Anda di halaman 1dari 4

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

A. Definisi
 Hyperplasia Prostatik (HP) merupakan kondisi dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran,
memanjang keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi ofisium
uretra (Brunner &
Suddarth,2001)
 Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria terletak sebelah inferior buli-buli dan
membungkus uretra posterior ( Nursalam, M.Nurs (Hons),2008)

 BPH adalah hyperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah (Arief Mansjoer,2000).

B. Manifestasi Klinis
1. Retensi air kemih dalam kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandungan kemih.
2. Penyempitan urethra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
3. Urin keluar malam hari lebih dari normal.
4. Rasa nyeri pada waktu berkemih.
5. Air kemih masih menetes setelah selesai berkemih.
6. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.

C. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar
prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi .

2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron


Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.

3. Interaksi stroma – epitel


Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming
growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4. Berkurangnya sel yang mati


Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar
prostat.

5. Teori sel stem


Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.

D. Patofisiologi
Pembesaran prostat dapat terjadi akibat beberapa factor, antara lain Dihydrotestosteron, Perubahan
keseimbangan hormon estrogen – testoteron, Interaksi stroma – epitel, Berkurangnya sel yang mati,
dan Teori sel stem. Semua itu menyebabkan kelenjar prostat membesar perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher bulibuli dan daerah prostat
meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat statis urine, dimana sebagian
urine tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
1. Penurunan kekuatan dan caliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan
menetap dari BPH.
2. Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama utnuk dapat melawan resistensi
uretra.
3. Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra samapi akhir miksi.
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak
dalam buli-buli.
4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga
interval antar miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidkstabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involuntor.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urine keluar sedikit-
sedikit secara berkala karena setelah bulibuli mencapai compliance maksimum, teknan dalam buli-buli
akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.

E. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
1. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain:
hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut
gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan
kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok -
septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis,
dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi
terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan
unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
1) Derajat I = beratnya ± 20 gram.
2) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
3) Derajat III = beratnya > 40 gram.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh
data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat
diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non
obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
d. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
e. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
f. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan
buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan
supra pubik.
g. IVP (Pyelografi Intravena)
h. Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
5. Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi
minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dantidak diperbolehkan minum alcohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan control keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaann
colok dubur.

2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergica
Obat-obat yang sering dipakai adalah prasozin, doxazin,terazosin, afluzosin, atau yang lebih selektif
tamzulosin. Penggunaan antagonis adrenergic karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-
buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejalagejala berkurang. Efek samping yang mungkin
timbul adalah pusingpusing (dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.

b. Penghambat enzim 5-a-reduktase


Obat yang dipakai adalah finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Salah satu efek samping obat ini
adalah melemahkan libido, ginekomastia.

3. Pembedahan
a. Indikasi pembedahan pada BPH adalah:
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin > 100 ml.
3) Klien dengan penyulit.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
b. Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95 % )
2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectom
4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .

H. Komplikasi
retensio urine; karena produksi urine terus berlanjut maka suatu saat buli-buli tak sanggup lagi
menampung urine sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis
dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk batu endapan dalam bulibuli. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan
sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi, pasien harus mengedan
sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.

Anda mungkin juga menyukai