Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

PENURUNAN KESADARAN EMERGENSI

Disusun oleh :

Ranny Ayu Farisah

NPM 1102014221

Pembimbing :

dr. Lucy Garwati, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANASTESIOLOGI


RSUD PASAR REBO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.


Kesadaran terdiri dari dua aspek yaitu bangun (wakefulness) dan ketanggapan
(awareness). Kesadaran membutuhkan fungsi normal dari kedua hemisfer serebri
dan ascending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari midpons ke
hipotalamus anterior. Proyeksi neuronal berlanjut dari ARAS ke talamus, dimana
mereka bersinaps dan diproyeksikan ke korteks.
Ketidaksadaran adalah keadaan tidak sadar terhadap diri sendiri dan
lingkungan dan dapat bersifat fisiologis (tidur) ataupun patologis (koma atau
keadaan vegetatif). Gangguan pada kesadaran biasanya dimulai dengan
ketidaktanggapan terhadap diri sendiri, diikuti ketidaktanggapan terhadap
lingkungan, dan akhirnya ketidakmampuan untuk bangun.
Kesadaran berkabut (clouding of consciousness) adalah penurunan
keadaan bangun atau ketanggapan yang minimal, dimana masalah utamanya ialah
perhatian atau kewaspadaan. Confusion adalah gangguan dalam berpikir dengan
jelas. Biasanya mempunyai gambaran gangguan kemampuan kognitif dan
pengambilan keputusan. Obstundasi yaitu penurunan kesadaran ringan-sedang
dengan penurunan perhatian terhadap lingkungan dan reaksi terhadap rangsang
yang lambat. Stupor yaitu keadaan tidur yang dalam atau tidak memberikan
respon dengan pergerakan spontan yang sedikit atau tidak ada dimana hanya bisa
dibangunkan dengan rangsangan kuat yang berulang. Koma yaitu keadaan tidak
sadar yang dalam, yang tidak dapat dibangunkan akibat disfungsi ARAS di batang
otak atau kedua hemisfer serebri. Keadaan vegetatif diartikan sebagai kondisi
tidak tanggap terhadap diri sendiri dan lingkungan yang disertai siklus tidur-
bangun (sleep-wake cycles) dengan fungsi autonomik hipotalamus dan batang
otak yang lengkap atau parsial. Keadaan sadar minimal (minimally conscious
state) adalah keadaan dimana kesadaran sangat terganggu, tetapi penderita dapat
menunjukkan ketanggapan terhadap diri sendiri ataupun lingkungan secara
intermitten.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua
hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi
kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun
fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan.
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Loss of consciousness (LOC) atau koma, adalah kondisi klinis ketidaksadaran
yang berkepanjangan, yang disebabkan oleh beragam etiologi, paling banyak
disebabkan oleh gangguan system saraf pusat, dan toksisitas. Tingkat sadar
dipertahankan oleh reticular asending mengaktifkan sistem di batang
otak. Kewaspadaan kortikal dipertahankan oleh proyeksi seperti dari ARAS ke
korteks. Fungsinya juga terganggu secara mekanis, atau oleh racun dan metabolit
toksik.1

Gangguan kesadaran dapat dianggap dalam hal berkurangnya


kewaspadaan/kemampuan untuk terangsang, kesadaran atau keduanya, dengan
koma didefinisikan sebagai 'pasien yang sama sekali tidak sadar atau tidak
responsif terhadap rangsangan eksternal dengan hanya membuka mata dengan
rangsangan nyeri dengan tidak ada pergerakan bola mata, dan penarikan tungkai
ke stimulus berbahaya paling sering (sering dengan gerakan motor refleks) '.Saat
menggambarkan kesadaran istilah yang tidak tepat seperti 'mengantuk' atau 'agak
tidak sadar' seharusnya dihindarkan demi penjelasan yang jelas tentang aktual
pasien kondisi dan kemampuan fungsional.1

Terdapat dua mekanisme utama untuk menjelaskan koma. Yang pertama


adalah gangguan difus yang mengenasi kedua cerebral hemispheres dan gangguan
pada ARAS di batang otak dan pons, di mana sinyal dibawa ke thalamus dan di
teruskan menuju korteks cerebri.1

2.2 Etiologi
Ada beberapa faktor etiologis yang dapat menyebabkan keadaan koma.
Pendekatan yang disederhanakan untuk etiologi koma dapat diklasifikasikan
secara luas sebagai penyebab intrakranial dan sistemik.2
Penyebab multifokal adalah kelompok yang paling beragam dan
merupakan kelompok kasus koma terbesar. Trauma adalah penyebab utama koma
diikuti oleh lesi vaskular dan anoksia. Dari penyebab postanoxic, yang paling
umum adalah henti jantung-paru, stroke, henti pernapasan, dan keracunan karbon
monoksida. Penyebab umum lainnya termasuk keadaan postictal setelah kejang,
keracunan, dan gangguan metabolisme.3

2. 3 Diagnosis
Loss of conciousness atau koma, memiliki gejala yang pasti dan konstan
1. Mata tertutup.
2. Tidak merespons, beberapa kali asimetris atau titik pin dan tidak responsif
seperti pada subarachnoid pendarahan.
3. Refleks batang otak yang tertekan, sebagaimana dibuktikan oleh gerakan
mata tertekan.
4. Tidak ada gerakan di tungkai, dan kadang-kadang beberapa gerakan
refleks.
5. Napas ataksis, kulit berkeringat dingin, dan masuk koma metabolik, bau
khusus seperti bau uremik atau bau buah DKA.
6. Kejang dapat bermanifestasi jika penyebabnya adalah serebral
berorientasi, seperti peradangan atau ICH (intracerebral hemorrhage)
Diagnosis kesadaran menurun didasarkan atas:

Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis
tersebut didapat, biasanya anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang selalu
berada bersama penderita. Untuk itu diperlukan riwayat perjalanan penyakit,
riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat
kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi kunci utama dalam
mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun.
Pemeriksaan fisik umum
Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati:
 Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan
perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada
tidaknya aritmia.
 Bau nafas
Pemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang
disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit ginjal atau
fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.
 Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata
kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada
penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan
sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur
servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk
dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit.

 Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
 Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
 Toraks/ abdomen dan ekstremitas
Perhatikan ada tidaknya fraktur.
- Pemeriksaan fisik neurologis
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma
secara kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik.
 Umum
- Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
- Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
- Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama
(aktivitas seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
 Level kesadaran
Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
- Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma)
- Kuantitatif (menggunakan GCS)
 Pupil
Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
- Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik (-),
dicurigai suatu koma metabolik
- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
- Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat
kolinergik.
- Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
- Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi
global, keracunan barbiturat.
 Refleks kornea dan posisi kelopak mata
Dari posisi kelopak mata dapat dinilai apakah kelopak mata dalam
keadaan tetutup atau terbuka sebagian (tidak tertutup rapat). Dalam keadaaan
koma, biasanya kelopak mata dalam keadaan tertutup dan mudah diangkat seperti
halnya dalam keadaan tidur. Tidak adanya tonus pada kelopak mata atau terbuka
sebagian dari kelopak mata dapat menandakan adanya kelemahan dari otot-otot
wajah. Jika saat pemeriksaan ditemukan kelopak mata yang sulit dibuka atau saat
dibuka langsung tertutup kembali, biasanya itu merupakan gerakan yang volunter
dan dapat menandakan bahwa pasien tidak sepenuhnya dalam keadaan koma.
Reflek mengedip biasanya hilang pada saat seseorang dalam keadaan koma.
Respon mengedip terhadap suara keras atau sinar lampu pada pasien dalam
persistent vegetative state menggambarkan bahwa jaras sensoris aferen ke batang
otak masih baik, namun tidak berarti pasien aktif dalam menerima respon, bahkan
pasien dengan kerusakan total pada cortex yang mengatur visual masih dapat
merespon kedip terhadap sinar, tetapi tidak pada respon langsung/sentuhan.
Reflek dalam menutup kelopak mata dan elevasi kedua bola mata (Bell’s
Phenomenon) menandakan jaras reflek dari nervus trigeminal menuju tegmentum
batang otak lalu kembali ke nervus oculomotor dan facial masih dalam keadaaan
intak/baik. Lesi struktural pada mesencephalon dapat menyebabkan hilangnya
Bell’s phenomenon, tetapi respon mengedip tetap ada.

 Refleks muntah
 Respons motorik
 Refleks fisiologik dan patologik
- Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam
darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
 Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton,
faal hati, faal ginjal dan elektrolit.
 Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan
lambung.
Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG,
foto toraks dan foto kepala
Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif

Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca


indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh
rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam
keadaaan awas dan waspada.

Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti


mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan
perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak
gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.

Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata.
Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.

Semikoma atau soporokoma, merupakan tahap pertengahan antara spoor


dan koma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat
mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.

Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan


rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata,
bicara, maupun reaksi motorik.

Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif

Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan


Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata
(E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai
terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:

E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri

E2 membuka mata dengan rangsang nyeri

E3 membuka mata dengan rangsang suara


E4 membuka mata spontan

Motorik:

M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri

M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri

M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri

M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran

M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran

M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:

V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)

V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)

V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)

V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)

V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari
8 menandakan koma.
2.4 Tatalaksana
Prinsip umum penilaian awal dan manajemen
A - Airway: apakah paten airway?

Jika pasien merespons dengan suara normal, maka jalan napas adalah
paten. Obstruksi jalan nafas bisa sebagian atau lengkap. Tanda-tanda jalan nafas
yang terhambat sebagian termasuk suara yang berubah, pernapasan bising (mis.
Stridor), dan usaha pernapasan yang meningkat. Dengan jalan nafas yang benar-
benar terhambat, tidak ada respirasi meskipun ada usaha keras (yaitu, respirasi
paradoks, atau tanda "lihat-lihat").

B - Breathing: apakah bernafas cukup?


Di semua pengaturan, dimungkinkan untuk menentukan tingkat pernapasan,
periksa gerakan dinding toraks untuk mendapatkan simetri dan penggunaanotot
pernapasan tambahan, dan perkusi dada untuk resonansi sepihak. Sianosis, leher
buncitvena, dan lateralisasi trakea dapat diidentifikasi. Jika stetoskop tersedia,
auskultasi paru harus dilakukan dan, jika mungkin, oximeter pulsa harus
diterapkan.Ketegangan pneumotoraks harus segera diatasi dengan memasukkan
kanula tempat ruang interkostal keduamelintasi garis midclavicular
(thoracocentesis jarum).Bronkospasme harus diobati dengan inhalasi.Jika
pernapasan tidak mencukupi, ventilasi yang dibantu harusdilakukan dengan
memberikan napas penyelamatan dengan atau tanpa penghalang alat. Personil
yang terlatih harus menggunakan topeng tas jika ada

C - Circulation: adalah sirkulasi cukup?

Waktu pengisian kapiler dan denyut nadi dapat dinilai dalam pengaturan apa
pun. Inspeksi kulit memberi petunjuk untuk masalah sirkulasi. Perubahan warna,
berkeringat, dan penurunan tingkat kesadaran adalah tanda-tanda
penurunanperfusi. Jika stetoskop tersedia, auskultasi jantung harus dilakukan.
Pemantauan dan elektrokardiografi pengukuran tekanan darah juga harus
dilakukan sebagai secepatnya. Hipotensi adalah klinis merugikan yang penting
tanda. Efek hipovolemia dapat dikurangi dengan menempatkan pasien dalam
posisi terlentang dan meninggikan pasien kaki. Akses intravena harus diperoleh
segera mungkin dan salin harus diinfuskan.

D - Disabilitas: berapa levelnya kesadaran?

Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan cepat menggunakan Metode AVPU,


di mana pasien dinilai sebagai waspada (A), suara responsif (V), responsif nyeri
(P), atau tidak responsif (U). Atau, Skor Koma Glasgow dapat digunakan. Dahan
gerakan harus diperiksa untuk mengevaluasi tanda - tanda potensial lateralisasi.
Perawatan segera terbaik untuk pasien dengan kondisi otak primer adalah
stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Khususnya, ketika pasien hanya
rasa sakit yang responsif atau tidak responsif, patensi jalan napas harus dipastikan,
dengan menempatkan pasien pada posisi pemulihan, dan memanggil personel
yang memenuhi syarat untuk mengamankan jalan napas. Pada akhirnya, intubasi
mungkin diperlukan. Refleks cahaya pupil harus dievaluasi dan glukosa darah
diukur. A menurun tingkat kesadaran karena glukosa darah rendah dapat dikoreksi
dengan cepat dengan glukosa oral atau infus.

E - Exposure: petunjuk apa pun untuk menjelaskan kondisi pasien?

Tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit (ruam), jarum tanda, dll, harus
diperhatikan. Mengangkat martabat dalam pikiran pasien, pakaian harus dilepas
untuk memungkinkanpemeriksaan fisik menyeluruh untuk dilakukan. Tubuh suhu
dapat diperkirakan dengan merasakan kulit atau menggunakan termometer saat
tersedia.
Apapun diagnosis atau penyebab koma, beberapa prinsip umum
manajemen dapat diaplikasikan kepada seluruh pasien dan harus diterapkan pada
saat kita menjalankan pemeriksaan dan merencanakan terapi definitif
Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari
100mmHg dan PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP;
1/3 sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan
obat-obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi
tidak boleh diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada
pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh
diturunkan melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat
menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan
sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup, meskipun demikian apabila ada
peningkatan TIK maka MAP yang lebih tinggi harus di capai (misalnya di atas
65mmHg).

Ukur kadar glukosa

Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL,


bahkan setelah episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-
hatian harus diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan
air (dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi
stabil.
Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat
alkoholisme kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading
glukosa dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu
disarankan untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah
pemberian glukosa.
Turunkan tekanan intrakranial
Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan
otak dan harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam
(sampai 0,1mg/kg) atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
Obati infeksi
Beragam infeksi dapat menyebabkan delirium atau koma, dan infeksi
dapat mengakserbasi coma dari sebab-sebab lainnya. Kultur darah harus diambil
pada semua pasien demam dan hipotermik tanpa sebab yang jelas. Pasien lansia
atau dengan penekanan sistem imun harus diberikan ampicillin untuk mencakup
Listeria monocytogenes. Bukti-bukti terbaru menunjukkan penambahan
deksametason untuk pasien dengan infeksi Listeria menurunkan komplikasi
jangka panjang. Pemberian antiviral untuk herpes simpleks (asiklovir 10mg/kg
setiap 8 jam) disarankan apabila ada kecurigaan klinis, hal ini dikarenakan infeksi
dengan virus tersebut sering menyebabkan penurunan kesadaran. Pada pasine-
pasien dengan penekanan sistem imun, infeksi dengan jamur dan parasit lainnya
juga harus dipertimbangkan, namun oleh karena perjalanan penyakitnya lebih
lambat pengobatan dapat menunggu pemeriksaan pencitraan dan likuor
serebrospinalis. Gambar 16 memberikan algoritme yang dapat digunakan pada
pasien koma dengan kecurigaan akibat infeksi (meningitis bakterialis).
Perbaiki keseimbangan asam basa
Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan
kembali ke keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin
karena asidosis metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik
dapat mengganggu fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului
kegagalan napas, sehingga harus menjadi peringatan kepada klinisi bahwa
bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga
dapat menaikkan tekanan intrakranial, sehingga harus di jaga dalam kadar
senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia jantung dan
menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.
Sesuaikan suhu tubuh
Hipertemia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan
kebutuhan metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat
mendenaturasi protein selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5°C pada pasien
hipertermia harus diturunkan dengan menggunakan antipiretik dan bila diperlukan
dapat digunakan pendinginan fisik (eq. selimut pendingin). Hipotermia signifikan
(di bawah 34°C) dapat menyebabkan pneumonia, aritmia jantung, kelainan
elektrolit, hipovolemia, asidosis metabolik, gangguan koagulasi, trombositopenia
dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan secara bertahap untuk mempertahankan
suhu tubuh di atas 35°C.
Administrasi antidotum spesifik
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang
disebabkan oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-
obatan sedatif, alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat
dikonsumsi tunggal atau dengan kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat
diobati hanya dengan penatalaksaan suportif, bahkan karena banyak dari pasien
ini menggunakan obat secara kombinasi pemberian antidotum spesifik sering
tidak membantu. Pemberian koktail koma (campuran dekstrosa, tiamin, naloksone
dan flumazenil) jarang sekali membantu dan dapat membahayakan pasien.
Meskipun demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa ada zat spesifik yang
telah dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik membalikkan
efek obat-obatan penyebab koma dapat berguna.
BAB III
KESIMPULAN
COMA atau LOC, adalah suatu kondisi yang dipenuhi oleh setiap orang
praktisi dan konsultan, yang merupakan tantangan untuk memutuskan, mengobati,
dan memberikan pemulihan yang baik. Tindakan awal dan cepat dari konsultan,
praktisi, dan kerja sama yang baik kerabat, orang yang menemani, untuk
menerima manajemen, memberikan dana untuk tes, adalah wajib isu. Karena
"Waktu adalah Otak", intervensi paling awal akan dilakukan untuk
menyelamatkan otak dan kehidupan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Dasar Manusia. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta: 2013.
2. Cooksley T, Rose SB, Holland M. A systematic approach to the
unconscious patient. Vol 18, No 1: 88–92. CME ACUTE MEDICINE.
2018.
3. Kumar AB. Coma and Brain Death.
https://www.researchgate.net/publication/263272696 di akses pada tanggal
3 Agustus 2018
4. Thim T, Vinther NH, Krarup, et al. Initial assessment and treatment with
the Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE)
approach. International Journal of General Medicine 5; 117–121. 2019.
5. Venkataraman N. 2018. Practical Approach to a Person Who is
Unconscious. www.apiindia.org/pdf/progress_in_medicine.../mu_21.pdf.
diakses pada tanggal 16 juli 2019
6. Budiman, 2014. Penatalaksanaan Umum Koma. Dalam : Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus S.K., Setiati, S., edisi 6. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing, 208-209

Anda mungkin juga menyukai