Anda di halaman 1dari 27

KONSEP TEORITIS

A. DEFINISI
Berikut ini adalah pengertian tentang CKD menurut beberapa ahli dan
sumber diantaranya adalah :
1. Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap
akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan
uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer
dan Bare, 2013).
2. CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih,
dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai
sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang
kita sadari bahwa gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea
dalam darah (Sibuea, Panggabean, dan Gultom, 2015)
3. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah
penyakit ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara
total seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat
disebabakan oleh berbagai hal. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
menyebabkan uremia.

B. ANATOMI FISIOLOGI
a. Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson
(2006) :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah
lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan
lemak yang tebal dibelakang pritonium. Kedudukan ginjal dapat
diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis
terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati. Setiap ginjal panjangnya
antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya antara 1,5 sampai
2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram.
Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap
ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah
ginjal semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal
menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang
membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus serta
didalamnya terdapat setruktur-setruktur ginjal. Setruktur ginjal warnanya
ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar, dan medulla
disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang
berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya
mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan
dengan pelvis ginjal.
Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang
merupakan satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000
nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas
kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung
atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang berkelok dan ada yang
lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama disebut
tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut
simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan
kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus
penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh
darah yaitu arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta
abdominalis ke ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan membentuk
arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-masing membentuk
simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil
sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang
membentuk jarring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler
ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam
ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih
lama disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada
hal tersebut.
b. Fisiologi.
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses
pembentukan urin menurut Syaeifudin (2012).
1. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting
dalam sistem organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja
organ lain dan sistem lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan
penting yaitu sebagi organ ekresi dan non ekresi.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran
senyawa yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea,
natrium dan lain-lain dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi
sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga
sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa,
cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi
hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah
(sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis
sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi
kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion
kalsium dalam usus.
2. Peroses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk
kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan
bagian plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu
filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2012) :
 Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena
proses aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan
dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
 Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif yang dikenal dengan proses obligator.
Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus
distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion bikarbonat bila
diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
 Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan
masuk ke fesika urinaria.

C. ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson
(2012) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit
vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa
contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks
nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, dan stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, dan seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan
asidosis tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme,
serta amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalahgunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari
batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah
yang terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali congenital
leher vesika urinaria dan uretra.

D. PATHOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer, dan Bare (2012) proses terjadinya CKD
adalahakibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga
terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat. Sehingga
menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga
menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan
oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea
darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada
retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol
dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit seharihari tidak terjadi.
Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko
terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga
dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan
produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina
dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi
normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain
menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya
kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering
disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal
juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan
adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah
protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat
memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
Pathway
infeksi Vaskuler Obstruksi saluran kemih
Zat toksik
(hipertensi, DM)

Reaksi antigen Refluks


Tertimbun dalam
antibodi arterosklerosis
ginjal
hidronefrosis Vaskulerisasi
Suplai darah Ginjal
ke ginjal turun

Peningkatan tekanan
Iskemia
ginjal
GFR Nefron rusak
turun

CKD

Penurunan fungsi Peningkatan


eksresi ginjal Retensi Na Kelebihan Sekresi kalium Sekresi eritropoitin
& H2O Vol. cairan menurun turun

Sindrom uremia
CES meningkat Tidak mampu hiperkalemia
mengekresi Produksi Hb turun
Pruritus asam(H)
Tek. kapiler Gg. Penghantaran
kerusakan naik kelistrikan jantung
Integritas oksihemoglobin
kulit asidosis turun
Vol. interstisial disritmia
naik
Gg. Perfusi
Hiperventilasi jaringan
Edema Peningkatan
jaringan Edema paru
preload
pola napas tidak
efektif
Gg. Pertukaran
gas Penurunan
curah jantung

Anoreksia
Intake Gangguan nutrisi Suplai O2
mual
menurun kurang dari jaringan
muntah
kebutuhan turun

Kelelahan Intoleransi
otot aktivitas

Sumber : Purwo (2014), mengacu pada Doengus (2015), Carpenito (2006), Semeltzer dan Bare
(2012)
E. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi
uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan
tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan
kondisi lain yang mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain
terjadi pada sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro intestinal, neurologis,
pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare (2012)
diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual
sampai dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmol, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi
feron.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi
maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis
ataupun kolaborasi antara lain :
1. Pemeriksaan lab.darah
 hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
 RFT ( renal fungsi test )
Ureum dan kreatinin
 LFT (liver fungsi test )
 Elektrolit Klorida
kalium, kalsium
 Koagulasi studi
PTT, PTTK
 BGA
2. Urine
 urine rutin
 urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. Pemeriksaan kardiovaskuler
 ECG
 ECO
4. Radidiagnostik
 USG abdominal
 CT scan abdominal
 BNO/IVP
 FPA
 Renogram
 RPG ( retio pielografi )

G. PENATALAKSANAAN
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus
sesuai dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara
umum. Menurut Suwitra (2015), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat
dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.1
Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2015.
Derajat (ml/mnt/1,873 Perencanaan penatalaksanaan terapi
LFG m2)

1 > 90 Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,


kondisi komorbid, evaluasi pemburukan
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat pemburukan (progresion) fungsi
ginjal.
3 0-59 Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
komplikasi.
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis).
5 < 15 Dialysis dan mempersiapkan terapi penggantian
ginjal (transplantasi ginjal).

Menurut Suwitra (2015) penatalaksanaan untuk CKD secara umum


antara lain adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi,
biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun
sampai 20–30 % dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak
bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
obatobat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas
penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD
sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang
antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL).
Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh.
Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan
yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah
3,5-5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan
tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal
adalah hiperventilasi glomerulus yaitu :
 Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt,
sedangkan diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein.
Protein yang dibatasi antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya protein nilai biologis tinggi. Kalori yang diberikan sebesar
30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein perlu dilakukan
pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan diencerkan
melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion
anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan
protein bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan
protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia.
 Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat anti hipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko komplikasi pada kardiovaskuler juga penting
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan cara
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim
konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE
inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti
proteinuri.
 Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang
penting, karena 40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan
oleh penyakit komplikasinya pada kardiovaskuler. Hal-hal yang
termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler adalah
pengendalian hipertensi,DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia,
dan terapi pada kelebihan cairan dan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara
keseluruhan.
 CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan
/ tranfusi eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi
osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya harus
dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
 Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD
derajat 4-5. Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.

H. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan
Bare (2012) serta Suwitra (2015) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
6. peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
7. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
8. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
9. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu
pada Doenges (2013), serta Carpenito (2014) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa
/ zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang
sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan
dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien
terlihat bingung kenapa kondisinya seperti ini meski segala hal yang
telah dilarang telah dihindari.
2) Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah,
asupan nutrisi dan air naik atau turun.
3) Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien mengalami konstipasi,
terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya
antara tekanan darah dan suhu. Aktifitas dan latian. Gejalanya adalah
pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
4) Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung
mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
5) Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah
penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat
berkomunikasi dengan jelas.
6) Pola hubungan dengan orang lain
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri
sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih
menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
7) Pola reproduksi
8) Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido,
keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
9) Pola persepsi diri
10) Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi
edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik,
perubahan peran, dan percaya diri.
11) Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil
keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
Pola kepercayaan.
12) Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat
melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
1) Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
3) Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
4) Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5) Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
6) Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
7) Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
8) Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
9) Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi paru
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin
dan retensi cairan dan natrium
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
6. kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam
kulit dan gangguan turgor kulit atau uremia.
7. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus
sekunder terhadap adanya edema pulmoner.
8. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler
sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak
seimbangan elektrolit).

C. INTERVENSI
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi paru
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pola
napas efektif. Kriteria hasil : Gas Darah Analisa (GDA) dalam rentang
normal, tidak ada tanda sianosis maupun dispnea, bunyi napas tidak
mengalami penurunan, tanda-tanda vital dalam batas normal (RR 16-24
x/menit).
Intervensi :
a. Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tada vital dapat terjadi
sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b. Catat pengembangan dada dan posisi trakea
Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun
apabila terjadi ansietas atau edema pulmonal.
c. Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau napas dalam.
Rasional : Tekanan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk
lebih efektif dan dapat mengurangi trauma.
d. Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.
e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan
status cairan.
f. Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi
dari implementasi, juga adanya kerusakan pada paru.
g. Kolaborasikan pemberian oksigen pada ahli medis
Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
in adekuat, mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Pengukuran antropometri dalam batas normal, perlambatan
atau penurunan berat badan yang cepat tidak terjadi, pengukuran albumin
dan kadar elektrolit dalam batas normal, peneriksaan laboratorium klinis
dalam batas normal, pematuhan makanan dalam pembatasan diet dan
medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi, perubahan berat badan, pengukuran antropometri,
nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, dan kadar
besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b. Kaji pola diet dan nutrisi pasien, riwayat diet, makanan kesukaan,
hitung kalori.
Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.
c. Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi misalnya
adanya anoreksia, mual dan muntah, diet yang tidak menyenangkan
bagi pasien, kurang memahami diet.
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat
diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d. Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batasan diet.
Rasiomal : Mendorong peningkatan masukan diet.
e. Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium,
diantara waktu makan.
Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan
menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan
dan penyembuhan jaringan.
f. Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit
ginjal dan peningkatan urea serta kadar kreatinin.
g. Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara
diet, urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
h. Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan
untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif
terhadap pembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan
keluarga yang dapat digunakan dirumah.
i. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional : Faktor yang tidak menyenagkan yang berperan dalam
menimbulkan anoreksia dihilangkan.
j. Timbang berat badan harian.
Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
k. Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat, pembentukan
edema, penyembuhan yang lambat, penurunan kadar albumin.
Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan
penurunan albumin dan protein lain, pembentukan edema dan
perlambatan peyembuhan.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil : Membran mukosa warna merah muda, kesadaran pasien
compos mentis, pasien tidak ada keluhan sakit kepala, tidak ada tanda
sianosis ataupun hipoksia, capillary refill kurang dari 3 detik, nilai
laboratorium dalam batas normal (Hb 12-15 gr %), konjungtiva tidak
anemis, tanda-tanda vital stabil: TD 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit.
Intervensi :
a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan dasar
kuku
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan
perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan tubuh.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan
oksigenasi untuk kebutuhan seluler, vasokonstrisi (ke organ vital)
menurunkan sirkulasi perifer.
c. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh
hangat sesuai dengan indikasi.
Rasional : Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus
seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan
pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ).
d. Kolaborasi untuk pemberian O2
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin)
Rasional : Mengetahui status transport O2.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine
dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Kelebihan cairan / edema tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tercipta kepatuhan pembatasan diet dan cairan, turgor kulit
normal tanpa edema, dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
a. Monitor status cairan, timbang berat badan harian, keseimbangan input
dan output, turgor kulit dan adanya edema, tekanan darah, denyut dan
irama nadi.
Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal,
keluaran urine dan respons terhadap terapi.
c. Identifikasi sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang
digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena.
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan.
e. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet.
f. Kolaborasi pada medis dalam pembatasan cairan intravena antara 5-10
tetes permenit, dan pembatasan obat-obatan cair.
Rasional : dengan pembatasan cairan intravena dapat membantu
menurunkan resiko kelebian cairan.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil : Berpartisipasi dalam aktivitas keluwarga sesuai
kemampuan, melaporkan peningkatan rasa segar dan bugar, melakukan
istirahat dan aktivitas secara bergantian, berpartisipasi dalam aktivitas
perawatan mandiri yang dipilih.
Intervensi :
a. Kaji faktor yang menyebabkan keletihan, anemia, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, retensi produk sampah, dan depresi.
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
b. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan / sedang dan memperbaiki
harga diri.
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
d. Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
e. Rasional : Dianjurkan setelah dialisis, yang bagi banyak pasien sangat
melelahkan.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam
kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah
kerusakan atau cidera kulit, tidak terjadi kerusakan integritas kulit dan
tidak terjadi edema.
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya
kemerahan, ekimosis.
b. Rasional : Menandakan adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
c. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit serta membran mukosa.
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
d. Inspeksi area tubuh terhadap edema.
Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
e. Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri
bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan
peninggian aliran balik statis vena sebagai pembentukan edema.
f. Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit
g. Pertahankan kuku pendek.
Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.
7. Resti gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru sekunder terhadap adanya edema pulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan
pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien
menunjukkan pertukaran gas efektif, GDA dalam rentang normal, tidak
ada tanda sianosis maupun hipoksia, traktil fremitus positif kanan dan kiri,
bunyi napas tidak mengalami penurunan, auskultasi paru sonor, tanda-
tanda vital dalam batas normal : RR 16-24 x/menit.
Intervensi :
a. Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b. Auskultasi bunyi napas.
Rasional : Untuk mengetahui keadaan paru yang menunjukkan adanya
edema paru.
c. Catat pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun
apabila terjadi ansietas atau udema pulmoner.
d. Kaji traktil fremitus.
Rasional : Traktil fremitus dapat negative pada klien dengan edema
pulmoner.
e. Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.
f. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indicator keadaan
status cairan.
g. Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi
dari implementasi.
h. Kolaborasikan pemberian oksigen.
Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
8. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler
sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung
(ketidakseimbangan elektrolit).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat
dipertahankan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur, akral hangat, Capillary
refill kurang dari 3 detik, nilai laboratorium dalam batas normal (kalium
3,5-5,1 mmol/L, urea 15-39 mg/dl).
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah,
perhatikan postural misalnya duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik,
mengi dan edema.
b. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.
Rasional : Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan
deficit cairan.
c. Evaluasi bunyi jantung akan terjadi frictionrub, tekanan darah, nadi
perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d. Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga
anemia.
e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi
jantung.
f. Berikan obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C, 2014, Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Untuk


Brunner dan Suddart, alih bahasa oleh Yasmin Asih, EGC: Jakarta.
Carpenito L. J, 2015, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Doenges E. M, 2013, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta. Mansjoer A, dan Triyadinti, Savitri, dkk, 2000,
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, penerbit Media Aesculapilis:
Jakarta.
Smeltzer C, Suzanne, dan Brenda G. Bare, 2014, Buku Ajar Keperawatan medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Alih Bahasa Agung Waluyo, Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta .
Sudoyo, Aru W, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dkk, 2006, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Syaefudin, 2015, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa keperawatan, Alih bahasa
Monica Ester, Edisi 3, EGC: Jakarta. Adam, 2015, Medikal Images,
Retrieved Januari 18, 2015, from
http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kidney

Anda mungkin juga menyukai