Anda di halaman 1dari 8

1. Apa yang terjadi pada perempuan tersebut?

Perempuan tersebut mengalami hipersensitivitas.

Hipersensitivitas yaitu kemampuan umum atau khusus untuk bereaksi dengan tanda
dan gejala karakteristik terhadap pemberian atau sentuhan dengan bahan tertentu
(alergen) dalam jumlah yang tidak berbahaya pada individu normal (nonsensitisasi)

Jadi, wanita tersebut mengalami hipersensitivitas tipe I

2. Jenis Reaksi Hipersensitivitas

Berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas


terbagi menjadi empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi alergi atau reaksi
anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi akibat adanya ikatan silang
antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonasi, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
menimbulkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun
terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Berikut
mekanisme umum dari reaksi tersebut :

* Alergen berkaitan silang dengan IgE

* Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya

* Timbul manifestasi

Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis,
urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan untuk
mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau intradermal) dan
ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen
(penyebab alergi) yang dicurigai.

Hipersensitivitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh antibodi yang berupa Imunoglobulin G (IgG)


dan Imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
rkstraseluler. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik atua reaksi
sitolitik. Kerusakan yang ditimbulkan akan terbatas atau spesifik pada sel atauu
jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen atau reaksi silang yang berkaitan dengan
antibodi sel, sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II yaitu sebagai berikut :

* Pemfigus , IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal

* Anemia Hemolitik Autoimun, dipicu oleh obat-obatan seperti pensilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah

* Sindrom Goodpasture, IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus,


sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal

Mekanisme singkat dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut :

* IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel

* Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atua antibodi

* Pengeluaran mediator kimiawi

* Timbul manifestasi (anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis, sindrom


Good Pasture atau pemvigus vulgaris)

Hipersensitivitas tipe III

Hipersensitivitas tipe II merupakan hipersensitivitsa kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, komleks antigen-anibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya dagosit. Namun terkadang kehadiran
bakteri, virus, lingkungan anatu antigen seperti spora fungi, bahan sayuran, dan
hewan yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut, sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus menerus. Pengendapan antigen-antibodi tersebut akan
menyebar pada membran sekresi aktif dan didalam saluran kecil, sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak. Secara umum, mekanisme reaksi tipe III ini adalah :

* Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit


* Mengaktifkan komplemen

* Menarik perhatian Neutrofil

* Pelepasan enzim lisosom

* Pengeluaran mediator kimiawi

* Timbul manifestasi, seperti reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR,


Glomerulonefritis, dan penumonitis

Hipersensitivitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel
T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis. Reaksi ini
dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti Tuberkulin, reaksi inflamasi granulosa,
dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum adalah sebagai
berikut :

* Limfosit T tersensitasi

* Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T
langsung

* Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan


transplant).

3. Mekanisme terjadinya gatal pada perempuan tersebut

Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu terjadi
pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di dekat junction
dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal
korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang
ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di
thalamus. Dari thalamus,terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga
ke pusat persepsidi korteks serebri.Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi
untuk menarik perhatian terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild
surface stimuli),sehingga diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu terjadi.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan penemuan
teknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut saraf C dapat
diukurmenggunakan elektroda kaca yang sangat halus) berhasil menemukanserabut
saraf yang terspesiaslisasi untuk menghantarkan impuls gatal, dan dengan demikian
telah mengubah paradigma bahwa pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala
ringan.

Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling sensation) merupakan
saraf yang sama seperti yang digunakan untuk menghantar kanrangsang nyeri. Saat
ini telah ditemukan serabut saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus,
baik di sistem saraf perifer, maupun disistem saraf pusat.

Ini merupakan serabut saraf tipe C tak termielinasi. Halini dibuktikan dengan
fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketikadilakukan blokade terhadap
penghantaran saraf nyeri dalam proseduranestesi. Namun demikian, telah ditemukan
pula saraf yang hanyamenghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80%
serabut saraf tipeC adalah nosiseptor polimodal (merespons stimulus mekanik,
panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-
insensitif, yang tidak dirangsang oleh stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi.
Dari 20% serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan histamin
negatif ), sedangkan hanya 5% yang histamine positif danmerangsang gatal. Dengan
demikian, histamine adalah pruritogen yangpaling banyak dipelajari saat ini. Selain
dirangsang oleh pruritogen sepertihistamin, serabut saraf yang terakhir ini juga
dirangsang oleh temperatur.

Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan bahwa sel-sel
keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor yang diduga
terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor)
dan reseptor vanilloid TRPV1; serta PAR 2 ( proteinase activated receptor type 2),
juga kanal ATP berbasis voltase. Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan
serabut saraf intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal,
bukan hanya persarafan saja.TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang
terkandung dalam cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak bersama-sama
denganTRPV1 dan menyebabkan Endokanabioid juga dapat merangsang TRPV1 dan
memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus Melaui jaras asenden,
stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri .

Saat ini, melalui PET (positron-emission tomography) dan fMRI (functional MRI),
aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus singuli anterior (anterior
singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan dalam “kesadaran” sensasi gatal,
menyebabkan efek emosional berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks
premotor yang diduga terlibat dalam inisasi tindakan menggaruk.

Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut persarafannosiseptor


polimodal tidak terangsang. Rangsangan nosiseptor polimodal terhadap rangsang
mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri, dan akan menginhibisi 5% serabut
saraf yang mempersepsi gatal. Namun demikian, setelah rangsang mekanik ini
dihilangkan dan pruritogen masih ada, makasensasi gatal akan muncul lagi. Perlu
diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan dari serabut saraf histamin
positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal yang dicetuskan oleh rangsangan
nosiseptor polimodal. Pada hewan, ditemukan refleks garuk (scratch reflexes) yang
timbul akibat adanya eksitasi terhadap reseptor pruritus. Fenomena refleks ini
kontras dengan fenomena refleks tarik (withdrawal reflex ) apabila terjadi rangsang
nyeri.

4. Mekanisme alergi pada hipersensitivitas tipe I

Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai
anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai
reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.

c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut.


Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh
tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna,
diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau
hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi
antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen.
Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil,
dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi
tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel
mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang
menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel
inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi
juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
(Rengganis dan Yunihastuti, 2007).

Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif
(mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.

a. Mediator jenis pertama

Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.

– histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan


saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.

– Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of


anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.

b. Mediator jenis kedua

Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid


membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase
dan lipoksigenase.

– Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin


dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah
tonus pembuluh darah.

– Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien.


Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive
substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos
dibandingkan dengan histamin.

c. Mediator jenis ketiga

Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
5. Etiologi Hipersensitivitas

 Hipersensitivitas Tipe I

Yang sering menjadi penyebab reaksi tipe I adalah serbuk sari, bisa serangga, alergen
hewan, jamur, obat, dan makanan (Price, 2007).

 Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G


(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.

 Hipersensitivitas Tipe III

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
 Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks
mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

 Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap
adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

 Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana
tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

 Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen
tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T
melepas limfokin.

Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan,


alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :
a. Perbedaan keadaan fisik setiap bahan
b. Kekerapan pajanan
c. Daya tahan tubuh seseorang
d. Adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi

(Retno W.Soebaryo,2002)

• Difisiensi limfosit Ts Pembentukan Ig E berlebihan

• Genetik (HLA - A2,B8,DW2,DW3)  predisposisi sifaf hiperesponsif

• Faktor lingkungan (dosis alergen,status nutrisi ,infeksi virus, dif IgA dll)

6. Bentuk mediator dan gejala- gejala Hipersensitivitas

Anda mungkin juga menyukai