Anda di halaman 1dari 1

H.

Ganti Rugi Titipan

Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah amanah, bukan yang ditanggungkan.
Wadi’ah merupakan amanat dan amanat itu tidak menanggung resiko (ganti rugi) yang diberi
amanah kecuali kalau ia melakukan at-ta’di dan tafrith. At-ta’di adalah melakukan perbuatan
yang tidak diperbolehkan sedangkan tafrith meninggalkan kewajiban. Kalau dalam titipan ada
syarat ganti rugi maka tetap tidak ada padanya ganti rugi kecuali kalau at-ta’di dan tafrith (Al-
Tuwaijin 2009:550

Titipan amanah akan berubah menjadi ganti rugi jika apabila (az-Zuhaili, 1932):

1. Meninggalkan/Membiarkan titipan contoh ketika titipan itu dicuri padahal ia sanggup


mencegahnya namun membiarkanya.
2. Yang diamanati menitipkan kepada selain keluarganya.
3. Memanfaatkan / menggunakan titipan. Apabila yang diberi amanah memanfaatkan titipan
seperti binatang titipan dikendarai atau bajunya dipakai, maka jika barang yang dititipkan
rusak maka ia wajib menggantinya.
4. Titipan dibawa pergi/ dibawa perjalanan.
5. Yang diberi amanah mengingkari titipan.
6. Titipan disatukan/ bercampur dengan harta yang diberi amanah.
7. Yang diamanahi menyalahi syarat titipan, seperti jika penitip menitipkanya dirumahnya
kemudian disimpan selain dirumahnya tanpa ijin pemilik.

Singkatanya, tasharuf yang dilakukan oleh yang menerima titipan atas harta titipan itu
tidak terlepas dari dua hal, dengan ijin menitipkan maka itu boleh dan wadi’ah tersebut berubah
menjadi ‘ariyyah (pinjaman). Adapun jika tidak ada ijin maka tidak boleh, kecuali ada
kemaslahatan maka itu boleh, bahkan bisa menjadi wajib Karena itu adalah menyempurnkan
menjaga barang. Adapun jika bukan karena kemaslahatan dan tidak ada ijin maka yang
menerima titipan mengganti rugi (Al-Musyaiqih, 2013:221)

Anda mungkin juga menyukai