensi Vektor Terhadap Insektisida

Penentuan status kerentanan spesies nyamuk vektor secara berkala sangat

diperlukan untuk mendapatkan data dasar deteksi lebih lanjut dan monitoring

terjadinya resistensi. Dengan mengetahui status kerentanan spesies vektor, maka

akan memberikan masukan terhadap kebijakan program dalam menentukan jenis

insektisida dan strategi yang akan digunakan. Disamping itu hasil uji resistensi

dapat digunakan dalam memahami mekanisme terjadinya penurunan kerentanan

vektor (resistensi). Pemantauan resistensi vektor terhadap insektisida pada setiap

spesies vektor di setiap strata eko-epidemiologi seharusnya dilakukan secara

berkala 1-2 tahun oleh sektor kesehatan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota

(Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Deteksi resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu :

12

Universitas Sumatera Utara


1. Deteksi secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility test

menggunakan impregnated paper. Deteksi secara susceptibility adalah uji

tingkat resistensi yang digunakan oleh WHO dengan menggunakan

impregnated paper (lembaran yang sudah mengandung insektisida). Uji

susceptibility dilakukan menggunakan stadium dewasa dari serangga uji.

Persyaratan untuk uji susceptibility yang harus dipenuhi adalah jumlah yang

cukup serta kondisi fisiologis serangga yang baik. Kondisi fisiologis yang baik

diantaranya keseragaman umur serangga, stadium, ukuran, harus hidup dan

kenyang darah atau kenyang gula. Pada uji susceptibility kematian serangga uji

dicatat setelah pemaparan insektisida dan setelah diholding (dipisahkan dari

paparan insektisida) selama semalam (24 jam).

2. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplat. Deteksi

secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap insektisida yang sangat

esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bertanggung jawab pada proses

resistensi seperti uji mikroplat untuk insensitive asetilkholinesterase dan uji

mikroplat untuk aktivitas enzim esterase non-spesifik. Keunggulan dari uji

biokimia adalah informasi status kerentanan diperoleh lebih cepat dan dapat

menunjukan mekanisme penurunan kerentanan (Resistensi dan toleransi) yang

di ukur pada serangga secara individu (Widiarti, 2002).

3. Deteksi secara molekuler. Deteksi secara molekuler adalah dengan

mengidentifikasi gen yang menjadi target kelompok insektisida secara

13

Universitas Sumatera Utara


konvensional, yang salah satunya adalah gen voltage gated sodium channel

(VGSC). Gen VGSC merupakan mekanisme resistensi serangga terhadap

insektisida DDT dan golongan piretroid yang ditunjukkan dengan adanya titik

mutasi. Mutasi gen VGSC pada nyamuk Aedes Aegypti terjadi pada sembilan

lokus yang berbeda (Brengues, et al., 2003).

2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.2.1 Defenisi DBD

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue dan di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang serta dapat mengakibatkan

kematian terutama pada anak – anak dan sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk

Aedes aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue akan

masuk kedalam tubuh bersama darah yang diisapnya kemudian virus dengue

berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk dan sebagian besar

berada di kelenjar liur, selanjutnya apabila nyamuk menggigit orang lain maka air

liur bersama virus dengue akan dilepas terlebih dahulu agar darah yang akan di

hisap tidak membeku dan pada saat yang bersamaan virus dengue ditularkan ke

orang lain tersebut (Soegijanto, 2006).

Demam berdarah merupakan penyakit febril (berkaitan dengan demam)

akut yang di temukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip

dengan malaria. Nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah

dengue adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus demam

berdarah dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan

14

Universitas Sumatera Utara


DEN-4 dari genus Flavivirus. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di

negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010 ; Dantje, 2009).

2.2.2 Epidemiologi DBD

Wabah dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan

Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang

menyerupai dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim

sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus

dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis

tentang dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia

tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam dengue walaupun

ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara

ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958

(Soegijanto, 2006).

Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya

pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya

meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini

menyebar luas ke seluruh Indonesia. Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan

di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia

menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.

Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health

Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus

DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes RI 2014).

2.2.3 Mekanisme Penularan DBD

15

Universitas Sumatera Utara


Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.

Nyamuk ini mendapat virus dengue sewaktu mengisap darah orang yang sakit

demam berdarah dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus

dengue. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan

sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah

selama 4 - 7 hari mulai 1 - 2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit

nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam

lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar

diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1

minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan

kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Menurut WHO (1999) lama waktu

yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan

sekitarnya Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya

(Soegijanto, 2012).

Nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi

penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali

nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur

melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama

air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Soegijanto,

2006).

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk

penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD antara lain

(Sitio, 2008) :

16

Universitas Sumatera Utara


a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.

b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang

datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran

beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel,

puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya

berasal dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat

penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari

masing-masing lokasi asal.

2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Filum : Artropoda

Kelas : Hexapoda/lnsecta

Subklas : Pterygota

Ordo : Diptera

Familia : Culicidae

Subfamilia : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (C'rosskey, 1993)

2.3.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

17

Universitas Sumatera Utara


Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh

nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang

disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran

hingga mencapai kepompong nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau

jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di belakang kulit

kepompong. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi

telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies

nyamuk hanya satu generasi per tahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa

generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat

bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah

hujan (Achmadi, 2011).

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur -

jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di

dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari

setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan

stadium kepompong berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi

nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan

(Depkes RI, 2008).

18

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

2.3.2 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

1. Telur

Setiap kali bertelur, nyamuk betina Aedes aegypti dapat mengeluarkan telur

sebanyak 100 butir, dengan ukuran 0,5-0,8 mm, berbentuk elips atau oval

memanjang, berwarna hitam, permukaan poligonal yang mengapung satu persatu

pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat

penampungan air. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai

6 bulan, dan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari setelah

terendam air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di

dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh kepermukaan (Soegijanto, 2006).

2. Jentik (larva)

19

Universitas Sumatera Utara


Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan

bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan

dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit. Ada 4 tingkat (instar)

jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut yaitu :

a. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada

(thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum

menghitam.

b. Instar II : berukuran 2,5-3,9 mm, duri-duri dada belum jelas, dan corong

pernapasan sudah berwarna hitam.

c. Instar III: berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.

d. Instar IV: berukuran paling besar 5 mm, telah lengkap struktur anatominya dan

jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan

perut (abdomen).

Jenis Aedes aegypti akan selalu bergerak aktif dalam air, gerakan berulang-

ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas (mengambil udara)

kemudian turun, kembali kebawah dan seterusnya. Pada waktu istirahat, posisinya

hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding

tempat penampungan air. Setelah 6-8 hari jentik akan berkembang / berubah

menjadi kepompong (Soegijanto, 2006).

3. Pupa (kepompong)

20

Universitas Sumatera Utara


Kepompong atau pupa seperti “koma”, bentuknya lebih besar namun lebih

ramping dibanding larva atau jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil dibandingkan

dengan rata-rata pupa nyamuk lain, gerakan lamban, sering berada di permukaan

air, setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Soegijanto, 2006).

4. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata

nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada

bagian badan dan kaki. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di

tempat-tempat umum, dan mampu terbang sampai 100 meter. Nyamuk betina aktif

menggigit (menghisap) darah pada pagi hari sampai sore hari. Nyamuk jantan

biasa menghisap sari bunga/ tumbuhan yang mengandung gula. Umur nyamuk

betina dapat mencapai 2-3 bulan atau rata-rata 1,5 bulan . Perbedaan morfologi

antara nyamuk Aedes aegypti yang betina dengan jantan terletak pada perbedaan

morfologi antenanya. Aedes aegypti betina memiliki antena berbulu jarang

sedangkan yang jantan memiliki antena berbulu lebat. Dada nyamuk ini tersusun

atas 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax. Perut terdiri dari 8 ruas dan

pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih (Soegijanto, 2006).

2.3.3 Bionomik Aedes aegypti

Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme

dengan lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva, pupa

dan dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan bertelur,

perilaku perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam menentukan

bionomik nyamuk (Achmadi,2008).

21

Universitas Sumatera Utara


1. Perilaku Makan

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai perilaku makan yaitu mengisap nectar

dan jus tanaman sebagai sumber energinya. Tetapi setelah kawin, nyamuk betina

memerlukan darah untuk bertelur. Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina

membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah.

Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin

hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan

host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk

untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya.

Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa

mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan

dengan host tertentu. Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host

mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

Menurut Sutanto (2008), sebagai hewan nocturnal (kebiasaan yang aktif

pada malam hari) nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit,

pertama di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore

hari selama beberapa jam sebelum gelap. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit

di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang. Kebiasaan

menggigit Aedes aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan

pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar

rumah.

2. Perilaku Istirahat

22

Universitas Sumatera Utara


Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan

tersembunyi dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi,

kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008).

3. Jarak Terbang

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh

beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya

terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan (WHO, 2004).

4. Lama Hidup

Menurut Achmadi (2011), semakin tua nyamuk semakin penting dalam

penyebaran penyakit. Nyamuk harus bertahan selama mungkin agar cukup bagi

mikroorganisme yang dikandungnya cukup waktu untuk ditransmisikan. Ketika

nyamuk ada kesempatan menggigit manusia atau hewan untuk kedua kali, maka

transmisi akan terjadi. Masa inkubasi ini bervariasi tergantung dari iklim, beberapa

nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan

masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim

kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat.

Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Achmadi (2011) bahwa

perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah

udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh

terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti

nyamuk Aedes aegypti, malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi

masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan

jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan

23

Universitas Sumatera Utara


semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin

mudah dan semakin luas.

5. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Depkes RI (2008), tempat perkembangbiakan utama Aedes

aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang

tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-

tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini

biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan

dengan tanah. Jenis tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum,

tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat

minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban,

kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah

daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina

akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas

permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2

hari setelah telur terendam air.

2.4 Pengendalian Vektor DBD

24

Universitas Sumatera Utara


Sebagaimana telah diketahui Aedes aegypti merupakan vektor utama

penyakit DBD. Untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini masih belum ada

cara yang efektif, karena sampai saat ini masih belum ditemukan obat anti virus

Dengue yang efektif maupun vaksin yang dapat melindungi diri terhadap infeksi

virus Dengue. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara penanggulangan penyakit

DBD dengan melalui pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti.

Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan

kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin sehingga

kemampuan sebagai vektor menghilang. Menurut Soegijanto (2006), pengendalian

vektor dapat dilakukan dengan cara : kimiawi, biologis, radiasi, dan

mekanik/pengelolaan lingkungan.

2.4.1 Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian vektor dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan

insektisida. Sasaran insektisida berupa stadium dewasa maupun stadium pra

dewasa. Insektisida merupakan racun yang bersifat toksik, oleh sebab itu

penggunaannya pun harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan organisme

yang bukan sasaran termasuk mamalia. Insektisida yang dapat digunakan terhadap

nyamuk dewasa Aedes aegypti antara lain dari golongan organochlorin,

organophospor, carbamate, dan pyrethroid. Bahan-bahan tersebut dapat

diaplikasikann dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah

penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva aedes aegypti yaitu

dari golongan organophospor (temephos) dalam bentuk sand granules yang

dilarutkan dalam air ditempat perindukannya (abatisasi (Soegijanto, 2006).

25

Universitas Sumatera Utara


Di dalam pelaksanaannya penentuan jenis insektisida, dosis dan metode

aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan

pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistim akan

menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran. Pendapat itu juga di dukung

oleh Kasumbogo (2004), beliau mengatakan bahwa ada beberapa variabel yang

mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-

variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan, dan

luas penyemprotan. Fenomena resistensi itu dapat dijelaskan dengan teori evolusi

yaitu ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka

akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.

Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi sehingga

jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk yang kebal

tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak berhenti sampai

disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida tertentu akan terus

mengembangkan diri agar bisa kebal terkadap jenis pestisida yang lain

(Kasumbogo, 2004).

Pemberantasan secara kimia menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI

(2010) dikelompokkan menjadi:

1. Surface spray (IRS)

Surface spray (IRS= indoor residual spraying) adalah penyemprotan residu

dalam ruangan. Penyemprotan ini mrupakan suatu cara pemberantasan vektor

dengan menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis) tertentu

secara merata pada permukaan dinding yang disemprot. Metode ini menggunakan

26

Universitas Sumatera Utara


aplikasi residual insektisida (secara aktif melawan insekta dewasa). Tujuan

penyemrpotan ini adalah untuk memutuskan penularan karena umur nyamuk

menjadi lebih pendek sehingga tidak sempat menghasilkan sporozoit di dalam

kelenjar ludahnya.

2. Kelambu Berinsektisida

Kelambu berinsektisida adalah kelambu yang sudah dilapisi racun serangga

(insektisida) yang dibuat oleh pabrik kelambu. Kelambu berinsektisida ini

digunakan dalam pengendalian nyamuk malaria. WHO telah merekomendasi

penggunaan kelambu berinsektisida tahan lama yang disebut Long Lasting

Insecticide Nets (LLINs). Pengunaan kelambu akan menghindari terjadinya kontak

langsung antara nyamuk dengan manusia, dan dengan kelambu tersebut

diharapkan mass killing dari nyamuk malaria dapat dicegah dibandingkan dengan

yang tidak menggunakan kelambu

3. Larvasida

Larvasida adalah insektisida yang berbentuk butiran yang dapat membunuh

nyamuk. Tempat perkembangbiakan larva vektor DBD banyak terdapat pada

penampungan air yang airnya digunakan bagi kebutuhan sehari-hari terutama

untuk minum dan masak, maka larvasida (kimia pemberantas larva) yang

digunakan harus mempunyai sifat-sifat, efektif pada dosis rendah, tidak bersifat

racun bagi manusia/mamalia, tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau,

dan efektivitasnya lama. Larvasidasi dengan kriteria tersebut adalah temephos

yang lebih dikenal dengan sebutan abate. Larvasida ini terbukti efektif terhadap

larva Aedes aegypti dan daya racunnya rendah terhadap mamalia

27

Universitas Sumatera Utara


4. Space Spray (Pengkabutan panas/fogging)

Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan dengan cara mencampurkan

minyak dengan insektisida kemudian dipanaskan sehingga menjadi semacam kabut

asap yg sangat halus. Fogging merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia seperti Malathion dan

Sipermethrin atau senyawa kimia lain yang berasal dari golongan insektisida yang

lain. Metode ini melibatkan pengasapan droplet-droplet kecil insektisida ke dalam

udara untuk membunuh nyamuk dewasa. Ukuran diameter droplet (partikel) pada

pengasapan dengan uap panas biasanya berukuran kurang dari 15 mikron. Ukuran

droplet pada pengasapan bergantung pada jenis mesin dan kondisi operasionalnya

(WHO, 2004).

5. Insektisida Rumah Tangga

Penggunaan repelen, anti nyamuk bakar, liquid vaporizer, paper vaporizer,

mat, aerosol dan lain-lain yang digunakan masyarakat.

2.4.2 Pengendalian Secara Biologis

Pengendalian vektor secara biologi dilakukan dengan menggunakan agent

biologi seperti : predator/pemangsa, parasit dan bakteri. Jenis predator yang

digunakan yaitu ikan pemakan jentik sepeni ikan guppy, cupang, tampalo dan ikan

gabus. Agen biologi lain seperti Bacillus thuringiensis (BT1) digunakan sebagai

pembunuh jentik nyamuk atau larvasida yang tidak mengganggu lingkungan. BTI

mempunyai keunggulan yaitu dapat menghancurkan jentik nyamuk tanpa

menyerang predator. Formula BTI juga cenderung cepat mengendap didasar

wadah, karena itu dianjurkan pemakaiannya berulang kali (Depkes RI, 2000).

28

Universitas Sumatera Utara


2.4.3 Pengendalian Secara Radiasi

Pengendalian secara radiasi dilakukan dengan nyamuk dewasa jantan

diradiasi dengan bahan radioaktif dengan dosis tertentu sehingga mandul.

Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini dilepaskan ke alam bebas.

Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk betina tapi nyamuk betina tidak

akan dapat menghasilkan telur yang fertil.

2.4.4 Pengelolaan lingkungan

Pengelolaan lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah

atau meminimalkan perkembangan vektor sehingga kontak antara vektor dengan

manusia berkurang. Metode pokok dalam manajemen lingkungan meliputi:

1. Modifikasi lingkungan

Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi lingkungan suatu transformasi

fisik yang permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuh-tumbuhan

untuk mencegah/menurunkan habitat larva tanpa mengakibatkan kerugian bagi

manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan modifikasi lingkungan antara

lain : perbaikan penyediaan air, tangki dan reservoir diatas atau dibawah tanah anti

nyamuk dan perubahan fisik habitat larva yang tahan lama (WHO, 2001).

2. Manipulasi lingkungan

Menurut Kusnoputranto (2000) manipulasi lingkungan adalah suatu

pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan/tidak cocok sebagai tempat

berkembangbiak vektor penular penyakit. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan

29

Universitas Sumatera Utara


untuk manipulasi lingkungan antara lain: drainase instalasi penyediaan air,

penyimpanan air rumah tangga dan pengubahan sementara habitat vektor atau

pemusnahan tempat perkembangbiakan vektor. Pengubahan sementara habitat

vektor yang dapat dilakukan di rumah tangga pot bunga, vas bunga dilubangi

untuk saluran air keluar, pemeriksaan wadah penampungan hasil kondensasi

kulkas atau lemari es/AC, pemeriksaan pipa aliran air talang atap secara berkala

(WHO, 2001).

3. Perubahan habitat atau perilaku manusia

Upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya:

pakaian pelindung, pemakai obat nyamuk baker dan aerosol, penolak serangan,

pemakaian kelambu atau gorden (WHO, 2001).

Pengendalian lingkungan dapat juga dilakukan dengan cara mencegah

nyamuk kontak langsung dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa

pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari

menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak

terjangkau sinar matahari. Pencegahan yang paling tepat dan efektif serta aman

untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) dan 3M yaitu :

1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan

2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat

diterobos oleh nyamuk dewasa.

30

Universitas Sumatera Utara


3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya

dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk

Aedes aegypti (DepKes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001).

2.5 Insektisida

2.5.1 Pengertian Insektisida

Insektisida berasal dan kata insect, yang berarti serangga sedangkan cide

berarti membunuh. Dengan kata lain pengertian insektisida secara luas adalah

semua bahan atau campuran bahan yang digunakan unruk membunuh,

mengendalikan, mencegah, menolak atau mengurangi serangga (Hadi, 2006).

Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti

potongan, keratan, atau segmen tubuh, seperti kita lihat pada bagian tubuh

serangga. Insektisida umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem saraf

(Soemirat, 2009). Dalam PP No. 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas peredaran,

Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua zat kimia dan

bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas

atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada

manusia.

Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan untuk

pengendalian vektor penyakit dan hama pemukiman seperti nyamuk, serangga

pengganggu lain (lalat, kecoak/lipas), tikus, dan lain-lain yang dilakukan di daerah

pemukiman endemis, pelabuhan, bandara dan tempat-tempat umum lainnya

(Kementerian Kesehatan RI, 2012).

2.5.2 Jenis-Jenis Insektisida

31

Universitas Sumatera Utara


Ada bermacam-macam golongan insektisida yang berasal dari bahan

sintetik yaitu golongan Organofosfat, Organoklorin. Karbamat dan Piretroid.

2.5.2.1 Organofosfat

Organofosfat (OP) adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis

pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Termakan

hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan

lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.

Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan

kholinesterase dalam sel darah merah (Darmono, 2003).

Organofosfat merupakan insektisida yang mengandung fosfat dalam

susunan kimianya (Magaliona, 1980). Awal penemuan insektisida ini terjadi pada

masa perang dunia II dalam rangka penelitian “gas saraf ” untuk kepentingan

perang. Menurut Diana (2009) Organofosfat merupakan racun yang tidak selektif,

insektisida paling toksik diantara jenis pestisida lainnya, degradasinya berlangsung

lebih cepat, atau kurang bertahan lama di lingkungan, menimbulkan resisten

terhadap berbagai serangga, memusnahkan populasi predator dan serangga parasit,

lebih toksik terhadap manusia daripada organoklorin. Contoh golongan

Organofosfat adalah Fenitrothion, Temefos, Pirimiphos methyl, Malathion dan

lain-lain.

Fenitrothion adalah kontak insektisida spektrum yang luas yang efektif

untuk pengendalian tembakau kunyah dan hama belalang-kutu daun, ulat daun,

dan gerbong. Hal ini juga digunakan untuk melawan serangga domestik dan

nyamuk. Temefos adalah larvasida yang banyak digunakan untuk membunuh larva

32

Universitas Sumatera Utara


nyamuk. Pirimiphos methyl dikenal dengan nama dagang Actellic. Pirimiphos

methyl adalah salah satu dari beberapa senyawa yang digunakan untuk

pengendalian vektor Triatoma . Serangga ini terlibat dalam penularan penyakit

Chagas di Amerika .

Malathion dikenalkan pada 1950 dan dengan cepat dipergunakan dalam

bidang pertanian untuk membunuh serangga hama pada sayuran, buah-buahan dan

juga sering digunakan untuk keperluan perlindungan dari gangguan serangga di

rumah-rumah. Sekitar 1981 malathion digunakan secara besar-besaran untuk

mengendalikan lalat buah di California. Malathion dicampur dengan suatu protein

dari molasses dan yeast, kemudian disemprotkan dengan menggunakan helikopter

pada daerah yang terserang lalat buah. Ternyata malathion cukup efektif

membunuh lalat buah (Sudarmo, 2007).

Malathion termasuk golongan organofosfat yang banyak digunakan dalam

program pengendalian serangga. Ciri khas malathion adalah mempunyai

kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat toksisitasnya terhadap mamalia

relatif rendah dan terhadap vertebrata kurang stabil, korosif, berbau, dan memiliki

rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun perut, sebagai racun kontak

(contact poison) daa racun inhalasi. Insektisida organofosfat merupakan racun

saraf yang bekerja deagaa cara menghambat kolinestrase (ChE) yang

mengakibatkan serangga sasaran mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati

(Djojosumarto, 2008).

Malathion adalah bahan teknis pestisida yang dapat diemulsikan untuk

mengendalikan nyamuk Aedes aegypti, nyamuk culex quin quefasciatus dan

33

Universitas Sumatera Utara


nyamuk anopheles sp di dalam dan di luar ruangan. Malathion termasuk golongan

organofosfat parasimpatomimetik, yang berarti berikatan ireversibel dengan enzim

kolinesterase pada sistem saraf seraagga. Akibatnya otot tubuh serangga

mengalami kejang, kemudiaa lumpuh, dan akibatnya mati. Malathion digunakan

dengan cara pengasapan (Kasumbogo, 2004).

2.5.2.2 Organoklorin

Organoklorin merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung

sangat lambat, larut dalam lemak. Tergolong insektisida dengan toksisitas relatif

rendah tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan, berakumulasi pada jaringan

lemak, sangat stabil di air, tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan.

Menurut Costa (2008) yang dikutip oleh Acmadi 2014 mengatakan bahwa

Organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan (inhalasi), saluran

pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk serbuk,

absorpsi malalui kulit tidak terlalu berbahaya, namun ketika digunakan sebagai

larutan dalam minyak atau pelarut organik, toksisitasnya meningkat. Metabolisnya

di dalam sel melibatkan berbagai mekanisme, seperti oksidasi dan hidrolisis.

Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk menembus membran sel yang cukup

kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena sifat lipotropiknya,

senyawa ini tersimpan di dalam sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti

pada susunan saraf pusat, hati, ginjal, dan otot jantung. Di dalam organ-organ ini,

senyawa organoklorin merusak fungsi dari system enzim dan menghambat

aktivitas biokimia sel.

34

Universitas Sumatera Utara


Insektisida ini masih digunakan pada negara sedang berkembang terutama

negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Contoh golongan

Organoklorin adalah diklorodifeniletan (DDT, DDD, portan, metoksiklor,

metioklor), siklodin (aldrin, dieldrin, heptaklor, chlordane, dan endosufan), dan

sikloheksan benzene terklorinasi (HCB dan HCH). Semua organoklorin

merupakan racun saraf (Soemirat, 2009).

2.5.2.3 Karbamat

Insektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan

cara menghambat kolinesterase (ChE). Jika pada organofosfat hambatan tersebut

bersifat irreversible (tidak bisa dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut

bersifat reversible (bisa dipulihkan). Insektisida dari kelompok karbamat relatif

mudah terurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan

lemak (Djojosumarto, 2008).

Insektisida ini biasanva daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia

dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh

serangga. Pengaruh karbamat terhadap enzim tidak berlangsung lama karena

prosesnya berlangsumg secara cepat, gejala keracuman karbamat umumnya

berlangsung dalam waktu singkat dan dapat segera normal kembali. Insektisida ini

dapat bertahan di dalam tubuh antara 1-24 jam dan diekskresikan secara cepat dari

dalam tubuh. Pada serangga, target keracunan oleh karbamat adalah pada ganglion

system saraf pusat. Sejauh ini belum terdapat laporan mengenai adanya insektisida

karbamat yang bersifat karsinogenik (Tarumingkeng, 1992). Contoh golongan

karbamat adalah Propoxur, Bendiocarb dan Carbosulfan.

35

Universitas Sumatera Utara


2.5.2.4 Piretroid

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang

merupakan tiruan atau analog dari piretrum. Efikasi biologis piretroid bervariasi,

tergantung pada bahan aktif masing-masing. Kebanyakan piretroid yang mermliki

efek sebagai racun kontak yang sangat kuat. Insektisida piretroid merupakan racun

yang mempengaruhi saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam cara

kerja pada susunan saraf sentral (Djojosumarto, 2008).

Piretroid adalah racun saraf yang bekerja dengan cepat dan menimbulkan

paralisis yang bersifat sementara. Efek piretroid sama dengan DDT tetapi piretroid

memiliki efek tidak persisten. Generasi pertama piretroid adalah alletrin bersifat

stabil dan persisten yang cukup efektif untuk membunuh lalat rumah dan nyamuk.

Contoh golongan Piretroid adalah Deltamethrin, Lambda-cyhalothrin,

Sipermethrin dan lain-lain.

Deltamethrin adalah insektisida yang mampu membunuh, telur kutu, larva

dan kutu dewasa. Deltametrin ini adalah racun saraf yang menghalangi kerja

sodium pada saraf sehingga akan mencegah impuls saraf. Lambda-cyhalotrin

adalah racun kontak dan racun perut yang banyak dipergunakan untuk

pengendalian serangga. Insektisida golongan tergolong racun dengan toksisitas

rendah bila terpapar melalui kulit, tetapi sangat beracun bila terhirup. Insektisida

golongan Lambda-cyhalotrin, dilarutkan di dalam bahan pelarut bersama-sama

dengan formulasi lainnya, menjadi formulasi murni, stabi, homogeny, bebas dari

endapan dan sebelum diaplikasikan berbentuk emulsi (Rozendall, 1997).

36

Universitas Sumatera Utara


Sipermethrin ditemukan pada tahun 1975. Insektisida non-sistemik ini

bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Efektif terutama untuk

mengendalikan Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, dan kelas-kelas

lainnya. Sipermethrin digunakan di bidang pertanian, rumah tangga, kesehatan

masyarakat, dan keschatan hewan (Djojosumarto, 2008).

Sipermethrin merupakan racun kontak dan racun perut yang

penggunaannya selain untuk pengendalian serangga juga untuk lahan pertanian.

Penggunaan sipermethrin sangat populer karena efektifitasnya dan murah

harganya. Di Indonesia sipermethrin digunakan untuk pengendalian serangga atau

hama pemukiman seperti pengendalian nyamuk, lalat dan kecoa (Magallona,

1980).

Struktur kimia sipermethrin menyerupai pyrethrum (racun pembasmi

serangga alami yang terdapat pada bunga krisan), dengan daya racun yang tinggi

secara biologi dan lebih stabil dibanding racun alami lainnya. Cypermetrin

berwujud cairan kental, berbau menyengat, relatif tidak menguap, stabil terhadap

panas, dan larut dalam pelarut non polar (aceton, alkohol, xylene, dan khloroform),

serta mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (0,009 ppm) (Haryati, 2006).

Sipermethrin juga digunakan pada pencelupan kelambu berinsektisida untuk

mencegah malaria. Insektisida yang terdaftar dengan bahan aktif sipermethrin

antara lain cynoff, seruni, ciplus, cytrin, hit, baygon dan mortein (Deptan, 2008).

2.6 Cara Masuk Insektisida ke Dalam Tubuh Serangga

Insektisida digunakan untuk mengendalikan serangga dengan cara

mengganggu proses penting dalam kehidupannya. Serangga dapat terpajan oleh

37

Universitas Sumatera Utara


insektisida dengan cara kontak langsung, termakan, melalui pernafasan. Insektisida

sebagai racun kontak, racun perut atau racun pernafasan tergantung pada cara

masak (mode of entry) insektisida ke dalam tubuh serangga. Menurut

Djojosumarto (2008) cara masuknya insektisida kedalam tubuh serangga

dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :

2.6.1 Racun Lambung atau Racun Perut

Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh serangga

sasaran jika termakan serta masuk ke dalam organ pencernaannya. Selanjutnya

insektisida tersebut diserap dinding saluran pencernaan makanan dan dibawa oleh

cairan tubuh serangga kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang

mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida. Misalnya menuju ke

susunan syaraf serangga, menuju ke organ-organ respirasi meracui sel-sel lambung

dan sebagainya. Oleh karena itu, serangga harus memakan tanaman yang sudah

disemprot insektisida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk

membunuh.

Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu banyak.

Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan

racun kontak, hanya da perbedaan kekuatan antara keduanya. Ada insektisida yang

kontaknya lebih kuat daripada racun perutnya, demikian sebaliknya. Contoh

insektisida yang memiliki efek ganda adalah golongan Piretroid dan Organofosfat

sedangkan insektisida yang bersifat sebagai racun perut murni adalah Bacillus

thuringiensis.

2.6.2 Racun Kontak

38

Universitas Sumatera Utara


Racun kontak adalah insektisida yang masuk kedalam tubuh serangga

sasaran melalui kulit (kutikula), celah/lubang alami pada tubuh atau langsung

mengenai mulut si serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung

(kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan insektisida dari kelompok

piretroid memiliki efek kontak yang sangat kuat. meskipun memiliki efek sebagai

racun perut. Ada yang efek kontaknya sangat kuat dengan efek racun perut sebagai

tambahan, ada pula efek racun perutnya lebih kuat daripada sifat kontaknya.

Contoh golongan insektisida yang termasuk dalam racun kontak adalah golongan

Piretroid, Karbamat, Organoklorin dan Organofosfat.

2.6.3 Racun Pernapasan

Racun pernapasan merupakan insektisida yang masuk atau bekerja lewat

sistem pernapasan dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara. Serangga

akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup

masuk kedalam sistem pernapasan serangga dan selanjumya ditransportasikan ke

tempat racun tersebut bekerja. Racun pernapasan adalah insektisida yang

mematikan serangga karena mengganggu kerja organ pernapasan. Kebanyakan

racun pernapasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektisida cair. Contoh

insektisida yang termasuk dalam racun pernapasan adalah insektisida golongan

Organofosfat.

2.7 Cara Kerja Insektisida dalam Tubuh Serangga

Cara kerja insektisida (mode of action) dalam tubuh serangga adalah cara

insektisida memberikan pengaruh terhadap serangga berdasarkan aktifitas

39

Universitas Sumatera Utara


insektisida di dalam tubuh serangga, sehingga menimbulkan eksitasi (kegelisahan),

konvulsi (kekejangan), paralisis (kelumpuhan) dan akhinrya mati (Deptan, 2008).

Menurut Hamid (2014) cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dibagi

dalam 5 (lima) kelompok, yaitu :

1. Mempengaruhi sistem saraf

2. Menghambat produksi energy

3. Menghambat keseimbangan air tubuh

4. Mempengaruhi pertumbuhan serangga (IGR, insect growth regulator)

5. Merusak jaringan pencernaan serangga.

2.7.1 Mempengaruhi Sistem Saraf

Sistem saraf adalah organ yang digunakan untuk merespon rangsangan

baik dari luar maupun dari dalam sehingga serangga dapat hidup dan berkembang.

Terdiri dari banyak sel saraf (neuron) yang saling berhubungan yang menyebar ke

seluruh tubuh. Neuron di salah satu ujungnya disebut dendrit dan diujung lain

disebut akson.Antar neuron berhubungan melalui aksonnya. Titik dimana dua

neuron berhubungan disebut sinap. Ujung akson yang berhubungan neuron lainnya

disebut presinap sedangkan bagian dari neuron yang berhubungan dengan presinap

disebut postsinap. Berjalannya impul saraf merupakan proses yang sangat

kompleks. Dipengaruhi oleh keseimbangan ion-ion K+, na+, CA++, cl-, berbagai

macam protein, enzim, neurotransmitter,dll. Gangguan pada salah satu faktor

mengakibatkan impuls saraf tidak dapat berjalan secara normal. Sehingga serangga

tidak mampu merespon rangsangan.

40

Universitas Sumatera Utara


Insektisida Organofosfat dan Karbamat mengikat enzim asetilkolinesterase

yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin

berfungsi menghantar impul saraf, setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan

bantuan enzim asetilkolinesterase menjadi kolin dan asam asetat. Dengan

terikatnya enzim asetilkolinesterase terjadi penumpukan asetilkolin, akibatnya

impul saraf akan terstimulasi secara terus menerus menyebabkan gejala

tremor/gemetar dan gerakan tidak terkendali. Golongan Piretroid juga termasuk

insektisida yang bekerja mempengaruhi system saraf dengan mengikat protein

“voltage-gated sodium channel” yang mengatur denyut impuls syaraf. Efeknya

sama seperti yang disebabkan oleh Organofosfat dan Karbamat, impuls saraf akan

mengalami stimulasi secara terus menerus dan mengakibatkan serangga

menunjukkan gejala tremor/gemetar, gerakan tak terkendali. Golongan

Organoklorin juga insektisida yang bekerja mengganggu system saraf yeng

efeknya mirip dengan Organofosfat dan Karbamat.

2.7.2 Menghambat Produksi Energi

Mekanisme kerja insektisida ini mengganggu proses respirasi, suatu proses

yang menghasilkan energi untuk proses metabolisme. Respirasi adalah proses

pemecahan gula atau senyawa lain yang menghasilkan energi,yang digunakan

untuk proses pertumbuhan. Proses respirasi melibatkan banyak reaksi yang

memerlukan enzim. Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan

mengganggu perolehan energi yang diperlukan yang akhirnya menghambat

pertumbuhan dan jasad akan mati di atas kakinya sendiri karena kehabisan tenaga

untuk tumbuh dan berkembang.

41

Universitas Sumatera Utara


2.7.3 Menghambat Keseimbangan Air Tubuh

Tubuh serangga dilapisi oleh zat lilin/minyak untuk mencegah hilangnya

air dari tubuhnya. Diatom, silica aerogels dan asam borat adalah bahan yang dapat

menyerap lilin/lemak, sehingga lapisan lilin akan hilang, serangga akan banyak

kehilangan air dan mengalami desikasi dan akhirnya mati.

2.7.4 Mempengaruhi Pertumbuhan Serangga (IGR, Insect Growth


Regulator)
Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem

endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Pertumbuhan serangga pada fase

muda (larva), dikendalikan oleh hormon juvenil (juvenile hormon) yang diproduksi

di otak. Hormon juvenil mengatur kapan fase larva berakhir kemudian dilanjutkan

dengan molting kemudian menjadi dewasa. Insektisida ini bekerja menyerupai

hormon juvenil, menyebabkan larva terganggu pertumbuhannya, tetap dalam fase

muda, tidak dapat bekepompong dan akhirnya mati.

2.7.5 Merusak Jaringan Pencernaan Serangga

Insektisida golongan ini adalah yang berbahan aktif mikroorganisme

Baccilus thuringiensis (Bt). Bt membentuk endotoksin yang bila masuk ke dalam

pencernaan serangga (larva dari golongan lepidoptera) yang bersifat asam akan

terlarut dan merusak sel-sel jaringan pencernaan dan menyebabkan kematian.

2.8 Penyemprotan Insektisida

Penyemprotan ruangan adalah metoda aplikasi insektisida dengan cara

memecah insektisida cair menjadi droplet-droplet yang sangat kecil (10-50

42

Universitas Sumatera Utara


mikron), yang disemprotkan ke udara dan diharapkan droplet berada di udara

dalam waktu yang cukup lama, sehingga kontak antara insektisida dengan

serangga menjadi maksimal. Droplet-droplet kecil tersebut dihasilkan dengan

melibatkan energi antara lain energi panas (thermal), seperti pada thermal fogging,

energi mekanik seperti pada cold fogging atau Ultra Low Volume dan energi gas

seperti pada aerosol dalam tabung (Hadi, 2006).

Insektisida yang digunakan dalam penyemprotan ruangan biasanya

mempunyai efek kelumpuhan cepat dan bersifat non residual, sehingga

penyemprotan harus dilakukan saat serangga sasaran dalam keadaan aktif. Untuk

mendapat hasil yang maksimal di dalam ruangan biasanya disarankan untuk

menutup ruangan dalam kurun waktu yang cukup sehingga kontak insektisida

dengan serangga menjadi maksimal.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan

penyemprotan insektisida antara lam:

1. Ukuran droplet Alat Fogging

Penyemprotan ruangan hanya efektif pada saat droplet berada di udara,

sebab droplet akan jatuh ke permukaan karena daya tarik bumi, bahkan dapat

hilang ke atmosfer pada aplikasi di luar ruangan. Ukuran yang cukup baik untuk

besaran droplet aplikasi < 100 milimikron, sebab droplet akan mudah melayang

saat penguapan (Dent, 2000).

2. Flow Rate

Flow rate adalah volume larutan yang dikeluarkan per satuan waktu,

misalnya ml/detik. Semakin besar flow rate semakin besar pula diameter droplet

43

Universitas Sumatera Utara


yang dihasilkan. Jadi harus dilakukan penyetelan flow rate sebelum penyemprotan

berlangsung.

3. Konsentrasi Insektisida

Konsentrasi insektisida yang digunakan harus mengacu pada label, karena bila

dosis yang digunakan tidak tepat akan menimbulkan kerugian, tidak hanya dari

segi biaya dan efikasi pengendalian tetapi juga berpengaruh terhadap keamanan

manusia itu sendiri serta lingkungan (Magallona, 1980).

4. Arah dan Kecepatan Angin

Dalam melakukan aplikasi arah angin harus diperhatikan. Kecepatan angin

akan berpengaruh terhadap aplikasi di luar ruangan. Untuk aplikasi di luar ruangan

insektisida space spray berkisar 1-4 m/detik atau sekitar 3,6 - 15 Km/jam. Angin

diperlukan untuk membawa droplet masuk ke celah-celah bangunan, namun jika

angin terlalu kencang maka droplet akan cepat hilang terbawa angin.

Penyemprotan harus berjalan mundur melawan arah angin, sehingga droplet tidak

mengenai penyemprot.

5. Suhu

Suhu adalah keadaan udara yang akan mempengarahi penyemprotan.

Penyemprotan di luar ruangan pada waktu tengah hari atau pada saat suhu tinggi

akan sia-sia karena droplet akan menyebar keatas, bukan kesamping sehingga

penyemprotan tidak maksimal. Oleh sebab itu penyemprotan sebaiknya dilakukan

pada pagi hari atau sore hari.

2.8.1 Jenis-jenis Penyemprotan Insektisida

44

Universitas Sumatera Utara


Penyemprotan dapat dibagi menjadi dua yaitu Thermal fog (pengasapan)

dan cold fog (pengkabutan).

2.8.1.1 Thermal fog/Fogging

Dalam teknik aplikasi, fogging disebut thermal aerosol/thermal fogging

atau thermal fog atau aerosol panas, sedangkan alatnya disebut thermal aerosol

generator, fogger, thermal fogging machine, atau hot fogging machine.

Karakteristik utama dari aplikasi dengan metode fogging adalah ukuran butiran

semprot yang dihasilkannya sangat halus. Spektrum butiran pada fogging mulai

dari <1 hingga 150 mikron. Oleh karena halusnya, butiran semprot membentuk

semacam kabut asap (fog) yang bisa melayang lama di udara serta sanggup

menyusup ke seluruh ruangan atau bidang sasaran dengan baik, bahkan ke dalam

lubang serta retakan tanah (Djojosumarto, 2008).

Pengasapan (fogging) yaitu suatu teknik yang digunakan untuk

mengendalikan DBD dengan menggunakan insektisida tertentu yang berguna

untuk mengurangi penularan sampai batas waktu tertentu (Depkes RI, 2007).

Upaya untuk menekan laju penularan penyakit DBD, salah satu- nya ditujukan

untuk mengurangi kepadatan vektor DBD secara kimiawi yang dikenal dengan

istilah pengasapan {fogging). Selama ini masyarakat begitu mengandalkan fogging

untuk menekan laju penularan penyakit DBD. Karena itu, ada beberapa hal penting

yang perlu kita ketahui mengenai fogging, antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa fogging efektif untuk membasmi vektor atau nyamuk Aedes dewasa

saja. Karena itu, upaya fogging saja tidaklah terlalu efektif untuk menekan laju

45

Universitas Sumatera Utara


penularan penyakit DBD di masyarakat meski tidak berarti upaya melakukan

fogging sia-sia.

2. Efek fogging hanya efektif bertahan selama dua hari.

3. Jenis insektisida yang dipergunakan mesti diganti secara periodik untuk

menghindari kekebalan (resistensi) nyamuk Aedes aegypti (Ginanjar, 2008).

Pengendahan kimiawi secara massal pada suatu area pemukiman biasanya

dilakukan dengan menggunakan alat semprot bertekanan, misalnya pada

pengasapan (fogging). Fogging biasanya dilakukan bila di suatu daerah ditemukan

kasus penyakit yang mematikan seperti demam berdarah dengue. Hal ini dilakukan

untuk membunuh nyamuk dewasa yang diduga terinfeksi virus dengue dan

memutuskan mata rantai penularan penyakit agar penyebaran tidak meluas.

Fogging yang efektif biasanya dilakukan pada saat pagi maupun sore hari, saat

angin tidak begitu kencang dan aktifrtas nyamuk menggigit sedang memuncak

(Hadi, 2006).

Insektisida yang digunakan pada thermal fogging berbentuk cair dan

biasanya dilarutkan dalam minyak, seperti solar atau minyak tanah. Formulasi

larutan atau dosis aplikasi insektisida disesuaikan dengan ketentuan yang telah

ditetapkan oleh produk penghasil insektisida tersebut. Penggunaan Malathion dan

Sipermethrin sebagai bahan aktif pengendali vektor diaplikasikan dengan metode

pengasapan (thermal fog).

2.8.1.2 Cold fog (Ultra Low Volume = ULV)

46

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan cold fog mirip dengan thermal fog, tetapi pelarut yang

digunakan adalah air dan tidak menghasilkan kabut yang banyak seperti thermal

fogging. Droplet yang dihasilkan pada aplikasi ini tidak melibatkan panas, namun

menggunakan energi mekanik. Kelebihan cold fog adalah pengencer yang

sedangkan kekurangan nya adalah konsentrasi larutan semprotnya lebih tinggi

sehingga perlu penanganan yang lebih hati-hati (Yamin, 2007).

2.9 Kerangka Konsep

Adapun alur kerangka konsep dari pemikiran penelitian ini adalah :

Jenis Insektisida

1. Malathion 0,8%
Uji Susceptibility

Status Resistensi
Suhu
Nyamuk
dan Kelembaban

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

47

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai