Anda di halaman 1dari 27

Case Report

PERTUSIS

PRESENTAN

Vivinia Rahmi Andika Putri (1410070100104)

Puja Kamtala Syafti (1410070100100)

Luh Dewi Sulasih (1410070100103)

PRESEPTOR

dr. Liza Fitria, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat izin dan
ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Pertusis” dan
juga shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW.

Penulisan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalankan


kepaniteraan klinik senior pada bagian Anak RSAM Bukittinggi. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada dr. Liza Fitria, Sp.A selaku pembimbing
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini demi memenuhi
tugas kepaniteraan klinik. Penulis juga menyadari bahwa penulisan laporan kasus
ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang tidak terhingga kepada pihak yang telah membantu penulis.

Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penyusunan kasus ini,
namun penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan karya presentasi kasus ini.

Solok, 20 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1

BAB I ...................................................................................................................... 4

1.1Latar Belakang ............................................................................................... 4

1.2.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 5

1.2.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 5

1.2.3 Manfaat .................................................................................................. 5

2.1 Pertusis .......................................................................................................... 6

2.1.1 Definisi Pertusis ..................................................................................... 6

2.1.2 Epidemiologi Pertusis ............................................................................ 6

2.1.3 Etiologi Pertusis ..................................................................................... 7

2.1.4 Patogenesis Pertusis ............................................................................... 7

2.1.5 Gejala Klinis Pertusis ............................................................................. 8

2.1.6 Diagnosa Pertusis ................................................................................. 10

2.1.7 Penyulit pada Pertusis .......................................................................... 11

2.1.8 Penatalaksanaan Pertusis ...................................................................... 11

2.1.9 Pencegahan Pertusis ............................................................................. 12

2.1.10 Prognosis Pertusis .............................................................................. 14

BAB III................................................................................................................... 15

3.1 STATUS PASIEN ....................................................................................... 15


1
3.2 ANAMNESIS ............................................................................................. 15

3.3 PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................. 19

3.4 Pemeriksaan Laboratorium ......................................................................... 22

3.6 Penatalaksanaan .......................................................................................... 23

KESIMPULAN .................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit
menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an.
Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan
hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju.
Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat
ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis
diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan


fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya,
diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat
sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.

4
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami tentang Pertusis


1.2.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, epidemiologi, etiologi,


patogenesa,gejala klinis, diagnosa, penyulit, penatalaksanaan, pencegahan
dan prognosis Pertusis
1.2.3 Manfaat

1. Sebagai sumber media informasi mengenai Pertusis


2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang Pertusis
3. Untuk memenuhi tugas case report kepanitraan klinik senior di Bagian
Anak RSAM Bukittinggi 2019

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertusis

2.1.1 Definisi Pertusis

Pertusis (batuk rejan) yang bebrarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang
yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang
menurun. Disebut juga whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu
sindromyang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksimal disertai nada yang
meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk
sering disertai bunyi yang khas (‘whoop’). Nama pertusis lebih disukai dari dari pada
whooping cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi ytang khas. Uraian
pertama epidemic penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru
diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan Gengou.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama Negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama bayi yang tidak diimunisasi, dengan
kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun.

Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 1993, jumlah kasus pertusis
tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CRF (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi
2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CRF 0%, kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus
dengan CRF 0% pada tahun 1992.

2.1.2 Epidemiologi Pertusis

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Pada saat ini
manusia adalah satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan melalui udara
secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Pertusis adalah penyakit endemic. Di Amerika Serikat antara tahun 1932-


1989 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemic pertusis. Penyebaran penyakit ini
terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak
adalah anak umur dibawah 1 tahun. Makin muda usianya makin berbahaya
penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan dibanding laki-laki. Di
Amerika Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan, termasuk bayi
yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan

6
66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia
6 bulan pertama kehidupan.

Antibody dari ibu (transplasenta) selama kehamilan, tidaklah cukup untuk


mencegah bayi baru lahior terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada neonates
dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun
setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromisin dapat menurunkan tingkat
penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negative setelah 5 hari
pengobatan.

2.1.3 Etiologi Pertusis

Genus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B. parapertusis, B.


bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah brodetella pertusis dan perlu
dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh bordetella para pertussis
dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram-
negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 µm dan diameter 0,2-0,3 µm, tidak
bergerak, tidak berspora. Dengan toloidin baru, dapat ter;ihat granula bipolar
metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertussis,
diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-
glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat
pertumbuhan organism lain.

Organism yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam
biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II,III atau IV).
Strain fase 1 berperan untuk penularan penyakit yang menghasilkan vaksin efektif.
B. pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam,
tetapi bertahan pada suhu rendah (0-100C).

2.1.4 Patogenesis Pertusis

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara


pernafasan kemudian melekat pada sillia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
pathogenesis infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan local, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/


pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada
sillia. Setelahn terjadi perlekatan B. pertussis, kemudia ber-multiplikasi dan
menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasive,
oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan B.

7
pertussis, maka makan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub
unit yaitu A dan B. Toksun sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel
target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim
membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek menghatur


sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peri bronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan sillia,
maka fungsi sillia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder ( tersering oleh Streptococus pneumonia, H. influenza dan Staphylococus
aureus). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan system saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder akibat anoksia. Terjadi
perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami
regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap
proses penyakit.

Dermonecrotic adalah heat cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot


polos pembuluhy darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis
trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan
diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide (endotoksin) tidak
terlalu penting dalam hal pathogenesis penyakit ini. Kadang-kadang B. pertussis
hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin
pertusis.

2.1.5 Gejala Klinis Pertusis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari,rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan penyakit ini
dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,
preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,spasmodic), dan stadium
konvalens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status

8
imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu, batuk paroksismal
(100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%), dan kejang (20-
25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lebih
lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak > 2 tahun. Suhu jarang > 38,40C
pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan oleh B. parapertusis atau B.
bronkiseptika lebih ringan daripada B. pertusis dan juga lama sakit lebih pendek.
Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.

1) Stadium kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas baguan atas yaitu
timbulnya rinore(pilek) dengan lender yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas yang tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan jarena sukar
dibedakan dengan commond cold.

Selama stadium ini, sejumlah besar organism tersebar dalam inti droplet dan
anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.

2) Stadium paroksismal/stadium spasmodic (2-4 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi massif yang mendadak
dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap melalui glottis
yang menyempit, pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan
batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan muka
merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, saliva dan distensi
vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtuva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran
nafas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun
tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk
mudah dibangkitkan dengan stress emosional (menangis,sedih,gembira) dan
aktivitas fisik.

9
3) Stadium konvaleen (1-2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah


dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-amgsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan menimbulkan serangan batuk oaroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.

2.1.6 Diagnosa Pertusis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan whoop
yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang
didapat opada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada
pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukositosis 20.000-50.000 /Ul dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk menegakkana
diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B
pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan
positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke 3
dan menurun hingga 20% untuk waktu berikutnya. Serologi terhadap antibody
toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara elisa dapat dipakai
untuk menentukan serum Ig M, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. niali serum
IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi.

IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain
yaitu foto thoraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau
empisema.

Diagnosis banding

1. Batuk spasmodic pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bacterial, sistik fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan diluat trakea dan bronkus. Pada umunya
pertusisi dapat di bedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing

10
juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologic dan
endoskopi.
2. Infeksi B.parapertussis, B. bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai
sindrom klinis B. pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman
penyebab.

2.1.7 Penyulit pada Pertusis

Penyulit utama terjadi pada system nafas dan saraf pusat. Pneumoni
merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada
anak < 3 tahun. Pneumonia dapat di akbitkan oleh B. pertussis, tetapi lebih sering
disebabkan infeksi bakteri sekunder (H. influenza, S. pneumonia, S. aureus, S.
pyogenes). Tuberculosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder
terhadap sumbatan mucus yang kental. Aspirasi mucus atau muntah dapat
menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan infeksi sekunder oleh bakteri.
Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan rupture alveoli, empisema
interstisial/subkutran dan pneumothoraks, termasuk perdarahan subkonjungtiva.

Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,


hiponatremi sekunder terhadap SIADH (syndrome of inappropriate diuretic
hormone) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungkan dengan
alkalosisi yang disebabkan muntah persisten.

2.1.8 Penatalaksanaan Pertusis

Pemebrian antibiotic tidak memeprpendek stadium paroksismal. Eritromisin


(50mg/KgBB/hari) aatau ampisilin (100mg/KgBB/hari) dapat mengeliminasi
organism dari nasofaring dalam 3-4 hari. Terapi suportif terutama untuk
menghindari factor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan
nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada distress pernafasan yang akut dan
kronik. Perlu penghisapan lender terutama pada bayi dengan pneumonia dan
distress pernafasan. Betamasol dan salbutamol diduga bekerja untuk mencegah
obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksismal dan mengurangi lamanya whoop.
Berdasarkan penelitian Kranzt setelah pemberian salbutamol, efeknya tidak
bermakna dibandingkan placebo. Eritromisin dapat mengeliminasi pertusisi bila
diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode
penularan. Immunoglobulin pertusis telah diberikan pada anak dibawah umur 2
tahun(1,25 ml/24 jam dalam 3-5 dosis), penelitian menunjukan tidak ditemukannya
adanya kegunaannya dan hal ini tidak direkomendasikan.

11
Obat Pilihan Utama Alternatif

Kelompok Azitromicin Eritromicin Klaritromisin TMP-SMZ


Usia
<1 bulan Direkomendasikan. Tidak dianjurkan. Tidak Kontraindikasi untuk
Dosis tunggal 40-50mg/kg per direkomendasikan bayi <2 bulan
10mg/kg per hari hari dibagi dalam
selama 5 hari 4 dosis selama 14
hari
1-5 bulan Dosis tunggal 10 40-50mgkg 15mg/kg per hari Kontraindikasi untuk
mg/kg per hari perhari dibagi dibagi dalam 2 bayi <2 bulan. Untuk
selama 5 hari dalam 4 dosis dosis selama 7 bayi >2bulan TMP
selama 14 hari hari 8mg/kg per hari,
SMZ 40 mg/kg per
hari dibagi dalam 2
dosis selama 14 hari

Bayi usia Dosis tunggal 10 40-50mg/kg per 15mg/kg per hari TMP 8mg/kg per
>6 bulan) & mg/ kg pada hari hari (maksimum: dibagi dalam 2 hari dibagi dalam 2
anak pertama kemudian 2g/hari) dibagi dosis (maximum: dosis selama 14 hari
5mg/kg per hari dalam 4 dosis 1 gr per hari)
(maksimum:500mg selama 14 hari selama 7 hari
) pada hari 2-5
Dewasa Dosis tunggal 500 2 g per hari dibagi 1 gr perhari TMP 320 mg per
mg pada hari dalam 4 dosis dibagi dlam 2 hari SMZ 1.600 mg
pertama kemudia selama 14 hari dosis selama 7 per hari dibagi dalam
250 mg per hari hari 2 dosis selama 14
pada hari 2-5 hari

Dikutip dengan modifikasi dan Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Antimicrobial Agents for
Treatment and Postexpasure of Pertusis .

2.1.9 Pencegahan Pertusis

Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan yang mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Melalui program perkembangan
imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusisi dengan vaksin
DPT. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.

1. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globuline,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian diklinik terbukti tidak efektif

12
sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune globuline tidak lagi diberikan
untuk pencegahan.
2. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah di matikan
untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-
sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar di ajurkan
12 IU dan diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika
prevalensi pertusis dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada
umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur > 7 tahun tidak lagi
memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusisi tidak permanen oleh
karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi
pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber B.
pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, i.m)
telah diapaki untuk mengontrol epidemic diantara orang dewasa yang
terpapar. Salah satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan
kelainan neurologic yang mempunyai riwayat kejang, 7,2 x lebih muda
terjadi kejang setelah imunusasi DPT dan mempunyai kesempatan 4,5 x
lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka
pada keadaan anak yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasim DT.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang memiliki
enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis >3 jam, hugh pitch cry
dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang
tidak dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk
pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.
Kontak erat pada anak usia < 7 tahun yang sebelumnya telah
diberikan imunisasi hendaknya diberikan booster. Booster tidak perlu
diberikan apabila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir,
juga diberikan eritromisin 50mg/KgBB/24 jam dalam 2-4 dosis selama 14
hari. Kontak erat pada usia > 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin
sebagai profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan
pasien pertusis tetapi belum pernah di imunisasi hendaknya diberi
eritromisin sekama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak
dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan samapi pasien berhenti
batuk atau setelah pasien mendapatkan eritromisin selama 7 hari. Vaksin
pertusis monovalen dan eritromisin diberikan pada wkatu terjadi epidemi.

13
2.1.10 Prognosis Pertusis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang
lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5-1%) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual dikemudian hari.

14
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 STATUS PASIEN

Nama : An.N

Anak ke :2

Umur : 10 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Canduang

Suku bangsa : Minang

Agama : Islam

Tanggal masuk : 15 September 2019

3.2 ANAMNESIS

A. Keluhan utama : Demam sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

 Batuk sejak 2 bulan yang lalu hilang timbul. Batuk meningkat sejak ±1
bulan ini. Batuk timbul ketika pasien menangis. Batuk berdahak sulit
dikeluarkan disertai darah sejak 5 jam SMRS, berwarna merah kehitaman
berlendir, sebanyak ½ sendok.

 Muntah sejak 3 bulan ini. Muntah setiap pasien batuk, frekuensi 2-3 kali
sehari sebanyak ¼ gelas, muntah berisi makanan dan minuman

 Demam sejak 2 hari SMRS. Demam hilang timbul, tidak mengigil,tidak


berkeringat,dan tidak dipengaruhi waktu

 Nafsu makan menurun sejak 2 hari yang lalu.

 BAB tidak ada sejak 2 hari yang lalu

 BAK normal

 Kejang tidak ada

 Sesak nafas tidak ada

15
C. Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat penyakit TB paru tidak ada

D. Riwayat penyakit keluarga

 Riwayat batuk lama dikeluarga tidak ada

 Riwayat penyakit TB paru tidak ada

E. Riwayat Persalinan

 Lama hamil : cukup bulan


 Ditolong oleh : Dokter
 Cara lahir : sectio caesaria
 Indikasi :Oligohidramnion
 Berat lahir :3600 gram
 Panjang Lahir : 50 cm
 Saat lahir langsung menangis: kuat
 Kesan: normal
 Riwayat Makanan dan Minuman

-Bayi : ASI :umur: bulan

-Susu Formula :umur: - bulan

-Buah biscuit :umur: bulan

-Bubur susu :umur: - bulan

-Nasi tim :umur: 6 bulan

-Anak : Makanan utama :

Nasi 3x/hari menghabiskan 1 porsi

Daging : 2-3x/minggu

Ikan : 4 x/minggu

Telur : 4x/minggu

Sayur : 5x/minggu

16
Buah : 1x/minggu

Kesan: normal

F. Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar/Umur Booster/Umur

BCG Tidak ada Tidak ada

DPT: 1

2 Tidak ada Tidak ada

Polio: 1

2 Tidak ada Tidak ada

Hepatitis B: 1

2 Tidak ada Tidak ada

Haemofilus Influenza
B:1
Tidak ada Tidak ada

Campak Tidak ada Tidak ada

Kesan : Imunisasi dasar tidak dilakukan

Imunisasi belum dilakukan

17
G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Riwayat gangguan

Pertumbuhan dan Umur Perkembangan Umur

perkembangan mental

Ketawa 3 bulan Isap jempol

Miring 3 bulan Gigit kuku

Tengkurap 3 bulan Sering mimpi

Duduk 5 bulan Mengompol

Merangkak 5 bulan Aktif sekali

Berdiri 9 bulan Apatik

Lari Membangkang

Gigi pertama Ketakutan

Bicara Pergaulan jelek

Membaca Kesukaran belajar

Prestasi

Kesan : Normal

H. Riwayat Perumahan dan lingkungan

Rumah tempat tinggal : Semi permanen

Sumber air minum : Sumur

Buang air besar : Jamban dalam rumah

Pekarangan : Luas, bersih

Sampah : Dibunag ketempat sampah

Kesan: hygiene baik

18
3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

 Keadaaan umum : Tampak sakit berat Berat badan: 7kg

 Kesadaran : composmetis cooperatif Tinggi badan:68 cm

 Tekanan darah : - BB/U :(-2)-(2)= normal

 Nadi : 96X/menit TB/U :(-2)-(2)=normal

 Nafas : 30x/menit BB/TB : (-2)-(2)=gizi baik

 Suhu : 37,5ºC Status gizi: Gizi baik

 Edema: tidak ada Anemia : tidak ada

 Ikterus: tidak ada Sianosis :tidak sianosis

 Kulit: tidak sianosis

 Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran KGB

 Kepala : normochepal, lingkar kepala 43cm, UUK tidak cekung


 Rambut : hitam, tidak mudah rontok
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Telinga : daun telinga simetris kanan&kiri, liang telinga lapang,
serumen tidak ada
 Hidung : deformitas tidak ada,sekret ada,tidak ada pernafasan cuping
hidung
 Bibir tidak sianosis.
 Tenggorok : tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
 Gigi dan mulut : mukosa bibir lembab, tidak ada sianosis
 Leher : JVP 5-1cm H2O, tidak ada pembesaran KGB,tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid Kulit : turgor kulit menurun,
tidak ada sikatrik, tidak ada palmar eritem.

Thorax

a. Paru-paru
 Inspeksi : Simetris kiri & kanan, tidak ada bagian paru yang
tertinggal selama ekspirasi dan inspirasi.

 Palpasi : sulit dilakukan

 Perkusi : sonor dikedua lapang paru


19
 Auskultasi : brokovesikuler dikedua lapang paru, tidak ada wheezing,

tidak ada ronki

b. Jantung

 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : ictus cordis teraba di RIC V linea midclavicularis sinistra.

 Perkusi :

- batas jantung kanan di RIC IV linea parasternalis dextra.


- Batas jantung kiri di RIC V linea parasternalis sinistra
- Batas atas jantung : RIC II linea parasternalis sinistra.
 auskultasi : Irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
c. Abdomen

 Inspeksi : perut membuncit tidak ada, tidak ada sikatrik, tidak ada

venektasi.

 Palpasi : nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba

 Perkusi : tympani diseluruh regio abdomen

 Auskultasi : bising usus (+) normal

 Punggung : tidak ada kelainan

 Genetalia : tidak ada kelainan

Anggota gerak : akral hangat

CRT <2 detik

20
REFLEKS FISIOLOGIS KANAN KIRI

REFLEKS BICEPS + +

REFLEKS TRICEPS + +

REFLEKS + +
BRACIORADIALIS

REFLEKS FISIOLOGIS KANAN KIRI

REFLEKS PATELLA + +

REFLEKS ACHILLES + +

REFLEKS PATOLOGIS KANAN KIRI

REFLEKS HOFFMAN - -

REFLEKS TROMNER - -

- -

REFLEKS BABINSKY

REFLEKS GORDON - -

REFLEKS OPPENHEIM - -

REFLEKS CHADDOKS - -

21
3.4 Pemeriksaan Laboratorium

 Darah

Hb : 11,7 g/dl

Leukosit :22.340/uL

Hitung jenis:-

Kesan: leukositosis

 Urine

Warna: kuning muda

Protein: -

Bilirubin:-

Urobilinogen:-

Sedimen

Leukosit: 2/ul

Eritrosit :-

Epitel: +

Kesan: normal

 Feses

Makroskopik

Warna:

Konsistensi:

Darah lendir:

Mikroskopik

Eritrosit :

Leukosit:

Amuba

22
Telur cacing:

Parasit lain:

Kesan:

3.5 Diagnosa kerja

Pertussis

3.6 Penatalaksanaan

1.Tatalaksana kegawatdarutan
-IVFD Kaen 1B 12 gtt/menit
-Inj. Ampicilin 3x200mg IV
-Inj.Gentamicin 2x30mg IV
-Ambroxol tab 3x4mg p.o

2. Tatalaksana nutrisi
-ASI dan tim saring 700kkal

3. Tatalaksana medikamentosa
-IVFD Kaen 1B 12 gtt/menit
-Inj. Ampicilin 3x200mg IV
-Inj.Gentamicin 2x30mg IV
-Ambroxol tab 3x4mg p.o

23
Hari dan Perjalanan Penyakit
Tanggal
16/09/2019 Subjective Objective Assessment Planning

-Batuk(+) sesekali, TD : Pertussis -IVFD Kaen 1B 12 gtt/menit


dahak sukar dikeluarkan Nd : 128x/menit -Inj. Ampicilin 3x200mg IV
-Pilek (+) Nf : 40x/menit -Inj.Gentamicin 2x30mg IV
-Demam(-) S : 36,7°C -Ambroxol tab 3x4mg p.o
-Makan (+)3 sendok
-Minum ASI (+)
-BAK(+) kuning jernih -
-BAB(+) konsistensi
lunak, warna kuning
17/09/2019 -Batuk(+) sesekali, TD : Pertussis -IVFD Kaen 1B 12 gtt/menit
dahak sulit dikeluarkan Nd : 130x/menit -Inj. Ampicilin 3x200mg IV
-Pilek (+) Nf : 33 x/menit -Inj.Gentamicin 2x30mg IV
-Demam(-) S : 36,6°C -Ambroxol tab 3x4mg p.o
-Makan (+) 5 sendok
-Minum ASI (+)
-BAK(+) kuning jernih -
-BAB belum ada

24
KESIMPULAN
Pertusis (batuk rejan) yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang
setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa
dengan kekebalan yang menurun. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara
kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Penyebab pertusis adalah brodetella pertusis dan perlu dibedakan dengan


sindrom pertusis yang disebabkan oleh bordetella para pertussis dan adenovirus
(tipe 1,2,3 dan 5). Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara
pernafasan kemudian melekat pada sillia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
pathogenesis infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan local, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari,rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan penyakit ini
dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,
preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,spasmodic), dan stadium
konvalens. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan
pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan whoop yang jelas.
Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.

Penyulit utama terjadi pada system nafas dan saraf pusat. Pneumoni
merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada
anak < 3 tahun. Penatalaksanaannya terbagi atas obat pilihan utama dan alternative
serta dosis dibedakan sesuai usia. Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah
dengan imunisasi. Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai
prognosis yang lebih baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai