Anda di halaman 1dari 50

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas)

A. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA meliputi tiga unsur
yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan pengertian (Yudarmawan, 2012),
sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian
bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan
batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

B. Etiologi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan
heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis
virus, bakteri, riketsia dan jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan mikrovirus
(termasuk di dalamnya virus influenza, virus pra-influensa dan virus campak), dan
adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya: streptokokus hemolitikus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofils influenza, bordetella pertusis dan karinebakterium diffteria (Arifin,
2009). Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan
bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak
yang kekebalan tubuhnya lemah.
Golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus para-influenza, virus influenza, dan virus campak) dan adenovirus. Virus
para-influenza merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan
penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar
terjadinya sidroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan
anak-anak, virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran
nafas bagian atas dari pada saluran nafas bagian bawah (Arifin, 2009).
Jumlah penderita infeksi pernapasan akut sebagian besar terjadi pada anak. Infeksi
pernapasan akut mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah
kesehatan yang ada (R.Haryono-Dwi Rahmawati H, 2012).

C. Gejala ISPA
Menurut WHO (2007), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini
timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena
kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal
dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus
encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung
bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi
saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum
gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak
napas, mengi atau kesulitan bernapas.

D. Cara penularan penyakit ISPA


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara
penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui
kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab (WHO, 2007).

E. Diagnosis ISPA
Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh utama balita
di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di
dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1
balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya
disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia
disebut sebagai “pandemic yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak
banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh
Balita yang terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011). Diagnosis
etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya
sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil
yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya
biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat
diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara
ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia
pada balita, namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut,
diagnosis bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil
penelitian melalui publikasi WHO, menyatakan bahwa Streptococcus, Pnemonia dan
Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi
di negara berkembang.
Di negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus. Diagnosis pnemonia
pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai
peningkata frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Penentuan napas cepat dilakukan
dengan cara menghitung frekuensi pernapasan dengan menggunakan sound timer.
Batas napas cepat (Kemenkes RI, 2011) adalah :
1. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau
lebih.
2. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit
atau lebih.
3. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 40 kali per menit
atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan
adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan
penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas yang
disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan
pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis,
tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.

F. Klasifikasi ISPA
1. Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011), sebagai berikut :
a. Kelompok umur <2 bulan, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan
cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis
sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
2) Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
b. Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
2) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
3) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas) tanpa
pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.
5) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.
c. Kelompok umur dewasa yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk terkena
pneumonia (Kurniawan dan Israr, 2009), yaitu :
1) Usia lebih dari 65 tahun
2) Merokok
3) Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan
penyakit kronis lain.
4) Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan
emfisema.
5) Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan
penyakit jantung.
6) Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ,
kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
7) Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obatobatan
sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
8) Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus.
2. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2005), sebagai berikut :
a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media,
faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

G. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA


1. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara
akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan
sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common
cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada
manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo (WHO,
2007).
2. Manusia
a. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Anom (2006), risiko untuk terkena ISPA pada
anak yang lebih muda umurnya lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih
tua umurnya. Dari hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh umur terhadap
kejadian ISPA pada anak Balita. Dengan demikian, umur merupakan determinan
dari kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Blahbatuh II,
dengan risiko untuk mendapatkan ISPA pada anak Balita yang berumur <3 tahun
sebesar 2,56 kali lebih besar daripada anak Balita yang berumur ≥3 tahun. Hal
berbeda justru terlihat dari hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009) yang
menyebutkan bahwa yang berusia di atas 15 tahun lebih banyak menderita sakit
ISPA (61,83 %) dibandingkan dengan yang berusia di bawah 15 tahun (38,17%).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009),
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama
ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa
penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6 tahun.
c. Status gizi
Hasil penelitian Nuryanto (2012) di Palembang menyebutkan bahwa balita
yang status gizinya kurang menyebabkan ISPA sebesar 29,91 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi baik.
d. Berat badan lahir rendah
Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota Makkasar,
didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu <2.500 gram,
menderita pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p =
0.001 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p < α,
berarti ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian
pneumonia.
e. Status ASI eksklusif
Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhka dalam proses
tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-
infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara
akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan
(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis
makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi
lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu
formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau
susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa
mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi post natal. Berdasarkan hasil
penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA sering lebih banyak terjadi pada
anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan secara parsial sebesar 87,5 % dan pola
pemberian ASI secara predominan sebagian besar mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak mengalami kejadian ISPA terjadi
pada anak dengan pola pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak
diberikan ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali
lebih tinggi dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak
ada hubungan antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi
kejadian ISPA yang sering pada anak usia 6-12 bulan.
f. Status imunisasi
Menurut Depkes RI (2007), imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi
seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari
penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa
pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan
kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit,
seperti : polio (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus,
dan pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada
dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3 kali : 2-11 bulan,
Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1 kali : 9-11 bulan, Hepatitis B 3 kali : 0-11 bulan.
Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1 kali adalah 4 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Catiyas (2012), ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita yang status
imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita
penyakit ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian penyakit ISPA.
Faktor lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar rumah. Untuk
faktor yang berasal dari dalam rumah sangat dipengaruhi oleh kualitas sanitasi dari
rumah itu sendiri, seperti :
a. Kelembaban ruangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah
40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab
ISPA (Kemenkes RI, 2011). Penelitian Nindya dan Sulistyorini (2005), tentang
hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita yang dilakukan
di tiga daerah yang berbeda, yaitu di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan
Rungkut Kota Surabaya, Desa Sidomulyo Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo,
dan di Desa Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara didapatkan
bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap ISPA pada balita.
b. Suhu ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
30⁰C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 18⁰C atau di atas 30⁰C,
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011)
c. Penerangan alami
Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu
rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan perasaan
kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu ruangan
yang terlalu banyak mendapatkan cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga
ruangan menjadi tidak sehat. Agar rumah atau ruangan mempunyai sistem cahaya
yang baik, dapat dipergunakan dua cara (Kemenkes RI, 2011), yaitu :
1) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,
seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Pencahayaan alami dianggap baik
jika besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat
jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam
ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di
samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi
penempatan jendelapun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar
matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
2) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan.
d. Ventilasi
Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena ventilasi
mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk dan keluar angin
sekaligus udara dari luar ke dalam dan sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai
lubang ventilasi, maka ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu
dibuka. Untuk lebih memberikan kesejukan, sebaiknya jendela dan lubang angin
menghadap ke arah datangnya angin, diusahakan juga aliran angin tidak terhalang
sehingga terjadi ventilasi silang (cross ventilation). Fungsi ke dua dari jendela
adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar (cahaya alam/matahari). Suatu
ruangan yang tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik akan menimbulkan
beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar
karbon dioksida, bau pengap, suhu dan kelembaban udara meningkat. Keadaan
yang demikian dapat merugikan kesehatan dan atau kehidupan dari penghuninya,
bukti yang nyata pada kesehatan menunjukkan terjadinya penyakit pernapasan,
alergi, iritasi membrane mucus dan kanker paru. Sirkulasi udara dalam rumah akan
baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
10% dari luas lantai. Berdasarkan hasil penelitian Yudarmawan (2012), prevalensi
rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi
syarat kesehatan sebesar 56,5%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat
kesehatan sebesar 43,5%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05), nilai
sig p=0,003.
e. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam
rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan
hunian ruang tidur menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
adalah minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun.
f. Penggunaan anti nyamuk
Pemakaian obat nyamuk bakar merupakan salah satu penghasil bahan
pencemar dalam ruang. Obat nyamuk bakar menggunakan bahan aktif
octachloroprophyl eter yang apabila dibakar maka bahan tersebut menghasilkan
bischloromethyl eter (BCME) yang diketahui menjadi pemicu penyakit kanker, juga
bisa menyebabkan iritasi pada kulit, mata, tenggorokan dan paru-paru (Kemenkes
RI, 2011).
g. Bahan bakar untuk memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat
menyebabkan kualitas udara menjadi rusak, terutama akibat penggunaan energi
yang tidak ramah lingkungan, serta penggunaan sumber energi yang relatif murah
seperti batubara dan biomasa (kayu, kotoran kering dari hewan ternak, residu
pertanian) (Kemenkes RI, 2011).

h. Keberadaan perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia 200 di antaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2011a). Berdasarkan hasil penelitian Nasution et al. (2009) serta
Winarni et al. (2010), didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan asap
rokok dengan kejadian ISPA pada Balita.
i. Debu rumah
Menurut Kemenkes RI (2011), partikel debu diameter 2,5μ (PM2,5) dan
Partikel debu diameter 10μ (PM10) dapat menyebabkan pneumonia, gangguan
system pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis kronis. PM2,5 dapat masuk ke
dalam paru yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker
paru-paru serta gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). Secara umum
PM2,5 dan PM10 timbul dari pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat
pembakaran dan aktivitas industri). Sumber dari dalam rumah antara lain dapat
berasal dari perilaku merokok, penggunaan energy masak dari bahan bakar
biomasa, dan penggunaan obat nyamuk bakar.
j. Dinding rumah
Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga
untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga
sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk
mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp
(kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab
kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat
dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok.
Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising
damp) Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap segala cuaca
sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan tidak dapat
menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi.
k. Status ekonomi dan pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.
Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan
yang akan diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa
ib dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah. Ibu dengan
pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas
kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati
sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan
minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan
kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini
disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
yang diderita oleh balitanya.

H. Pencegahan
1. Berhati-hati dalam mencuci tangan dengan melakukannya ketika merawat anak yang
terinfeksi pernapasan.
2. Anak dan keluarga diajarkan untuk menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup
hidung dan mulutnya ketika batuk/bersin.
3. Anak yang sudah terinfeksi pernafasan sebaiknya tidak berbagi cangkir minuman, baju
cuci atau handuk.
4. Peringatan perawat : untuk mencegah kontaminasi oleh virus pernapasan, mencuci
tangan dan jangan menyentuh mata atau hidungmu.
5. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau anggota keluarga
lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat dilakukan seperti
anak yang sehat tidur terpisah dengan dengan anggota keluarga lainyang sedang sakit
ISPA.
6. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan / rumah.
7. Hindari anak dari paparan asap rokok
(R.Hartono-Dwi Rahmawati H, 2012).

I. Penatalaksanaan ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak adalah
anak dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:
1. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, Demam atau dingin. Tanda bahaya pada
umur 2 bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
Stridor dan gizi buruk.
3. Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera
dibawah ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis.
Pada penderita umur 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat
dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam
2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang
ada.
Penderita di rumah untuk penderita Pneumonia umur 2 bulan sampai kurang dari 5
tahun, meliputi :
a. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah
sembuh.
b. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian Asi.
c. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana.
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia
berat segera dikirim ke rujukan, diberi antibiotik 1dosis serta analgetik sebagai penurun
demam dan wheezing yang ada.
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan 2 hari. Jika
keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan
penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana
rujukan.
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet kotrimoksasol 480
mg, kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg dan sablet parasetamol 100 mg (
R.Hartono-Dwi Rahmawati H, 2012).
J. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan menurut Khaidir Muhaj, 2008 :
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Umur
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia mudaa akan lebih sering menderita ISPA
daripada usia yang lebih lanjut (Anggana Rafika, 2009).
c. Jenis kelamin
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana
angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki – laki di
Negara Denmark (Anggana Rafika, 2009)
d. Alamat
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Kochet et
al (2013) membuktikan baha kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara
bermakna prevalensi ISPA berat. Diketahui penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah renahnya kualitas udara didalam rumah atauoun
di luar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah
yang kurang sempurna dan asap tungku didalam rumah seperti yang terjadi di
Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak (Anggana Rafika,
2009).
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
b. Riwayat penyakit sekarang (kondisi saat diperiksa)
c. Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit seperti yang
dialaminya sekarang)
d. Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernah mengalami sakit
seperti penyakit klien)
e. Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)
3. Pemeriksaan fisik
Difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan
B1 (Breath)
1) Inspeksi
a) Membrane mukosa hidup faring tampak kemerahan
b) Tonsil tampak kemerahan dan edema
c) Tampak batuk tidak produktif
d) Tidak ada jaringan parut pada leher
e) Tidak tampak penggunaan otot – otot pernafasan tambahan, pernafasan
cuping hidung
2) Palpasi
a) Adanya edema
b) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada
nodus limfe servikalis
c) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid

3) Perkusi
a) Suara paru normal (resonance)
4) Auskultasi
a) Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
B2 (Blood) : kardioveskuler. Hipertermi
B3 (Brain) : penginderaan. Pupil isokor, biasanya keluar cairan pada telinga,
terjadinya gangguan penciuman
B4 (Bladder) : perkemihan. Tidak ada kelainan
B5 (Bowel) : pencernaan. Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis,
minum sedikit, nyeri telan pada tenggorokan
B6 (Bone) : warna kulit kemerahan (Benny, 2010).
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab), hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
b. Pemeriksaan hitung darah (deferential count), laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukosit dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia.
c. Pemeriksaaan foto thoraks jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Anom, S. A. A. 2006. Determinan Sanitasi Rumah Dan Sosial Ekonomi Keluarag Terhadap
Kejadaian Penyakit ISPA Pada Anak Dan Balita Serta Manajemen
Penanggulangannya Di Puskesmas. Junal Kesehatan Lingkungan 3 (1) : 49 – 58

Arini. D. 2012. Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA
Pada Anak. Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya 3 (2) : 58 – 6

Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit Departemen Kesehatan RI


Tahun 2008. Tersedia dalam: http://www.slideshare.net/f1smed/kepmenkes-
no129tahun2008standarpelayananminimalrs [diakses tanggal 17 agustus 2016]

Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik. Keperawatan,
112-113, Jakarta: EGC

Daroham. N. E. P. dan Mutiatikum. 2009. Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia.


Buletin Penelitian Kesehatan Edisi Suplemen 2009 (37) : 50 – 55

Depkes RI. 2005. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia
Balita Tahun 2005 – 2009. Jakarta : Depkes RI

_________. 2007. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta ; Usaid

Gloria M. Bulechek., Howard K. Butcher., Joanne M. Dochterman., Cheryl M. Wagner.,


2015. Nursing Intervention Classification (NIC), Sixth Edition. United States of
America. Mosby an imprint of Elsevier Inc
Herdman, Heather. 2014. NANDA Internasional: Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi. Jakarta: EGC

Iqbal Qays M. https://www.scribd.com/doc/101622213/Pathway-ISPA

Kemenkes RI 2011a. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011


Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Jakarta : Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2011b. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta :
Kemenkes RI

Khaidir Munaj. 2008. Pengertian ISPA Dan Pneumonia

Koch, A. et al. 2013. Risk Factors For Acute Respiratory. Am J Epidemiology, pp. 374 – 384

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kurniawan. L. Dan Yayan Akhyar Israr. 2009. Pneumonia Pada Dewasa Http://Www.Files-
Of-Drsmed.Ik. Diakses Tanggal 16 Agustus 2016

Marni. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Goysen Publishing

Muttaqin, Arif, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Naning, R. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: IDAI.

NANDA Aplikasi jilid 1.2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis.


Yogyakarta: Mediaction Publishing Jakarta ;330(5.8)
Nasution. K. M., Azharry Rully Sjahrullah., Kartika Erida Brohet. Khrisna Adi Wibisana. M.
Ramdhani Yasien. Lenora Mohd. Ishak. Liza Pratiwi. Corrie Wawolumaja. dan
Bernie Endyarni. 2009. Infeksi Saluran Nafas Akut Pada Balita Di Daerah Urban
Jakarta. Jurnal Sari Pediatri 11 (4) : 223 – 228

Nindya, T. S., Dan Lilies Sulistyorini. 200. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan
2 (1) : 43 – 52

Nuryanto. 2012. Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (2) : 1 – 12

Rahajoe, N. Nastiti dkk. 2012. Respirologi Anak. Jakarta: IDAI

Rahmawati, Dwi & Haartono. 2012. Gangguan Pernafasan Pada Anak : ISPA. Yogyakarta
: Nuha Medika

Sarmia dan Suhartatik. 2014. Determinan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di RSUD
Labuang Baji Makassar. Jurnal Of Pediatric Nursing 1 (1) : 47 – 52

Sue Moorhead., Mario Johnson., Meridean L. Maas., Elizabeth Swanson. 2015 Nursing
Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. United States of America: Mosby an
Imprint of Elsevier Inc

Widagdo. (2012). Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan Demam. Jakarta:
Sagung Seto
Winarni. Basirun Al Ummah. dan Safrudin Agus Nur Salim. 2010. Hubungan Antara
Perilaku Merokok Orang Tua Dan Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu
Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II
Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 6 (1) : 16
– 20

World Health Organization, 2007. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemic Dan Pandemic Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Trust Indonesia

Yudarmawan, I.N. 2012. Pengaruh Faktor – Faktor Sanitasi Rumah Terhadap Kejadian
Penyakit ISPA Pada Anak Balita (Study Dilakukan Pada Masyarakat Di Desa Dangin
Puri Kangin Kecamatan Denpasar Utara Kota Denpasar Tahun 2012)
K. Asuhan Keperawatan
Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Domain 2 : Nutrisi NOC : NIC :
Kelas 1 : Makan Domain II : Kesehatan Fisiologi Domain 1 : Fisiologis : Dasar
Ketidakseimbangan nutrisi kurang Level 2 Kelas K : Pencernaan & Nutrisi Level 2 Kelas D : Dukungan Nutrisi
dari kebutuhan tubuh  Status Nutrisi (1004)  Manajemen Nutrisi (1100)
Batasan Karakteristik :  Status Nutrisi : Asupan Makanan & Cairan - Kaji adanya alergi makanan
- Berat badan 20% atau lebih (1008) - Berikan makanan yang terpilih (sudah
dibawah berat badan ideal Kriteria Hasil : dikonsulkan dengan ahli gizi)
- Bising usus hiperaktif 1. Adanya peningkatan berat badan - Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
- Menghindari makan 2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
- Membrane mukosa pucat badan menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
- Ketidakmampuan memakan 3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi dibutuhkan pasien
makanan 4. Tidak terjadi penurunan berat badan yang - Anjurkan klien untuk meningkatkan protein
- Adanya iskemik / nekrotik drastis dan vitamin C
jaringan miokard - Monitor kalori dan asupan makanan
- Monitor kecenderungan terjadinya
penurunan atau kenaikan berat badan
- Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
makanan
- Atur diet yang diperlukan
- Pastikan makanan disajikan dengan cara
yang menarik dan pada suhu yang paling
cocok untuk dikonsumsi secara optimal
- Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi
tegak di kursi, jika memugkinkan
- Anjurkan pasien mengenai modifikasi diet
yang diperlukan
- Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
- Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan
gizi
- Atur diet yang diperlukan
- Berikan arahan diperlukan
 Monitor Nutrisi (1160)
- Berat badan pasien dalam batas normal
- Monitor adanya penurunan berat badan
- Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa
dilakukan
- Monitor interaksi anak atau orang tua
selama makan
- Monitor lingkungan selama makan
- Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
selama jam makan
- Monitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor kekeringan rambut kusam dan
mudah patah
- Monitor mual dan muntah
- Monitor kadar albumin, total protein, Hb
dan kadar Ht
- Monitor pertumbuhan dan perkembangan
- Monitor kalori dan intake nutrisi
- Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan
jaringan konjungtiva
- Kolaborasi pemberian cairan intravena

2. Domain 11 : Keamanan/Perlindungan NOC : NIC :


Kelas 2 : Cedera Fisik Domain II : Kesehatan Fisiologi Domain 2 : Fisiologis : Kompleks
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Level 2 Kelas E : Jantung Paru Level 2 Kelas K : Manajemen Keperawatan
Batasan Karakteristik :  Status Pernafasan : Ventilasi (0403)  Penghisapan Lendir Pada Jalan Nafas (3160)
- Perubahan kedalaman  Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas - Monitor nyeri
pernafasan (0410) - Monitor status oksigen pasien
- Penurunan tekanan ekspirasi Kriteria Hasil - Lakukan cuci tangan
- Penurunan tekanan inspirasi 1. Suara nafas bersih, tidak terdapat ronkhi, - Lakukan tindakan pencegahan umum
- Penurunan kapasitas vital sianosis, dypsnea, ortopnea, nafas cuping (universal precaution)
- Dyspnea hidung dan penggunaan otot – otot - Gunakan alat perlindungan diri (sarung
- Pernafasan cuping hidung pernafasan tangan, kacamata, masker) sesuai
- Ortopnea 2. Menggunakan jalan nafas yang paten (klien kebutuhan
- Takipnea tidak merasa tercekik, irama nafas dan - Gunakan alat yang steril setiap akan
- Penggunaan otot aksesorius kedalaman nafas dalam rentang normal) melakukan tindakan
untuk bernafas 3. Mampu mengeluarkan secret (batuk - Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
efektif) suction
- Informsikan kepada klien dan keluarga
tentang suction
- Berikan oksigen dengan menggunakan nasal

 Manajemen Jalan Nafas (3140)


- Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
- Kelola pemberian bronkodilator
sebagaimana mestinya
- Kelola pengobatan aerosol sebagaimana
mestinya
- Posisikan untuk meringankan sesak nafas
- Lakukan fisioterapi dada bila perlu

3. Domain 11 : Keamanan/Perlindungan NOC : NIC :


Kelas 1 : Infeksi Domain IV : Pengetahuan Tentang Kesehatan & Domain 4 : Keamanan
Risiko infeksi Perilaku Level 2 Kelas V : Manajemen Risiko
Level 2 Kelas T : Kontrol Risiko dan Keamanan  Kontrol Infeksi (6540)
 Kontrol Risiko : Proses Infeksi (1924) - Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
digunakan untuk setiap pasien
- Ganti peralatan perawatan tiap pasien
Kriteria Hasil : sesuai dengan protocol instansi
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi - Isolasi orang yang terkena penyakit menular
(dolor, kalor, tumor, rubor, fungsiolaesa, - Tempatkan isolasi sesuai tindakan
peningkatan leukosit dan suhu tubuh) pencegahan yang sesuai
2. Jumlah leukosit dalam batas normal - Pertahankan teknik isolasi yang sesuai
3. Menunjukkan perilaku hidup bersih dan - Batasi jumlah pengunjung
sehat - Ajarkan cara cuci tangan bagi tenaga
4. Menunjukkan kemampuan untuk kesehatan
mencegah timbulnya infeksi - Anjurkan pasien mengenai teknik mencuci
5. Mendeskripsikan proses penularan tangan dengan tepat
penyakit, faktor yang mempengaruhi - Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan
penularan serta penatalaksanaannya pada saat memasuki dan meninggalkan
ruangan pasien
- Dorong inake cairan yang sesuai
- Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
- Dorong untuk beristirahat
- Berikan terapi antibiotik yang sesuai
- Anjurkan psien untuk meminum antibiotik
seperti yang diresepkan
 Perlindungan Infeksi (6550)
- Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
- Monitor hitung granulosit WBC
- Monitor kerentangan terhadap infeksi
- Batasi pengunjung
- Pertahankan teknik isolasi
- Inspeksi kulit dan membrane mukosa
terhada kemerahan, panas, drainase
- Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda
adan gejala infeksi
- Laporkan kecurigaan infeksi
- Laporkan kultur positif
PENGKAJIAN BAYI F DENGAN ISPA

Nama Mahasiswa : FAJAR ARIYANTO


Tempat Praktek :PICU RSI KLATEN
Tanggal :12 FEBRUARI 2018 JAM 14.15 WIB

I. IDENTITAS
Nama : Bayi F
Tempat/tgl lahir : Klaten, 26 januari 2018
Nama ayah/ibu :Tn. F
Pekerjaan ayah :Swasta
Pendidikan ayah : D3
Pekerjaan ibu :IRT
Pendidikan ibu :SMA
Alamat / no.Tlp :Tibayan, jatinom
Suku :Jawa
Agama : Islam
II. KELUHAN UTAMA
Pasien Bayi F sejak tanggal 10 februari 2018 dengan keluhan utama batuk, pilek, nafas grok-grok, slim , netek kurang kuat
dan pada tgl 12 februari 2018 jam 08.00 wib dibawa ke IGD RSI klaten dengan keluhan yang sama.

III. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


A. PRENATAL
Ibu mengatakan tidak keluhan selama kehamilan, tekanan darah dalam batas normal, periksa kehamilan dibidan, pada
trimester 1 dan trimester 2 sebulan sekali pada trimester 3 setiap 2 minggu sekali. Usia kehamilan cukup bulan yaitu 40 minggu,
nutrisi cukup dengan makanan yang bergizi, minum obat penambah darah dan vitamin dan belum pernah di rawat di rumah sakit.
B. NATAL
Ibu mengatakan bayi F lahir secara spontan dengan usia kehamilan aterm ( 40 minggu ), tempat lahir bidan dan tidak
mengalami perdarahan pervagina.
C. POST NATAL
Ibu mengatakan kondisi bayi F saat lahir baik, nafas spontan, menangis kuat, setelah lahir anak diletakkan di dada untuk
IMD,tidak ada trauma lahir,BAB dan BAK normal. Bayi f belum pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya. Berat badan waktu
lahir 3000 gram tanpa ada kelainan kongenital.
IV. RIWAYAT KELUARGA
Ibu mengatakan tidak ada riwayat penyakit menular, DM, hipertensi maupun asma.
Genogram

V. RIWAYAT SOSIAL
A. Siatem pendukung/keluarga yang dapat dihubungi
Jika ada masalah kesehatan dalam keluarga selalu pergi ke Dokter atau Bidan. Keluarga yang dapat dihubungi adalah Ayah si
bayi.
B. Hubungan orang tua dengan bayi
Ibu Ayah
√ Menyentuh √
√ Memeluk √
√ Berbicara √
√ Berkunjung √
√ Kontak mata √

D. Lingkungan rumah
Keluarga bayi F tinggal dirumah sendiri di jatinom, rumah permanen, ubin keramik, WC sendiri, sumur dan tempat sampah
ada.
VI. KEADAAN KESEHATAN SAAT INI
1. Diagnosa medik : ISPA
2. Tindakan operasi :-
3. Status nutrisi : Berat badan lahir 2900 gram, netek kurang kuat
4. Status cairan : netek ASI kurang kuat
5. Obat/terapi : os rhinos 3x 0,3 cc
Breathy tetes 3x 1tetes
Nebu Ventolin/12 jam
6. Aktivitas : Gerak anak aktif, membuka mata spontan, menangis kuat, reflek moro, memegang, menghisap +.
7. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan : Perawatan di box bayi
Chest fisioterapi pagi sore
8. Hasil laboratorium
Jenis pemeriksaan : Darah Lengkap Tgl : 10 Februari 2018 jam 11.30 wib
Hematologi Hasil Rujukan Unit
Jumlah sel darah
Leukosit 9,1 4.2 – 9.3 Ribu/mm3
Eritrosit 5.16 4.5 – 5.5 Juta/uL
Hemoglobin 16.4 13 – 18 g/dl
Hematokrit 48.3 40 – 54 %
Trombosit 213 150 – 450 Ribu/uL
Index
MCV 93.6 80 – 100 fl
MCH 31.8 26 – 34 pq
MCHC 34.0 32 – 36 %
Differential
Netrofil 41.0 36– 66 %
Limfosit 51.2 25 – 40 %
Basofil 7.8 0–1 %

VII. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Nadi : 140x/menit
Suhu : 37.0 C
RR : 45x/menit
SPO2 : 94%
Saat lahir Saat ini
Berat badan 3000 gram 2900 gram
Panjang Badan 51 cm 51 cm
Lingkar kepala 33cm 33 cm

1. Reflek
( √) Moro ( √) Menggenggam (√ ) Isap
2. Tonus / aktivitas
( √) Aktif
( √) Menangis keras
3. Kepala / leher
a. Fontanel anterior
(√ ) Lunak
( √) Menonjol
b. Sutura sagitalis
( √) Tepat
c. Gambaran wajah
(√ ) Simetris
d. Molding
(√) bersesuaian
e. ( √) Caput Succedaneum
f. (- ) Chepalohematoma
4. Mata
( √) Bersih
5. THT
a. Telinga ( √) Normal
b. Hidung ( √) Bilateral terpasang nasal kanul 1 liter/menit
c. Palatum (√ ) Normal terpasang selang OGT
6. Abdomen
(√ ) Lunak
Lingkar perut : 32cm
Liver : ( ) kurang dari 2 cm
( ) lebih dari 2 cm
7. Thoraks
( √) simetris
(√)Retraksi otot dada
(√ )Klavikula normal
8. Paru-paru
a. Suara nafas
( √) Wheezing
( √) Menurun
b. Respirasi
( √) Spontan, jumlah : 40 x/mnt
9. Jantung
(√ ) Bunyi jantun normal
(√ ) Nadi perifer
Brakhial (√ ) berat
Femoral ( √) berat
10. Ekstremitas
(√ ) Semua ektremitas bergerak normal
( √) Ekstremitas atas bawah simetris
11. Umbilikus
(√ ) Normal
12. Genetalia
( √) Laki-laki normal
13. Anus
(√ ) Paten
14. Spina
( √) Normal
15. Kulit
Warna
(√ ) Pink

16. Suhu
( √) Boks terbuka
VIII. PEMERIKSAAN TINGKAT PERKEMBANGAN/ REFLEK PRIMITIF
A. Kemandirian dan bergaul : -
B. Motorik halus : Bayi mampu menggerakkan keempat ektremitas secara bebas
C. Kognitif dan Bahasa : Bayi mampu menangis kuat apabila merasa tidak nyaman
D. Motorik kasar :-
Kesimpulan perkembangan :
( √) Menangis bila tidak nyaman
(- ) Membuat suara tenggorok yang pelan
( √) Memandang wajah dengan sungguh-sungguh
( √) Mengeluarkan suara
( √) Berespon secara berbeda terhadap obyek yang berbeda
( √) Dapat tersenyum
(√ ) Menggerakkan lengan dan tungkai sama mudahnya ketika telentang
( -) Memberi reaksi dengan melihat ke arah sumber cahaya
( -) Mengoceh dan memberi reaksi terhadap suara
(- ) Membalas senyuman
IX. INFORMASI LAIN
Terapi yang diberikan pada tanggal 12 februari 2018
Os rhinos 3x0.3cc
Breathy 3x1tetes
Nebu Ventolin/12 jam
Asi 8x10cc
Chest fisioterapi pagi sore
X. ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI PROBLEM
DS : - Produksi sputum berlebih Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
DO :
- Batuk+, slim+
- Pilek+, nafas grok-grok
- N : 140X/menit
- RR : 45X/menit
- S : 37◦C
- SPO2 94%
- Retraksi otot-otot dada
- Terpasang nasal kanul 1
liter/menit

DS : - Intake tidak adekuat Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


DO : kebutuhan tubuh
- Netek kurang kuat
- BBL : 3000 gram
- BBS : 2900 gram
- Batuk, pilek
- Terpasang selang OGT
XI. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi sputum berlebih
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake tidak adekuat

XII. PERENCANAAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI


1. Domain 11 : Setelah dilakuakan asuhan keperawatan NIC :
Keamanan/Perlindungan selama 2x24 jam diharapkan masakah Domain 2 : Fisiologis : Kompleks
Kelas 2 : Cedera Fisik ketidakefektifan bersihan jalan napas Level 2 Kelas K : Manajemen Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat diatasi.  Penghisapan Lendir Pada Jalan Nafas
Batasan Karakteristik : NOC : (3160)
- Perubahan kedalaman Domain II : Kesehatan Fisiologi - Monitor status oksigen pasien
pernafasan Level 2 Kelas E : Jantung Paru - Lakukan cuci tangan
- Penurunan tekanan ekspirasi  Status Pernafasan : Ventilasi (0403) - Lakukan tindakan pencegahan umum
- Penurunan tekanan inspirasi  Status Pernafasan : Kepatenan Jalan (universal precaution)
- Penurunan kapasitas vital Nafas (0410)
- Dyspnea Kriteria Hasil - Gunakan alat perlindungan diri (sarung
- Pernafasan cuping hidung 1. Suara nafas bersih, tidak terdapat tangan, kacamata, masker) sesuai kebutuhan
- Ortopnea ronkhi, sianosis, dypsnea, - Gunakan alat yang steril setiap akan
- Takipnea ortopnea, nafas cuping hidung melakukan tindakan
- Penggunaan otot aksesorius dan penggunaan otot – otot - Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
untuk bernafas pernafasan nebuliser
2. Menggunakan jalan nafas yang - Informsikan kepada keluarga tentang
paten (klien tidak merasa nebuliser
tercekik, irama nafas dan - Berikan oksigen dengan menggunakan nasal
kedalaman nafas dalam rentang
normal)  Manajemen Jalan Nafas (3140)
- Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift
3. Mampu mengeluarkan secret
atau jaw thrust bila perlu
(batuk efektif)
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
- Kelola pemberian bronkodilator
sebagaimana mestinya
- Kelola pengobatan aerosol sebagaimana
mestinya
- Posisikan untuk meringankan sesak nafas
- Lakukan fisioterapi dada bila perlu

2. Domain 2 : Nutrisi Setelah dilakuakan asuhan keperawatan NIC :


Kelas 1 : Makan selama 3x24 jam diharapkan masalah Domain 1 : Fisiologis : Dasar
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari Level 2 Kelas D : Dukungan Nutrisi
kebutuhan tubuh kebutuhan dapat diatasi.  Manajemen Nutrisi (1100)
Batasan Karakteristik : NOC : - Kaji adanya alergi makanan
- Berat badan 20% atau lebih Domain II : Kesehatan Fisiologi - Berikan makanan yang terpilih (sudah
dibawah berat badan ideal Level 2 Kelas K : Pencernaan & Nutrisi dikonsulkan dengan ahli gizi)
- Bising usus hiperaktif  Status Nutrisi (1004) - Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
- Menghindari makan  Status Nutrisi : Asupan Makanan & - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
- Membrane mukosa pucat Cairan (1008) menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
- Ketidakmampuan memakan Kriteria Hasil : dibutuhkan pasien
makanan 1. Adanya peningkatan berat badan
- Adanya iskemik / nekrotik 2. Berat badan ideal sesuai dengan - Anjurkan klien untuk meningkatkan protein
jaringan miokard tinggi badan dan vitamin C
3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan - Monitor kalori dan asupan makanan
nutrisi - Monitor kecenderungan terjadinya penurunan
4. Tidak terjadi penurunan berat badan atau kenaikan berat badan
yang drastis - Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
makanan
- Atur diet yang diperlukan
- Pastikan makanan disajikan dengan cara yang
menarik dan pada suhu yang paling cocok
untuk dikonsumsi secara optimal
- Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi
tegak di kursi, jika memugkinkan
- Anjurkan pasien mengenai modifikasi diet
yang diperlukan
- Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
- Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
- Atur diet yang diperlukan
- Berikan arahan diperlukan

 Monitor Nutrisi (1160)


- Berat badan pasien dalam batas normal
- Monitor adanya penurunan berat badan
- Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa
dilakukan
- Monitor interaksi anak atau orang tua selama
makan
- Monitor lingkungan selama makan
- Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
selama jam makan
- Monitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor kekeringan rambut kusam dan
mudah patah
- Monitor mual dan muntah
- Monitor kadar albumin, total protein, Hb dan
kadar Ht
- Monitor pertumbuhan dan perkembangan
- Monitor kalori dan intake nutrisi
- Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan
jaringan konjungtiva
- Kolaborasi pemberian cairan intravena

XIII. PELAKSANAAN DAN EVALUASI


TANGGAL DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI TTD
12-2-2018 1 Jam 15.00-18.30wib Jam 18.45 wib
1. Memonitor status oksigen pasien S:-
2. Melakukan cuci tangan O:
3. Melakukan tindakan pencegahan - Terpasang kanul nasal 1 L/menit
umum (universal precaution) - Suara nafas wheezing masih terdengar di
4. Menggunakan alat perlindungan diri dada sebelah kiri
(sarung tangan, kacamata, masker) - Chest fisioterapi pagi sore
sesuai kebutuhan - Batuk berkurang
5. Menggunakan alat yang steril setiap - Pilek berkurang
akan melakukan tindakan - Nafas grok-grok tidak ada
- N : 138X/Menit
6. Mengauskultasi suara nafas sebelum
- RR : 40 x/menit
dan sesudah nebuliser
- S : 36,8 ◦C
7. Menginformsikan kepada keluarga
tentang nebuliser A : Masalah teratasi sebagian
8. Memberikan oksigen dengan P : Lanjutkan intervensi
menggunakan nasal - Berikan oksigen menggunakan nasal
9. Melakukan chest fisioterapi kanul
- Nebu Ventolin/12 jam

12-2-2018 2 Jam 15.00-18.30 wib Jam 18.45 wib


1. Menimbang Berat badan pasien dalam S : -
batas normal O:
2. Memonitor adanya penurunan berat - Terpasang OGT
badan - Sonde ASI 8x10cc
3. Memonitor interaksi anak atau orang - BBL : 3000 Gram
tua selama makan - BBS : 2900 gram
4. Memonitor lingkungan selama makan - Mual dan mumtah tidak terjadi
5. Menjadwalkan pengobatan dan - Netek kurang kuat
tindakan tidak selama jam makan - Turgor kulit elastis
6. Memonitor turgor kulit
O : Masalah teratasi sebagian
7. Monitor mual dan muntah
P : Lanjutkan intervensi
8. Monitor kalori dan intake nutrisi
- monitor adanya penurunan berat badan

13-2-2018 1 Jam 15.00-18.30wib Jam 18.45 wib


1. Memonitor status oksigen pasien S:-
2. Melakukan cuci tangan O:
3. Melakukan tindakan pencegahan - Terpasang kanul nasal 1 L/menit
umum (universal precaution) - Suara nafas wheezing berkurang
4. Menggunakan alat perlindungan diri - Chest fisioterapi pagi sore
(sarung tangan, kacamata, masker) - Batuk tidak ada
sesuai kebutuhan - Pilek berkurang
5. Menggunakan alat yang steril setiap - Nafas grok-grok tidak ada
akan melakukan tindakan - N : 128X/Menit
- RR : 36 x/menit
6. Mengauskultasi suara nafas sebelum - S : 36,4 ◦C
dan sesudah nebulizer A : Masalah teratasi sebagian
7. Menginformsikan kepada keluarga P : Lanjutkan intervensi
tentang nebulizer - Nebu Ventolin/12 jam
8. Memberikan oksigen dengan - Chest fisioterapi
menggunakan nasal - Boleh pindah ruang
9. Melakukan chest fisioterapi

13-2-2018 2 Jam 15.00-18.30 wib Jam 18.45 wib


1. Menimbang Berat badan pasien dalam S : -
batas normal O:
2. Memonitor adanya penurunan berat - OGT sudah dilepas
badan - Netek mulai kuat
- Mual dan mumtah tidak terjadi
3. Memonitor interaksi anak atau orang
- Turgor kulit elastis
tua selama makan
- Reflek hisap kuat
4. Memonitor lingkungan selama makan
O : Masalah teratasi
5. Menjadwalkan pengobatan dan
P Pertahankan intervensi
tindakan tidak selama jam makan
6. Memonitor turgor kulit
7. Monitor mual dan muntah
8. Monitor kalori dan intake nutrisi

Anda mungkin juga menyukai