Anda di halaman 1dari 2

Oleh

Adz Dzikr

Kita Ada Bersama Meraka

Berangankan diri yang kuat, berdasarkan jiwa yang tangguh, berlapangkan dada luas. Itu
merupakan hal yang sangat luar biasa yang jarang kita temui tiap harinya. Iya itu adalah
orang-orang yang menyandang status ‘Difabel’ atau ‘Disabilitas’.

Kadang kita tidak merasa apa yang mereka rasakan. Rasa kpekaan kita di uji ketika
lingkungan sosial kita membutuhkan kita sebagai orang yang bergerak. Karena bergerak
merupakan orang yang dianggap ada dengan keberadaannya, karena seorang filsuf Yunani
Kuno mengatakan “ketika aku berfkir, maka aku ada dan ketika aku bergerak maka aku
bermakna”.

Kehidupan sosial asalnya adalah keras, keras karena orang-orangnya kurang waras.
Penyandang disabilitas adalah orang yang berlapangkan hati yang luas, karena dengan
keluasan itu mereka waras dan sadar diri dengan keadaannya sendiri, terkadang diri kita
kurang bersyukur atau bahkan tidak sama sekali.

Kehidupan sosial juga sangat keras, keras karena orang-orang yang tidak ingin dibilang
terbatas. Padalah keterbatasan adalah hal yang sangat luar bisa, karena kita akan tau seberapa
beruntungnya ketika di bandingkan dengan orang disabilitas.

Mereka adalah orang-orang yang patut kita contoh dengan kesabaran dan kerendahan hatinya,
hatinya yang bersih menjdikan dirinya kuat dengan keadaan fisik yang terbatas, namun
faktanya mereka tidak ingin di bilang dengan keadaan fisik yang terbatas. Dan itu terbukti
dengan prestasi mereka yang diperjuangkan untuk bangsa dan tanah air.

“Saya sempat berpikir waktu pertama kali melihat mereka. Buat apa mereka
dilahirkan, sepertinya tidak berguna. Seperti… seperti biola.. seperti biola yang tidak
ada dawainya. Seperti biola tak berdawai…”……………..
“Tidak bisa dimainkan. Tidak bisa menghasilkan nada-nada indah….Tapi kamu
percaya di dunia ini ada keajaiban?”
(Biola tak berdawai, hlm. 115)
Sosok difabel secara umum masih dalam posisi yang marginal. Marginalisasi terhadap difabel
tidak lain disebabkan oleh stigma negatif yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Tidak
heran eksistensi difabel dalam masyarakat pun tidak diakui. Hal ini tidak lain karena selama
ini perhatian terhadap difabel masih sangat minim. Stigma negatif terhadap kelompok difabel
masih sering terjadi.

Menurut Syafi’i (2014) difabel yang selama ini dianggap tidak mampu dan tidak normal,
sebagai imbas dari sudut pandang yang tidak memihak difabel menjadikan difabel sekadar
sebagai objek. Di sisi lain, ideologi kenormalan menyumbangkan berbagai bentuk
ketidakadilan terhadap difabel, antara lain marginalisasi difabel, subordinasi, dan stereotype.

Sosok difabel atau disabilitas dianggap miring karena kita sebagai orang yang berikir tidak
bergerak. Bergerak kita hanya menyuruh dengan emosi dan hawa nafsu. Hawa nafsu kita
akan sangat jelek ketika rasa, akal fikiran kita kalah bergerak.

Orang-orang yang ada dilingkungan kita adalah saudara siapapun orangnya termasuk
penyandang disabilitas yang harus kita perhatikan dengan seksama. Rasa kekeluargaan yang
harus ditumbuhkan merupakan rasa yang sangat penting, emosional kita tumbuh dengan
sendirinya.

Kita yang merasa sempura dengan keadaan fisik yang lengkap. Harus pandai merasa, karena
dengan merasa adalah yang penting dalam kehidupan sosial. Hal yang paling penting dalam
kehidupan bukanlah cinta namun rasa yang harus dikembangkan dengan sangat baik, dengan
seperti itu kami ada buat mereka penyandang disabilitas.

Anda mungkin juga menyukai