Home
Link 1
Link 2
Link 3
Link 4
www.Coverday.net
Kamis, 28 Maret 2013
MAKALAHku apendisitis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDIKSITIS
Dapat menyerang semua kelompok termasuk lanjut usia. Pada anak-anak dan
dewasa muda terinfeksi sistemik seperti infeksi pernapasan dapat menyebabkan
hyperplasia jaringan limfoid pada appendiks dimana respon hiperplastik dapat
melibatkan lumen appendiks dan mulai terjadi appendicitis. Rata-rata insiden yaitu 1-2
per 1000 dengan dewasa muda antara 20-30 tahun. Namun demikian apendisitis dapat
menyerang semua kelompok termasuk lanjut usia. (Doughty, D. B. et al. (2000).
Periapendisitis infiltrat sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30
tahun pada wanita dan laki-laki insidennya sama kecuali pada usia puberitas dan usia 25
tahun wanita lebih banyak dari pada laki-laki dengan perbandingan 3:2 angka kematian
berkisar 2-6% dan 19% kematian jika terjadi pada wanita hamol dan pada anak yg
berusia kurang dari 2 tahun mencapai tingkat hingga 20%.
3. Etiologi
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks.
5. Appendik yang terlalu panjang.
6. Appendiks yang pendek.
7. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
8. Kelainan katup di pangkal appendiks.
4. Fatofisiologis
6. Manifestasi Klinik
Nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang
(kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.
Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya
ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat
terjadi.
Palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri
yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan
dapat lebih menyebar, distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi
klien memburuk.
7. Pemeriksaan fisik.
(Posisi klien berbaring)
Inspeksi :
a. Klien nampak kesakitan, penampilan (expresi) yang tidak ceria.
b. Pergerakan sangat hati-hati pada yang acut.
c. Bila berbaring kaki kanan sedi.;kit ditekuk.
d. Klien merasa sakit kalau disuruh menekuk kaki kanan.
Palpasi :
a. Suhu badan hangat diukur berkisar 37 – 38 C
b. Pemeriksaan pada perut akan menunjukkan nyeri tekan pada perut kanan
bawah.
c. Palpasi ringan abdomen dari sisi kiri ke kanan memungkinkan pemeriksa
vigiditas atau devans muskuler ringan.
d. Bila appendiks yang meradang terletak didalam pelpis maka nyeri tekan dapat
dideteksi dengan cara rektaltose.
Perkusi :
Bila diketuk pada kuadran kanan bawah klien akan menjerit, meringis karena sakit
yang hebat.
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil
yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan
memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan
apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada
dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu
jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler.
Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan
membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara: mempersiapkan
berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada tempat
tersebut, pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi,
menetralisir dan mencairkan iritan, membatasi perluasan inflamasi dengan
pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis
akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri
hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah
terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada
penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan
bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.
Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan
angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnosa appendicitis acut. Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang
spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah
>10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil).
Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah
beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan
granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).
C-rective protein (CRP). Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai
konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri
abdomen.
2. Foto Polos abdomen
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai
dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993). Kalau
peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah
akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke
pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis
akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga
perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus,
maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian
distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,
pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang
menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray
abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi,
berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat
menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen
supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid
level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar )
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran
kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong,
sering berlapis.
2.Pemeriksaan radiologi
Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm,
tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan
transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan
densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan
apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan
dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai
dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses
tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
1. Laparoskopi (Laparoscopy)
2. Histopatologi
9.therapy/tindakan penanganan.
Mamanajemen Medis
a. Sebelum operasi :
1) Observasi.
Dalam 8 – 12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendicitis sering kali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan di puasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya appendicitis ataupun bentuk perinitis lainnya. Pemeriksaan abdomen
dan rekal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodic.
Foto Abdomen dan thorax tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit lain, pada kebanyakan kasus didiagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri di
daerah kanan bawah 12 jam setelah timbulnya keluhan. Status puasa cairan dan
elektrolit perlu, persiapan untuk pembedahan (informed consent, pendidikan
preoperasi).
b. Terapi obat = anibiotik seperti metronidasole atau cofamandole biasanya dosis tunggal
sebelum pembedahan, dilanjutkan setelah pembedahan bila perforasi dengan
kontaminasi peritoneal diberikan setelah pembedahan.
2) Pembedahan = appendictomy.
3) Pasca operasi. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam shock, hiperternia, atau ganguan pernapasan.
7
Pasien dikatakan baik bila 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis
umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai 15 ml per jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml per jam dan
setelahnya berikan makanan saring dan lunak. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit dan hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh angkat jahitan.
10. Komplikasi
Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis
yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan
tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans
musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-
gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis,
menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan
bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off”
(pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah
massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa
berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan
USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini,
beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi
Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105 sampai
32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi
24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7o C atau
lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang menembus
kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam tinggi
c) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang
O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang
serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar
f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses
perjalanan penyakit
g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
h) Abdomen : terdapat nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan
olah raga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya
penyembuhan luka.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan
intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal.
c) Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa
nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola
eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya
sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
d) Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas
biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
e) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan
berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
f) Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat
mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
g) Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala
kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya
sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
h) Pola hubungan
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran
baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
i) Pola Reproduksi seksual
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa
waktu.
j) Pola penanggulangan stress
Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non
spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui
adanya komplikasi pasca pembedahan
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi
d) Pemeriksaan Laboratorium
§ Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml
§ Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.
2. Diagnosa Keperawatan
ANALISA DATA
3. Intervensi
INTERVENSI RASIONAL
Awasi TTV. Perhatikan demam Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses
menggigil, berkeringat,
perubahan mental.
Lakukan pencucian tangan yang Menurunkan risiko penyebaran bakteri
baik dan perawatan luka aseptic
Lihat insisi dan balutan. Catat Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi
karakteristik drainase luka
Berikan informasi yang tepat Pengetahuan tentang kemajuan situasi
pada pasien/ keluarga pasien memberikan dukungan emosi, membantu
menurunkan ansietas
Berikan antibiotik sesuai indikasi Mungkin diberikan secara profilaktik atau
menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang
ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran
dan pertumbuhannya
INTERVENSI RASIONAL
Kaji ulang pembatasan aktifitas Memberikan informasi pada pasien untuk
pascaoperasi merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa
menimbulkan masalah
Anjurkan menggunakan laksatif/ Membantu kembali ke fungsi usus, mencegah
pelembek feses ringan bila perlu mengejan saat defekasi
dan hindari enema
Diskusikan perawatan insisi, Pemahaman peningkatan kerja sama dengan program
termasuk mengganti balutan, terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses
pembatasan mandi, dan kembali perbaikan
ke dokter untuk mengangkat
jahitan/pengikat
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum,
tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm.
Lebar 0,3 – 0,7 cm. Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat
disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi.
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah
dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
Tanda dan gejalanya adalah nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah
menembus kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila
dilakukan tekanan.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin
lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada
saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang
diikutiganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks
rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler,
diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi
perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
Komplikasinya :
1. Perforasi dengan pembentukan abses
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi)
Cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis
meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
4.2. Saran
Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk
melakukan kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan
harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk
menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul pada sistem pencernaan
adalah apendisitis.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia Anderson. 2005. PATOFISIOLOGI : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :
EGC.
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC.
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih BaruBeranda