Oleh : Kelompok 1 / A1
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan ridha-Nya dan
rahmat-Nya. Shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang membimbing penulis menuju jalan terang. Ucapan terima kasih juga
penulis tujukan kepada Ibu Tiyas Kusumaningrum S.Kep., Ns., M.Kep. selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
penbuatan makalah ini, serta kepada semua pihak yang terlibat, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang asuhan keperawatan klien dengan
kegawatan kehamilan; trombosis vena, eklamsia, dan emboli cairan amnion.
Materi yang penulis paparkan dalam makalah ini tentunya jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pihak – pihak yang ingin mempelajari tentang asuhan
keperawatan klien dengan kegawatan kehamilan; trombosis vena, eklamsia, dan
emboli cairan amnion.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
2.24. Etiologi Emboli Cairan Amnion ................................................................................ 32
2.25. Patofisiologi Emboli Cairan Amnion ......................................................................... 32
2.26. Manifestasi Klinis Emboli Cairan Amnion ............................................................... 33
2.27. Komplikasi Emboli Cairan Amnion .......................................................................... 34
2.28. WOC Emboli Cairan Amnion .................................................................................... 35
2.29. Pemeriksaan Penunjang Emboli Cairan Amnion ....................................................... 36
2.30. Penatalaksanaan Emboli Cairan Amnion ................................................................... 37
2.31. Diagnosa Utama dan Intervensi Emboli Cairan Amnion........................................... 38
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS .................................................................. 43
BAB 4 PENUTUP .............................................................................................................. 50
4.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 50
4.2. Saran ............................................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 52
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengalami emboli cairan amnion dan meninggal dalam waktu 1 jam.
Meskipun saat ini telah ada perbaikan sarana ICU serta pemahaman
terhadap penanganan untuk menurunkan angka kematian ibu, akan tetapi
di Negara berkembang kejadian AFE masih menjadi penyebab kematian
ke 3 (Sriwenda, dkk, 2016).
Risiko kejadian tromboemboli vena pada ibu hamil diperkirakan 6
kali lebih tinggi daripada ibu yang tidak hamil dan mengakibatkan
kematian pada masa kehamilan dan nifas (Prawirohardjo, 2009).
Fungsi dan peran perawat untuk masalah ini adalah sebagai
pendidik, pelaksana pelayanan, penelola, serta peneliti dalam bidang
keperawatan dan kesehatan. Peran mandiri perawat adalah sebagai
pemberi asuhan (Care), perawat sebagai tim yaitu bertugas untuk
didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain dan sebagai
fungsi kolaboratif yaitu kerjasama saling membantu dalam program
kesehatan (sebagai anggota Tim kesehatan). Pertolongan pertama pada
kegawatan yang cepat dan tepat membuat klien tetap bertahan hidup untuk
mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.
2
8. Bagaimana manifestasi klinis trombosis vena, eklamsia, dan emboli
cairan amnion?
9. Bagaimana penatalaksanaan trombosis vena, eklamsia, dan emboli
cairan amnion?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada trombosis vena, eklamsia, dan
emboli cairan amnion?
1.3 Tujuan
3
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman mengenai kegawatan kehamilan; trombosis vena, eklamsia,
dan emboli cairan amnion bagi mahasiswa keperawatan sehingga dapat
diterapkan dalam menangani kasus-kasus trombosis vena, eklamsia, dan
emboli cairan amnion saat di klinik sesuai kompetensi asuhan keperawat
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kejang ≤2 >2
Temperatur ≤ 37,5oC ≥ 38 oC
5
klinis selama masa kehamilan. Satu kondisi yang sangat dipercaya dapat
menyebabkan eklamsia adalah kesalahan metabolisme dari kolestrol
(Patterson, 2016).
6
Adapun menurut (Siti Patimah et al, 2016) eklamsia ditandai
dengan pre-eklamsia yang berkelanjutan. Eklamsia memiliki pola kejang
yang khusus yaitu:
7
2.6 WOC Eklamsia
Faktor Resiko:
1. Primigravida
2. Riwayat keluarga dengan pre
eklamsia/eklamsia
Faktor Imunologik Peningkatan tekanan 3. Pre eklamsia pada kehamilan sebelumnya
darah 4. Ibu hamil dengan usia <20 tahun atau >35
tahun
Perfusi ke jaringan
menurun
Kemampuan filtrasi
CO menurun menurun Adanya lesi pada Edema paru TIK meningkat
ateri utero
plasenta
Dispnea MK: Resiko
MK: Gangguan Retensi urin Resiko gawat janin
perfusi jaringan ketidakefektifan
perifer MK: Resiko Cidera MK: Gangguan pola perfusi jaringan
MK: Gangguan nafas serebaral
eliminasi urin
Proteinuria Protein plasma MK: Kekurangan
dalam tubuh volume cairan
menurun
Pada klien dengan preeklamsi atau eklampsi hal pertama yang harus
dilakukan adalah ibu hamil harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk
mendapatkan penanganan secara tepat. Penanganan pada kasus preeklampsia
berat maupun eklampsia adalah sama, yang membedakan adalah bahwa
persalinan harus segera berlangsung dalam jangka waktu 12 jam setelah
terjadinya kejang pada klien dengan eklampsia.
Pengelolaan Kejang
Pemberian obat anti kejang (anti konvulsan), untuk mencegah
adanya kejang berulang.
Penyediaan berbagai perlengkapan untuk penanganan kejang,
beberapa diantaranya adalah jalan nafas, penghisap lendir, masker
oksigen, oksigen.
Pasien dibaringkan pada sisi sebelah kiri, atau posisi yang disebut
Trendelenburg untuk mengurangi adanya risiko aspirasi.
Membebaskan jalan napas klien.
Pemberian oksigen sebesar 4-6 lpm.
Pemberian perlindungan pada pasien juga dibutuhkan untuk
menghindari kemungkinan adanya trauma, fiksasi secara tepat untuk
menghindari risiko jatuh dari tempat tidur.
Pemasangan spatel lidah penting dilakukan untuk menghindari risiko
tergigitnya lidah saat kejang terjadi.
Pengelolaan Umum
Penting dilakukan adalah jika sudah diketahui bahwa ibu hamil
dengan preeklampsia harus segera dirujuk ke rumah sakit secepat
mungkin.
Apabila tekanan darah diastolik mencapai >110 mmHg, berikan obat
antihipertensi sampai tekanan diastolik mencapai antara 90-100
mmHg.
9
Pemasangan infus ringer laktat dengan ukuran jarum sebesar no.16
atau lebih.
Ukur dan pantau keseimbangan cairan klien dan hindari terjadinya
kelebihan cairan.
Kateterisasi urin dilakukan untuk mengukur volume urin dan
kepentingan pemeriksaan proteinuria.
Pantau agar infus cairan tetap dipertahankan 1,5-2 liter/24 jam.
Pantau klien secara terus menerus jangan sampai ditinggalkan
sendirian, sehingga apabila terjadi kejang secara tiba-tiba dapat
ditangani dengan segera, karena kejang yang disertai aspirasi dapat
menimbulkan kematian ibu dan janin.
Observasi tanda-tanda vital secara berkala, refleks dan denyut
jantung janin setiap 1 jam.
Auskultasi paru untuk mengetahui tanda-tanda edema paru. Adanya
krepitasi merupakan salah satu indikasi adanya edema paru. Jika
terjadi edema paru, maka hentikan pemberian cairan dan ganti
dengan pemberian diuretik (misal: furosemide 40 mg IV).
10
Penghitungan sel darah lengkap (complete blood cell
count). Analisis sel darah lengkap dapat membantu diagnosa
apakah seseorang berisiko atau menderita preeklamsia maupun
gangguan lain, seperti trombositopenia, anemia hemolitik
mikroangiopatik, atau sindrom HELLP (gangguan pada organ
hati yang merupakan salah satu bentuk preeklamsia berat).
Analisis sel darah lengkap juga berguna untuk melihat kadar
bilirubin dan serum haptoglobin dalam darah.
Analisis hematokrit. Analisis hematokrit dilakukan untuk
menghitung jumlah sel darah merah per volume darah. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kadar asupan oksigen bagi ibu hamil
dan janinnya agar tetap dipastikan adekuat.
Tes fungsi ginjal. Metode ini dilakukan untuk mengetahui dan memastikan
adanya komplikasi dari preeklamsia dan eklamsia yang dapat merusak fungsi
ginjal, tes fungsi ginjal diantaranya sebagai berikut:
Tes serum kreatinin. Kreatinin merupakan zat buangan
atau filtrat yang dialirkan melalui darah dan dibuang
melalui ginjal. Indikasi adanya gangguan fungsi ginjal
sebagai akibat dari eklamsia yaitu kadar kreatinin akan
bertambah dalam darah karena penyaringan kreatinin
tidak berlangsung secara sempurna.
Tes urine. Adanya kandungan protein dalam urine
(proteinuria) merupakan salah satu indikasi penting
terjadinya preeklamsia dan eklamsia pada ibu hamil.
Kadar protein dalam urine yang umumnya terdapat dalam
urine ibu hamil dengan preeklamsia adalah diatas 1 g/L.
Selain itu, kadar asam urat juga dapat mengalami
peningkatan.
Ultrasonografi (USG). Metode pemeriksaan USG yang dilakukan pada
ibu hamil dengan preeklamsia dan eklamsia berfungsi hanya untuk
11
memastikan kondisi janin dalam keadaan baik. Melalui pemeriksaan
USG, kondisi janin dapat diketahui melalui pemeriksaan detak jantung
janin (DJJ) serta pertumbuhan janin. Metode lain yang dapat dilakukan
selain USG adalah MRI dan CT scan, terutama untuk memastikan tidak
adanya gangguan-gangguan komplikasi lain, selain preeklamsia dan
eklamsia.
12
2.10 Diagnosa Utama dan Intervensi Eklamsia
13
(00209) berhubungan 1x24 jam masalah menyelesaikan masalah:
dengan faktor risiko: teratasi dengan kriteria 1) Perawatan prenatal,
ganguan transpor hasil: dengan aktivitas:
oksigen (hemoragi, 1) Status janin : a) Monitor denyut
hipertensi, kejang), Antepartum baik jantung janin
komplikasi kehamilan dengan kriteria hasil: b) Monitor gangguan
a) Denyut jantung hipertensi
janin 120 – 160 (tekanan darah,
2) Pengetahuan : edema
kehamilan pergelangan kaki,
a) Pola pergerakan tangan dan wajah
janin baik dan proteinuria)
b) Perubahan 2) Pencegahan kejang
anatomi dan dengan aktivitas:
fisiologis a) Intruksikan pasien
kehamilan sesuai mengenai
tingkat potensial dari
keseimbangan faktor resiko
3) Kontrol kejang b) intruksikan pasien
sendiri dengan untuk memanggil
kriteria hasil: tenaga medis jika
a) Mencegah faktor dirasa tanda akan
resiko/pemicu terjadinya kejang.
kejang c) Intruksikan
keluarga/SO
mengenai
pertolongan
pertama pada
kejang.
14
2.11 Definisi Trombosis Vena
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem
kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi
(Tambunan 2001).
Trombosis vena merupakan pembentukan gumpalan darah terkonsentrasi
di vena dan dapat terjadi karena adanya tromboflebitis. Tromboflebitis adalah
inflamasi dinding vena, sering disertai dengan pembentukan bekuan. Ketika
bekuan pertama kali terjadi dalam vena sebagai akibat stasis atau
hiperkoagulanilitas, tetapi tanpa inflamasi, proses ini disebut sebagai
flebotrombosis.
Thrombosis vena dapat terjadi dimana saja pada vena tetapi yang paling
sering adalah vena pada ektermitas bawah. Baik vena superfisial atau vena
profunda dari tungkai dapat terkena. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
emboli paru yang dapat mengancam kehidupan. Bahaya yang berkaitan dengan
thrombosis vena adalah dimana bagian bekuan dapat terlepas dan menyebabkan
sumbatan embolik pada pembuluh darah pulmonal. Trombosis vena dalam (deep
vein thrombosis, DVT) merupakan kondisi di mana darah pada vena-vena
profundus pada tungkai atau pelvis membeku. Sementara kerusakan vena lokal
dapat menyebabkan hipertensi vena kronis dan ekstermitas pascafeblitis
(postpheblitic limb, PPL).
15
4. Portal Vein Trombosis (PVT)
Jenis trombosis mempengaruhi pembuluh darah portal yang dapat
menyebabkan hipertensi portal sehingga menghasilkan penurunan aliran
darah ke hati. Hal ini diketahui dapat menyebabkan gangguan pada splen.
Penyebab trombosis adalah karena kanker di hati, pankreas dan perut serta
abses hati. Infeksi pusar adalah penyebab umum dari trombosis vena portal
pada bayi baru lahir.
3. Renal Vein Trombosis (RVT)
Renal Vein Trombosis terjadi terutama pada pasien dengan sindrom
nefritik. Pembentukan bekuan dalam jenis ini merupakan trombosis di vena
yang mengalirkan darah di ginjal.
4. Cerebral Venous Sinus Trombosis (CVST).
Thrombosis ini paling sering terjadi pada perempuan dan termasuk
bentuk thrombosis yang parah dan jarang terjadi pada anak-anak dan usia
dewasa muda. Penyebabnya sulit ditentukan dan trombosis ini diyakini
menjadi penyebab umum dari stroke.
5. Jugular Vein Trombosis (JVT).
Suatu bentuk trombosis di jugularis internal atau eksternal.
Thrombosis ini jarang terjadi dan biasanya menyerang sebagian besar pasien
rumah sakit dan sebagian besar disebabkan intervensi intravena, infeksi dan
keganasan.
1. Usia
Sebuah penelitian melaporkan bahwa angka insidensi tahunan DVT
meningkat dari 17 per 100.000 pada umur 40-49 tahun menjadi 232 per
100.000 pada umur antara 70-79 tahun. Namun beberapa faktor resiko seperti
imobilisasi dan keganasan juga berkorelasi dengan umur.
2. Sindroma Nefrotik
Pasien Sindroma Nefrotik mempunyai peningkatan insidensi
tromboemboli vena maupun arteri, terutama pada DVT dan vena renalis.
16
Kadar AT III dalam plasma pasien sindroma nefrotik sering menurun oleh
karena peningkatan ekskresi AT III lewat urin. Umumnya dadar antigenik
protein C dan S meningkat tetapi secara fungsional aktivitas protein S
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hiperaktivitas trombosit atau
peningkatan viskositas darah secara keseluruhan memberi kontribusi terhadap
diatesis trombosis pada pasien sindroma nefrotik.
3. Tindakan operatif
Operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan
tungkai bawah adalah faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya
trombosis vena. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami
trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya
trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada
tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Jaringan plasminogen terlepas ke dalam sirkulasi darah karena trauma
pada waktu di operasi.
b. Immobilisasi selama periode preoperatif, operatif dan post operatif
menyebabkan statis aliran darah
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah
operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.
4. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas
fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan
VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.
17
5. Infark miokard
Dua komponen penyebab infark miokard adalah kerusakan jaringan yang
melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan
adanya statis aliran darah karena istirahat total.
6. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena. Statis vena berhubungan dengan
bedrest disertai dengan immobilisasi merupakan faktor resiko penting
terhadap kejadian trombosis vena. Sebuah penelitian terhadap 101 pasien
yang hanya daat tiduran pada saat dirawat dilakukan pemeriksaan dengan
125-fibrinogen uptake test. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
13% dari semua pasien dan 20% pasien yang dirawat oleh arena gagal
jantung kongestif atau pneumonia mempunyai hasil positif terhadap tes
tersebut.
7. Obat-obatan konstrasepsi oral
Pil kontrasepsi mengandung hormon estrogen menimbulkan dilatasi
vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena.
8. Obesitas dan varises
Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan
penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis
vena.
9. Proses keganasan
Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down
regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau
protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga
rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar 1).
18
Gambar 1. Efek protombotik sel tumor
Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem
koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi
trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel
tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin
(faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator
pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor
XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin,
heparin cofactor II dan reseptor endothelial protein-C.
Terjadinya trombosis pada ibu hamil dan ibu nifas disebabkan akibat
faktor-faktor risiko umum penyebab tromboemboli yaitu mekanik dan
hemostatic.
Penyebab Mekanik :
1. Pembesaran Uterus
2. Atonia vena karena pengaruh hormonal
Penyebab Hemostatik :
1. Aktivitas faktor II, faktor V, faktor VII, faktor VIII. Faktor X yang
meningkat
19
2. Kadar fibrinogen meningkat
3. Peningkatan PAI-1 dan PAI-2 yang menyebabkan fibrinolysis
menurun
4. Penurunan aktivitas protein S bebas
5. Terdapat protein C yang teraktivasi pada resistensi fungsional
6. Aktivasi thrombosis
20
koagulasi darah. Terjadi penurunan aktivitas fibrinolitik selama kehamilan
dapat menimbulkan hiperkoagulasi. Hal ini menyebabkan thrombosis vena
(Geinberg at al, 1998).
a. Betis membengkak.
Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan
aliran darah, ototbetis akan membengkak sehingga pembengkakan
bilateral mungkin sulit dideteksi
b. Nyeri tekan dan terlihat warna kemerahan pada daerah ekstremitas
bawah
Nyeri tekan (nyeri tumpul) sebagai tanda adanya peradangan.
Nyeri lebih terasa saat berdiri maupun berjalan.
Terdapat 20 % pasien menunjukkan tanda Homan(nyeri pada
betis setelah dorsofleksi tajam kaki), tidak spesifik untuk trombosisi
vena profunda karena nyeri ini dapat didatangkan oleh setiap kondisi
yang menyakitkan pada betis yaitu peradangan.
c. Vena superficial dapat lebih menonjol dan kulit pada tungkai yang
terkena dapat teraba hangat,
d. Nyeri abdomen difus
e. Pada klien dengan edema paru akan mengalami dispnea, nyeri dada,
syncope, takikardi, sianosis, hipotensi
Pada beberapa kasus, tanda embolus pulmonal merupakan
indikasi pertama adanya thrombosis vena profunda
f. Suhu meningkat tapi tidak tinggi
g. Terjadi perubahan warna coklat pada kulit, biasanya di atas
pergelangan kaki.
21
Hal tersebut disebabkan karena keluarnya sel darah merah dari
vena yang teregang ke dalam kulit. Kulit yang berubah warnanya ini
sangat peka, cedera ringan misalnya garukan atau benturan dan
dapat merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka
(ulkus, borok).
h. Warna pucat, dingin serta penurunan nadi perifer pada ekstrimitas
yang sakit
22
2.17 WOC Trombosis Vena
Hiperkoagulasi
Statis vena Jejas Endotel
Thrombus vena
24
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Venous Ultrasonography
Venous ultrasonography adalah modalitas utama untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena. Teknik imaging ini aman, non-
invasif dan relatif murah. Ada tiga jenis modalitas utama yaitu:
- Compression Ultrasound (CUS)
CUS adalah B-mode imaging dan banyak digunakan pada vena
dalam proksimal, khususnya vena femoralis dan vena poplitea.
Sensitivitas CUS dalam diagnosa trombosis vena proksimal adalah
94% dan spesifisitasnya adalag 98%. Sensitivitas CUS untuk
mengidentifikasi trombosis vena distal relatif rendah (52%).
- Duplex Dopple Utrasound
Penggabungan ultrasonografi duplex doppler dan ultrasonografi
doppler warna akan efektif untuk mengidentifikasi trombosis vena di
betis dan vena iliaka.
b. Contast Venography
Metode ini adalah metode pencitraan primer dan klasik untuk
mendiagnosis trombosis vena dengan melibatkan injeksi kontras non-
iodinasi (misal, Omnipaque) ke dalam vena perifer pada ekstremitas yang
terkena. Kemudian dilakukan x-ray untuk menentukan apakah aliran
darah vena tersebut telah terhambat. Namun tes ini jarang dilakukan
karena biaya yang relatif tinggi, invasif, paparan radiasi, risiko potensial
reaksi alergi dan defisiensi ginjal.
c. Computed Tomography Venography (CVT)
CVT dapat secara langsung memvisualisasikan vena cava
inferior, vena pelvis, dan vena ektremitas bawah, namun membutuhkan
injeksi kontras beryodium.
d. Tes D-Dimer
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan
peningkatan D-Dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-Dimer
merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini
25
sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk
meningkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Kombinasi dari
hasil pemeriksaan fisik dan pengukuran kadar D-Dimer merupakan
pilihan pertama dalam diagnosis.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat menunjukkan trombosis vena secara langsung dengan
memvisualisasikan trombus karena adanya sinyal tinggi yang di hasilkan
oleh methemoglobin sel darah merah di trombus.
26
Penggunaan warfarin pada trimester kedua dan awal trimester ketiga
berhubungan dengan perdarahan intrakranial pada janin dan schizenphaly (Duhl,
2007).
Terapi dosis LMWH terapeutik atau UFH subkutan harus dihentikan 24
jam sebelum persalinan atau sectio caesaria untuk menurunkan risiko
perdarahan. Ibu hamil yang mendapatkan terapi LMWH harus diedukasi untuk
menghentikan terapi jika timbul tanda-tanda akan melahirkan. UFH dapat
menyebabkan efek antikoagulan yang persisten pada saat persalinan. Pemberian
LMWH dilanjutkan dalam 12 jam postpartum dan konfirmasi pemeriksaan
hemostasis.
27
Pada saat terjadi trombosis vena fase akut, berikan kompres hangat pada
daerah yang terkena. Mobilisasi pasien dengan trombosis vena proksimal akut
yang diobati dengan LMWH harus menggunakan AES (Partsch dan Blattler,
2002).
Umumnya dipelukan tirah baring selama 5- 7 hari setelah terjadi
trombosis vena. Waktu ini kurang lebih sama dengan waktu ini yang diperlukan
trombus melekat pada dinding vena, sehingga menjadi emboli. Mobilisasi
dengan berjalan-jalan akan lebih baik dari pada berdiri atau duduk lama-lama.
Latihan ditempat tidur, seperti dorsofleksi kaki melawan papan kaki, juga
dianjurkan. Kompres hangat dan lembab pada ekstremitas yang terkena dapat
mengurangi ketidak nyamanan berhubungan dengan trombosis vena. Setelah
intervensi pemberian antikoagulan perhatikan adanya tanda-tanda perdaharan
karena klien beresiko terjadi perdarahan.
Intervensi Keperawatan
Nyeri akut yang berhubungan dengan inflamasi jaringan, edema, stasis vena
NOC NIC
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pain, acute (524)
diharapkan klien dapat mengontrol a. Monitoring TTV
nyeri (1605) dan mengobservasi atau b. Berikan kompres hangat pada daerah
28
melaporkan nyeri (2102) dengan yang nyeri dan edema
kriteria hasil: c. Ajarkan teknik relaksasi
a. Klien dapat mengenali permulaan d. Posisikan klien dengan nyaman
nyeri ( 160502) e. Terapi Latihan : Ambulasi
b. Klien dapat menggambarkan Pain Management (1400)
penyebab nyeri (160501) a. Lakukan pengkajian secara
c. Melaporkan gejala nyeri yang komprehensif tentang nyeri
tidak terkontrol kepada tenaga (PQRST)
kesehatan professional (160507) b. Gunakan komunikasi terapeutik agar
d. Melaporkan nyeri yang terkontrol klien mampu menyatakan
(160511) pengalaman nyeri dan
e. Klien mampu melaporkan nyeri menyampaikan penerimaan dari
(210201) respons nyeri klien.
c. Ajarkan dasar management nyeri.
d. Kolaborasi pemberian analgesik
29
tinggikan kaki dan telapak kaki
diatas tinggi jantung
e. Lakukan latihan aktif dan pasif
sementara di tempat tidur. Bantu
melakukan ambulasi secara
bertahap.
f. Peringatkan pasien untuk
menghindari menyilang kaki atau
hiperfleksi lutut (posisi duduk
dengan kaki menggantung atau
berbaring dengan posisi menyilang)
g. Anjurkan pasien untuk menghindari
pijatan / urut pada ekstremitas yang
sakit.
h. Kolaborasi pemberian antikoagulan
setelah dilakukan kompres hangat
(pada daerah yang terkena).
i. Berikan dukungan penggunaan
stoking anti-emboli setelah fase
akut, hati-hati untuk menghindari
efek tornikuet.
30
16-20x/menit, Nadi: 60- c. Monitor balance cairan.
100x/menit, suhu: 36,5-37,5 °C). d. Monitor TTV
b. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak e. Atur periode latihan dan istirahat
mudah lelah. untuk menghindari kelelahan.
c. Tidak ada edema dan emboli paru. f. Monitor toleransi aktivitas klien.
d. Tidak ada penurunan kesadaran.
31
tertangani dapat menyebabkan gangguan pada organ lain seperti saraf, jantung,
dan paru paru.
Kasus AFE jarang terjadi, hanya sedikit dengan perbandingan 1 : 8.000
hingga 1 : 30.000 kasus. Terdapat 25% ibu yang mengalami AFE dan meninggal
dalam waktu 1 jam. Meskipun saat ini telah ada perbaikan sarana ICU serta
pemahaman terhadap penanganan untuk menurunkan angka kematian ibu, akan
tetapi di Negara berkembang kejadian AFE masih menjadi penyebab kematian
ke 3 (Sriwenda, dkk, 2016).
32
dan sumbatan aliran darah ke jantung sehingga timbul dua gangguan sekaligus,
yaitu gangguan pada jantung dan paru-paru. (Damayanti, 2014). Terdapat dua
fase pada emboli cairan amnion :
Fase I : akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi
vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis, sehingga menyebabkan aliran
darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia
myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Ibu
yang selamat dari peristiwa ini kemungkinan akan memasuki fase ke II.
Fase II : fase perdarahan besar dengan atony uterus dan koagulasi
intravascular diseminta. Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40%
ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Belum diketahui secara pasti cara
cairan amnion dapat menyebabkan pembekuan, kemungkinan terjadi akibat
embolisme air ketuban atau kontaminasa dengan mekonium atau sel-sel gepeng
yang menginduksi koagulasi intravascular.
33
11 Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain
(DIC terjadi pada 83% pasien).
34
2.28 WOC Emboli Cairan Amnion
Cairan amnion
Kematian janin bercampur Distress pada ibu
intrauteri mekonium dan janin
Dispnea/ Cardiac
takipnea arrest Payah Koma
jantung
kanan
MK : gangguan
pertukaran gas Nyeri dada MK : Nyeri
akut
35
2.29 Pemeriksaan Penunjang Emboli Cairan Amnion
1 Diagnostik awal harus mencakup pengukuran oksimetri dan
pengukuran Gas Darah Arteri (GDA) untuk menentukan derajat
hipoksemia. Pulse oximeter menunjukkan penurunan saturasi oksigen
tiba-tiba. Level GDA menunjukkan pH menurun, penurunan PO2, dan
tingkat PCO2 meningkat.
2 Penilaian faktor pembekuan darah untuk mendeteksi koagulopati dini.
Normalnya pada wanita hamil akan terjadi peningkatan dari faktor
pembekuan darah. Di mana pada Amniotic Fluid Embolism (AFE)
akan terjadi peningkatan angka kejadian Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) disertai kegagalan pembekuan darah, penurunan
hitung trombosit, penurunan kadar fibrinogen, pemanjangan
Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT).
Pemeriksaan untuk mengevaluasi terjadinya DIC adalah kadar AT-III,
fibrinopeptide A, D-dimer, prothrombin fragment 1.2 (PF 1.2),
thrombin precursor protein, dan trombosit.
3 Electrocardiogram (ECG). ECG menunjukkan perubahan segmen ST
dan gelombang T
4 Foto rontgen thorax. Menunjukkan pembesaran atrium kanan dan
ventrikel, serta oedem pulmonum (24%-93%).
5 CVP (Central Venous Pressure). Pada awalnya CVP meningkat
disebabkan hipertensi pulmonal, kemudian pada akhirnya mengalami
penurunan karena perdarahan yang hebat.
36
2.30 Penatalaksanaan Emboli Cairan Amnion
Pemberitahuan segera
ke neonatologi,
maternal fetal medicine,
Mulai segera CPR-ACLS
obstetric care provider,
dan call for help
anestesiologi,
perawatan intensif
38
3. Ansietas berhubungan dengan dipsnea
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokonstriksi
Intervensi Keperawatan
39
Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi trake bronial untuk bekuan darah
40
Ansietas b/d dipsnea
41
perilaku di luar
kontrol/
peningkatan
disfungsi
kardiopulmonal.
42
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Pengkajian
1. Identitas Diri :
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
43
2. Keluhan Utama
Pasien mengalami kejang hingga pingsan kemudian dibawa ke layanan
kesehatan.
3. Riwayat Penyakit Saat ini
Pasien datang ke Rumah Sakit diantar oleh suaminya karena kejang.
Suaminya mengatakan bahwa setelah bangun tidur di pagi hari melihat
istrinya mengalami kejang dan Ny.A langsung pingsan.Dari hasil
pemeriksaan ditemukan kesadaran somnolen, TD 175/110 mmHg, nadi
110x/menit, RR 24x/menit. BB 60 kg tinggi badan 145 cm dan suhu 37,50
C
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak ada penyakit yang menyertainya dahulu ataupun
melakukan pembedahan
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien juga mengatakan tidak ada keluarga yang menderita penyakit darah
tinggi, penyakit jantung, ginjal, asma ataupun kencing manis
6. Pemeriksaan Fisik
TTV : TD : 175/ 100 mmHg
N : 110 x/ menit
RR : 24 x/ menit
T : 37,50 C
BB : 60 Kg
Tinggi 145 cm
Keadaan Umum :Klien tampak lemah dan kesadaran somnolen
a. Pernafasan B1 (breath)
Tidak ada sesak nafas, tidak ada batuk pilek, tidak memiliki riwayat
asma dan suara nafas normal.
b. Kardiovaskular B2 (blood)
Suara jantung vesikuler, bradikardi, dan Perfusi perifer baik.
c. Persyarafan B3 (brain)
Kadang pasien merasa pusing/ sakit kepala, pupil normal, kesadaran
somnolen
44
d. Perkemihan B4 (bladder)
Ny A sering berkemih dengan frekuensi 15-18 x per hari dan volume
350- 450 ml tiap berkemih.
e. Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan kurang baik. Klien tidak ada sakit maag.
f. Muskuloskeletal/ integument B6 (bone)
Turgor kulit baik, kulit lembab, dan mukosa bibir lembab.
Status Obstetri :
Nama : Ny A
Usia Kehamilan : 34 minggu
DJJ Janin : 140 x/ menit
Status Kehamilan : G4P3A0
Tinggi Fundus : > 28 cm di atas simfisis Pubis
A. Analisa Data
45
T : 37,50 C
2. DS : - Trombosis Vena Risiko gangguan
hubungan ibu-janin
DO : Edema pada Obstruksi aliran darah (00209)
kondisi tubuh pasien
Emboli paru
reflek bronkospasme
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (00204) berhubungan
dengan penyakit Trombosis Vena
2. Risiko gangguan hubungan ibu-janin (00209) berhubungan dengan
faktor risiko: ganguan transpor oksigen (hemoragi, hipertensi,
kejang), komplikasi kehamilan
C. Intervensi Keperawatan
46
dengan 4) Status sirkulasi yang tidak berespon
Trombosis dengan kriteria untuk menentukan
Vena hasil: tindakan yang tepat.
c) Tidak ada Minta bantuan jika
edema perifer pasien bernapas, tidak
d) Wajah tidak bernapas normal dan
pucat tidak ada respon.
5) Keparahan Pertahankan jalan napas
hipertensi membaik terbuka.
dengan kriteria Periksa tanda-tanda dan
hasil: gejala pernapasan
c) Tidak ada sakit terancam.
kepala 4) Monitor tanda-tanda vital
d) Tidak ada dengan aktivitas:
pusing Monitor tekanan darah,
6) Memiliki nadi, suhu, dan status
pengetahuan pernpasan dengan tepat
manajemen Koaborasikan untuk
hipertensi dengan pemberian obat anti
kriteria hasil: koagulan dan mencegah
c) Tekanan darah TD semakin naik.
120/80
d) Mengetahui
tanda dan
gejala
eksaserbasi
hipertensi
2 Risiko Setelah dilakukan Intervensi keperawatan yang
gangguan intervensi disarankan untuk
hubungan ibu- keperawatan 1x24 jam menyelesaikan masalah:
janin (00209) masalah teratasi 3) Perawatan prenatal, dengan
berhubungan dengan kriteria hasil: aktivitas:
47
dengan faktor 4) Status janin : c) Monitor denyut
risiko: ganguan Antepartum baik jantung janin
transpor dengan kriteria d) Monitor gangguan
oksigen hasil: hipertensi (tekanan
(hemoragi, b) Denyut jantung darah, edema
hipertensi, janin 120 – 160 pergelangan kaki,
kejang), 5) Pengetahuan : tangan dan wajah
komplikasi kehamilan dan proteinuria)
kehamilan c) Pola 4) Pencegahan kejang dengan
pergerakan aktivitas:
janin baik d) Intruksikan pasien
d) Perubahan mengenai potensial
anatomi dan dari faktor resiko
fisiologis e) intruksikan pasien
kehamilan untuk memanggil
sesuai tingkat tenaga medis jika
keseimbangan dirasa tanda akan
6) Kontrol kejang terjadinya kejang.
sendiri dengan f) Intruksikan
kriteria hasil: keluarga/SO
b) Mencegah mengenai
faktor pertolongan pertama
resiko/pemicu pada kejang.
kejang g) Kolaborasikan
pemberian obat anti
kejang untuk
mencegah adanya
kejang berulang
48
D. Evalusi Keperawatan
1. S : Keluarga mengatakan pasien tidak kejang, dan pasien
mengatakan sudah tidak pusing atau sakit kepala
O : TTV Semakin membaik : TD : 170/90 mmHg , Nadi 100x/mnt,
RR : 22x/mnt Suhu, 370 C
A : Intervensi dilanjutkan sebagaian
P : Lanjutkan Intervensi 1,3 : 1,4 : dan 2.1
2. S :-
O : Edema pada pasien berkurang dan membaik
A : Intervensi dilanjutkan
P : Lanjutkan Intervensi kembali
49
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Eklamsia ditandai dengan pre-eklamsia yang berkelanjutan dengan
kejadian kejang yang bervariasi seperti;ckejang dapat terjadi dengan tidak
tergantung pada beratnya hipertensi,ckejang bersifat tonik-klonik seperti
kejang pada epilepsi, kejang yang terjadi secara terus-menerus (berlangsung
lama) dapat menyebabkan koma.
Bahaya yang berkaitan dengan thrombosis vena adalah dimana bagian
bekuan dapat terlepas dan menyebabkan sumbatan embolik pada pembuluh
darah pulmonal. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT)
merupakan kondisi di mana darah pada vena-vena profundus pada tungkai
atau pelvis membeku. Emboli dari thrombus menimbulkan emboli paru
(pulmonary embolus, PE). Sementara kerusakan vena lokal dapat
menyebabkan hipertensi vena kronis dan ekstermitas pascafeblitis
(postpheblitic limb, PPL).
Emboli cairan amnion merupakan komplikasi yang berbahaya karena
dapat menyebabkan kematian pada ibu dan apabila tertangani dapat
menyebabkan gangguan pada organ lain seperti saraf, jantung, dan paru
paru.
4.2 Saran
1. Bagi petugas kesehata atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan
pelayanan kesehatan terutama pada kegawatan kehamilan untuk
pencapaian kualitas keperawatan secara optimal dan sebaiknya proses
keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan.
2. Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan
pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan
yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh
sebab itu perlu adanya penjelasan pada klien dan keluarga mengenai
manfaat serta pentingnya kesehatan.
50
3. Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan kegawatan
kehamilan.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
Greer, IA., Nelson-Piercy, C. 2005. Low molecular- weight heparins for
thromboprophylaxis and treatment of venous thromboembolism in
pregnancy: a systematic review of safety and efficacy, Blood, Vol.
106, pp.401-7.
http://eprints.undip.ac.id/44201/3/WimardyLW_G2A009144_Bab2KTI.pd
f.
Sinsin, Iis . 2008 . Seri Kesehatan Ibu & Anak: Masa Kehamilan dan
Persalinan. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo.
Ardhiyanti, Y., Pitriani, R., Damayanti, PI. 2014. Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan 1. Yogyakarta: Deepublish.
Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba.
2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hamilton, Persis alih bahasa : Asih. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan
Maternitas. Jakarta : EGC.
Oxorn, Harry, Forte alih bahasa : Hakimi. 2010. Ilmu Kebidanan :
Patologi dan fisiologi Persalinan. Yogyakarta : Andi Offset.
Pierce (2008), Dennis Kasper (2015) dan Baradero, Mary., Dayrit, Mary
W.,Siswadi, Yakobus. 2008.
Sibai, Baha. 2005. Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia.
The American College of Obstetricians and Gynecologists.
doi:10.1097/01.AOG.0000152351.13671.99.
Goncalo et al. 2017. Pre-Eclampsia and Eclampsia: An Update on the
Pharmacological Treatment Applied in Portugal. J. Cardiovasc.
Dev. Dis. 2018, 5, 3; doi:10.3390/jcdd5010003.
Satuan Tugas Penurunan Kematian Ibu (PENAKIB). 2016. Preeklamsia-
Eklamsia & Perdarahan Pasca Persalinan. Dinas Kesehatan Jawa
Timur.
Siti Patimah et al. 2016. Praktik Klinik Kebidanan III. Modul Bahan Ajar
Cetak. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Apsari, R.K.F., Bambang, S. 2017. Emboli Cairan Amnion. Jurnal
Anesteti Obstetri Indonesia (JAOI) EISNN Online: 2615-370X.
53
Sriwenda, D, dkk. 2016. Praktik Klinik Kebidanan III. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Ardhiyanti, Y., Pitriani, R., Damayanti, PI. 2014. Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan 1. Yogyakarta: Deepublish.
Kaur, Kiranpreet et al. 2016. Amniotic Fluid Embolism. Journal of
Anaesthesiology Clinical Pharmacology. 32(2): 153-159.
Rudra, A et al. 2009. Amniotic Fluid Embolism. Indian Journal of Critical
Care Medicine. 13(3): 129-135.
NS 73 Wallis M, Autar R. 2001. Deep vein thrombosis: clinical nursing
management. Nursing Standart. 15, 18, 47-54.
Osman, AA et al. 2018. Deep venous thrombosis: a literature review.
China: Jilin University.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Pacheco L, George S, Hankins G, and Clark S. 2016. Amniotic Fluid
Embolism: Diagnosis and Management. SMFM Clinical
Guidelines. 9: B16-B24.
54