Laporan Pendahuluan Mobilisasi Pavio A
Laporan Pendahuluan Mobilisasi Pavio A
OLEH:
MUH. IQBAL YUNUS
18170100073
A. DEFINISI
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara
bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya (A. Aziz Alimul H, 2009).
NANDA Internasional mendefinisikan gangguan mobilisasi fisik sebagai
keterbatasan pada kemandirian, gerakan fisik pada tubuh, atau satu atau lebih ekstremitas
(Ackley dan Ladwign, 2006). Gangguan tingkat mobilisasi fisik klien sering disebabkan
oleh restriksi gerakan dalam bentuk tirah baring, restriksi fisik karena peralatan eksternal
(misalnya gips atau traksi rangka), restriksi gerakan volunter, atau gangguan fungsi
motorik dan rangka.
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat
bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya
mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya (A. Aziz Alimul H. 2009).
B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Tulang
Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi mekanis
untuk membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot, fungsi sebagai tempat
penyimpanan mineral khusunya kalsium dan fosfor yang bisa dilepaskan setiap saat
sesuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum tulang dalam membentuk sel darah, dan fungsi
pelindung organ-organ dalam. Terdapat tiga jenis tulang, yaitu tulang pipih seperti
tulang kepala dan pelvis, tulang kuboid seperti tulang vertebra dan tulang tarsalia, dan
tulang panjang seperti tulang femur dan tibia. Tulang panjang umumnya berbentuk lebar
pada kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian ujung tulang panjang dilapisi oleh
kartilago dan secara anatomis terdiri dari epifisis, metafisis, dan diafisis. Epifisis dan
metafisis terdapat pada kedua ujung tulang yang terpisah dan lebih elastis padas masa
anak-anak serta akan menyatu pada masa dewasa (A. Aziz Alimul H. 2009).
2. Otot dan Tendon
Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh bergerak
sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang, serta dihubungkan
dengan tulang melalui tendon, yaitu suatu jaringan ikat yang melekat dengan sangat
kuat pada tempat insersinya tulang. Terputusnya tendon akan mengakibatkan kontraksi
otot tidak dapat menggerakkan organ di tempat insersi tendon yang bersangkutan,
sehingga diperlukan penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali (A. Aziz
Alimul H. 2009).
3. Ligamen
Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.
Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu jika terputus
akan mengakibatkan ketidakstabilan (A. Aziz Alimul H. 2009).
4. Sistem Saraf
Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otot dan medulla spinalis) dan sistem
saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat). Setiap saraf memiliki bagian somatis
dan otonom. Bagian somatis memiliki fungsi sensorik dan motorik. Terjadinya
kerusakan pada sistem saraf pusat seperti pada fraktur tulang belakang dapat
menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan kerusakan saraf tepi dapat
mengakibatkan terganggunya daerah yang diinsersi, dan kerusakan pada saraf radial
akan mengakibatkan drop hand atau gangguan sensorik di daerah radial tangan (A. Aziz
Alimul H. 2009).
5. Sendi
Merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat
segmentasi dari kerangka tubuh dan memungkinkan gerakan antarsegmen dan berbagai
derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa jenis sendi, misalnya sendi sinovial
yang merupakan sendi kedua ujung tulang berhadapan dilapisi oleh kartilago artikuler,
ruang sendinya tertutup kapsul sendi dan berisi cairan sinovial. Selain itu terdapat juga
sendi bahu, sendi panggul, lutut, dan sendi lainnya (A. Aziz Alimul H. 2009).
C. PROSES KEBUTUHAN MOBILISASI
1. Jenis Mobilisasi
a. Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran
sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motoris volunter dan
sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang (A. Aziz Alimul H.
2009).
b. Mobilisasi sebagian
Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan yang jelas sehingga tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini
dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.
Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi sebagian pada ekstremitas bawah
karena kehilangan kontrol motoris dan sensoris (A. Aziz Alimul H. 2009).
Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal, seperti adanya dislokasi sendi dan
tulang.
2) Mobilisasi sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya tetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem
saraf yang reversibel. Contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi
karena cedera tulang belakang, dan untuk kasus poliomielitis terjadi karena
terganggunya sistem saraf sensorik dan motorik.
2. Kategori tingkat kemampuan mobilisasi
Tingkat Aktivitas/Mobilisasi Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain.
Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
Tingkat 3
peralatan.
Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
Tingkat 4
berpartisipasi dalam perawatan.
D. PATHWAY
Mobilisasi
Stres terjadi
Konstipasi
Gangguan sistem
metabolik
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MOBILISASI
1. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari (A. Aziz Alimul
H. 2009).
2. Proses penyakit/Cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita fraktur femur
akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah. Demikian
pula orang yang baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk
bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidur karena mederita
penyakit tertentu (A. Aziz Alimul H. 2009).
3. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai
contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilisasi yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilisasi (sakit)
karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas (A. Aziz Alimul H. 2009).
4. Tingkat energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup. Seseorang yang
sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang sehat apalagi
dengan seorang pelari (A. Aziz Alimul H. 2009).
5. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda. Hal
ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan manusia. Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam
melakukan mobilisasi. Pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktifitas dan
mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan (A. Aziz Alimul H. 2009).
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
a. muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
b. kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus
c. pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas
d. metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi)
e. eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal
f. integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan
g. neurosensori: sensori deprivation
2. Respon psikososial dari antara lain meningkatkan respon emosional, intelektual, sensori,
dan sosiokultural. Perubahan emosional yang paling umum adalah depresi, perubahan
perilaku, perubahan dalam siklus tidur-bangun, dan gangguan koping.
3. Keterbatasan rentan pergerakan sendi
4. Pergerakan tidak terkoordinasi
5. Penurunan waktu reaksi (lambat)
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko Sindrom Disuse
Faktor Risiko:
a. Perubahan tingkat kesadaran
b. Imobilitas Mekanis
c. Paralisis
d. Program Imobilisasi
e. Nyeri Hebat
6. Hambatan Berjalan
Batasan Karakteristik:
a. Hambatan kemampuan menaiki tangga
b. Hambatan menyusuri tepi jalan
c. Hambatan kemampuan berjalan di jalan menurun
d. Hambatan kemapuan berjalan di jalan menanjak
e. Hambatan kemampuan berjalan di permukaan tidak rata
f. Hambatan kemampuan berjalan dengan jarak tertentu
Faktor yang berhubungan:
a. Gangguan kognitif
b. Kondisi fisik tidak bugar
c. Kendala lingkungan (missal: tangga, tanjakan, permukaan tidak rata, rintangan yang
membahayakan, jarak, kurang alat bantu atau individu lain yang akan membantu dan
restrain)
d. Gangguan keseimbangan
e. Gangguan penglihatan
f. Kekuatan otot tidak memadai
g. Kurang pengetahuan
h. Gangguan musculoskeletal (missal: kontraktur)
i. Gangguan neuromuscular
j. Obesitas
k. Nyeri
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. NOC:
Joint Movement : Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
2. NIC
Exercise therapy : ambulation
a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
g. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul H., A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Perry, Potter. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7.Jakarta: Salemba Medika.
Suparmi, Yulia, dkk. 2010. Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: PT Citra Aji
Pramana.