Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

MANAGEMEN NYERI

Pembimbing:

dr. R. Pracahyo Wibowo, SpAn. M.Kes

Oleh:
Arliza Prasetyawati
406172032

KEPANITERAAN ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI

PERIODE 31 DESEMBER 2018 s/d 03 FEBRUARI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Manajemen Nyeri

Disusun oleh :

Arliza Prasetyawati /406172032

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesi
RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 23 Januari 2019

dr. R. Pracahyo Wibowo, Sp.An. M. Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat dengan topik “Manajemen Nyeri”

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. R. Pracahyo Wibowo, Sp.An. M. Kes


2. dr. Rudi Hartono, Sp.An
3. dr. Helen Yudi Irianto, Sp.An

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan ilmu
anestesi RSUD Ciawi sejak tanggal 31 Desember 2018 – 03 Februari 2019.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Ciawi, 23 Januati 2019

Penulis

3
DAFTAR PUSTAKA

Lembar Pengesahan .............................................................................................................2

Kata Pengantar .....................................................................................................................3

Daftar Isi ..............................................................................................................................4

Bab I

Pendahuluan .........................................................................................................................5

Bab II

Nyeri .................................................................................................................................6

Bab III

Manajemen Nyeri...............................................................................................................21

Bab IV

Kesimpulan ........................................................................................................................33

Daftar Pustaka ....................................................................................................................35

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat
yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi
lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori
tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the Study
of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau
keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan definisi tersebut
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan
komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3,4
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi
manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan
membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan
derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ.2 Bila tidak teratasi dengan baik
nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan gangguan
kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas.5
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang
tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya
nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita.
Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat
berkembang menjadi nyeri kronik.2
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya
berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Di
lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.

5
BAB II

NYERI

2.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi
sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1 Sedangkan nyeri
akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi
otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan
umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 1,5
2.2. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri
biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot
rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis,
perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri
parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

6
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf
perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker
pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas
dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak
pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin
terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada
nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri
akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2


a. Nyeri akut

Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan
midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat
berupa :

1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa

2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat

3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral

b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali
serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah

7
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf

2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll


Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik

b. Nyeri non onkologik


Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan dering terjaga akibat nyeri.

2.3 Fisiologi Nyeri

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada
jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa
komponen (gambar 2.1):6

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal
eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan


ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus (orde
2).

8
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)

Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas10


f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).

g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.

2.4 Patofisiologi Nyeri


Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan
akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat
algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan
beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain,
seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2,3
Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri.3
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
Nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan

9
Prostaglandin Asam Arakidonat & sel rusak ± Sensitisasi
Lekotrien Asam Arakidonat & sel rusak ± Sensitisasi

Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi

Gambar 2.2 Fisiologi nyeri6

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai


dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses
nosisepsi yaitu:2,3
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-
ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,
substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas
serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit,
periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan
C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari

10
perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul
proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi
meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai
diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat
(12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis
kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada
nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung
ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang
berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan
menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-
delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara
impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem
inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi
yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel
nyeri.

11
Gambar 2.3. Proses perjalanan nyeri10

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan
serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi.
Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula
neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan
serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan
polipeptida.
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel
mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6

12
Gambar 2.4. Skema Sensitasi perifer11

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion


kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai
dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak.
Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada
daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi
perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan
anti enzim siklooksigenase.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron
kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus
noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari
serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama.
Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri
atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif
terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range
neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius

13
yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga
terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu
dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi
sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih
sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan
bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti
plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah
diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut
aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang
sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi
sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan
berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua,
terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial
ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara
normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-
perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan
terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan
meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu
dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen
yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti
bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang
superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan
hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious
dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk
suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada
kerusakan saraf.

14
Gambar 2.5. Skema sensitasi sentral11

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer.
Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan
baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui
bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun
bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti
pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA
tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat
mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan
batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan
juga merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO
terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan
bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi
enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan
NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel
saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor

15
NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi
dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan
analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin,
analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya
“wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil
penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan
difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat
spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian
ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-
emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah
terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan
nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian
obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya
sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika
diberikan secara sentral.

2.5 Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri


Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh
serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis,
juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla
spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat
saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan
juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis
memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan
aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen,
gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon
suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang
menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8

16
Gambar 2.6. Respon tubuh terhadap nyeri6
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan sistem
simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan.
Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan
hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit
sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem
pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks
menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya
atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi
katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi
hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah
secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan
kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih
memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.3,8

17
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas
saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus
dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami
pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen
memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 3,8
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme
otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap
nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan
menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar
katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini
mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis.
Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi
karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi
natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler. 3,8
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.3
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi
sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah
terinfeksi.3
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan,
agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat
menyebabkan depresi.8
i. Homeostasis cairan dan elektrolit

18
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan
produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium,
magnesium dan elektrolit lainnya.8
2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :1,7
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas
nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa
kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none)
- nyeri ringan (mild)
- nyeri sedang (moderate)
- nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas
nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10.
”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.7. Numeric pain intensity scale7


3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri
yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri
yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam

19
berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8
tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

4.McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang
dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif
dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
5. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

20
BAB III

MANAJEMEN NYERI

Masalah nyeri pasca bedah yang persisten,didefinisikan sebagai nyeri kronis yang
terus berlanjut dengan periode penyembuhan khas 1-2 bulan berikutnya — atau melewati
periode normal untuk pasca operasi tindak lanjut oleh penyedia anestesi, semakin diakui
sebagai hal yang umum dan signifikan tidak bisa diabaikan setelah operasi.
Insiden nyeri pasca operasi yang persisten dapat melebihi 30% setelah beberapa
operasi, terutama amputasi, torakotomi, mastektomi, dan herniorrhaphy inguinalis. Meskipun
penyebabnya tidak jelas, beberapa faktor resiko telah diidentifikasi (Gambar 3.1), dan kontrol
nyeri perioperatif agresif multimodal sering disarankan sebagai tindakan pencegahan mendasar
strategi.

Gambar 3.1 Faktor Resiko untuk Nyeri Persisten Pasca Operasi

3.1 Periode Preoperative


3.1.1 Edukasi Pasien
Kerja sama dari pasien dan keluarga sangat penting jika ERP (enhanced recovery
programs) akan diterapkan secara efektif. Edukasi Pra operasi harus menggunakan
bahasa yang sederhana dan hindari jargon medis. Bahan cetak yang dirancang
dengan baik, seperti buklet khusus prosedur dapat diberikan kepada pasien dan
keluarga dengan saran untuk menjaga mereka di samping tempat tidur dan
menggunakannya selama rawat inap.

21
3.1.2 Penilaian Resiko Pra Operasi & Optimalisasi Status Fugsional
Identifikasi pasien yang berisiko, komplikasi pada intra operasi dan pasca operasi,
bersama dengan upaya pra operasi yang berfokus pada komorbiditas, dapat
meningkatkan pemulihan bedah.Penilaian. Meskipun pedoman internasional
mengevaluasi risiko untuk mengembangkan kardiovaskular, pernapasan, atau
komplikasi metabolik telah meluas Ulasan dan diterbitkan, sedikit perhatian telah
diberikan untuk penilaian dan optimalisasi pra operasi status fungsional dan
fisiologis.

3.1.3 Pedoman Untuk Asupan Makanan & Cairan


Puasa pra operasi dan stres operasi menyebabkan resistensi insulin.
Selanjutnya, pasien yang tidak diizinkan untuk minum setelah puasa semalam dan
pasien yang menerima pengalaman persiapan usus dehidrasi, yang dapat
meningkatkan ketidak nyamanan dan menyebabkan kantuk dan pusing kepala
ortostatik. Meskipun puasa telah diadvokasi sebagai pra operasi strategi untuk
meminimalkan risiko aspirasi paru selama induksi anestesi, manfaat ini harus
ditimbang terhadap aspek merugikan praktik ini.

Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa menghindari puasa pra operasi


dan memastikan hidrasi yang memadai dan pasokan energi dapat memoderasi pasca
operasi esistensi insulin. Semua pedoman puasa internasional biarkan cairan bening
hingga 2 jam sebelum induksi anestesi pada pasien dengan risiko rendah untuk
aspirasi paru. Praktek ini telah terbukti untuk menjadi aman bahkan pada pasien
gemuk yang tidak sehat. Selanjutnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pra
operasi pemberian minuman karbohidrat (100-g Dosis diberikan pada malam
sebelum operasi dan 50 g kedua, 2-3 jam sebelum induksi anestesi) aman; dapat
mengurangi resistensi insulin, kelaparan, kelelahan, dan mual dan muntah pasca
operasi (PONV); dan secara positif memengaruhi status kekebalan. Apalagi
kehilangan nitrogen pasca operasi dan kehilangan massa otot rangka dilemahkan.
3.2 Periode Intraoperative
3.2.1 Profilaksis Antitrombosis
Profilaksis antitrombotik mengurangi tromboemboli vena dan morbiditas
terkait kematian. Kedua perangkat kompresi pneumatik dan obat antikoagulan
sekarang umum digunakan. Karena teknik anestesi neuraxial adalah biasa
digunakan untuk banyak pasien selama operasi abdominal, vaskular toraks dan
ortopedi, waktu dan administrasi yang tepat agen antitrombotik dalam kasus ini
sangat penting pentingnya untuk menghindari risiko epidural hematoma.
3.2.2 Profilaksis Antibiotik
Pemilihan dan waktu profilaksis antibiotik yang tepat mengurangi risiko
infeksi pada tempat pembedahan. Antibiotik harus diberikandalam 1 jam sebelum
sayatan kulit dan, berdasarkan waktu paruh plasma mereka, harus diulang selama
operasi yang berkepanjangan untuk memastikan konsentrasi jaringan yang
memadai.Profilaksis antibiotik harus dihentikan dalam waktu 24 jam setelah
pembedahan (pedoman saat ini memungkinkan kardiotoraks pasien untuk
menerima antibiotik selama 48 jam berikut operasi).
3.2.3 Strategi Untuk Meminimalisis Respon Stress Operasi
Respon stres bedah ditandai oleh neuroendokrin, perubahan
metabolisme, dan inflamasi disebabkan oleh sayatan bedah dan selanjutnya
prosedur yang dapat mempengaruhi fungsi organ dan hasil perioperatif, terutama
pada lansia dan pasien yang terganggu secara fisiologis. Besarnya respon stres
bedah terkait dengan intensitas rangsangan bedah; dapat diperkuat oleh faktor lain,
termasuk hipotermia dan psikologis; dan dapat diringankan dengan intervensi
perioperative intervensi, termasuk rencana yang lebih dalam anestesi umum,
blokade saraf, dan reduksi dalam tingkat invasi bedah.
a. Minimalisir Operasi Invasif
Prosedur laparoskopi dikaitkan dengan penurunan insiden komplikasi bedah,
terutama infeksi stempat pembedahan, dibandingkan dengan prosedur yang
sama dilakukan dengan cara "terbuka". Kolesistektomi laparoskopi
menghasilkan masa rawat inap yang lebih pendek dan komplikasi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka, dan hasil serupa telah
dilaporkan untuk operasi kolorektal.
b. Anestesi Regional/Teknik Analgesia
Berbagai prosedur bedah jalur cepat telah mengambil keuntungan dari efek
klinis dan metabolik yang menguntungkan dari teknik anestesi / analgesia
regional (Gambar 3.2)

23
Gambar 3.2 Program operasi jalur cepat yang menggabungkan anestesi
regional / teknik analgesia
Anestesi / analgesia epidural lumbar harus tidak dianjurkan untuk
operasi perut karena seringkali tidak memberikan analgesia segmental yang
memadai untuk sayatan perut. Selain itu, sering menyebabkan retensi urin dan
blokade sensorik dan motorik tungkai bawah, meningkatkan kebutuhan untuk
kateter drainase urin (disertai peningkatan risiko infeksi saluran kemih),
menunda mobilisasi dan pemulihan, dan meningkatkan risiko jatuh.
Blokade epidural menggunakan larutan anestesi lokal dan opioid dosis
rendah memberikan analgesia postoperatif yang lebih baik saat istirahat dan
dengan pergerakan daripada opioid sistemik. (Gambar 3.3 & Gambar 3.4)

Gambar 3.3 Daerah optimal untuk


menempatkan kateter epidural di tulang
belakang orang dewasa ketika
memberikan anestesi / analgesia epidural
untuk prosedur toraks dan abdominal

24
Gambar 3.4

c. Intravena Lidocaine
Lidocaine (bolus intravena 100 mg atau 1,5-2 mg / kg, diikuti oleh infus
intravena terus menerus 1,5-3 mg / kg / jam atau 2-3 mg / jam) memiliki sifat
analgesik, antihyperalgesik, dan antiinflamasi. Pada pasien yang menjalani
operasi prostat kolorektal dan radikal retropubik, lidokain intravena telah
terbukti mengurangi kebutuhan opioid dan agen anestesi umum, untuk
menyediakan analgesia yang memuaskan, untuk memfasilitasi kembalinya
fungsi usus dini, dan untuk mempercepat keluarnya rumah sakit.
d. Terapi B-Bloker
β Blocker telah digunakan untuk menumpulkan respon simpatis selama
laringoskopi dan intubasi dan untuk menipiskan peningkatan tekanan akibat
bedah dalam katekolamin yang bersirkulasi. Mereka juga telah terbukti
mencegah kejadian kardiovaskular perioperatif di pasien yang berisiko
menjalani operasi non-kardiak dan untuk membantu menjaga stabilitas
hemodinamik selama periode intraoperatif dan selama kegawatan dari anestesi.
e. Terapi A2-Agonist
Baik clonidine dan dexmedetomidine memiliki sifat anestesi dan analgesik. Clonidine
mengurangi rasa sakit pasca operasi, mengurangi konsumsi opioid dan efek samping
terkait opioid, dan memperpanjang blokade anestesi lokal neuraxial dan saraf perifer.
Pada pasien yang menjalani pembedahan fast-track kardiovaskular, spinal morfin
dengan clonidine mengurangiurang waktu ekstubasi, memberikan analgesia yang
efektif, dan meningkatkan kualitas pemulihan.

25
3.2.4 Penggunaan Intravena & Inhalasi Agen Kerja Pendek
A. Anestesi Intravena
Propofol intravena adalah sedasi dalam dan agen induksi anestesi umum pilihan
untuk banyak prosedur bedah, dan dapat mengurangi risiko mual-muntah pasca
operasi.
B. Anestesi Inhalasi
Dibandingkan dengan agen anestesi volatil lainnya, desflurane dan sevoflurane
dapat mempersingkat kemunculan anestesi, mengurangi lama rawat inap di unit
perawatan post anesthesia, dan mengurangi biaya terkait pemulihan. Bila
dibandingkan dengan propofol, semua agen inhalasi meningkatkan risiko
PONV. Nitro oksida, karena efek anestesi dan analgesik-hemat, profil
farmakokinetik yang cepat, dan biaya murah, sering diberikan dengan agen
inhalasi lainnya. Namun, penggunaannya dapat meningkatkan risiko PONV,
dan nitro oksida sering dihindari pada pasien dengan faktor risiko untuk PONV.
Selain itu, penggunaan nitro oksida selama operasi laparoskopi dapat membuat
usus buncit dan mengganggu pandangan ahli bedah terhadap struktur anatomi.
C. Opioid
Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanil, dan remifentanil umumnya
digunakan selama operasi jalur cepat dalam kombinasi dengan agen inhalasi
atau propofol, dan dengan teknik analgesia regional. Namun, pemberian
remifentanil secara intraoperatif pada pasien yang akan mengalami nyeri
pascaoperasi yang luas telah dikaitkan dengan hiperalgesia yang diinduksi
opioid, toleransi opioid akut, dan peningkatan kebutuhan analgesik selama
periode pasca operasi.
D. Muscle Relaxants
Suksinilkolin (relaksan otot kerja pendek) dan relaksan otot kerja-menengah
seperti rocuronium, atracurium, dan cisatracurium umumnya digunakan untuk
meminimalkan risiko relaksasi otot yang tidak terencana dan berkepanjangan.
Mereka dipilih untuk memfasilitasi ekstubasi trakea sambil mengurangi risiko
blokade residu selama pemulihan anestesi.

26
3.2.5 Pemeliharaan Suhu Normal
Efek penghambatan agen anestesi pada termoregulasi, paparan lingkungan bedah
yang relatif dingin, dan kehilangan panas intraoperatif melalui bidang bedah dapat
menyebabkan hipotermia intraoperatif pada semua pasien yang menjalani prosedur
bedah dengan anestesi umum atau regional. Durasi dan luasnya prosedur bedah
berkorelasi langsung dengan risiko hipotermia. Hipotermia perioperatif, dengan
meningkatkan pelepasan simpatis dan menghambat respons seluler seluler,
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan risiko infeksi luka. Penurunan suhu
tubuh inti 1,9 ° C tiga kali lipat timbulnya luka bedah infeksi. Risiko perdarahan
dan kebutuhan transfusi darah juga meningkat dengan hipotermia. Selain itu,
dengan mengganggu metabolisme banyak agen anestesi, hipotermia secara
signifikan memperpanjang pemulihan anestesi.
3.2.6 Pemeliharaan Oksigenasi yang Adekuat
Stres bedah menyebabkan gangguan fungsi paru dan vasokonstriksi perifer,
mengakibatkan arteri dan hipoksemia jaringan lokal. Hipoksia perioperatif dapat
meningkatkan komplikasi kardiovaskular dan serebral, dan banyak strategi harus
diadopsi selama periode perioperatif untuk mencegah perkembangannya.
Pemeliharaan oksigenasi perioperatif yang memadai dengan suplementasi oksigen
telah dikaitkan dengan peningkatan beberapa hasil yang relevan secara klinis tanpa
meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi. Memastikan pemulihan
neuromuskuler blokade dapat mengurangi hipoksemia pasca operasi awal.
Konsentrasi oksigen yang diinspirasi saat intraoperatif dan pasca operasi (selama 2
jam) 80% telah digunakan arteri dan subkutan terkait dengan peningkatan tekanan
oksigen, penurunan tingkat infeksi luka, dan insidensi PONV yang lebih rendah,
tetapi tanpa peningkatan potensi komplikasi yang terkait dengan fraksi oksigen
tinggi, seperti atelektasis dan hiperkapnia.
Namun, keuntungan ini belum dikonfirmasi dalam percobaan besar, secara acak,
pasien yang menjalani laparotomi elektif. Penggunaan teknik anestesi regional,
dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik, juga dapat meningkatkan perfusi
dan oksigenasi jaringan perifer yang dalam. Akhirnya menghindari tirah baring, dan
mendorong mobilisasi dini dan fisioterapi, juga dapat meningkatkan oksigenasi
jaringan pusat dan perifer pasca operasi.

27
3.2.7 Profilaksis Mual & Muntah Pasca Operasi
Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah komplikasi yang sering dikaitkan
dengan obat anestesi yang menunda pemberian makan dini dan pemulihan dari
operasi. Strategi perioperatif untuk meminimalkan PONV sangat dianjurkan untuk
semua jenis operasi, dan pedoman konsensus untuk pencegahan dan manajemen
PONV tersedia dalam literatur saat ini.
3.2.8 Pencapaina Terapi Cairan & Hemodinamik
Konsep tujuan terapi cairan yang diarahkan pada optimalisasi langkah-langkah
hemodinamik seperti detak jantung, tekanan darah, stroke volume, variasi tekanan
nadi, dan variasi stroke volume yang diperoleh oleh perangkat output jantung
noninvasif seperti analisis bentuk gelombang arteri kontur nadi , ekokardiografi
transesofagus, atau esofagus.Jenis cairan yang diinfuskan juga penting: kristaloid
isotonik harus digunakan untuk menggantikan kehilangan ekstraseluler, sedangkan
koloid iso-onkotik diperlukan untuk menggantikan volume intravaskular.
Gambar 3.5

3.3 Periode Post Operative


3.3.1 Cara untuk mengurangi menggigil post operasi
Penyebab utama dari menggigil pasca operasi adalah hipotermia perioperatif,
meskipun yang lain, tidak menyebabkan regulasi, mekanisme mungkin terlibat.
Menggigil pasca operasi dapat sangat meningkatkan konsumsi oksigen, pelepasan
katekolamin, curah jantung, denyut jantung dan tekanan darah, dan tekanan
intraserebral dan intraokular. Ini meningkatkan morbiditas kardiovaskular,
terutama pada pasien usia lanjut, dan meningkatkan lama tinggal di unit perawatan

28
postanesthesia. Banyak obat, terutama meperidine, clonidine, dan tramadol, dapat
digunakan untuk mengurangi menggigil pasca operasi; Namun, pencegahan
hipotermia adalah strategi yang paling efisien.
3.3.2 Terapi Mual & Muntah pasca operasi
Perawatan farmakologis PONV harus segera dimulai begitu penyebab medis atau
bedah PONV telah dikesampingkan.
3.3.3 Multimodal Analgesik
Alasan ilmiah untuk multimodal analgesia adalah untuk menggabungkan berbagai
kelas obat, memiliki farmakologis (multimodal) yang berbeda mekanisme aksi dan
aditif atau efek sinergis, untuk mengontrol beberapa faktor patofisiologis
perioperatif yang menyebabkan nyeri pasca operasi dan sekuelnya. Pendekatan
semacam itu dapat mencapai efek analgesik yang diinginkan sambil mengurangi
dosis analgesik dan efek samping yang terkait, dan sering kali mencakup
pemanfaatan teknik analgesik regional seperti infus anestesi lokal, analgesia
epidural atau intratekal, atau blokade saraf blok perifer atau tunggal.
1. NSAID
Penambahan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) ke opioid sistemik
mengurangi intensitas nyeri pasca operasi, mengurangi kebutuhan opioid
sekitar 30%, dan mengurangi efek samping terkait opioid seperti PONV dan
sedasi. Namun, NSAID dapat meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna
dan pasca operasi, menurunkan fungsi ginjal, meningkatkan risiko kebocoran
anastomosis setelah operasi kolorektal, dan mengganggu penyembuhan luka.
Pemberian cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor perioperatif juga mengurangi
rasa sakit pasca operasi dan mengurangi konsumsi opioid dan efek samping
yang terkait opioid, dan sementara penggunaannya telah mengurangi kejadian
disfungsi platelet terkait NSAID dan perdarahan gastrointestinal, efek samping
penghambat COX-2 pada fungsi ginjal tetap kontroversial. Kekhawatiran juga
telah diangkat mengenai keamanan mereka untuk pasien yang menjalani operasi
kardiovaskular; ini berpusat pada rofecoxib dan valdecoxib, secara spesifik.
Peningkatan risiko kardiovaskular terkait dengan penggunaan celecoxib atau
valdecoxib perioperatif pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular
minimal dan menjalani operasi nonvaskular belum terbukti

29
2. Acetaminophen (Paracetamol)
Acetaminophen oral, rektal, dan parenteral adalah komponen yang umum dari
analgesia multimoda. Efek analgesik asetaminofen adalah 20-30% lebih rendah
daripada NSAID, tetapi profil farmakologisnya lebih aman. Kemanjuran
analgesik meningkat ketika obat diberikan bersama dengan NSAID, dan secara
signifikan mengurangi intensitas nyeri dan menghemat konsumsi opioid setelah
operasi ortopedi dan perut. Namun, acetaminophen mungkin tidak mengurangi
efek samping yang berhubungan dengan opioid. Pemberian acetaminophen
secara rutin dalam kombinasi dengan anestesi regional dan teknik analgesia
dapat memungkinkan NSAID dan COX-2 inhibitor dicadangkan untuk
mengendalikan nyeri terobosan, sehingga membatasi timbulnya efek samping
terkait NSAID.
3. Opioid
Terlepas dari meningkatnya penggunaan obat analgesik dan adjuvan non opioid
baru dan teknik anestesi dan analgesia regional yang dimaksudkan untuk
meminimalkan kebutuhan opioid dan efek samping terkait opioid, penggunaan
opioid sistemik tetap menjadi landasan dalam pengelolaan nyeri bedah. Opioid
parenteral sering diresepkan pada periode pasca operasi selama fase transisi ke
analgesia oral. Pemberian opioid dengan analgesia yang dikendalikan pasien
(PCA) memberikan kontrol nyeri yang lebih baik, kepuasan pasien yang lebih
besar, dan lebih sedikit efek samping opioid bila dibandingkan dengan
pemberian opioid parenteral sesuai permintaan. Pemberian opioid oral, seperti
pelepasan segera dan pelepasan terkontrol oxycodone atau hydromorphone,
dalam kombinasi dengan NSAID atau acetaminophen, atau keduanya,
umumnya digunakan pada periode perioperatif. Pemberian oxycodone pelepas
perpanjang pra-operatif pada pasien yang menjalani operasi dengan durasi
singkat memberikan konsentrasi plasma dan analgesia yang memadai setelah
penghentian infus remifentanil. Tramadol, agonis opioid parsial, telah dikaitkan
dengan peningkatan insiden PONV.

30
4. Epidural analgesia
Selain memberikan analgesia yang sangat baik, blokade epidural menumpulkan
respon stres yang terkait dengan operasi, mengurangi morbiditas pasca operasi,
melemahkan katabolisme, dan mempercepat pemulihan fungsional pasca
operasi. Dibandingkan dengan analgesia opioid sistemik, analgesia epidural
toraks memberikan penghilang nyeri statis dan dinamis yang lebih baik.
Anestesi lokal long-acting seperti ropivacaine (0,2%), bupivacaine (0,1-
0,125%), dan levobupivacaine (0,1-0,125%) biasanya diberikan bersama
dengan opioid lipofilik melalui infus epidural terus menerus atau dengan
analgesia epidural yang dikendalikan oleh pasien (PCEA) . Pemberian anestesi
lokal dosis rendah melalui infus epidural toraks menghindari blokade motorik

31
ekstremitas bawah yang dapat menunda mobilisasi dan pemulihan pasca
operasi. Menambahkan fentanyl atau sufentanil ke anestesi lokal epidural
meningkatkan kualitas analgesia pasca operasi tanpa menunda pemulihan
fungsi usus. Analgesia epidural toraks tinggi telah diperkenalkan pada pasien
yang menjalani operasi jantung berdasarkan data dari uji klinis acak kecil yang
menunjukkan efek menguntungkan pada hasil pasca operasi.
5. Blokade saraf perifer
Blokade saraf tepi tunggal dan terus menerus sering digunakan untuk operasi
ortopedi rawat jalan dan rawat inap cepat, dan dapat mempercepat pemulihan
dari operasi dan meningkatkan analgesia dan kepuasan pasien. Efek hemat
opioid dari blok saraf meminimalkan risiko efek samping terkait opioid.
Pemilihan pasien yang tepat dan kepatuhan yang ketat terhadap jalur klinis
institusional membantu memastikan keberhasilan blokade saraf perifer sebagai
teknik analgesia ortopedi jalur cepat. Blokade saraf perifer juga telah digunakan
sebagai komponen analgesia multimoda untuk operasi perut; misalnya,
Transverseus Blok abdominis plane (TAP) pada pasien yang menjalani
histerektomi abdominal total memberikan analgesia efektif dan mengurangi
konsumsi morfin dan sedasi bila dibandingkan dengan pasien yang menerima
morfin saja melalui PCA.
6. Infus anestesi local
Kemanjuran analgesik infus anestesi lokal telah didirikan untuk beberapa
prosedur bedah. Hasil yang tidak konsisten mungkin disebabkan oleh faktor-
faktor yang meliputi jenis, konsentrasi, dan dosis anestesi lokal, teknik
penempatan kateter dan jenis kateter, cara pemberian anestesi lokal, lokasi
sayatan, dan pelepasan kateter selama mobilisasi pasien.

32
BAB IV

KESIMPULAN

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai
saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu
proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang
mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan
dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam
manajemen nyeri sebagai berikut :
 Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.

 Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
seseorang sedang berpura-pura nyeri.

 Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.

 Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.

 Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.

 Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,
tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.

 Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’

 Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)
Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya biasanya
lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju proses
penyembuhan jaringan yang sakit. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih
dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga
diatasi.Pengobatan yang direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada

33
proses penyakit yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang
patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang
diderita oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.

3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI, Jakarta, 2001.

4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s


Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, editor Bahasa Indonesia
: dr. Nella Yesdelita Edisi 6. Jakarta: EGC. 2012.
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. Mellattii,, Endang..,, Pediiattriic Paiin Managementt In Trauma,, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

35

Anda mungkin juga menyukai