Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Tasawuf yang berjudul “Studi Kritis
Terhadap Aliran- aliran Tasawuf” ini dengan lancar. Makalah ini dibuat untuk
melengkapi tugas dan penilaian mata kuliah Tasawuf.

Kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu selaku dosen pengampu mata kuliah Tasawuf yaitu Ibu Siti Rakhmah, S. Hi

2. Semua pihak yang membantu hingga makalah ini selesai.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari
sistematika, isi, penulisan, dll. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun, sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya bagi mahasiswa S1-Farmasi UIN Maliki Malang.

Malang, 5 Oktober 2015

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah mengalami

kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia mengambil

tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi setidaknya

dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama serta fenomena

kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini. Dari kedua hal itu, bisa

dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan besar untuk

mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan suatu

ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi.Apabila diformulasikan

tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis modernitas dan

krisis pemahaman agama.

Tasawuf, yang dikalangan barat dikenal sebagai misitisme islam merupakan

salah satu aspek esoteris islam sekaligus perwujudan ihsan yang menyadari adanya

komunikasi langsung dengan Tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya telah ada sejak

zaman Rasulullah SAW. Meskipun demikian, tasawuf merupakan hasil kebudayaaan

sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti ilmu fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena

itu tasawuf tidak lepas dari kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang

menentangnya.
Serangan yang berulang-ulang ditujukan kepada tasawuf dalam sejarah islam

memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebab ini berupa pengarus

sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak

istimewa para ahli hukum bahkan penguasa. Walaupun otoritas –otoritas besar sufi

telah meletakkan banaya garis pemandu untuk menjaga tasawuf agar tepat berada di

jantung tradisi islam, gerakan keagamaan yang ditujukan untuk mengintensifkan

pengalaman keagamaan dan mempunyai sedikit kepedulian terhadap norma-norma

islam juga dikaitkan dengan tasawuf.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana bentuk kritik terhadap tarekat?

b. Bagaimana bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi?

c. Bagaimana bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap tarekat.

b. Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.

c. Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap praktik tasawuf secara umum.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bentuk kritik terhadap tarekat

Tasawuf secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan

sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Ajaran

tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah itu merupakan

hakikat dari tarekat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf merupakan

usaha untuk mendekatkan diri pada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan

yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah.1

Diantara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah

menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga

mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada juga bentuk penyimpangan yang lain

seperti mengabaikan syari’at dan perdukunan.2

Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik-kritik pedas

terhadapnya. Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad

Abduh, dan Rasyid Rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab

kemunduran umat Islam.3 Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata,“….Kamu akan

dapati mayoritas orang-orang ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai ‘wali’

1 H. Moh. Toriquddin, Lc., M. Hi, Sekularitas Tasawuf, h 124


2Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina : Jakarta, 1984 h. 187
3 Nasution, ‘Tasawuf”, h. 178.
hanya karena orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau

orang tersebut melakukan sesuatu yang diluar kemampuan manusia, seperti menunjuk

kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau

tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan

air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat

yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan

kebutuhannya, memberi tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal

yang ghaib (tidak tampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal,

kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa

pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla.

Bahkan, orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat

mengatakan bahwa jika ada orang yang mau terbang di udara atau berjalan di atas air,

kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah

perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulallah SAW, apakah orang tersebut selalu

menaati perintah beliau SAW dan menjauhi larangannya? ...karena hal-hal yang

diluar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli

kitab, dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan

setan atau jin, sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu

melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.4

Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai berikut:

“Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan

mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang

4 Ibn Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002, h. 215.
benar, maka maqbul, dan jika tiada begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak

terjadi di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minagkabau.

Maka bahwasanya mereka itu bercela akan dzikir Allah dengan (…) dan mereka

itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu hingga,

bahwasanya akan mengikut bersembahn yang padanya dan bercampur makan

padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu

hanyalah mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan dunia

adanya.5

Sisi lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat umumnya

hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak

bribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang

mengejar dunia adalah anjing.” Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam

dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakkal, menunggu apa

saja yang akan datang qadha dan qadhar yang sejalan dengan paham Asy’ariyah. Para

pembaharu dalam dunia Islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan

paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam. Bahkan,

Schimmel menyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari kebutuhan

merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan orang-

orang Islam.6

5 Karel A.Steenbrink, beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta,
1984, h. 184-185.

6 M. Solihin, Ilmu Tasawuf. 2008 Bandung: Pustaka Setia. h236


2.2 Bentuk kritik terhadap sumber tasawuf falsafi.

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran- ajarannya memadukan antara visi

mistis dan visi rasional sebagai dasar. Tasawuf falsafi menggunakan terminology

filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam- macam ajaran filsafat

yang telah mempengaruhi para tokohnya.

Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat,

sebagaimana telah disebut di atas. Para sufi yang juga filosof ini mendapat banyak

kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataan – pernyataan

mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terdapat

golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 H).

Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syatahat, yaitu ungkapan isyarat –

isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan

lenyapnya kesadaran, yang makna – maknanya tidak jelas bagi orang yang belum

mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungakapan –ungkapan itu barang

kali keluar dari batas – batas etika syara’, tidak pantas di hadapan Tuhan Yang

Mahasuci, atau dari ungkapan – ungkapan itu merembes paham ateisme. Sikap kita

terhadap syathahat – syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf

yang saleh.7

Di antara hal paling penting yang dituduhkan oleh orang – orang yang

menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi

meyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di

7 M. Solihin, Ilmu Tasawuf. 2008 Bandung: Pustaka Setia. h236


lautan, pegunungan, bukit – bukit, pepohonan, manusia, hewan, dan sebagainya.

Dengan kata lain, makhluk adalah khaliq itu sendiri. Semua yang dapat diraba dan

dapat dilihat di alam ini merupakan dzat Allah dan diri-Nya.

Hulul dan Itthad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis. Allah

bukanlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis – jenis lainnya.

Bagaimana bisa Yang Qadim menempati yang hadis, Kahliq menempati makhluk?

Jika yang dimaksud dengan hulul adalah masuknya ‘aradh (lawan dari esensi) ke

dalam esensi, Allah bukanlah ‘arad. Jika yang dimaksud adalah masuknya esensi ke

dalam esensi, Allah bukanlah esensi. Jika hulul dan Ittihad antara dua makhluk

adalah sesuatu yang mustahil, tidak mungkin dua orang laki – laki karena perbedaan

zat keduannya, perbedaan antara Khaliq dan makhluk., antara pembuat dan yang

dibuat, dan antara dzat yang wajib adadan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan

lebih utama lagi.

2.3 Bentuk kritik terhadap praktik tasawuf secara umum

Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya untuk menahan gerakan yang

wataknya melebih-lebihkan itu tak berhasil. Walaupun pengaruhnya memang sangat

luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi.

Umat mengalami kemunduran, yang selama dua abad terkhir ini mereka berpaya

keras mengatasi kemunduran itu.8

8 Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012. h.
Alih-alih tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan

menjalankan syariat, memperdalam komitmennya terhadap Islam dan menyucikan

serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang

menyebabkan atau bahkan memperburuk suatu hal.

Kritikan-kritikan berikut tertuju secara khusus tertuju kepada aliran-aliran

tasawuf seperti halnya :

1. Syari’ah dan haqiqah (Hakikat)

Syari’ah, dikalangan ahli hukum islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang

ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak

maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.

Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah kumpulan

hukum praktis, yakni tuntunan- tunanan praktis dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang

cara pelaksanaan ibadah maupun muamalah. Syariah dalam pandangan mereka lebih

identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan

mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan

atau yang tersembunyi dibalik aturan tersebutlah yang mereka namai dengan haqiqah

(hakekat).

Ada dua pandangan yang dikemukaan oleh para sufi terhadap syariah. Pertama,

pandangan kaum sufi yang moderat (masih berpegangan pada syariah). Menurut

kelompok ini, syariat dalam artian lahiriyah menjadi perhatian para ahli fiqh,

sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian khusus para kaum sufi. Kedua,

pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah hanya di tujukan

kepada kelompok masyarakat awam saja, hal ini di karenakan keterbatasan daya
berfikir dan hati mereka dalam memahai makana syariah yang terkandung di

dalamnya.

2. Ilmu muktasab dan ladunni

Ilm muktasab adalah ilmu yang diperoleh lewat proses pembelajaran (membaca

atau berguru). Sedangkan ilm ladunni adalah ilmu yang tidak diperoleh melalui

proses tersebut. Ilmu Ladunni merupakan anugerah dari Allah yang masuk kedalam

(proses) hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buahdari kebersihan hati

dan kedekatan dengan-Nya.

Karena sikap mereka lebih cenderung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak

menaruh perhatian yang besar terhadap upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga

tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab).

3. Motivasi ibadah

Pada tingkatan tertentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibadah yang benar

adalah ibadah yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari Allah, tidak

menharapkan surge dan tidak takut terhadap adanya neraka. Bahkan para sufi

berkeyakinan bahwa ibadah bukan merupaka perbuatan seorang hamba, melainkan

perbuatan Allah. Siapa yang menyaksikan ibadah itu sebagai perbuatan taatnya, maka

ia telah durhaka.9

Pernyataan ini menggambarkan bahwa dalam pandangan sufi sekedar tertarik

kepada surga dinilai sebagai suatu kesalahan atau dosa. Menurut para peneliti

tasawuf, tidak benar jika dikatakan (seperti padangan sufi) bahwa seseorang ibadah

9 Nasution, Harun. FalsafatdanMistismedalamislam. Jakarta ;Bulanbantang. 1973. h. 72


karena mengharapkan surge dan takut neraka. Pemahan ini menyimpang dari apa

yang telah dijelaskan dalam Al- Quran dan As- Sunnah.

4. Wahdatul wujud

Faham Wahdatul wujud yang dikemukakan oleh ibn’Arabi dapat dijelaskan

seperti berikut: bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak

macam penampakan keluarnya. Artinya, bahwa makhluk adalah aspek lahriyah,

sedangkan aspek batin dari segala sesuatu adalah Allah. Dengan demikian dari segi

hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan makhluk maka dari itu, karena dilihat

dengan pandangan panca indra lahir karena keterbatasan akal dalam menangkap

hakikat yang ada pada Dzat-nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatunya

terhimpun pada-Nya. [16]Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Arabi yang artinya

“Maha suci Allah yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah

hakikat dari segala sesuatu itu.”

5. Hormat kepada syaikh

Di dalam tasawuf, khususnya dalam pelaksanaan tarekat, para sufi memberikan

penghormatan yang sangat luar biasa besar kepada guru atau syakh. Seorang sufi di

depan syaikhnya harus seperti mayat ditangan orang yang memandikannya. Ia tidak

boleh bertanya tentang apa yang sudah diajarkan, lebih- lebih lagi membantah.

Seorang sufi harusberjalan di belakang syaikhnya, merunduk jika berpapasan atau

berhadapan dengannya, mencium tangan bila bersalaman dengannya. Begitu

tingginya penghormatan yang diberikan kepada syaikh, meskipun ini tidak

seluruhnya terjadi pada kaum sufi.


Bagaimanapun, para pengkritik melihat bahwa penghormatan yang berlebihan

ini. Tidak sesuai dengan praktek-praktek yang dicontohkan oleh Raslullah SAW dan

para sahabatnya. Meskipun Rasulullah SAW pernah menolak bantahan-bantahan dari

para sahabatnya dan mengatakan bahwa dia adalah Rasulullah, tetapi tidak jarang

bahwa dia juga membuka kesempatan untuk mengajukan pendapat-pendapat berbagai

persoalan kemasyarakatan (duniawi), bahkan pernah dia merubah keputusan yang dia

buat karena masukan-masukan dari para sahabat.

Rasulullah SAW juga sering mengingatkan Para sahabatnya agar tidak

berlebihan-lebihan di dalam panggilan (dengan panggilan sayyid/tuan), dan

kedudukan. Dia bahkan diperintahkan oleh Allahuntuk menyampaikan bahwa dai

tidak lain hanyalah seorang manusia biasa seperti hal layak umumnya.10

6. Jihad

Menurut doktrin sufi bahawa jihad yang benar menurut mereka amat sedikit

sekali, mereka sibuk berjihad memerangi hawa nafsu, kerana menurut anggapan

mereka yang berhujjahkan sebuah hadis sebagaimana yang telah dijelaskan oleh

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yaitu hadis yang berbunyi:

“Kita telah pulang dari jihad kecil menuju jihad besar, yaitu jihad hawa nafsu.”

Bahwa ucapan tersebut adalah tidak ada seorangpun dari ahli makrifah atau ahli hadis

yang meriwayatkan sabda Nabi SAW bahkan sangat bertentangan dengan al-Quran

maupun as-Sunnah bahawa jihad memerangi orang-orang kafir adalah seutama-utama

cara mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, dengan memperbanyak amalan

sunnah di tempat- tempat yang jauh dari keramaian, telah dilihat sebagai praktek-

10 Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 178


praktek yang merendahkan jika bukan mengabaikan ajaran- ajaran berjihad bagi

perbaikan diri dan masyarakat.

Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam hal ini:

a. Dalam kitab ihya’ ‘ulum al-Din, karya imam Al-Ghazali yang terdiri dari 4 jilid

dan lebih terkonsentrasi dalam persoalan ibadan dan pembersihan diri. Tidak di

sentuh sama sekali tentang masalah jihad, padahal pada saat penulisan Syam sedang

di serang pasukan salib.

b. Kaum sufi berpegangan pada hadis “kita telah pulang dari jihad yang kecil menuju

jihad yang lebih besar”

c. Pada saat itu inggris dan perancis menduduki beberapa dunia islam, para sufi larut

dalam zikir mereka, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Menurut ibn Taimiyah berkata :”bila dibandingkan dengan dengan aliran

manapun orang-orang sufi adalah orang-orang yang paling menjauhi jihad.”11

7. Pengangguran

Dari ajaran-ajaran dan praktek-praktek tasawuf, dimulai dari konsentrasi kepada

pembersihan hati menjauhi kehidupan dunia, beribadah dengan berbagai amalan

sunat di tempat-tempat terpencil, melemahnya semangat untuk menggali ilmu

pengetahuan dan berjihad, hanya terkonsentrasi pada ma’rifah dan persatuan dengan

Tuhan, dilihat dari salah satu lahirnya penyebab lahirnya generasi-generasi pemalas

dan penganggur. Lebih tertarik kepada pemberian orang dari pada hasil kerja dan

usaha sendiri.12

11 Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 181-182


12 Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 183
8. Tidak menikah

Sufi adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari

ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah

tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama”

seperti ini mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah. Semisal ketenaran

Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus

kekaguman pada semua kalangan.13 Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi

semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya” jawabnya. Berkali-kali orang lain yang

bertanya kepadanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab,

"Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud

dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya”. Di antara

nikmat dan tanda kekuasaan Allah adalah disyariatkannya nikah, yang mana

mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya.

Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian

istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum

yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

13 Harun Nasution, Mistisme, po.cit., 72


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada

Allah. Tarekat dianggap menyimpang dikerenakan lebih menonjokan kehidupan

rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi.

2. Tasawuf Falsafi merupakan perpaduan antara tasawuf dan filsafat. Hal ini

menyebabkan para sufi yang juga filosof mendapat banyak kecaman dari para fuqaha,

yang justru semakin keras akibat pernyataan – pernyataan mereka yang panteistis.

3. Adanya gejala- gejala syariah dan hakikat; ilmu muktasab dan ladunni; motivasi

ibadah; wahdatul wujud; hormat kepada syaikh; jihad; pengangguran; dan tidak

menikah menyebabkan para sufi menjadi apolitis, asosial, dan individualis.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalahh ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan.

Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca. Dan disarankann bagi pembaca untuk menggali lebih dalam lagi mengenai

ajaran- ajaran tasawuf agar dapat memahaminya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon & Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung ; CV Pustaka Setia
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica.
IbnTaimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11, Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002

Jamil. M. Cakrawala Tasawuf. 2004. Sejarah, Pemikiran dan Kontektualitas. Ciputat:


Gaung Persada Press.

Nasution, Harun. “Tasawuf”. 1984. Dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed),


Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina :
Jakarta

Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta ; Bulan Bintang.

Sholikhin, Muhammad. 2009. Tradisi Sufi dari Nabi, tasawuf aplikatif ajaran nabi
Muhammad. Yogyakarta ; Cakrawala

Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang ; UIN Press

Anda mungkin juga menyukai