Anda di halaman 1dari 25

MATERI ASKEP

 Home
 Link 1
 Link 2
 Link 3
 Link 4
 www.Coverday.net
Kamis, 28 Maret 2013
MAKALAHku apendisitis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagai seorang manusia tentunya kita menginginkan tubuh yang sehat dan kuat.
Tubuh yang sehat dan kuat akan memberikan kemudahan dalam memberikan kemudahan
dalam melakukan berbagai macam aktivitas yang vital bagi setiap orang. Aktivitas yang
dilakukan tentunya mendukung proses kehidupan dan interaksi antar manusia yang satu
dan yang lainnya.
Setiap detik dunia mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan seperti
kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, politik, budaya, ekonomi, dan ilmu
pengetahuan. Semua itu mengarah kepada penyeragaman, kita dapat melihat polahidup,
ekonomi, budaya, dan teknologi yang mirip disetiap negara.
Pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari, pengetahuan tentang
penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola hidup sehat. Salah
satu penyakit yang timbul adalah apendisitis.
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah
dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
Penjelasan selanjutnya akan di bahas pada bab pembahasan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi apendisitis?
2. Apa definisi dari apendisitis?
3. Bagaimana etiologi apendisitis?
4. Apa manifestasi klinik apendisitis?
5. Bagaimana patofisiologi apendisitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan apendisitis?
7. Apa komplikasi apendisitis?
8. Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
apendisitis?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pembuatan makalah mata kuliah Sistem Pencernaan II serta mempresentasikannya.
1.3.2. Tujuan Khusus :
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi apendisitis
2. Untuk memahami definisi dari apendisitis
3. Mengetahui etiologi apendisitis
4. Dapat mengetahui manifestasi klinik apendisitis
5. Memahami patofisiologi apendisitis
6. Mengetahui penatalaksanaan apendisitis
7. Mengetahui komplikasi apendisitis
8. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
apendisitis
1.4. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai buku referensi dan
internet.

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dari makalah ini adalah BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari :
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika
penulisan dan manfaat penulisan. BAB II PEMBAHASAN, dan BAB III ASUHAN
KEPERAWATAN, BAB IV PENUTUP terdiri dari kesimpulan dan saran.
1.6. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui letak atau posisi anatomi dan fisiologi apendisitis
2. Mengetahui penyebab dan proses perjalanan penyakit apendisitis
3. Memahami parameter pengkajian yang tepat untuk menentukan status fungsi
gastrointestinal
4. Mampu membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis

BAB II
PEMBAHASAN
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDIKSITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


Anatomi dan Fisiologi Appendix
Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum,
tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum.
Posisi apendiks terletak posteromedial caecum. Di daerah inguinal: membelok ke
arah di dinding abdomen dan posisinya bervariasi. Appendiks terletak di ujung sakrum
kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari
saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara
klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang
menghubungkan sias kanan dengan pusat.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat
basa mengandung amilase dan musin.
Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumahnya disaluran cerna dan diseluruh
tubuh.
1. Definisi
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah
dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 2000).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada di umbai cacing (apendiks).
Infeksi ini bisa terjadi pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, apendiks itu bisa
pecah.
Apendiksitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2001).
2. Epidemiologi

Dapat menyerang semua kelompok termasuk lanjut usia. Pada anak-anak dan
dewasa muda terinfeksi sistemik seperti infeksi pernapasan dapat menyebabkan
hyperplasia jaringan limfoid pada appendiks dimana respon hiperplastik dapat
melibatkan lumen appendiks dan mulai terjadi appendicitis. Rata-rata insiden yaitu 1-2
per 1000 dengan dewasa muda antara 20-30 tahun. Namun demikian apendisitis dapat
menyerang semua kelompok termasuk lanjut usia. (Doughty, D. B. et al. (2000).
Periapendisitis infiltrat sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30
tahun pada wanita dan laki-laki insidennya sama kecuali pada usia puberitas dan usia 25
tahun wanita lebih banyak dari pada laki-laki dengan perbandingan 3:2 angka kematian
berkisar 2-6% dan 19% kematian jika terjadi pada wanita hamol dan pada anak yg
berusia kurang dari 2 tahun mencapai tingkat hingga 20%.

3. Etiologi
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks.
5. Appendik yang terlalu panjang.
6. Appendiks yang pendek.
7. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
8. Kelainan katup di pangkal appendiks.
4. Fatofisiologis

Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi penyumbatan yang dapat


disebabkan oleh hiperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab terbanyak,adanya
fekalit dalam lumen appendiks. Adanya benda asing seperti cacing, stiktura karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya keganasan (karsinoma
karsinoid).
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung,
makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks
oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu
persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan
sebagai rasa sakit disekitar umblikus. Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh
bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum
terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat,
sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan
appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan
appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan
appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi
apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini
disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek
dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan
daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada
gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat
ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi
appendisitis kronis (Junaidi ; 2000)
Apendisitis biasanya juga disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra
lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema
dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai
dengan nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang
diikutiganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks
rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke
arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang.
Omentum pada anak-anak lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih
tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan untuk terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena
ada gangguan pembuluh darah.

5. Klasifikasi appendicitis (Ellis, 2000)

1. Acute appendicitis tanpa komplikasi. (cataral appendicitis)


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang
tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan
tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan
invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen
appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa. Bila
jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam
mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding
sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya
mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi
eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang
mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula
2. . Acute appendicitis dengan komplikasi:
Peritonitis
Abses atau infiltrat. Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix
menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami
dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung
daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami
distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria
penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan
atau gram – ) dan anaerob. Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi
penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga
terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke
dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding
appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena
arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal
kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses
nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi
mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga
timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk
appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan bila
kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses
pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera
lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses
periappendix

6. Manifestasi Klinik
Nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang
(kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.
Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya
ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat
terjadi.
Palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri
yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan
dapat lebih menyebar, distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi
klien memburuk.
7. Pemeriksaan fisik.
(Posisi klien berbaring)
Inspeksi :
a. Klien nampak kesakitan, penampilan (expresi) yang tidak ceria.
b. Pergerakan sangat hati-hati pada yang acut.
c. Bila berbaring kaki kanan sedi.;kit ditekuk.
d. Klien merasa sakit kalau disuruh menekuk kaki kanan.

Palpasi :
a. Suhu badan hangat diukur berkisar 37 – 38 C
b. Pemeriksaan pada perut akan menunjukkan nyeri tekan pada perut kanan
bawah.
c. Palpasi ringan abdomen dari sisi kiri ke kanan memungkinkan pemeriksa
vigiditas atau devans muskuler ringan.
d. Bila appendiks yang meradang terletak didalam pelpis maka nyeri tekan dapat
dideteksi dengan cara rektaltose.
Perkusi :
Bila diketuk pada kuadran kanan bawah klien akan menjerit, meringis karena sakit
yang hebat.

8. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil
yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan
memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan
apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada
dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu
jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler.
Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan
membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara: mempersiapkan
berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada tempat
tersebut, pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi,
menetralisir dan mencairkan iritan, membatasi perluasan inflamasi dengan
pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi.

Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis
akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri
hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah
terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada
penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan
bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.
Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan
angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnosa appendicitis acut. Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang
spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah
>10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil).
Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah
beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan
granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).
C-rective protein (CRP). Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai
konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri
abdomen.
2. Foto Polos abdomen
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai
dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993). Kalau
peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah
akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke
pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis
akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga
perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus,
maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian
distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,
pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang
menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray
abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi,
berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat
menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen
supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid
level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar )
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran
kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong,
sering berlapis.

2.Pemeriksaan radiologi

dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun.


Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang
menyertai apendisitis
3.Ultrasonografi

Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm,
tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan
transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan
densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan
apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan
dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai
dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses
tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).

1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:


Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 – 100%
Spesifisitas 92% 95 – 97%
Akurasi 90 – 94% 94 – 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan
flegmon lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lainMengidentifikasi apendiks
pada wanita normal lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

1. Laparoskopi (Laparoscopy)
2. Histopatologi

Difinisi histopatologi apendisitis akut:


1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

9.therapy/tindakan penanganan.

Mamanajemen Medis
a. Sebelum operasi :
1) Observasi.
Dalam 8 – 12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendicitis sering kali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan di puasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya appendicitis ataupun bentuk perinitis lainnya. Pemeriksaan abdomen
dan rekal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodic.
Foto Abdomen dan thorax tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit lain, pada kebanyakan kasus didiagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri di
daerah kanan bawah 12 jam setelah timbulnya keluhan. Status puasa cairan dan
elektrolit perlu, persiapan untuk pembedahan (informed consent, pendidikan
preoperasi).
b. Terapi obat = anibiotik seperti metronidasole atau cofamandole biasanya dosis tunggal
sebelum pembedahan, dilanjutkan setelah pembedahan bila perforasi dengan
kontaminasi peritoneal diberikan setelah pembedahan.
2) Pembedahan = appendictomy.
3) Pasca operasi. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam shock, hiperternia, atau ganguan pernapasan.
7
Pasien dikatakan baik bila 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis
umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai 15 ml per jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml per jam dan
setelahnya berikan makanan saring dan lunak. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit dan hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh angkat jahitan.

Pada apendiksitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi


apendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat
dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak
merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
a. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan
kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan
dipuasakan
b. Tindakan operatif ; apendiktomi
c. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak
di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri
tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

10. Komplikasi

Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis
yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan
tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans
musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-
gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis,
menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan
bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off”
(pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah
massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa
berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan
USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini,
beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi
Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105 sampai
32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi
24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7o C atau
lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang menembus
kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam tinggi
c) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang
O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang
serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar
f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses
perjalanan penyakit
g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
h) Abdomen : terdapat nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan
olah raga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya
penyembuhan luka.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan
intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal.
c) Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa
nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola
eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya
sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
d) Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas
biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
e) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan
berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
f) Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat
mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
g) Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala
kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya
sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
h) Pola hubungan
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran
baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
i) Pola Reproduksi seksual
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa
waktu.
j) Pola penanggulangan stress
Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non
spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui
adanya komplikasi pasca pembedahan
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi
d) Pemeriksaan Laboratorium
§ Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml
§ Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.

2. Diagnosa Keperawatan
ANALISA DATA

NO DATA PENUNJANG MASALAH ETIOLOGI


1 DS : pasien mengatakan Gangguan rasa Adanya perangsangan pada
nyeri pada abdomen kanan nyaman (nyeri) epigastrium
bawah tembus ke
punggung
DO :
Ø Wajah tampak menyeringai
Ø P : nyeri karena adanya
perangsangan
Ø Q : nyeri seperti tertusuk-
tusuk
Ø R : nyeri dibagian kanan
bawah abdomen
Ø S : skala nyeri 8
ØT : nyeri terjadi saat
ditekan
2 DS : - Resiko terjadi Diskontinuitas jaringan
DO : infeksi sekunder terhadap luka insisi
Ø TTV : Suhu 380C; Nadi bedah
>80x/menit; TD >110/70
mmHg; RR >20x/menit
Ø Terdapat luka insisi bedah
3 DS : Pasien mengatakan Kekurangan volume Pembatasan cairan
haus cairan pascaoperasi sekunder
DO : terhadap proses
Ø Ada tanda-tanda dehidreasi penyembuhan
:
Membrane mukosa kering
Turgor kulit menurun
>2detik
Ø Urin pekat (oliguri <500
cc/hari)
Ø TTV tidak stabil:
TD >120/80 mmHg
Nadi >80x/menit
RR : >20x/menit
Suhu : >37,50C
4 DS : Pasien dan keluarga Kurang pengetahuan tidak mengenal informasi
mgatakan tidak tentang kebutuhan
mengetahui tentang proses pengobatan/ perawatan pasca
penyakit dan pembedahan
pengobatannya
DO :
Ø Bertanya mengenai
informasi proses penyakit
Ø Bertanya tentang perawatan
pascaoperasi
Ø Bertanya tentang
pengobatan

Diagnosa keperawatan apendisitis :


Pre-op :
1. Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium
Post-op :
2. Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi
bedah
3. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder
terhadap proses penyembuhan
4. Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan
pengobatan/ perawatan pasca pembedahan

3. Intervensi

1. Dx kep. 1 : Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada


epigastrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
nyeri pasien dapat berkurang
KH : Nyeri hilang, skala 0-3, pasien tampak rileks, mampu tidur/ istirahat selama
7-9 jam dalam sehari
INTERVENSI RASIONAL
Kaji nyeri, catat lokasi, Berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
karakteristik, beratnya (skala 0- kemajuan penyembuhan. Perubahan pada
10) karakteristik nyeri, menunjukkan terjadinya
abses/peritonitis.
Pertahankan istirahat dengan Menghilangkan tegangan abdomen yang
posisi semi fowler bertambah dengan posisi terlentang
Dorong ambulasi dini Merangsang peristaltik dan kelancaran flatus,
menurunkan ketidaknyamanan abdomen
Berikan aktifitas hiburan Meningkatkan relaksasi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
Kolaborasi pemberian analgetik Menghilangkan dan mengurangi nyeri

2. Dx kep. 2 : Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap


luka insisi bedah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi
KH : Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, drainase purulen, tidak ada
eritema dan tidak ada demam. Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor ) luka
bersih dan kering

INTERVENSI RASIONAL
Awasi TTV. Perhatikan demam Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses
menggigil, berkeringat,
perubahan mental.
Lakukan pencucian tangan yang Menurunkan risiko penyebaran bakteri
baik dan perawatan luka aseptic
Lihat insisi dan balutan. Catat Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi
karakteristik drainase luka
Berikan informasi yang tepat Pengetahuan tentang kemajuan situasi
pada pasien/ keluarga pasien memberikan dukungan emosi, membantu
menurunkan ansietas
Berikan antibiotik sesuai indikasi Mungkin diberikan secara profilaktik atau
menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang
ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran
dan pertumbuhannya

3. Dx kep 3 : Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi


sekunder terhadap proses penyembuhan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
KH : Tidak ada tanda-tanda dehidrasi : membran mukosa lembab, turgor kulit baik
(< 2 detik), TTV stabil (TD : 110/70-120/80 mmHg; RR : 16-20x/menit; N : 60-
100x/menit; S : 36,5- 37,50 C), haluaran urin adekuat.
INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV Tanda yang membantu mengidentifikasi
fluktuasi volume intravaskuler
Observasi membran mukosa, kaji Indikator keadekuatan intake cairan dan
turgor kulit dan pengisian kapiler elektrolit
Awasi intake dan output, catat warna Penurunan pengeluaran urine pekat dengan
urine/konsentrasi, berat jenis peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/kebutuhan cairan meningkat
Auskultasi bising usus, catat Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan
kelancaran flatus dan, gerakan usus untuk pemasukan per oral
Berikan sejumlah kecil minuman Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk
jernih bila pemasukan peroral meminimalkan kehilangan cairan
dimulai, dan lanjutkan dengan diet
sesuai toleransi

4. Dx kep. 4 : Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang


kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pebedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
pasien dan keluarga mampu memahami dan mengerti tentang proses penyakit dan
pengobatannya
KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan

INTERVENSI RASIONAL
Kaji ulang pembatasan aktifitas Memberikan informasi pada pasien untuk
pascaoperasi merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa
menimbulkan masalah
Anjurkan menggunakan laksatif/ Membantu kembali ke fungsi usus, mencegah
pelembek feses ringan bila perlu mengejan saat defekasi
dan hindari enema
Diskusikan perawatan insisi, Pemahaman peningkatan kerja sama dengan program
termasuk mengganti balutan, terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses
pembatasan mandi, dan kembali perbaikan
ke dokter untuk mengangkat
jahitan/pengikat

4. Evaluasi sesuai dengan kriteria hasil

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum,
tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm.
Lebar 0,3 – 0,7 cm. Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat
disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi.
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah
dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
Tanda dan gejalanya adalah nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah
menembus kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila
dilakukan tekanan.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin
lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada
saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang
diikutiganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks
rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler,
diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi
perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
Komplikasinya :
1. Perforasi dengan pembentukan abses
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi)
Cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis
meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

4.2. Saran
Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk
melakukan kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan
harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk
menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul pada sistem pencernaan
adalah apendisitis.
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia Anderson. 2005. PATOFISIOLOGI : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :
EGC.
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC.

______, 2007, apendisitis, terdapat pada:www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal 1 Juni


2008.
______http://nursingbegin.com/askep-apendisitis/
______http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-apendisitis-usus-buntu/

0 komentar:

Poskan Komentar
Posting Lebih BaruBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)


BLOG ARCHIVE
 ▼ 2013 (2)
o ▼ Maret (2)
 HEPATITIS
 MAKALAHku apendisitis
YOUR TEXT
©Layout by Cov erday

Anda mungkin juga menyukai