Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KONSEP NYERI DAN PENANGANANNYA

Disusun oleh :

Ranny Ayu Farisah

NPM 1102014221

Pembimbing :

dr. Arly Ihvaricci, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANASTESIOLOGI


RSUD PASAR REBO
2019
BAB I

1
PENDAHULUAN

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. persepsi nyeri merupakan sensasi
yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul
adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri
seperti ini disebut sebagai nyeri akut. Selanjutnya, bahwa perasaan yang sama
dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain
without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme
proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu
trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan
jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi
organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang
dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat
diketahui, misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan
bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain,
misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut,
kemungkinan merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak
saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu,
melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI NYERI


Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan.
Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi
nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya
kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception). 1

2.2 KLASIFIKASI NYERI


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :

1. Menurut Jenisnya: nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri


psikogenik.

2. Menurut timbulnya nyeri: nyeri akut dan nyeri kronis.

3. Menurut penyebabnya: nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.

4. Menurut derajat nyerinya: nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut timbulnya nyeri


 Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat
sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi

3
medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini
muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan
nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah. 1
 Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak
terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif
lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga
kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik
akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan
eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan
penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang
tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah
pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul
perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan
dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau
nyeri karena kanker.1

Menurut derajat nyerinya


Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Nyeri ringan: adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu


melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang: adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.

3. Nyeri berat: adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.2

4
II.2. FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer. 3
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.3
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

5
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor


nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C). 3
Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :

6
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik
di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C
sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,
dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.3

2.3 JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT


1. Jalur Asenden (transduksi dan transmisi)
Serat saraf C dan A-δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
dalam medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu
masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis (posterior)
medula spinalis. Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses impuls

7
sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel
yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini (lapisan 2 dan 3), yang disebut
substansia gelatinosa, yang sangat penting dalam transmisi dan modulasi
nyeri.3
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura
anterior dan kemudian menyatu di traktus spinothalamikus antero-lateralis,
yang naik ke thalamus dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi
impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontra lateral terhadap sisi tubuh
tempat impuls itu berasal. 3

Jalur Ascendens Impuls Nyeri

2. Jalur Desenden (modulasi dan persepsi)


Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau
mempengaruhi persepsi nyeri, hipotalamus dan struktur limbik berfungsi
sebagai pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan
interpretasi dan respon rasional terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang
luas dalam cara individu mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi
ini adalah karena sistem saraf pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme
untuk memodulasi dan menekan rangsangan nosiseptif.3
Jalur-jalur desenden serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke
bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan
nyeri yang datang melalui suatu mekanisme umpan balik yang melibatkan

8
substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Salah jalur desenden
yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri
atau analgesik adalah jalur yang mencakup tiga komponen berikut :
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus rafe
magnus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian
atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis
medula spinalis.3
Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin
mempengaruhi masukan sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini
dikenal sebagai neurotransmiter atau neuromodulator. Neurotransmiter adalah
neurokimia yang menghambat atau merangsang aktifitas di membran
pascasinaps. Zat P (suatu neuropeptida) adalah neurotransmiter spesifik-nyeri
yang terdapat di kornu dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain
yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin,
dopamin dan serotonin.3

2.4 RESPON FISIOLOGIS TERHADAP NYERI


Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi
endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi
imunologik, yang secara umum disebut sebagai respons stres. Respons stres ini
sangat merugikan pasien, karena selain akan menurunkan cadangan dan daya
tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, mengganggu fungsi
respirasi dengan segala konsekuensinya, serta akan mengundang resiko terjadinya
tromboemboli, yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Respon endokrin

9
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II,
ADH, ACTH, GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon
anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia
melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis,
selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis. Kejadian ini akan
menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan
terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga
intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.4
Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini
mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan
meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot jantung
dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi. Takikardia serta
disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah dengan retensi Na dan
air, maka timbullah resiko gagal jantung kongesti.4
Bertambahnya cairan ekstraselluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan
peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat muncul resiko
hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga
penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan hipoksemia.4

Efek Nyeri Terhadap sistem Organ Yang Lain


Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi
saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap
fungsi immunlogik, nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, dan depresi
RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen menurun, Kemudian, terhadap
fungsi koagulasi, nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi
platelet. Terjadi peningkatan adesivitas trombosit. Ditambah dengan efek

10
katekolamin yang menimbulkan vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri,
maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.4

2.5 HIPERSENSITIFITAS DAN PLASTISITAS SUSUNAN SARAF PUSAT


Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau
operasi maka input nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor
nyeri baik di perifer maupun di sentral (kornu posterior medulla spinalis). Kedua
reseptor nyeri tersebut di atas akan menurunkan ambang nyerinya, sesaat setelah
terjadi input nyeri.3
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai
hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat
dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi
hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya
dengan stimulasi lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat
menimbulkan rasa nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer. Di
lain pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah
menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup
menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan
berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Kedua perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupun
hiperalgesia sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer
dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini
berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf
sentral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu. Dengan
kata lain, susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku (rigid
wire), tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat proteksi.3
Kemampuan susunan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik
disebut sebagian plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Sekali
susunan saraf mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap
suatu stimuli dan penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat
sehingga dibutuhkan dosis obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya. Atas
dasar itulah maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-

11
upaya untuk mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk
mengurangi plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah dengan
menggunakan blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input nyeri dari
perifer akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal. Dilain pihak
jika trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat
mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal.
Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia
preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to
treat pain before it occurs). Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan
sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah penderita yang
dioperasi dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah banyak dibuktikan melalui
penelitian-penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced Analgesia) sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia balans adalah upaya
mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada proses transduksi,
transmisi dan proses modulasi. Jadi merupakan intervensi nyeri yang bersifat
terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep plastisitas dan analgesia
preemptif seperti disebutkan di atas. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan diperoleh hasil yang cukup
baik, tapi cara ini mempunyai keterbatasan waktu. Tidak mungkin analgesia
preemptif dapat dipertahankan beberapa hari sampai proses penyembuhan usai.
Selain itu epidural kontinyu dengan menggunakan anastesi lokal, juga memiliki
keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya. 3
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun
hasilnya sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu
posterior, namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama
proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans
dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan.
Multimodal, dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses
perjalanan nyeri yakni pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada
proses transmisi dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.3

12
Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan
proses modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer
maupun di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain
pain free juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan
menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan
analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan
mobilisasi.3

2.6 PENILAIAN NYERI


Derajat Nyeri
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana
dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya
hilang apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
pendeita tidak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri waktu
tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif
dengan menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak
nyeri sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical
Rating Score (NRS). Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih
dahulu bahwa bila tidak ada nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak
tertahankan lagi diberi angka 10. Kemudian penderita diminta menentukan derajat
nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya disodorkan
gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk diminta menentukan tempat derajat
nyeri yang dideritanya.

13
Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan
Visual Analogue Scale.
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan
nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala.

2.7 PENATALAKSANAAN NYERI


Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan
nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non
farmakologik.
Pendekatan Farmakologik

14
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan
efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan
untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid
dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut
adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat

15
analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula
mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses
modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik,
analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering
digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS
sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang
kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin

16
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik
lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan
hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di
nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan
dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu
pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan
berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.

2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan
dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan
dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah
suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah
dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek
analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas
digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk
menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan
efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas
sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis
(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem
desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,

17
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang
paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti
pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang
bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus
obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri
dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid
murni.

18
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan
untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat
analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.
Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang
mungkin tidak berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti
efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini
menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik
yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang
menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca
herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis
reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya
memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan
efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam
(valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan
nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk
mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau
metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik
apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis
yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga
pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem

19
simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial
depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah
metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan
modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini
mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai
adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau
dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang
berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil
yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa
stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan
neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan
dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan
melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung
memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh
perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan
diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk

20
penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung
bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode
noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan
dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri
yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat
disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu,
kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas),
konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis
berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan
meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik
saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas
mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi
seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi
aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan.
Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai
otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin
menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

21
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih
mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi,
penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian
besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan,
pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan.
Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress
emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling
memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian
menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana
memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan
yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik
tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter
tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan
darah dan gelombang otak.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Dasar Manusia. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta: 2013.
2. International Association for the Study Of Pain. Guide to Pain
Management. IASP. 2010.
3. American Society of Anesthesiologist. Practice Guidelines of Chronic
Pain Management. AHA. 2010.
4. Boezart, Andre, et al. Acute Pain Medicine in Anesthesiology. 2013.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3854690/ diakses pada 12
Agustus 2019.

23

Anda mungkin juga menyukai