Anda di halaman 1dari 3

Knock Knock

Ini merupakan malam yang amat mengerikan bagi Michael dan yang lain. Mereka terpaksa terkurung di
rumah dengan Edward, psikopat yang mengincar nyawa mereka.
Derap langkah kaki terdengar. Rinto membungkam mulut Lucy agar mau diam. Michael dan Azazel
bersembunyi di ruangan yang berbeda.

Edward memainkan pisaunya. Mulutnya mulai menyanyikan sebuah lagu.

Just wait
You can’t hide from me
I’m coming

Sesaat dia terdiam. Berdiri di depan pintu. Di dalamnya ada Rinto dan Lucy.

Knock knock
I’m at you’re door now
I’m coming
No need for me to ask permission

Langkahnya terseret. Tangan Edward terulur ke arah pintu lemari.


“Dan aku menemukanmu!” BRAK! Keduanya tak ada di sana. Rinto menendangnya keras hingga Edward
tersungkur dan menguncinya di dalam sana.
“Azazel! Michael! Kalian di mana?! Cepatlah keluar!” Rinto berteriak mencari mereka. Ruangan demi
ruangan dia masuki. Namun, tak menemukan Azazel dan Michael.

“Hahaha! Berusaha mengunciku? Dasar sampah! Kemarilah kau, keparat!” Edward mengejar Rinto dan
Lucy dengan pisau yang dia pegang sejak awal. Pintu keluar ada di ujung sana.
“Cepat, Lucy! Kita akan keluar, adikku!” Rinto menggendongnya. Mendobrak pintu dan segera lari ke
luar.
Keadaan menjadi semakin buruk. Banyak badan yang terpotong. Darah berceceran. Bau anyir
menyeruak dan menguasai hidung Rinto.

“Kakak, aku takut,” Lucy menangis dalam gendongan Rinto.


“Tenanglah! Akan kubawa kau ke tempat yang aman!” Rinto terus saja berlari. Sesekali menoleh ke
belakang. Edward tak mengejarnya.
“Aakk..” entah dari mana asalnya pisau itu. Namun, sudah menancap di leher belakang Lucy.
“Lu-lucy!”
Tawa Edward meledak. Menatap Rinto sembari menyeringai aneh.
“Hmph. Dia sudah mati, bodoh. Kini tinggal Azazel dan Michael. Setelah itu, giliranmu. Bye.”
Rinto benar benar terpaku di tempatnya. Melihat Lucy yang sudah tewas. Darah menggenangi kakinya.

“Aku harus menolong mereka. Jika tidak, mereka akan mengalami hal yang serupa dengan Lucy.” Rinto
menarik pisau yang menancap di leher Lucy. Menjilat darahnya. Seketika dia berubah.
“Akan kubalaskan dendammu padanya, adikku Lucy,”

Edward memasuki kamar mandi. Tak ada siapapun di sana. Ia mulai bernyanyi lagi. Kakinya melangkah
keluar. Memasuki ruang sebelah.

Knock knock
I’m inside your room now
Where is it you’ve hide?
Out game of Hide And Seek’s about to end!
“Jangan bersuara, Azazel,” Keduanya saling membungkam mulut. Berusaha tak menciptakan suara yang
akan mengundang kedatangan Edward. Keduanya bersembunyi di lemari pakaian. Badan mereka sangat
pendek. Lumayan tertutupi dengan baju baju yang ada di dalamnya.

I’m coming closer


Looking undermeath your bed, but
You’re bot here, I wonder
Could you be inside the closet?

Tatapan Edward terarah ke lemari pakaian yang ada di pojok ruangan. Dia berjalan ke sana.
“Kumohon jangan dibuka..” hati kecil Azazel terus berdoa. Memohon Tuhan menolongnya.
“Diam di sini, Azazel. Akan kuselesaikan semuanya.” Entah apa yang diambil Michael.
“Mau ke mana kau? Jangan meninggalkanku sendiri di sini.” Michael tak menjawab rengekan kecil
Azazel.
BRAK! BRUAK!
“Aakk..!” Teriakan itu seolah tertelan begitu saja. Azazel tak tau siapa yang mati. Tubuhnya gemetar.
“Azazel?”
Tangisnya mulai pecah. Ternyata itu Michael. Bajunya penuh dengan darah.
“Kau apakan dia?”
“Sudah, diamlah. Dia sudah mati. Aku membunuhnya.” Azazel buru buru melepaskan pegangannya.
Berjalan mundur.
“Jangan.. pergilah! Jangan mendekatiku! Aku tak mau mati!”
“Tenanglah, Azazel. Aku tak akan membunuhmu. Aku akan membawamu pulang ke kota. Dan kau akan
bertemu kedua orangtuamu. Kemarilah,”
Azazel menggeleng keras.
“Baiklah. Tapi jangan jauh dariku ok? Aku akan melindungimu. Aku janji.” Azazel mulai berani
mendekatinya.

Michael berjalan ke luar. Dan dia berpapasan dengan Rinto


“Mana psikopat itu?” Tanyanya.
“Dia sudah mati, Rin. Aku membunuhnya. Mana Lucy?”
“Bajingan itu membunuhnya! Aku kehilangan adikku!” Rinto terduduk. Menangis. Merasa benar benar
kehilangan Lucy.
“Sudahlah. Ayo, kita akan segera keluar dari kota ini,” Michael membantunya berdiri.

Kota ini benar benar sepi. Mana mungkin, hanya Edward yang menghabisi penduduk kota di sini?
Michael melihat mobil terparkir di sana. Dan pemiliknya mati terlindas mobilnya sendiri. Tentu saja,
Edward pelakunya. Orang itu benar benar sudah gila.

“Percepat langkahmu, Rinto. Kuharap, bensin mobil itu masih ada.”


Michael menyalakan mesinnya. Syukurlah, bensinnya masih penuh. Tanpa babibu, Michael langsung
saja tancap gas.
“Hei, apa kau membawa pistol dari polisi mati tadi?” Tanya Michael.
“Ini. Aku membawa semua yang perlu dibawa,” jawab Rinto.
Ketiganya membisu.

Ledakan besar tiba tiba saja terjadi. Kobaran api melalap mobil yang mereka naiki. Ketiganya mati dalam
insiden tersebut.
Samar samar, Michael melihat bayangan seseorang. Dia tertawa dengan begitu puasnya.
Edward?! Bukannya dia sudah mati?!
Padahal, sudah sangat jelas. Michael menusuk jantung Edward bertubi tubi.

Entahlah. Mungkin, ini hari terakhir mereka. Semoga saja ini juga hari terakhir manusia tanpa akal sehat
itu.
Edward terduduk di sudut ruangan putih. Badannya diikat sedemikian rupa. Ia tak mengerti kenapa harus
ada di sini, di rumah sakit jiwa.

“Kenapa aku bisa ada di sini?” Tanya Edward pada salah seorang perawat yang mengantarinya makan.
“Diamlah kau, psikopat gila.”
Psikopat? Kata itu selalu memghantui pikirannya. Apa itu yang membuat dirinya menjadi disekap di
ruangan putih ini?

Anda mungkin juga menyukai